Jakarta, tiga bulan sebelumnya,
Malam itu, sebuah aula besar berkapasitas lima ribu orang di ibu kota sedang menggelar hajatan besar. Tidak ada kursi yang kosong. Semua terisi penuh. Suasana begitu riuh. Sesekali yel-yel bersahut-sahutan dari deretan kursing samping dan belakang. Sumbernya adalah para mahasiswa yang memakai beraneka rupa jas almamater. Mereka datang dari seluruh penjuru negeri untuk mendukung delegasi kampus mereka dalam malam puncak Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) tingkat nasional.
Bara duduk di salah satu kursi deretan depan. Ia terpisah dari teman-teman universitasnya karena malam itu ia menjadi tamu spesial. Di sebelah kanannya, ada Papa yang menatap ke panggung dengan wajah penuh kebanggaan. Di sebelah Papa, ada Mama yang matanya berkaca-kaca karena terharu. Baru saja pembawa acara membacakan nama peraih gelar juara umum Mahasiswa Berprestasi Nasional (Mapresnas) tahun ini.
“Tirta Mahesa Wibawa!!!”
Seluruh hadirin berdiri memberikan tepuk tangan yang sangat meriah dan tidak berhenti sampai beberapa menit lamanya. Sekelompok mahasiswa berjas almamater biru gelap dengan panji-panji kuning-biru-kuning langsung bersorak. Dari deretan kursi belakang mereka mengelu-elukan jagoan kampus mereka itu.
“Tirta! Tirta! Tirta! Tirta!”
Bara mendengar dengan jelas tepuk tangan dan sorakan itu. Ia juga bisa melihat dari dekat raut bahagia Papa dan Mama dengan hasil yang diraih oleh putra mereka. Sementara itu, sesosok pemuda berjas hitam dengan dasi biru yang sebelumnya duduk di sebelah kirinya langsung berdiri. Pemuda itu kemudian maju ke atas panggung untuk menerima piala dan hadiah yang akan diserahkan langsung oleh Menristekdikti[1].
Seperti yang sudah-sudah, Bara hanya bisa mengamati langkah tegap bersahaja Tirta dari balik punggungnya. Punggung yang entah kapan bisa dikejarnya. Momen seperti ini sudah sering ia rasakan. Bukan sekali dua kali, tetapi berpuluh kali sejak mereka berdua masih duduk di bangku sekolah dasar. Saking seringnya, ia sampai bosan. Bahkan dalam acara ini, ia sempat menolak untuk duduk di kursi kehormatan keluarga kandidat. Karena ia tahu, meskipun duduk di kursi spesial itu, ia sejatinya hanya pelengkap. Tokoh utamanya tetaplah Tirta, saudara kembar identiknya. Setelah perdebatan panjang, ia terpaksa duduk di sana dengan alasan tidak ingin membuat Papa dan Mama malu.
“Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya, Ir. Mahesa Wibawa dan Dra. Siti Khadijah, serta saudara kembar saya, Bara Mahesa Wibawa,” ucap Tirta dalam sambutannya.
Bagi orang lain, disebut dalam sambutan kemenangan saudara mereka di ajang nasional bergengsi bisa jadi sangat membanggakan. Namun, bagi Bara tidak. Ia bahkan sedikit risih ketika mendengar kata ‘saudara kembar saya’ yang seakan mengirim sinyal kepada khalayak ramai kalau di ruangan itu ada seorang pecundang yang tidak pernah memenangi apapun meskipun telah berbagi nasib dan kehidupan dengan seorang juara sejak dalam kandungan. Kemenangan terakhirnya adalah saat ia lahir terlebih dahulu empat setengah menit dari rahim Mama. Itulah empat setengah menit terbaik dalam hidupnya. Setelah itu, Tirta tak pernah terkalahkan.
Tirta telah membuat bangga keluarga besar, sementara dirinya tidak bisa memberikan apa-apa selain capaian standar. Mungkin satu-satunya capaian yang membuatnya setara dengan Tirta adalah ketika berhasil diterima di jurusan manajemen di kampus terbesar di kota mereka. Sementara Tirta diterima di jurusan hubungan internasional di kampus yang sama untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang diplomat. Namun, setelah itu, karier akademik dan kemahasiswaan mereka berbeda seratus delapan puluh derajat. Ketika Bara harus berjuang mati-matian untuk meraih minimal IPK 3,5 seperti yang ditetapkan Papa, nilai Tirta malah tidak pernah tidak cumlaude. Bahkan, IPK terakhirnya adalah 3,96. Nyaris sempurna.
Sementara itu, di dunia organisasi, siapa mahasiswa yang tidak mengenal Tirta sang juara? Ia berhasil menghidupkan kembali klub debat universitas dan membuat organisasi yang telah mati suri itu mampu bangkit dan berprestasi di tingkat nasional, bahkan internasional. Lalu, sudah tak terhitung lagi kompetisi baik kelompok maupun individu yang telah dimenanginya. Terakhir, Tirta terpilih sebagai menteri akademik dan prestasi di badan eksekutif mahasiswa universitas, posisi yang sangat pas untuk peraih gelar Mawapres seperti dirinya. Sebaliknya, karier Bara tidak pernah mentas dari status staf di setiap organisasi yang diikutinya. Itulah mengapa, banyak teman-temannya yang membandingkan dirinya dengan Tirta yang memiliki capaian mentereng. Perbedaan mereka berdua bagai langit dan bumi. Terlalu jauh.
“Ini ya saudara kembar Tirta yang tadi disebut dalam sambutan?” tanya Pak Menteri saat sesi pemberian ucapan selamat kepada keluarga oleh para hadirin.
“Betul, Pak,” jawab Tirta.
“Benar-benar mirip ya. Saya sampai tidak bisa membedakan.”
“Iya. Kami memang kembar identik. Tapi Bara lebih tua beberapa menit dari saya. Hehehe....” Tirta terkekeh.
“Iya, dong. Kalau lebih tua beberapa tahun, bukan saudara kembar namanya. Hahahaha!”
Tirta dan Pak Menteri tertawa bersama.
Papa dan Mama tak bisa menyembunyikan rasa bahagia ketika melihat putra mereka bisa berinteraksi secara luwes dengan seorang pejabat negara. Bara yang dari tadi mengikuti mereka berdua memasang wajah cuek.
“Maaf, siapa namanya tadi?” tanya Pak Menteri ke Tirta, meskipun sebenarnya ia bisa bertanya langsung kepada Bara.
“Bara,” jawab Tirta, melirik saudara kembarnya sambil tersenyum. Bara sama sekali tak terpengaruh dengan senyuman itu.
“Oh, Bara dan Tirta. Api dan air. Papa dan Mamamu sangat pandai memberi nama.”
Papa dan Mama tersenyum mendengar pujian itu. Kini perhatian Pak Menteri beralih ke mereka berdua.
“Saya ucapkan selamat kepada Bapak dan Ibu, karena putra Anda benar-benar membanggakan. Saya telah memeriksa sendiri rekam jejak para kandidat. Putra Anda memang yang terbaik dan layak memenangkan kejuaraan ini,” kata Pak Menteri.
“Terima kasih, Pak Menteri,” sambut Papa. “Itu berkat kerja keras Tirta. Kami sebagai orang tua hanya punya kewajiban mendukung.”
Setelah berbincang sejenak, Pak Menteri undur diri. Namun sebelum pergi, beliau bertanya kepada Tirta. “What’s next, Tirta? Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
“Bulan September ini saya akan berangkat ke Amerika, Pak,” terang Tirta. “Pekan lalu saya mendapat berita kalau diterima di program Amherst Fellowship di negara bagian Massachusetts.”
Bara sangat terkejut mendengar kabar itu. Ia merasa kecolongan. Rasanya, selama ini Tirta tidak pernah bercerita soal berangkat ke Amerika. Papa dan Mama juga sama. Pasti mereka sudah tahu lebih dulu. Bara pun curiga, apakah mereka semua menyembunyikan berita itu darinya? Seketika ia merasa dilupakan. Apakah keluarga ini masih menganggapku sebagai bagian dari mereka? batin Bara.
“Good job, Tirta!” ungkap Pak Menteri. “Saya akan sangat senang mendengar ceritamu sepulang dari Amerika.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan menantikan saat itu tiba.”
“Sampai jumpa lagi di lain kesempatan.”
Setelah Pak Menteri pergi, giliran pejabat kementerian lain dan hadirin lain yang memberikan selamat. Bara yang merasa menjadi figuran mundur perlahan. Selangkah demi selangkah ia pergi menjauh dari kedua orang tua dan saudara kembarnya. Sampai mereka bertiga tidak sadar kalau dirinya sudah menghilang di tengah keramaian. []
[1] Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi