Brandon dan Dipta masih berseteru ketika Kinan mulai membuka matanya. Ia mengedarkan pandangannya. Ia mendapati dirinya sedang berada di sebuah kasur yang disangga sebuah ranjang besi. Di sampingnya juga terdapat berjejer-jejer ranjang kosong yang tertata dengan rapi. Di area paling ujung ada sebuah lemari kaca yang di dalamnya terdapat beberapa kotak obat yang tak diketahui namanya oleh Kinan.
Kinan menatap ke arah Brandon dan Dipta yang berdiri di dekat pintu. Sayup-sayup ia mendengar perdebatan mereka.
“Kamu tahu kan, dari dulu kita dilarang oleh ketua senior untuk melakukan itu. Apalagi pada orang baru seperti Kinan. Kinan itu tidak tahu apa-apa. Kita yang sudah sering latihan saja dilarang, apalagi Kinan," bentak Brandon pada Dipta dengan rasa kesal yang mendalam.
“Bilang aja kamu khawatir sama dia,” balas Dipta tanpa rasa bersalah.
“Jelas khawatir lah. Yang bawa dia ke sini kan aku. Jadi apapun yang terjadi pada Kinan itu tanggung jawabku.”
“Suruh siapa bawa dia ke sini,” kata Dipta yang kemudian mengalihkan tatapannya pada ranjang Kinan. Mata mereka sempat bertemu sesaat. Namun, Kinan memilih untuk memutuskan kontak mata itu.
Dipta berjalan santai ke arah Kinan. Kemudian memeriksa keadaan Kinan. “Ada yang sakit?” tanyanya tanpa ekspresi.
Kinan menunjukkan lengan kirinya yang merah. Ia berniat tak bersuara pada Dipta. Ia terlalu kesal dengan laki-laki bermuka datar itu.
Melihat lengan Kinan yang memerah, Dipta memutar badannya. Kemudian berjalan menuju lemari kaca yang berada di pojok ruangan. Ia mengambil perban putih dan obat oles luka. Setelah ia kembali ke ranjang Kinan untuk segera mengoleskan obat oles itu pada lengan kiri Kinan, lalu membalutnya dengan perban putih.
“Dalam dua hari perbannya sudah bisa dibuka,” ucap Dipta sambil meletakkan obat oles luka pada meja nakas.
“Brandon,” panggil Kinan tiba-tiba. “Aku mau pulang.”
Dipta mencegat langkah Brandon yang hendak lebih mendekat ke arah Kinan. “Dia tidak bisa pergi dari sini. Manusia di sana terlalu berbahaya untuk dia. Aku sudah pernah peringatkan kamu tentang ini kan? Jangan sering keluar dari zona kamu.”
“Kalo begitu ajari dia seperti ketua senior mengajari kita,” pinta Brandon dengan suara yang lebih tegas dari biasanya.
Mata Kinan melotot tajam pada Brandon. Kemudian mengambil ponselnya untuk menghubungi Janson.
“Jangan gunakan ponselmu di area kerajaan. Bagian administrasi sangat mudah mendeteksi sinyal asing yang masuk di area sini. Kamu bisa tertangkap.”
Kinan mengatupkan bibirnya rapat-rapat sambil mematikan ponsel pintarnya. Kemudian memasukkan kembali dalam kantong celana.
Kinan mengikuti perintah Dipta yang memintanya untuk segera meninggalkan area kerajaan. Dengan langkah cepat, ia berjalan menyusuri koridor kerajaan bersama Brandon dan Dipta. Sambil terus memikirkan apa yang terjadi setelah ini, ia mengikuti langkah kedua orang disampingnya yang berjalan menuju gerbang tinggi yang berada di depan sana.
***
Dipta melotot kaget ketika mendapati Kinan berhasil memecahkan jejeran kaca secepat kilat. Lebih cepat dari kemampuannya. Sejak awal latihan, Dipta sudah dibuat ternganga oleh kemampuan Kinan. Bagaimana bisa, seorang manusia biasa bisa menguasai semua gerakan beladiri dalam jangka waktu tidak lebih dari satu hari.
“Darimana kamu bisa seperti itu?” tanya Dipta dengan wajah datarnya.
Kinan berdiri tegap menatap Dipta. Ia takut jika kali ini ia akan membuat kesalahan lagi. Karena sedari tadi Dipta selalu mempertanyakan gerakannya.
“Aku menirukan gerakanmu.”
“Aku tidak pernah melakukannya secepat itu.”
Kinan mulai sebal dengan sikap Dipta. Tanpa babibu, ia menyerang Dipta dengan menggerakkan cepat lengan kirinya ke arah Dipta. Ia tersenyum mengejek ketika mendapati Dipta terhuyung jatuh di tanah.
Bukannya merasa bersalah, Dipta memilih untuk menyerang balik lawan kecilnya itu. Tubuh Kinan yang kecil dapat dengan mudah ditumbangkan oleh Dipta. Dengan kecepatan kilat Dipta bangun dan menyerang balik Kinan dengan kemampuan beladirinya. Ia tak ingin kalah dari gadis yang masih ia anggap sebagai bocah ingusan.
Dipta dan Kinan masih terus beradu kemampuan ketika Brandon datang dari pintu belakang rumahnya. Dengan gerakan cepat, Brandon menangkis tangan Dipta yang hendak menyerang Kinan. Karena kekuatan yang ditunjukkan Brandon terlalu kuat, Dipta terhuyung ke belakang. Ia meringis kesakitan pada lengannya.
Kinan tersentak kaget. Ia mendapati Brandon berdiri di hadapannya dengan tatapan galak. Siap menerkam Dipta.
“Kamu gila, ya?” bentak Brandon pada Dipta.
Dipta masih meringis kesakitan. Ia menatap nyalak pada Kinan.
“Nggak usah natap Kinan seperti itu,” cegat Brandon tambah galak.
Kemudian, Brandon menarik lengan Kinan, mengajak Kinan untuk masuk ke rumahnya. Brandon meminta Kinan untuk duduk di sebuah kursi yang melingkari sebuah meja. Lalu Brandon menghidangkan beberapa menu masakan ibunya.
“Dipta!” panggil keras Brandon dari dalam rumah. Ia tak peduli jika nantinya Dipta akan marah.
“Nggak usah teriak-teriak. Aku udah ada di sini sejak tadi.” kata Dipta dengan suara datar.
Brandon mendesah malas. “Ya udah, ayo makan.”
Kinan melirik Dipta dengan bingung. Ia sedang berpikir bagaimana Dipta bisa secepat itu masuk ke dalam rumah Brandon sedangkan ia baru saja duduk di kursinya.
“Kami, para keturunan Piperales, diberi karunia teleportasi setelah kami menemukan jati diri kami masing-masing,” ujar Brandon yang membaca pikiran Kinan melalui perubahan mimik wajah Kinan.
Kemudian mata Kinan memilih untuk menatap satu persatu makanan yang dihidangkan Brandon untuknya dan Dipta. Ia menatap Brandon yang juga ikut duduk di antara dirinya dan Dipta. Apakah mereka berdua akan menjadi temannya selama ia mencari jati dirinya yang sebenarnya?
Sebenarnya Kinan masih memikirkan semua yang telah terjadi pada dirinya hari ini. Dari mulai munculnya tato tiga helai daun yang mirip seperti daun sirih di lengan kirinya. Lalu memasuki kota kerajaan di tengah hutan yang tak pernah terpikirkan oleh Kinan sebelumnya, menjelajahi area istana yang penuh dengan teka-teki, hingga ia belajar beladiri yang ia sendiri tak tahu bagaimana ia bisa melakukan itu semua.
Kinan mendongak, “Bagaimana denganku?”
“Kamu bukan bagian dari kami,” Dipta membalas dengan cepat tanpa mengalihkan tatapannya pada nasinya.
Mata Kinan menyala, “Itu maksudku,” Ia menjeda kalimatnya, “Jika aku tidak memiliki kemampuan teleportasi itu, jadi aku bukan bagian dari kalian. Dan aku tidak perlu melakukan ini semua,” Kinan berharap, mereka paham dengan apa yang ia maksudkan. Latihan beladiri untuk pengendalian kekuatan. Ia sendiri tak tahu kekuatan apa yang ia miliki.
Tanpa melepaskan sendok dari jemarinya, Dipta menatap Brandon dengan dahi berkerut. Yang ditatap sedang menghadap Kinan dengan mata seperti sedang meminta penjelasan. Kinan memilih untuk mengabaikan tatapan mata teman kecilnya itu.
“Kamu lebih tahu dari diriku sendiri, Brandon,” ujar Kinan yang kemudian menyuapkan irisan telur putih untuk diirnya sendiri.
“Tadi kamu bilang mau mengetahui asal usul dari tato kamu itu,” kata Brandon mengingatkan tujuan awal dirinya ikut bersama Brandon.
Kinan terdiam sesaat. Tatapannya menatap sebuah figure action yang ia yakini milik Brandon. Atau mungkin adiknya yang masih duduk dibangku pendidikan dasar.
“Setelah mendengar perkataan Dipta, mungkin memang benar aku bukan bagian dari kalian. Mungkin tato ini adalah tato yang dibuat Sheril saat aku tertidur,” kata Kinan yang lebih untuk dirinya sendiri. Ia mecoba menyakinkan dirinya bahwa gambar di lengannya hanya sebuah tato yang digambar oleh Sheril. Teman sebangkunya itu mungkin sengaja mengambar tiga helai daun sirih di lengannya saat ia tertidur.
Kinan meringis sambil mengingat kembali apa saja yang ia dan Sheril lakukan saat mereka bermain di kamarnya lusa lalu. Ia yakin, ia tak melakukan apa-apa selain mengecat kuku bersama lalu pergi ke pesta. []
Di tunggu ya... penasaran soalnya
Comment on chapter TATO ANEH