‘Kau akan menyesal’
Begitu tulisan berwarna merah yang terpampang jelas di salah satu dinding toilet wanita di sekolah usai aku membasuh wajahku di wastafel. Aku tersungkur ke lantai toilet dengan tangan membekap mulutku. Siapa yang menulis ini? Apakah tulisan ini ditujukan untukku? Apakah masalahku dengannya? Seingatku, aku tidak memiliki masalah dengan siapapun.
“Hai, bagaimana harimu? Mau makan siang bareng?”, tanya Devian sambil merangkul pundakku setelah kelas bubar. “Hmm, ya”, aku hanya menjawab singkat. “Kau ingin makan siang dimana, sayang?”, tanyanya yang tak kugubris. Jujur aku masih terpukul atas kejadian di toilet tadi, tetapi aku tidak menceritakannya pada Devian. Devian adalah sahabatku sejak kecil. Aku mulai mengenalnya sejak dia bersekolah di sekolah yang sama denganku. Dia adalah salah satu pemain voli unggulan sekolah. Ia sering maju dalam pertandingan antar sekolah maupun antar kelas. Wajahnya pun begitu tampan, supel dan ramah. Wajar banyak gadis yang tergila-gila padanya. Tapi, Devian telah menambatkan hatinya padaku setahun yang lalu dan aku menerimanya karena rasa sayangku lebih dari sekadar sahabat.
“Naomi, sayang, hai”, kata Devian sambil melambaikan tangan di depan wajahku. “Oh, ya hai. Maaf aku sedikit melamun tadi. Ada apa Devian?”, tanyaku. “Aku lihat kau sedang ada masalah. Benar begitu? Ceritakan saja masalahmu, siapa tahu aku bisa membantu”, ucapnya lalu menghentikan kemudi mobilnya. “Ehm, tidak. Tidak ada masalah apapun sayang. Lanjutkan perjalanannya”, kataku bohong. “Baiklah, tapi kau belum menjawab pertanyaanku. Kau ingin makan siang dimana?”, tanyanya sekali lagi. “Hmm, Nice Guy Restaurant ain’t it good?”, tanyaku memecah sedikit keheningan diantara kami berdua. “Oh yeah. Very well. Aku sangat suka makanannya dan juga desain interiornya”, jawabnya lalu kembali mengemudi melalui kemacetan di Los Angeles.
“Pesanlah makanan favoritmu disini, ayo”, ujarnya sambil menyerahkan buku menu padaku. “Aku pesan Nice Guy Lasagna dan untuk minumnya Pinot Noir Crossbarn”, kataku pada pramusaji. “Wow, it’s cool dan cukup berkelas, sayang”, ujarnya kaget. “Ya, aku tidak ingin perayaan anniversary kita berlalu biasa saja, apalagi di restaurant ini yang sudah lama aku impikan. Thank you so much, sayang”, kataku padanya lalu mengecup pipinya. “Kau memesan makanan dan minuman ini bukan untuk meredakan stress karena masalahmu kan?”, tanyanya lagi dengan nada pelan dan serius. Aku terdiam. “Aku tidak punya masalah apapun”, jawabku datar. “Kau tidak perlu berbohong padaku. Aku tahu kau menyimpan sesuatu. Apakah itu tentangku?”, tanyanya lagi. “Aku tidak punya masalah apapun, aku sudah tegaskan berkali-kali, dan ini bukan tentangmu. Pesanan sudah datang, ayo segera dimakan, keburu dingin”, tutupku.
Aku masih memikirkan tulisan tadi. Apa jangan-jangan tulisan itu berkaitan dengan Devian? Apa yang dia ketahui soal Devian? Apakah Devian menyembunyikan sesuatu dariku? Aku akan menyusun rencana untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh wanita yang menulis kalimat itu di toilet tadi, apakah ini tentang Devian atau tentang aku.
“Hai, tumben kau bawa mobil sendiri. Tidak berangkat bersama pacarmu?”, tanya salah satu sahabatku, Evie. Dia tidak boleh mengetahui tentang rencanaku ini sekarang. Aku akan menjalankannya sendiri. “Tidak, Evie. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan hari ini”, jawabku singkat sambil mengunci pintu mobil dan berjalan memasuki kelas. “Wow, apa yang kau kerjakan? Apakah berkaitan dengan…”, kata-kata Evie terputus. “Evie, cukup. Aku mau masuk kelas dahulu, lain waktu kita bicarakan lagi”, kataku tegas memotongnya lalu duduk di salah satu bangku di barisan depan kelas biologi Ms. Kerith Atkinson. Ia akan mengadakan tes setelah menjelaskan satu bab hari ini dan aku harus fokus mendengarkan dan memerhatikannya. Aku tidak ingin hasilnya buruk.
Aku melihat ke sekeliling dan melambai saat Devian menyapaku. Dia duduk di barisan agak belakang tidak seperti biasanya. Sepertinya dia tidak mempersiapkan diri mempelajari terlebih dahulu materi sebelum tes dan sedikit terlihat kurang tidur. Semoga hasil yang diterimanya baik.
“Hai”, sapa Devian sambil menepuk pundakku usai tes berlangsung. “Kau sepertinya terlihat kurang tidur. Ada apa denganmu? Apakah kau bisa melalui tes tadi dengan lancar?”, tanyaku. “Ya. Kemarin ada pertandingan voli hingga sore dan ada tugas bersama temanku yang harus aku kerjakan hingga malam. Tugas itu dikumpulkan pagi ini dan di siang harinya ada tes yang diadakan Ms. Kerith. Cukup gila, bukan?”, terangnya. “Hmm. Apa kau ada kelas lagi setelah ini?”, tanyaku. “Tidak ada”, jawabnya singkat. “Kalau begitu istirahatlah. Kau tentu kelelahan bukan?”, kataku lalu mencium keningnya dan menuju tempat parkir untuk bergegas.
Aku melihat ada kebohongan yang tersirat di wajahnya. Aku curiga dengan kata ‘ada tugas bersama temanku hingga malam’. Apa mungkin ini berkaitan dengan tulisan di toilet itu? Apa ini menyiratkan ada sesuatu yang ditutupi Devian dariku? “Hai, cepat sekali kau pulang. Tidak mau mampir ke restaurant dahulu bersamaku?”, tanya Evie saat aku sampai di pintu keluar mobil. “Tidak, Evie. Aku sedang buru-buru, ada yang harus kukerjakan. Lain kali saja”, jawabku singkat setelah melihat Devian berbicara di telepon dengan serius dan mulai mengemudikan mobilnya. Tulisan di toilet itu terngiang-ngiang dan melayang-layang di otakku. Apa yang sedang Devian bicarakan? Mau kemana dia? Sepertinya dia tidak bermaksud untuk pulang. Aku menginjak gas dengan kencang. “Hei, kau juga belum menjawab pertanyaanku, apa yang kau kerjakan? Hei, Naomi…!”, teriak Evie, namun aku keburu melesat jauh di depan. “Dia seperti dikejar setan. Ada apa dengannya? Apa kau mengerti?”, tanya Evie pada Celine, salah satu sahabatnya. Celine menggelengkan kepala. “Mungkin ada masalah dengan pacarnya barangkali”, tebak Celine. Evie mengangguk bingung.
Ternyata benar dugaanku. Ia tidak pulang ke rumah. Ia pergi ke salah satu hotel terkenal di LA. Ada perlu apa dia kesini? Apa yang akan dilakukannya? Aku segera memarkir mobilku di parkiran hotel tapi mengurungkan niat untuk turun dari mobil melihat ada seorang gadis muda kira-kira seumuranku menghampirinya dengan busana yang bisa dibilang cukup seksi. Aku baru turun dari mobil ketika Devian mulai berjalan bersama gadis itu. Aku terkejut ketika aku tiba di depan pintu kamar tempat mereka menginap dan tak sengaja membukanya karena kondisinya yang tak terkunci.
Aku menangis melihat Devian, sahabat dan juga lelaki yang aku cintai tengah bercinta dengan gadis lain. Akhirnya aku tahu tulisan di toilet wanita itu memang ditujukan padaku. “Naomi, aku….”, kata Devian sambil mengenakan kembali kemejanya dan berusaha menggenggam tanganku untuk memberitahu suatu hal. “Sudah cukup Devian. Hubungan kita cukup sampai disini. Aku tahu kamu tidak mencintaiku dengan tulus. Sekarang, biarkan aku pergi”, isakku melepaskan genggamannya.