Loading...
Logo TinLit
Read Story - Reach Our Time
MENU
About Us  

Sebuah pikiran terkait seseorang itu tergantung dengan perasaan. Perasaan itu mengikuti kata hati kecil. Boleh menurut padanya, atau melupakannya itu hak seseorang. Namun, yang ingin kusampaikan, hubungan dengan orang lain itu datangnya dari rasa penasaran...

 

Suasana kelas membosankan, menjadi rutinitas mahasiswa yang mengejar gelar sarjananya. Untung saja kelas dipasang AC, jadi tidak terlalu pengap di dalam sana.

Walau kelas dirasa kondusif dengan seorang dosen yang duduk di depan, sambil berbicara materi dari a-z melalui panduan laptopnya. Tetap saja tidak seratus persen dari absensi mahasiswa yang hadir fokus dengannya. Mungkin, hanya mahasiswa yang duduknya di depan. Itu pun terpaksa karena bangku deretan strategis sudah dikuasai yang lain.

Masing-masing individu yang berada di tempat strategis, berusaha melakukan aktivitas. Entah itu hanya berpikir sesuatu dengan berbagai imajinasi, mengerjakan tugas jurnal deadline, mengoperasikan smartphone untuk memenuhi hasrat kesenangannya, dan lain sebagainya.

Entah kenapa, Adi memilih untuk menyelidiki gadis sok misterius di pikirannya. Lembaran kertas di bindernya saat itu, dijadikan coretan sketsa gadis yang ditemuinya di kereta dua minggu lalu.

"Cewek misterius.." tulis Adi disana. Adi kemudian menghela nafas. Melamunkan kejadian saat itu, saat dimana mereka saling bertemu.

"Fix gue sekelompok sama lo di!" ujar Farhan sambil menepuk bahu Adi dari belakang. Adi tersontak kaget dengan tepukan Farhan. Akhirnya, Adi sadar ternyata sudah cukup lama ia melamun. Hingga perkuliahan berakhir dan sudah hampir seluruh orang meninggalkan kelas.

"Ha? Kelompok apaan Han?" tanya Adi kelimpungan.

"Lo gak denger tadi? Makanya kalau dosen ngomong tuh diperhatiin! Jangan asik sama dunia sendiri!" ledek Farhan.

"Kaya lo gak aja Han" ujar Adi sambil merapihkan perlengkapan yang sebelumnya sengaja tergeletak di mejanya. Mereka pun berdiri hendak meninggalkan kelas.

"Emang lo mikirin apaan sih?" selidik Farhan. Adi tak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan untuknya.

"Cewek misterius yang lo ceritain waktu itu?" tanya Farhan mengkonfirmasi perkiraannya. Adi pun mengiyakan.

"Udah ketebak! Yaelah kalau emang jodoh pasti ketemu lagi!" ujar Farhan menenangkan hati Adi. Adi hanya terdiam tak menanggapi.

Tak terasa langkah kaki mereka sudah mencapai graha kemahasiswaan, tempat para 'aktivis' sering melakukan berbagai aktivitasnya. Setelah memasuki pintu gedung yang umurnya sudah cukup tua itu, langkah kaki mereka masih terus bergerak. Melewati puluhan mahasiswa yang sedang melatih olah vokalnya. Kemudian menelusuri tangga menuju lantai dua, melewati lorong hingga sampai di ruangan pojok.

Ruangan inilah, tempat Adi dan Farhan biasa nongkrong di kala senggang. Ruangan kecil ber-AC ini memang tempat yang pas untuk disinggahi. Apalagi layanan wifi yang tersedia setiap saat.

Tangan Adi langsung mengambil kunci yang diselipkan di tempat rahasia bagi komunitasnya. Ada teknik tersendiri untuk meraihnya. Dibutuhkan sebuah pensil atau benda yang memiliki bentuk sejenis untuk meraih kunci di bagian dalam pinggiran pot plastik. Lalu, mendorongnya hingga kunci keluar dari sekatannya. Hal ini sengaja dilakukan, agar mereka tak saling mengganggu aktivitas kesibukannya, jikalau menjadi pemegang kunci.

Bingkai poster berbagai cover tabloid maupun majalah menghiasi dinding ruangan, menyambut tiap orang yang masuk. Ruangan itu terbagi menjadi tiga sekat. Antara lain ruang tamu, ruang serba guna dan ruang sempit yang dikhususkan bagi editor dan layouter.

Ruangan alias sekretariat ini adalah markas para pencatat dokumentasi lika-liku kehidupan kampus. Komunitas aktivis yang sering mendapat kecaman, jika laporan atau tulisannya menyinggung oknum tertentu.

Adi dan Farhan lebih memilih ruang serba guna untuk disinggahi. Alasannya, ruangan itulah yang paling luas. Walau hanya beralaskan karpet hijau yang menutupi kesuluruhan lantai, setidaknya disana mereka bisa merebahkan diri. Tak ada barang tertentu yang diletakkan, kecuali rak buku besar yang dijadikan penyekat dengan ruang tamu.

Jam tangan Adi masih menunjukkan pukul 16.30 WIB, masih setengah jam lagi menuju rapat proyeksi tabloid yang selalu diadakan tiap bulannya. Sebagai unit kegiatan mahasiswa di bidang pers, tiap bulannya mereka akan mengeluarkan berbagai produk jurnalistik seperti tabloid, majalah maupun program tv berita. Maka dari itu, biasanya mereka sering melakukan rapat perencanaan sebelum produksi di awal bulan.

"Eh, ngomong-ngomong tuh cewek cantik gak?" tanya Farhan ingin tahu.

"Hmm... lumayan sih. Tapi tuh orang serem banget! Dingin!" ujar Adi.

"Tipe gue banget tuh! Kali-kali gue bareng naik kereta sama lo deh!" ujar Farhan. Adi memukul kepala Farhan dengan sebuah buku tebal yang dijadikan sumber tugasnya. Farhan sedikit meringis.

"Dasar playboy lo. Kerjain tuh research-nya pak Narto! Keburu bu pemred (pemimpin redaksi) dateng!" Suruh Adi.

***********

Krek...krek...

“Ah lelahnya.” Adi sengaja melemaskan otot leher, tangan, dan melakukan sedikit perenggangan ke kanan dan ke kiri di daerah pinggul. Sejenak merenggangkan ototnya yang terasa kaku.

Kini, jam ditangannya menunjukkan pukul 18.20 WIB. Stasiun kereta seperti biasa, terlihat ramai. “Ah, harus berdiri lagi,” keluhnya setelah melihat kerumunan orang disekitarnya.

“Dek, tolong berdiri. Kasih duduk ibu-ibu ini," pinta wanita hamil kepada gadis disebelahnya. Gadis itu melihat kearah wanita hamil, kemudian melengos sambil menatap smartphone.

“Eh, kalau dibilangin tuh, nurut dong! Kasihan ibunya," ketus wanita hamil itu.

“Kalau mau anda saja,” ujar gadis itu tak mau kalah.

“Ah ini anak gak punya sopan santun apa? Gak dididik sama orang tuanya yah!” omelan wanita hamil itu membuat pusat perhatian para penumpang KRL di sekitarnya. Termasuk Adi yang memang jarak berdirinya tidak jauh dari peron khusus wanita.

“Hah, gadis hoodie hitam itu?!” batin Adi.

“Ah, sudah bu. Biar saya saja yang berdiri. Silahkan duduk bu!” ujar wanita kantoran sebelahnya.

Wanita hamil itu mulai membandingkan si gadis dengan wanita kantoran, lalu menggerutu hingga si gadis mulai menutup telinganya dengan earphone yang dikalungkan di lehernya.

“Ah, kenapa dia seperti itu? Kemarin dia kayaknya baik.” batin Adi. Pikirannya masih mencari berbagai alasan perilaku si gadis.

Matanya kembali melekat ke gadis hoodie hitam. Adi mengikuti tiap langkahnya. Kini mereka berada di peron Bekasi. Untungnya kondisi kereta tak terlalu ramai.

Adi mulai menempati posisi duduk di sebelah si gadis. Adi sedikit menyikut gadis hoodie hitam itu, hingga gadis itu menoleh ke arahnya dan membuka earphone-nya. Gadis itu tampak tak mengingat Adi.

“Lo waktu itu pernah nolongin gue pas kecopetan,” jelas Adi.

Gadis itu mulai mengingatnya, kemudian menghadap ke arah depan. “Kenapa?” tanya gadis.

“Ah, gue mau bales bantuan lo. Lo mau apa?” tawar Adi.

Gadis itu mulai berdiri dan mengajak Adi keluar peron. “Hmm.. Beliin gue roti itu 3 buah.” pintanya. Adi menuruti permintaannya, walau ia harus menunggu keberangkatan kereta selanjutnya.

Gadis itu pun melahap sebuah roti. Dua buah lainnya sengaja disimpan di dalam tas. “Hmm... gue boleh nanya gak?” tanya Adi membuka percakapan. Gadis itu hanya mengangguk.

“Kok lo tadi gitu sih?” tanyanya segan. Gadis itu menoleh dan melakukan kontak mata dengan Adi.

“Yang mana?” 

“Eh..i..itu ya aneh saja. Lo kan kemarin nyelamatin gue tapi tadi kok gak kasih duduk ibu tadi,” jelasnya. Gadis itu menoleh ke depan dan menghela nafas.

“Suka-suka gue dong. Kok lo yang ribet?" balasnya.

Adi terdiam bingung. Perkataan si gadis ada benarnya. Setiap perilaku yang dilakukan seseorang itu memang pilihan masing-masing. Entah mau berbuat baik atau tidak. Namun, rasa penasaran Adi berkecamuk dalam pikirannya.

Roti di tangan gadis itu sudah hampir separuhnya dimakan. Gadis itu sedikit memandang Adi.

"Kenapa kok lo penasaran?" tanya si gadis.

"Hmm... karena lo orang yang bantuin gue." ujar Adi. Gadis itu terdiam sejenak.

"Gue sering kecopetan. Pertama kalinya, orang disekitar gue hanya memberi saran namun itu tak membantu. Yang gue butuh bukan cuma saran, tapi bener-bener bantuan. Dan gue cuma gak pengen jadi mereka." Adi berusaha menyerap kata-kata si gadis dengan cermat.

"Trus kenapa gue gak memberikan tempat duduk? Seharian ini gue belum sempat makan, kecuali roti ini dan snack tadi. Gue gak mau pingsan dan malah ngerepotin orang lain.” tambahnya dengan tatapan kosong dan nada datar.

"Program diet. Ha.. ha.. ha" ledek Adi. Gadis itu tak menggubris perkataan Adi, dan melahap habis sisa roti di tangannya. 

Adi mencoba memahami pernyataan gadis itu. “Ah, nama lo siapa?” tanya Adi mengganti wacana. Gadis itu diam tak menjawab.

“Gue Adi. Hmm.. eh.. kalau lo gak mau jawab gak apa-apa kok.”

“Ica,"  ucap Raisha menyebutkan nama panggilannya.

"Lo mahasiswa atau udah kerja?"

"Kenapa?"

"Eh..ke.kenapa? Gu..gue nanya, biar kita tambah akrab aja gitu."

"Ck, kenapa semua orang harus mengetahui latar belakang mereka? Mau menilai orang agar bisa memilih mau melanjutkan hubungan atau tidak?"

"Bertanya seperti itu bukan berarti mau menggali kehidupan seseorang."

"Lalu apa?"

"Tandanya orang itu mulai peduli dan ingin mengakrabkan diri."

"Kenapa mau peduli? Karena kasihan?"

Adi terdiam bingung harus menjawab apa.

"Iya kan karena kasihan?"

"Iya, kenapa?"

Wussh... suara angin menerpa diri mereka. Kereta yang ditunggu akhirnya tiba. Mereka berdua masuk kedalam kereta tanpa sepatah katapun setelah percakapan itu. Adi kembali mendekatkan posisi duduknya di dekat Raisha. Namun, Raisha tak menggubris hal itu.

"Gue gak suka dikasihani" ujar Raisha tegas.

"Pertama lo bantuin gua juga karena ada rasa kasihan kan? Dari kasihan itulah, gue memberikan umpan balik untuk merespon lo. Dan ingin lebih peduli sama lo. Apa itu salah?"

Raisha hanya terdiam bingung harus menjawab apa.

"Semua orang di dunia ini juga ingin melakukan beberapa hal kebaikan, agar dianggap baik. Apa itu salah?"

Raisha menatap lekat mata Adi, entah tertegun atau mengelak perkataannya. Tapi apa yang dikatakannya ada benarnya. Malam itu, mereka mulai berpikir masing-masing. Memang sangat mudah memberikan persepsi seseorang terhadap orang lain, tanpa mengetahui apa alasan yang dipilihnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Berawal Dari Sosmed
626      452     3     
Short Story
Followback yang merubah semuanya
Weak
251      202     1     
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi. Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Panggil Namaku!
8667      2220     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
MANGKU BUMI
153      143     2     
Horror
Setelah kehilangan Ibu nya, Aruna dan Gayatri pergi menemui ayahnya di kampung halaman. Namun sayangnya, sang ayah bersikap tidak baik saat mereka datang ke kampung halamannya. Aruna dan adiknya juga mengalami kejadian-kejadian horor dan sampai Aruna tahu kenapa ayahnya bersikap begitu kasar padanya. Ada sebuah rahasia di keluarga besar ayahnya. Rahasia yang membawa Aruna sebagai korban...
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...
Puisi yang Dititipkan
518      342     2     
Romance
Puisi salah satu sarana menyampaikan perasaan seseorang. Puisi itu indah. Meski perasaan seseorang tersebut terluka, puisi masih saja tetap indah.
Tumbuh Layu
386      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Puisi, Untuk...
20094      3262     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.
My Universe 1
4211      1355     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
Seperti Cinta Zulaikha
1814      1182     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.