Jemariku mengetuk meja panjang untuk mengusir sepi, mengenyahkan sunyi. Aku memilih duduk di kursi panjang pojok kiri kantin, tidak sendirian. Seorang siswa berhidung mancung duduk berhadapan denganku, hanya berjarak selebar meja. Siswa yang menurutku berseragam paling rapi itu adalah teman sekelasku. Muhammad Dalvin Mahesa, si manusia es. Selama masa orientasi siswa, serta selama kegiatan pembelajaran di kelas dalam lima hari terakhir ini, aku hanya pernah memergokinya berinteraksi beberapa kali saja. Tanpa senyum.
Entah apa yang menyebabkan mataku menelitinya dari balik kacamata. Secara fisik, ia masuk dalam kategori di atas rata-rata. Hidungnya yang mancung dengan bentuk melengkung yang khas, bibir tipis dengan warna merah muda yang ranum, matanya yang sipit namun tajam, kurus namun tak terlalu buruk. Ia hanya... kurang tinggi untuk ukuran seorang laki-laki.
Lalu kupalingkan wajah menatap langit yang luas tak berujung. Hari ini cuaca begitu cerah untuk pertengahan bulan Agustus. Awan berarak seirama terpaan angin dengan dilatari biru muda yang menenangkan. Suasana alam begitu mendukungku untuk merasa senang, begitu kontras dengan rasa bosan yang menyergapku ketika Mahesa hanya fokus menyantap roti tanpa berniat berbasa-basi. Padahal, untuk remaja yang baru memasuki bangku sekolah menengah atas dan ditakdirkan satu kelas, kami seharusnya sudah akrab sejak masa orientasi bermula.
"Kok, belum pulang?" Tanyaku mencoba peruntungan. Sejenak, ia mengalihkan tatapan padaku sambil meremas plastik kemasan roti dan membentuknya menjadi bulat.
"Masih terlalu siang untuk pulang ke rumah," jawabnya dengan nada datar. Selaras dengan air mukanya yang kaku.
Sejenak kualihkan pandang pada jam dinding kantin, pukul setengah lima sore. Sudah dua jam setengah aku duduk menunggu teman dekat yang kebetulan mengikuti kumpulan ekstrakurikuler hari ini. Belasan kilometer jarak harus kutempuh agar sampai ke sekolah, membuat orang tuaku khawatir jika pulang ataupun berangkat sendirian.
"Rumahku dekat dari sini," ucap Mahesa sambil melirikku. Entah apa yang ada di pikirannya hingga bersuara tanpa ditanya. Aku hanya mengangguk canggung. "Kamu sendiri... kenapa belum pulang?"
"Nunggu teman," jawabku seraya menatap tangan yang berada di atas meja, menghindari tatapannya yang luar biasa intens. Sementara dia terlihat rileks dengan ber-oh ria tanpa suara.
Hening kembali menyergap kami berdua. Menarik nafas pelan, aku memutuskan untuk terus bertanya padanya. Selain untuk perkenalan, aku butuh teman untuk diajak berbicara.
"Ambil ekstrakurikuler apa?" Tanyaku akhirnya.
"English Club, KIR, FASIS," jawabnya dengan tak mengubah nada suara.
"Wah," seruku sedikit tak percaya. "Bukankah setiap siswa hanya boleh mengikuti dua ekstrakurikuler saja?"
Ia hanya mengendikkan bahu tak acuh, kemudian bangkit sejenak untuk melempar kemasan roti yang sudah ia sulap menjadi bola kecil ke dalam keranjang sampah.
"Kamu ambil ekstrakurikuler apa aja?" Tanyanya selepas duduk.
"Pramuka sama jurnalis," jawabku sekenanya.
Ia hanya mengangguk paham sebelum bertanya tentang alasanku memilih kedua ekstrakurikuler itu. Mulai dari sana obrolan kami merembet pada hal-hal lain semacam hobi, bahkan keluarga.
"Anak ke berapa?" Aku kembali melontarkan tanya. Ia memandangku sekilas. Lalu aku menyadari jika pertanyaan yang kuajukan terlalu berani untuk pria dingin sepertinya.
"Kedua," jawabnya dengan nada konstan yang sama sekali tak kuindahkan. Aku hendak kembali mengajukan tanya, tetapi dia lebih dulu menambahkan keterangan, "Dari empat bersaudara. Kakakku perempuan, adikku yang pertama laki-laki, sedangkan yang kedua perempuan."
"Rumah ramai, yaa…" gumamku yang entah berupa tanya entah bukan.
"Kamu punya adik?" Tanyanya tak mengacuhkan tanggapanku.
Aku mengangguk. "Satu. Laki-laki."
"Kakak?" Tanyanya yang kujawab dengan bilangan yang sama seperti jawabanku sebelumnya, dengan gender sebaliknya. Kemudian hening beberapa saat.
"Pernah gak sih orang-orang membandingkan kamu sama saudaramu sendiri?"
"Pernah, sering malah," jawabnya dengan nada yang sedikit jauh lebih bersahabat dibanding sebelumnya. "Kata orang-orang, adikku lebih tampan, lebih tinggi, lebih pandai, intinya… lebih baik dalam segala hal dibanding aku. Tapi, aku memang mengakuinya."
"Memang seperti itu," jawabku mantap. "Kalau anak pertama cantik, maka anak ketiga pun akan memiliki rupa yang baik. Sedangkan anak kedua dan keempat pasti biasa saja. Begitu juga sebaliknya. Biar kutebak, adikmu yang kedua juga mirip kamu, kan?"
Dilontari pertanyaan melantur semacam itu, jemarinya yang tak terlalu besar menggebrak meja kantin sambil bangkit berdiri. Aku berjengit kaget mendapati reaksi tak sukanya. Belum sampai aku sempat memberikan verifikasi tentang jawabanku, tawanya berderai, mengalun dengan jelas di pendengaranku. Sejenak aku tertegun, loh, rupanya dia bisa ketawa juga? Kemudian dengan sisa-sisa tawa, ia kembali menghempaskan tubuhnya di atas kursi panjang.
"Kenapa?" Tanyaku bingung.
"Kamu sadar gak kalau secara tidak langsung kamu sudah mengejek seorang adik di depan kakaknya sendiri?" Tanyanya serius meski masih dengan sisa-sisa tawa.
"Faktanya memang seperti itu," elakku yang membuat tawanya lenyap. "Bukan. Bukan seperti itu maksudku. Aku sendiri seperti itu. Kamu bisa melihat kulitku berwarna sawo matang, sementara kedua saudaraku berkulit putih. Mungkin kalau memiliki seorang adik lagi, aku pasti punya sekutu."
Tawanya kembali terdengar begitu renyah dan lepas. Kali ini aku hanya menatapnya dengan beberapa pertanyaan muncul dalam pikiranku. Namun, aku tidak hanyut dalam pemikiranku sendiri, melainkan tenggelam dalam tawanya yang baru hari ini menguar dari bibir tipisnya. Mahesa, sebenarnya hal lucu apa yang sudah kulakukan?
***