Kusen kayu jati membingkai sorot jingga di ufuk barat, pertanda pelepasan sore menuju malam. Mentari yang berjalan menunduk tertatih-tatih menuju peraduannya masih dapat kulihat dari balik kacamata minus empat setengah yang bertengger di hidung 'apa adanya' milikku. Perlahan, kedua sudut bibirku tertarik ke atas, menyunggingkan pelangi sambil membayangkan senja pada beberapa tahun lalu.
Senjaku masih sama indahnya, tetapi tak lengkap. Senjaku dulu adalah berdiri di bawah pohon besar di tepian jalan. Bersama cinta yang kusembunyikan dalam debar namun tersalurkan saat netra kami—aku dan dia, beradu pandang. Selalu kuhabiskan senja bersamanya—menikmati deru kendaraan yang menguarkan polusi, bertukar senyum disaksikan sorot lampu jalan kekuningan pemecah gelap yang mulai melingkupi, berdiri di bawah daun berguguran menyesapi sunyi.
Dia adalah cinta yang sempat kusesapi berulang kali namun selalu meninggalkan rindu. Dia adalah pengalaman yang memberiku banyak definisi tentang perasaan-perasaan yang sebelumnya tak kuketahui. Dia adalah senyawa yang mampu meledakkan dunia kecil yang semula kuhuni seorang diri bersusah hati.
Dia adalah Mahesa-ku, cinta yang sempat kukecap tanpa kecup di akhir perjumpaannya.
***