Kenapa begitu sulit, jika cinta adalah sebuah lagu maka aku akan bersenandung. Kalau aku tidak bisa menjadi bagian harmoni mu, maka ijinkanlah aku bernyanyi sekedar mengingatmu. Paling tidak itu yang bisa aku lakukan. Jangan protes!
Aku melihat ke depan cermin seukuran tubuh dan memandang sosok gadis berseragam SMA di depan sana. Rambut hitam tergerai dengan poni menyentuh alis, polesan bedak tipis di wajah, serta pelembab bibir warna alami. Setidaknya begini penampilan yang dapat ku usahakan agar terlihat biasa saja. Bukan nya sombong, aku memang terlahir dengan wajah yang lumayan cantik. Mata coklat terang dengan hidung mancung memang cukup populer untuk membuat seseorang kelihatan cantik. Tapi sepertinya kalian harus berpikir minimal 27 kali untuk iri denganku. Karena menjadi cantik tidak selamanya membuat hidupmu seindah drama korea atau membuatmu dapat memacari semua laki-laki populer di kelas. Wajah tidak selamanya menjadi patok seseorang dapat bahagia dengan hidupnya.
Aku menyemprotkan parfum ke sekitar badan ku. Perfect. Aku terlihat seperti murid sekolah biasa. Walaupun tubuh tinggi ini tak bisa ku sembunyikan, setidaknya usahaku untuk terlihat biasa lumayan berhasil.
“ Sampai kapan kamu mau bergaya di depan cermin? Kalau mau, nanti ayah daftarin gadis sampul “
Aku menoleh dan melihat pria paruh baya tengah mengintip dari sela pintu kemudian melenggang pergi dengan segelas kopi di tangan. Pria bertubuh gempal dengan jenggot tipis di dagu yang kadang membuatku geli ketika ia mencium keningku itu adalah ayahku.
“Ish... apasih yah.“
Aku mengambil tas coklat yang tergeletak di atas kasur lalu turun menyusul ayah untuk menikmati sarapan. Namun, sebelum itu, aku sempat menghabiskan waktu sekitar 12 menit untuk membuka pintu kamar yang terbuat dari kayu jati asli dengan tebal 7 cm. Tidak percaya? Sudah percaya saja, aku pernah mengukurnya. Rasanya aku ingin membuang kayu itu atau lebih baik menjualnya saja. Lalu uangnya bisa ku gunakan untuk membeli pintu doraemon yang lebih canggih. Pintu yang membuat mood pagiku tergoncang itu memang masih baru makanya sulit untuk dibuka. Tapi, bukan hanya pintunya sih, tapi seluruh barang dan rumah ini pun baru. Aku baru saja pindah dan tinggal di rumah mungil berlantai dua ini semalam. Bahkan kotak kardus besar masih menumpuk hampir menyentuh atap di kamarku. Kamar yang jika membawa 5 orang teman saja sudah membuat kami akan berebut oksigen. Tapi jelas bahwa aku tak dapat mengeluh dengan semua ini karena bukan tanpa alasan aku dan ayah pindah kemari.
“Nanti sore ayah ngga bisa jemput, pulang sendiri sudah bisa kan? "
Aku menarik kursi makan yang berada persis di depan ayah dan duduk. Sepiring nasi dan telur dadar dengan potongan bawang serta cabai favoritku menjadi pengobat mood yang sempat rombak.
“Bisalah, anak ayah sudah punya ktp.“ Kataku sambil memasukkan sesendok karbohidrat ke tubuh ku.
Masakan ayah memang yang terbaik. Sebenarnya tugas kami sudah dibagi dalam mengurus rumah. Ayah sebagai chef ahli dan aku jelas saja sebagai tukang bersih-bersih dan laundry. Jika kalian bertanya kemana ibuku, jawabannya klise. Ibu sudah meninggalkan kami ketika aku masih sibuk mengompol di kelas. Meninggalkan dalam arti sungguhan, aku sungguh tidak begitu peduli dengan ibu. Kehadiran ayah sudah cukup menjadi dopaminku untuk saat ini.
“Ayah mau minta tolong sebelum kamu berangkat, antarkan ini buat tetangga sebelah.“ Ayah memberikan sebuah paper bag dengan isi penuh dan meletakannya di depanku. Mataku menyipit untuk menerka ada apa di dalam sana.
“Tumben...“ kataku dalam hati.
Lalu ayah melanjutkan suruhannya. “Tadi pagi-pagi banget, anak laki-laki tetangga sebelah mengantarkan kue, makanya kamu antarkan ini sebagai ucapan terimakasih “
Aku hanya ber-oh ria dan segera menghabiskan sarapanku. Sejujurnya ingin sekali ku meminta ayah mengganti pintu kayu di kamar dengan gorden, setidaknya itu lebih baik daripada harus menguras emosi setiap pagi. Tapi melihatnya tengah fokus dengan kerutan di dahi yang semakin terlihat jelas, niat itu ku urungkan.
“Aku berangkat yah.“ sambil mencium tangan ayah seperti para anak berbakti lainnya sebelum berangkat sekolah dan tidak lupa membawa paper bag untuk tetangga sebelah.
Ternyata 5 menit berhargaku kembali terbuang sia-sia karena pagar rumah ini sama menyebalkannya dengan pintu kamarku. Yey, benar-benar Happy Monster Day. Dengan berusaha tersenyum ramah, aku menyapa tetangga sebelah dan memberinya paper bag tadi. Kabar baiknya, disana aku menghabiskan banyak menit berhargaku lagi untuk mendengarkan seorang wanita paruh baya yang mengatakan aku cantik dan akan mengenalkanku pada anaknya yang katanya tampan. Aku berharap anaknya bukan lelaki kepala 3 dengan kumis tebal dan bulu hidung yang menjuntai keluar. Aku harap bukan.
Untung saja kesialanku tidak berlanjut pagi ini. Jalanan lancar dan angkot yang padat membuatku tidak harus berjemur di lapangan ketika upacara pertama baru dimulai. Aku berjalan seperti biasa di antara siswa lain yang bercanda dan mengobrol memasuki gerbang sekolah. Beberapa kali orang yang sepertinya ku kenal menyapa dan hanya ku balas senyum tipis. Kelihatan atau tidak ya masa bodo.
“Heh kamu yang rambutnya botak dasi kamu mana?! “
Hampir saja aku melupakan suara dan sosok paling viral di sekolah. Persis di depan gerbang sana, seorang pria tinggi, berkulit hitam, dan berperut buncit berdiri dengan mulut sibuk mengomel. Logat timur begitu terasa darinya. Kami biasa memanggilnya pak Ambon. Guru BP yang satu itu memang salah satu guru yang paling sering masuk ke dalam gosipan anak-anak sekolah termasuk aku. Meski terlihat seram tapi dia cukup baik menurutku dia pernah memberikanku batagor gratis karena telah membantunya mendapatkan nomor telepon guru tercantik di sekolah. Aku murid yang baik kan.
Seperti biasa, jika tidak lupa membawa topi, aku menyapanya dengan ramah dan tidak lupa mengucapkan selamat pagi pak Ambon.
“Selamat pagi, Yana. Nah ini dia murid kesayangan bapak yang cantik....” Pak Ambon lalu mengalihkan perhatiannya ke arah murid-murid yang dia hukum “lihat tuh kalian tidak malu bapak hukum di depan cewek cantik begini?“
Pak Ambon menepuk kepala 3 siswa di depannya dengan penggaris kayu pendek. Aku tidak tau tindakan itu legal atau ilegal dan bagusnya aku tidak cukup penasaran untuk mau tau.
“Pak, saya masuk dulu ya.“ Izinku tidak ingin berlama-lama ikut mendengarkan celotehan Pak Ambon.
“Iya, sana cepat masuk, kecuali kalau kamu mau bapak hukum.“
Tanpa membalas lagi, aku berjalan menjauhi kerumunan yang semakin ramai di depan gerbang. Padahal ini semester baru, tapi sepertinya anak bandel tidak kenal apa itu awal semester.
Baru saja hendak berbelok masuk ke kelas baruku, seseorang berlari di lorong dengan wajah sumringah. Sialnya aku kenal orang itu.
“YANAAAA! KANGEENNN.“
Namanya Adel. Cewek imut dan berambut panjang. Pipi chubby dan bando pink yang tidak pernah lepas dari kepala itu, membuatnya terlihat seperti anak SD. Adel mengamit lenganku yang jauh lebih tinggi dan mengoceh tentang ia yang pergi terlalu pagi hari ini karena diantar oleh kakaknya. Cewek imut yang satu ini memang lumayan bawel. Orang bilang sih kami cocok. Aku yang memang jarang bicara dan pendengar yang baik memang sangat cocok dengan cewek super bawel ini dan aku merasa apa yang mereka katakan benar.
Tunggu, sesuatu sepertinya sangat menyilaukan indera penglihatanku.
“Bentar deh, kenapa itu tas lo?“ Aku melirik dengan jijik ke arah kotak pink bergambar Hello Kitty yang tersampir di punggung Adel. Sepertinya aku benar-benar berteman dengan anak SD.
“Ini namanya trend, jangan bilang kamu gatau ya? Hehe Lagi model tau pake tas begini “
Diam adalah pilihan yang bijak daripada harus berceramah tentang kedewasaan pada orang yang masa pubernya mungkin 1O tahun lagi. Apa semua murid sekolah jaman sekarang ingin kelihatan sok imut? Langsung saja ku Tarik tangan anak sd itu untuk masuk ke dalam kelas baru kami.
“Yana!“
Aku tau cowok itu. Kuproy, si cowok paling sok ganteng di kelas kami. Padahal kalau disuruh memilih, aku lebih memilih Pak Ambon daripada dia. Rasanya poni lempar khasnya itu ingin sekali ku gunting supaya botak sekalian. Aku memandangnya prihatin, yah setidaknya aku masih turut prihatin karena aku tau tak mudah hidup dengan nama seperti itu. Pasti sifat sok gantengnya ini adalah usaha untuk membahagiakan hidup yang tersiksa karena kata Kuproy tertulis dalam akte kelahirannya. Sebelum Kuproy dan poni lemparnya mendekat, buru-buru aku mengajak Adel menempati dua kursi yang ku hitung-hitung lumayan jauh dari jangkauannya. Aku tidak mau sewaktu-waktu terkena sibakan poni ala vokalis kangen band.
“ Gue mau main ke rumah baru lo ya! “
Aku mengambil beberapa lembar tisu di dalam tas dan membersihkan meja kami yang berdebu. Sebenarnya apasih tugas office boy sekolah?
“ Ngga usahlah kalo ngga ada tujuan jelas “
Ketika tanganku merogoh ke dalam kolong meja, ada sesuatu di dalam sana.
“ Bekas somay siapa nih “
Sebuah plastik bekas somay yang sudah jamuran ku angkat tepat di depan wajah Adel. Kolong mejanya benar-benar ajaib deh. Akhirnya sisa pagi di hari pertama awal semester ku habiskan dengan mendengarkan rutukan Adel mengenai banyaknya sampah di kolong meja baru kami. Setidaknya ini lebih baik dari duduk di samping Kuproy selama sisa kehidupan SMA ku.
nice story, cant wait next chapter :)
Comment on chapter #1 TENTANG YANA