Kugenggam handphoneku erat-erat. Tiba-tiba, terdengar dering menandakan bahwa satu pesan telah diterima. Cepat-cepat kubuka pesan itu. Isinya, “Apa kabar, Roy? I hope you are doing fine. Oya, bulan ini gw bakal balik dari Amsterdam. Meet up, yuk! – your very best mate, Dhira.” Jantungku seketika berdegup kencang. Dhira? Siapa Dhira? Aku tak pernah punya teman bernama Dhira. Tapi, mengapa nama itu tak asing di telingaku? Ah, sudahlah, mungkin sms nyasar. Aku pun segera meneruskan langkahku dan berjalan menuju parkiran mobil.
***
“Halo sayang, gimana tadi meetingnya? Sukses?” sapa istriku sambil membawakan tas kerjaku.
“Sukses,” jawabku datar dan tersenyum tipis.
Sontak, istriku langsung curiga dengan sikapku yang aneh hari ini. Ia pun bertanya,”Kamu kenapa?”
Aku hanya diam. Lebih tepatnya, aku tak tahu harus menjawab apa. Sejak pesan dari orang bernama Dhiraa tadi kuterima, perasaanku berubah. Hatiku bingung dan tak tenang. Siapakah Dhira? Mengapa membaca namanya saja hatiku gelisah?
“Aku hanya capek, Nadine.” jawabku singkat.
Istriku mengangguk tanda mengerti dan meninggalkanku di kamar sendirian. Pertanyaan-pertanyaan tadi masih menyelimuti pikiranku. Akhirnya, karena tak tahan lagi, aku pun mengambil handphoneku dan menelepon “Dhira, my very best mate” yang entah tidak tahu dari mana asalnya.
“Halo, Roy ya?” sapa suara di ujung sana.
Terjawab sudah pertanyaanku beberapa menit lalu, tentang siapa Dhira.
“Iii-ya, Dhira.”
“Roy, lo apa kabar? Why it took so long to reply my text? Are you that busy? Gila lo ya, udah jadi eksekutif muda sekarang,” lanjut Dhira.
“Baik, kamu sendiri gimana? Iya ya, kamu juga, udah jadi dubes gitu, kenapa balik?” tanyaku tanpa berpikir panjang.
“Gue baik. Iya nih, gue balik soalnya ada piagam kerja sama Indonesia-Belanda yang harus gue tandatangani. Sekalian reuni juga sama anak-anak. Oh ya, Nadine apa kabar?”
Ketika pertanyaan itu keluar, hatiku langsung menciut, tak tahu harus berbuat apa.
“Nadine? Oh, she’s doing good.” Ucapku dengan nada yang dibuat santai.
“Are you okay, Roy?” Tanya Dhira yang sadar akan perubahan nada yang kuucapkan.
‘I’m okay, just need a little bit rest. Jadi, kamu pulang tanggal berapa? Let’s meet up!” ucapku se-natural mungkin.
“Tanggal 14 bulan ini,” jawabnya singkat.
Kulihat kalender di atas meja kerjaku. Hari ini menunjukkan tanggal 12. Berarti, 2 hari lagi. Dua hari lagi untuk bersiap-siap.
“Okay, ketemu di mana?”
“Melrose Coffee Shop, 5PM. I hope you can make it on time despite of your duties as a CEO,” ucapnya sambil bercanda.
Aku pun tertawa. Lepas. Biar kuulangi lagi, l e p a s. Lepas, tanpa beban, santai, nikmat. Sudah lama sekali aku merasakan sensasi seperti ini. Enggan rasanya, jika harus mematikan telepon ini.
“Eh, Roy, gue tutup dulu ya, ada telepon urgent nih, see you on Thursday,”
Sambungan pun putus. Seketika aku merasa… entahlah, sedih tidak, tapi seperti ada sesuatu yang pergi dari diriku. Entah apa itu.
***
Sinar matahari memasuki jendela kamarku. Hawa secangkir kopi panas dan roti cinnamon panggang tercium harum oleh hidungku. Masakan Nadine memang terkenal enaknya. Bahkan para teman dan kolega yang sering berkunjung ke rumah ini, selalu ingin menambah masakan Nadine. Tapi, berbeda denganku. Memang, masakan Nadine selalu tercium harum olehku. Namun, ketika makanan tersebut menyentuh ujung lidahku, semua terasa hambar. Aku pun tak tahu penyebabnya sampai saat ini.
Aku pun bangun dari tempat tidurku dan segera mandi. Setelah selesai mandi dan memakai baju, aku pun langsung meminum segelas kopi panas dan memakan roti cinnamon yang sudah disiapkan oleh Nadine.
“How’s my cooking, darling?” Tanya Nadine dengan muka berseri-seri.
Seperti biasanya, aku akan mengatakan, “Brilliant,” dan Nadine pasti akan tersenyum bahagia.
Tapi berbeda dengan hari ini, aku memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya.
“Hambar dine, sorry,”
Nadine pun tertunduk. Ia terdiam. Tak mengeluarkan satu suarapun.
Tiba-tiba ia bertanya, “Roy, apakah kau sungguh mencintaiku?”
Aku pun kaget, dan langsung menjawab, “Jangan konyol dine, of course, kalau tidak, mengapa aku memutuskan untuk menikahimu in the first place?”
“Kau jangan bohong Roy! Aku tahu selama ini hatimu tidak benar-benar terarah padaku. There is someone out there, I know!” teriaknya hampir menangis.
“Tidak, kau salah paham dine, aku tak pernah berselingkuh! Aku hanya capek dan banyak pikiran, dan sekarang kau berteriak-teriak seperti anak kecil di depanku. What do you expect from me?” tanyaku lugas.
“Bukan Roy, aku tak menuduhmu selingkuh atau apapun itu, in fact, you are too loyal to me. Tapi, ada seseorang di luar sana yang win your heart long ago before we got married. You just don’t realize it. That’s why makananku terasa hambar. Aku sudah menduganya dari awal kita menikah. 5 tahun kita telah menikah dan kau selalu memuji masakanku dengan kata ‘Brilliant’ namun raut mukamu berkata sebaliknya. Kau kira aku tak tahu? Kau kira aku buta? Aku tahu, Roy. Hanya saja aku menunggu waktu yang tepat.” Ucapnya dengan nada marah.
“Kau bicara apa sih? Pagi-pagi udah non-sense banget, udah ah, aku pergi kerja dulu, pagi-pagi udah ruin my mood,” kataku ketus.
Pagi itu pun diakhiri oleh dentuman sepatu yang melangkahkan kaki ke garasi serta tangisan seorang istri tentang suaminya.
***
Malam ini pun aku memutuskan untuk menginap di luar rumah. Di dalam hotel aku berpikir. Mungkin saja Nadine benar. Tapi siapa orang itu? Selama ini aku selalu sibuk dan tidak pernah memusingkan masalah masakan Nadine yang terasa hambar di mulutku. Yang aku tahu hanyalah, kerja, omset, dan profit. Tidak pernah terpikirkan olehku mengapa aku memilih Nadine, bagaimana perasaanku dengannya, dan bagaimana sampai sekarang aku masih bisa bertahan dengannya. Nadine baik, cantik, bertanggung jawab, pokoknya semua kriteria istri idaman ada padanya. Kami memang memiliki ketertarikan pada awal pertemuan kami, dan seiring berjalannya waktu, aku yakin bahwa ia adalah orang yang tepat. Tapi, setelah ia mengatakan hal-yang-menurutku-tidak-penting tadi pagi, aku mulai bertanya-tanya. Apakah benar aku mencintai Nadine? Apakah benar aku bahagia bersamanya? Is she really the one for me? Kalau memang benar ia diciptakan untukku, mengapa aku merasa “tak apa” sekarang walaupun sudah membuatnya sedih? Mengapa?
Satu kata itu berkecamuk di pikiranku sepanjang malam hingga pagi hari tiba. Tapi, saat sinar matahari mulai memasuki kamar hotel, aku merasa berbeda. Aku tak merasa sedih seperti kemarin atau bingung seperti dua hari yang lalu. Hari ini aku merasa tenang dan damai.
Jam dinding pun sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aku pun segera bersiap-siap ke kantor. Sesampainya di kantor, ada pesan yang terletak di mejaku. Begini isinya:
“Nanti jadi kan di Melrose? Can’t wait to see you. –Dhira”
Seketika aku sadar. Hari ini tanggal 14. Hari pertemuanku dengan Dhira kedua kalinya sejak kejadian itu. Bagaimana aku harus menghadapinya nanti? Apakah aku harus berpura-pura padanya agar dapat pulang lebih cepat? Bagaimana? Aku masih belum siap.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku segera bergegas mengambil jasku dan berjalan keluar ruangan. Selama perjalanan menuju Melrose, hatiku tak tenang. Ada sesuatu yang ganjal di hatiku yang meminta untuk dikeluarkan. Entahlah, aku hanya berharap hari ini aku dapat menyelesaikan semuanya. Menjawab pertanyaanku, juga mungkin pertanyaannya.
Dhira sudah duduk di salah satu meja dekat dengan jendela ketika aku memasuki Melrose. Ia hanya menoleh ke arah luar sambil termenung. Mungkin, ia juga memikirkan hal yang sama sepertiku, atau tidak. Seketika itu juga, ia melihatku dan menyapaku. Aku membalas sapaannya dan segera menuju ke tempat ia duduk.
“Udah pesan?” tanyaku basa-basi.
“Udah, lo pesen deh. Mbak, caramel macchiatonya tambah satu lagi ya,” ujarnya sambil memanggil salah satu waitress.
Aku hanya mengangguk setuju. Ia pun diam, tak banyak bertanya. Kami berdua hanya diam. Semuanya terasa hening, walaupun seisi ruangan sibuk tertawa dan bercengkrama dengan riuh. Keheningan ini pun menyesakkan paru-paruku dan memaksaku berbicara.
“Dhira, kau apa kabar?” tanyaku pelan, hampir tak terdengar.
“Gue baik, Roy. Lo nape sih? Serius banget tanyanya. Gue yakin lo juga baik, eksekutif muda.” Jawabnya santai.
“Maaf Ibu Dubes, eksekutif jarang ketemu pejabat besar, jadi bawaanya serius terus,” kataku sambil tertawa ringan.
Percakapan kami berjalan sangat lancar dan mengalir seperti biasa, hingga ada satu kalimat yang keluar dari bibir kecil itu.
“Mana Nadine? I thought you were coming with her. Gue kangen sama dia,” ujarnya dengan bertanya-tanya.
“Oh, Nadine lagi di rumah, aku nggak sempet jemput dia,” jawabku spontan.
Sebenarnya, aku ingin menjawab dengan jujur, namun mulut ini terkunci rapat seolah tak mengijinkan satu kata pun keluar. Dhira pun terdiam untuk beberapa saat, dan akhirnya ia berkata,
“Roy, are you really okay?”
Aku pun tak tahan, akhirnya aku pun menjawab, “No, I’m not.”
Dhira pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju tempat dudukku. Ia pun dengan spontan memelukku. Aku pun kaget. Namun, aku hanya tetap berdiam di tempatku. Tak bisa menolak. Hanya bisa menerima. I cannot lie. I miss this kind of feeling. It’s been so long since I felt this kind of embrace.
“Roy, I hope you are doing good as always. I missed you,” ucapnya lirih.
“I miss you too,” balasku pelan.
Aku pun segera berdiri dan membalas pelukannya. Kami pun berpelukan selama kurang lebih 3 menit. Namun, dalam waktu yang singkat itu, I feel like forever. Aku merasa enggan untuk melepas pelukannya. Banyak pertanyaan yang tak terjawab dan perasaan yang melimpah ruah tertuang dalam 3 menit yang singkat itu. Setelah 3 menit itu berakhir, terjawab semua pertanyaanku selama ini.
Sejak awal aku seharusnya sudah menyadari, bahwa “someone else” yang dimaksud oleh Nadine adalah Dhira. Dhira yang selalu ada dalam hatiku, jauh sebelum aku mengikat hubungan dengan Nadine. Dhira yang selalu menyinari pagiku dan menyisakan sedikit kehangatan untuk dapat kurasakan walau pagi telah berlalu. Dhira yang kucampakkan, demi keegoisan duniawiku akan martabat dan harga diri.
Jika kuingat Dhira lebih lanjut, Dhira adalah sosok sahabat lama sejak SMA. Ia bersahabat karib dengan Nadine. Pertemanan kami berawal dari Nadine yang mengenalkanku padanya. Awalnya, aku hanya melihat Dhira sebagai kawan yang baik. Selanjutnya, persahabatan kami semakin erat. Namun, Nadine memasuki jembatan antara kami. Saat itu pun aku langsung “memilih” Nadine, tanpa tahu perasaan Dhira yang sebenarnya. Persahabatan mereka pun retak, dan itu semua karena aku, Roy Saputra, pencundang nomor satu di dunia.
Tapi, semakin lama semakin aku menyadari. Nadine hanya seperti bunga mawar merah. Indah, wangi, dan harum, namun memiliki duri di setiap tangkainya. Dan duri-duri itu seolah-olah membuatku terluka setiap saat. Namun, aku tak menghiraukan duri-duri itu, karena aku melihat masih ada keindahan dan keharuman tersisa di bunga itu.
Berbeda dengan Dhira. Memang Dhira tak seindah dan seharum bunga mawar. Tapi, Dhira adalah “Dhira”. Dan ia akan selalu menjadi Dhira. Dhira selalu menjadi dirinya sendiri, ia tidak pernah berpura-pura. Ia tidak pernah memakai suatu ‘kedok’ untuk berkamuflase dengan sekelilingnya. Dan apa yang aku rasakan dengannya, berbeda. Walau kami duduk berdiam, tidak berucap suatu kata pun, atom-atom serta molekul-molekul yang tersusun dalam tubuh ini, menemukan pasangannya satu sama lain, sehingga semua terasa lengkap.
Aku pun berkata,”Dhira, I am finally home. Aku pulang,”
Dhira pun hanya tersenyum kecil dan mengangguk, tanda mengerti. Sisa malam itu pun kami habiskan dengan berbincang santai, tanpa memikirkan hal selanjutnya. Namun kami percaya, bahwa someday alam semesta akan mengabulkan permintaan kami.