Hari ini adalah hari yang paling baik bagi William. Hari dimana puncak dari usahanya akan menuai kata sempurna. Sepanjang hari senyum tak lepas dari bibir William. Suasana hatinya sedang sangat baik. Tak sabar rasanya untuk segera melancarkan aksinya. Sejak tadi malam, ia tak bisa tidur karena senewen membayangkan bagaimana namanya akan membumbung tinggi. Orang-orang akan memujinya, membicarakannya. Semua hanya akan tentang dirinya, William Anantha.
“Sepertinya kalian semakin sering bersama. Dimana ada William selalu ada Gress. Sama sekali tak pernah lepas” seru Vina yang berjalan di belakang bersama dengan Nathan, salah satu teman sekelasnya juga Gress.
Gress menoleh, ia tersenyum. “Kak William hanya sedang menggantikan pendampingku yang tidak bisa datang, Vin”
“Tapi kalian lebih terlihat seperti orang pacaran. Benarkan Vin?” sahut Nathan.
William yang sedari tadi hanya tersenyum lebar kini menoleh ke belakang, menunjukkan senyumnya yang paling manis. Secara diam-diam ia mengedarkan pandanganya, merasa puas ketika ada jauh lebih banyak mahasiswa di sekitarnya. Segera ia rangkul pundak Gress yang labih pendek daripada dirinya.
“Kami memang pacaran” tungkas William dengan suara keras.
“APA?!” teriak Vina dan Nathan.
“Will...” keluh Gress menegur William dengan memukul pundaknya pelan.
“WILL?!” ulang Vina dan Nathan.
Tapi sudah terlanjur. William kembali menggenggam tangan Gress. Ia mendekatkan dirinya pada Gress dan berbisik pelan. “Mereka akan berteriak lebih keras. Lebih baik kita kabur. Ayo lari”
Dan saat itu pula, dibantu oleh aba-aba William, Gress mengambil langkah besar untuk mengimbangi langkah William. Meninggalkan Vina dan Nathan yang masih terdiam tidak percaya sebelum akhirnya heboh sendiri. Pada setiap langkah yang Gress ambil, tak sedikitpun ia ragu. Ia mempercayai arahan William, berlari sekencangnya melewati banyak sekali siluet yang tertangkap pupil abu-abunya. Suara tawa William terdengar menggema, memancing tawa Gress keluar dengan sempurna.
Sebelumnya, orang-orang selalu memintanya berjalan. Mereka melarangnya berlari karena ia buta. Katanya itu demi kebaikannya, agar ia tak menabrak dinding atau tersandung kaki meja. Orang-orang khawatir ia akan jatuh dan terluka. Tapi tak ada dari mereka yang mengerti bahwa ia juga ingin berlari. Merasakan anak-anak rambut sebahunya diterpa angin. Menembuskan wajahnya dalam setiap butiran udara. Melihat sebesar apa ia bisa melangkah. Dan William mengambulkan semua itu. Ia memberikan arahan agar Gress tidak menabrak dan terjauh. Untuk orang seperti itu, kenapa Gress harus menganggapnya aneh hanya karena mendekatinya yang buta? Maka perlahan, kepercayaan pada William tumbuh dalam hati seorang Gressy. Bukankah kita memang harus percaya pada pasangan kita?
***
Hidup adalah tentang kebebasan, dan hakikat kebebasan Gress adalah ketika ia sadar dirinya jauh lebih beruntung daripada teman-teman yang senasib dengan dirinya. Meskipun terlahir dengan kondisi pupil berwarna abu-abu, tapi Gress masih bisa melihat siluet-siluet bergaris. Mereka bersatu dan membentuk sebuah gambaran ketika retinanya fokus pada satu bidikan. Sialnya, mereka bisa menjadi bumerang ketika terlalu banyak siluet yang tertangkap dan garis-garis itu bercampur aduk menjadi satu dan terus bergerak cepat hingga membuat kepala Gress terasa pecah. Itulah alasan kenapa Gress selalu fokus pada satu hal.
Ia tidak ingin membunuh dirinya sendiri, tapi setelah William datang dan mengisi kehidupan kampusnya, fokusnya banyak hilang. William yang populer membuatnya harus bertemu banyak sekali eksistensi lain. Penglihatannya kacau dan pendengarannya pecah. Terlebih ketika kabar ia berpacaran dengan William sudah menyebar, membuatnya semakin banyak diperbincangkan. Setiap langkah, selalu ada suara yang tertangkap dari siluet yang tak karuan. Inilah saat-saat Gress paling membenci kondisinya. Tapi ia sudah tahu benar, cepat atau lambat ia akan menghadapi situasi seperti ini.
Suara debuman setiap kali bola basket itu memantul membuat Gress yakin ia sedang melewati lapangan basket. Tidak seperti biasanya, kali ini situasinya sangat sepi. Hanya suara pantulan bola basket saja yang tertangkap gendang telinganya. Tanpa sadar senyum Gress mengembang karena telah bebas dari kantin yang ramai dan penuh. Ia merapatkan jaketnya. Udara Malang sedang dingin, bahkan meskipun sudah jam setengah sembilan pagi.
Sial bagi Gress, ketenangan sementara yang ia dapatkan dari lapangan basket harus dibayar dengan sebuah bola yang terhantam pada lengannya dan membuat tongkatnya jatuh. Gress oleng, tapi tak sampai terjatuh. Ia segera jongkok untuk menemukan tongkatnya saat sebuah suara langkah kaki yang berlari terdengar. Kemudian sebuah tangan menarik tangannya untuk meletakkan tongkat yang ia cari.
“Ini tongkatmu. Maafkan aku. Maaf” pinta suara asing yang belum pernah Gress dengar.
Gress berdiri. Suaranya yang bass namun riang membuat Gress tahu yang punya adalah seorang periang. Tapi harum laki-laki itu sama sekali tidak bisa ia cium, mungkin karena keringat setelah bermain basket. “Tidak apa-apa. Terima kasih”
“Kau pacarnya William kan?”
Gress yang baru melangkah, terpaksa berhenti dan kemudian berbalik ke sumber suara sebelum akhirnya mengangguk.
“Waaa aku memang ahli dalam mengingat seseorang. Perkenalkan, namaku Beni, teman William. Kau Gressy kan? Akhir-akhir ini kau begitu populer”
Gress tersenyum, “Tapi tidak sepopuler Kak Beni”
“Ya, aku tahu. Dimana William?”
“Kak William sedang ada kelas, Kak”
“Dan membiarkan pacarnya sendirian? Ck, bocah itu. Kau ada pendampingkan?”
Dengan cepat Gress mengangguk, “Ada, tapi baru datang nanti saat aku kelas”
Untuk beberapa saat Beni tidak lagi bertanya. Ia sibuk menatap pupil abu-abu Gress yang entah kenapa terlihat sangat cantik meskipun tak mampu merespon tatapannya. Kelopak mata Gress yang memiliki lipatan mata ganda membuat mata itu terlihat besar dan panjang. Saat mata itu berkedip dan membuka, rasanya seperti melihat gerakan slow motion. Beni terpukau.
“Kak Ben?” panggil Gress membuat Beni tersentak.
“Ya, Ya. Hmmm kau mau kemana?”
“Ke akademik lantai empat”
“Ayo, aku antar”
Awalnya Gress menolak, tapi Beni ternyata juga sama berkepala batunya dengan William. Tidak heran jika mereka bisa berteman lama jika melihat sifat mereka itu. Tapi Beni lebih periang daripada William. Ia banyak berbicara dan memiliki selera humor tinggi. Tipe orang yang seru dan asyik saat diajak ngobrol. Meskipun baru mengenal pagi ini, tapi Gress sudah merasa nyaman berbincang dengan Beni. Bahkan mereka menjadi yang paling heboh di antara mahasiswa lain yang juga mengantri di depan akademik untuk mengambil Kartu Mahasiswa.
Di tengah tawanya, Beni tak sengaja melihat William yang baru saja datang. Ia segera melambaikan tangan dan memanggilnya. Gress cukup senang dengan kedatangan William. Ia ingin memberitahukan bahwa Beni, teman William, sangat menyenangkan. Tapi suara William terdengar berbeda ketika Beni bertanya untuk apa ke akademik. Jawabnnya singkat dan datar “Mengembalikan absen”. Saat itu, baik Beni maupun Gress menyadari ketidak sukaan William melihat mereka bersama.
“Mau mengambil KTM, Gress?” tanya William yang mengabaikan guyonan Beni.
“Iya, Kak”
“Mana, biar aku saja yang ambil. Berikan tanda tanganmu” titah William tegas.
Tidak ada penolakan, dan itu yang sedang diterapkan William sekarang. Jadi, Gress menganggu saja dan mengeluarkan kertas serta pena untuk mencontohkan tanda tangannya. Setelah dirasa William sudah pergi, Gress tak berani memulai pembicaraan sama sekali dengan Beni. Suasana menjadi canggung. Beni hanya sesekali bertanya, yang dijawab dengan singkat oleh Gress.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya William selesai mengambil KTM Gress. Ia yang tidak memiliki kelas lagi, mengajak Gress untuk turun dan meninggalkan Beni. “Ck, dasar bocah” decak Beni kesal.
William membawa Gress ke taman fakultas. Taman ini tidak terlalu besar namun sangat rindang dan memiliki udara paling bersih. Banyak mahasiswa yang berkumpul di sini, baik mengerjakan tugas, rapat, atau hanya sekedar duduk-duduk. Kursi kayu panjang dengan meja berbentuk bundar itu menjadi satu-satunya tumpuan tangan Gress saat menunggu William yang berpamitan membeli minuman. Saat William datang dan memberikan segelas teh racik pada Gress, mulai saat itu pula tak ada pembicaraan di antara keduanya. William seperti tak main-main dengan amarahnya.
“Aku tidak suka kau dekat dengan Beni” mulai William langsung pada inti pembicaraan.
“Tapi Kak Beni hanya mengantarku dan menemaniku”
“Aku tahu, dan itu yang tidak aku suka. Lain kali, jika pendampingmu tidak bisa datang, kabari aku”
Gress mengangguk. Ia tidak bisa mengatakan William keterlaluan, karena mungkin seperti itulah yang namanya pacaran. Sesantai apapun seorang laki-laki, tetap tidak akan suka jika perempuannya dekat dengan laki-laki lain. Seharusnya Gress tahu itu. Meskipun tidak sepenuhnya suka, tapi Gress bisa menerima dan memahami perasaan William. Ia harus bisa menerima bahwa seperti itulah cara William menjalankan hubungan ini. Lagi pula, Gress sudah memutuskan untuk percaya pada William, maka tidak ada alasan lagi selain belajar memahami dan memperbaiki diri.
Nice. Cuma mungkin ada beberapa kata yang aslinya bukan typo, tapi salah eja. Misalnya : mencegat bukan menyegat dan perangai bukan peringai. Ganbatte!!
Comment on chapter BAB 1