Lemas gue berjalan dari masjid, di belakang Bokap yang asik ngobrol sama Pak Rt. Mereka berdua jalan bareng dan gue dilupakan, haaaa...gue pun semakin lemas berjalan. Sejenak gue nengok ke belakang melihat beberapa orang yang baru keluar dari masjid masih di jalanan dan sejenak juga gue alihkan mata gue ke kanan jalan. Terlihat seorang cewek berhijab berjalan di tepi jalan sebelah kanan. Dia memakai kerudung putih dan membawa mukena. Dia juga memakai kaos kaki, walaupun pakai sandal jepit. Nggak ada kulit yang kelihatan, kecuali wajah sama telapak tangannya. Sejenak cewek itu menoleh, trus cepat menundukkan pandangan dan berjalan cepat. Sigap gue ikut juga cepat berjalan, sementara kedua mata gue masih mengikuti ke mana dia pergi.
“Deni. Kamu mau ke mana!” Suara Bokap keras.
Gue kaget sambil sedikit menoleh dan bilang “Ya Deni mau pulanglah...mau ke mana lagi...”
“Trus kenapa kamu malah ke sana! Rumah kamu kan di sini.” Suara Bokap tegas.
Mendadak gue berhenti melangkah dan sejenak melihat sekeliling. Setelah itu gue melihat Bokap di depan pagar rumah, jauh di belakang gue. Gue baru sadar kalo gue udah melewati rumah Bokap.
“Astaghfirullah haladziiim...kenapa gue bisa kebablasan ya...” Ucap gue pelan sambil menggaruk kepala.
“Deni. Cepat masuk, sebelum Bapak kunci pagarnya.” Suara Bokap tinggi.
“O iya iya iya, Deni masuk.” Gue cepat lari.
Setelah gue masuk ke halaman rumah, Bokap cepat mengunci pintu pagar dari besi. Gue nggak segera masuk ke dalam rumah, tapi sejenak kedua mata gue melihat jalanan, soalnya gue masih penasaran sama cewek manis tadi. Kenapa gue baru melihat dia kompleks ini? Apa dia baru tinggal di daerah sini?
“Kira-kira...di mana rumahnya ya?” Ucap gue pelan sambil celingukan ke jalan.
“He Deni, cepat masuk rumah. Cari siapa sih?! Celingukan seperti itu .”
“Iya iya Deni masuk sekarang.”
Gue cepat masuk ke dalam rumah, trus cepat juga ke kamar. Sebelum makan malam dan sebelum mengganti baju, gue tiduran di kasur sambil memikirkan wawancara di dua perusahaan tadi siang. Perusahaan kedua udah pasti menolak gue dan perusahaan pertama masih belum ngasih jawaban, tapi...kalo gue pakai ilmu feeling kayak Pak Roy, kayaknya...kemungkinan gue diterima di perusahaan pertama...kecil banget, dan bisa-bisa gue...ditolak lagi.
“Ehmm...gue harus cepet nyari lowongan lagi. Kayak yang pernah gue bilang sama Aldo, kalo ngirim surat lamaran itu, kayak ngirim kupon undian berhadiah. Jadi kirim sebanyak-banyaknya, pasti ada yang nyangkut.” Di ujung perkataan, suara gue tinggi. Trus gue ketawa.
“Emang layangan, pake nyangkut segala. Lo itu ada-ada aja Den.” Ucap gue pelan, trus menghela nafas panjang.
“Deni...makan dulu...” Suara Nyokap keras dari lantai satu.
Gue cepat ganti baju dan sejenak merapikannya, trus gue turun ke lantai satu. Nyokap, Bokap sama Vita udah duduk di depan meja makan. Gue menyusul cepat duduk di kursi kosong.
“Kita berdoa dulu, ayo angkat tangannya. Bismillahhirrohmannirrohim, Allahhumma bariklana fima rojaktana wakina adza bannar. Amiin.” Bokap mimpin doa.
Setelah itu Nyokap mengambilkan nasi buat Bokap lebih dulu, terus mengambil ayam bumbu cabe sama tahu goreng. Gue mau mengambil cukil nasi, eh malah si Vita yang nyerobot duluan. Gue pun menghela nafas panjang sambil menggelengkan kepala, tanda gue kesal.
“Kebiasaan! Maen serobot aja. Permisi dulu kek.” Celetuk gue sambil melirik Vita.
Vita cuma nyengir, trus sambil senyum dengan santai dia bilang “Maaf Kakakku yang ganteng...abis Vita udah lapar, seharian kan Vita lebih capek daripada Kak Deni.”
“Udah-udah, jangan berantem. Sini Deni, mana piring kamu. Biar Ibu ambilkan.” Di ujung perkataan Nyokap mengambilkan piring untuk gue.
“Tuh kan...Kak Deni tenang aja...nggak bakal kehabisan, makanya Kak Deni belakangan aja.” Kata Vita menyindir sambil melahap nasi.
“Sudah sudah sudah. Vita kalau makan itu jangan sambil ngomong, ditelan dulu baru ngomong.” Kata Bokap tegas.
“Iya Pak...”
“Oh iya Deni, gimana wawancara kamu?” Tanya Bokap.
“Pak, gimana sih. Katanya makan dulu baru ngomong. Kenapa Bapak ngomong sama Kak Deni?!” Tanya Vita dengan nada kesal.
“Tadi kan Bapak bilang, ditelan dulu baru ngomong. Bapak kan sudah menelan makanan di mulut Bapak, jadi Bapak boleh ngomong dong.” Jawab Bokap santai. Nyokap sama gue tersenyum lebar melihat si Vita langsung cemberut.
“Kira-kira peluang kamu diterima besar kecil?” Tanya Bokap.
“Ehmmm....nggak tahu Pak.” Di ujung perkataan gue nyengir. Bokap pun manggut-manggut, sementara Nyokap menghela nafas panjang.
“Mudah-mudahan...anak Ibu yang ganteng ini nggak diterima.” Celetuk Nyokap.
Gue kaget menoleh dan nggak berkedip melihat Nyokap.
“A...” Gue mau tanya, tapi si Vita resek mendahului tanya “Ibu kok bilang gitu? Bukannya setiap orang tua itu pasti mendoakan anaknya yang baik-baik. Kok doa Ibu jelek buat Kak Deni? Padahal selama ini yang Vita tahu...Ibu itu paling sayang Kak Deni, daripada Vita.” Di ujung perkataan Vita cemberut. Membuat Bokap tersenyum sambil makan. Sementara Nyokap nggak segera menjawab, tapi minum air dulu.
“Vita anak Ibu yang paling cantik dan Ibu sayang. Ibu selalu mendoakan yang baik, bahkan paling baik untuk kamu dan Kakak kamu. Tadi Ibu nggak berdoa jelek buat Kakak kamu, malah itu doa yang paling baik.” Di ujung perkataaan Nyokap tersenyum lebar.
“Vita masih nggak ngerti Bu.” Kata Vita sambil menggelengkap kepala.
“Deni juga. Mana ada doa bagus mendoakan anaknya supaya nggak diterima kerja, bener kan Pak.” Celetuk gue. Di akhir perkataan gue menoleh pada Bokap, tapi Bokap tetap nggak menjawab, seperti biasa Bokap cuma senyum-senyum sambil manggut-manggut dan mengunyah makanan.
“Nanti kalo Deni nggak keterima kerja gimana? Sia-sia dong kuliah Deni selama ini.” Suara gue lemes.
“Deni, asal kamu tahu nggak ada seorangpun Ibu di dunia ini yang berharap anaknya mendapatkan yang buruk. Dan ingat ridho Allah itu ada pada ridho orang tua, jadi kalau kamu nggak diterima kerja jangan salahkan Allah atau orang tua kamu.” Suara Nyokap tegas.
Mendadak gue semakin lemas setelah mendengar perkataan Nyokap, apalagi Nyokap nyebut nama Allah lagi. Haduuuh...alamat nih...kayaknya bakal susah perjuangan gue dapetin kerja.
“Kalo Deni nggak kerja, Deni jadi pengangguran dong? Masak lulusan Sarjana nganggur. Gimana kalo Deni kawin? Masak Deni harus tuker tempat sama istri Deni...” Suara gue lemes. Sementara semua orang di meja makan ini tersenyum lebar, cuma wajah gue yang bertambah lemas.
“Ibu nggak bilang kamu nggak boleh kerja. Kerja itu bagus, supaya nggak jadi orang males. Tapi kamu harus teliti dan hati-hati memilih pekerjaan, jantung kamu masih sering kambuh kalau terlalu capek.”
“Ooo Vita baru ngerti maksud doa Ibu tadi. Kalo gitu Vita dukung Ibu, Bapak juga kan?” Suara Vita tinggi dan di ujung perkataan Vita menoleh pada Bapak, tapi lagi-lagi Bokap cuma manggut-manggut dan tersenyum sambil melahap makanan. Membuat gue semakin kaget, soalnya semua kompakan nggak pingin gue kerja. Kayaknya wajah gue tambah pucat nih.