Jadi, kemana Marell yang dulu gue kenal?”
Aku terus memandang kopi hitam pekat yang dari tadi tak kusentuh, juga beberapa putung rokok yang Ansel lempar ke hadapanku. Putung-putung rokok baru itu berserakan disana. Aku masih bergeming. Tak menjawab. Tak menghiraukan.
Kami berada di sebuah kedai yang buka selama 24 jam. Hanya ada beberapa pemuda kantoran dan mahasiswa berkantung mata hitam yang menjadi penghuni setia di kedai ini. Aku menelan ludah. Ansel tertawa. Ia masih memandangku tak percaya.
“Jadi banci lu sekarang?!” Ansel mengangkat alisnya. “Atau sekarang.. lu suka sama gue? Hah?! Lu emang gay?!”
Aku tetap diam. Kami saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.
Ansel melempar kasar putung rokok yang baru dihisap tersebut kewajahku, kemudian berdiri. “Gak usah kenal gue lagi!”
Dia meraih jaketnya, lalu berjalan cepat menuju pintu. Dia beranjak keluar. Aku masih mematung dan memandangnya dari jauh.
Dia yang bernama Ansel. Teman akrabku dari kami SMP. Setelah sekian tahun berpisah karena dia bekerja dengan orang tuanya di Makassar, dan aku kuliah di Australia, detik barusanlah, kami bertemu lagi. Kami bertemu dan saling menunjukan perbedaan masing-masing.
Dan memang sudah kuduga, bagaimana pun juga, ia tidak akan pernah menerima penampilanku yang sekarang. Saat Ansel sudah menghilang dibalik pintu, kuambil segera secangkir kopi pekat yang sudah agak dingin itu, dan menyesapnya sampai habis. Setelah itu, kuraih korek dan kunyalakan sebatang rokok.
Aku lelah. Aku sudah menahannya seharian ini.
***
“Aduh..cyiin..”
“Wagelaseh.. Hahaha!!”
“Ampun, deh bok!”
Kata-kata barusan sudah resmi menjadi ciri khas‘cucok’ku. Ketika mereka mendengar salah satu dari kata itu, sudah otomatis yang mereka ingat adalah aku.
Aku adalah seorang lelaki berusia 23 tahun yang bekerja di sebuah salon terkenal dari tengah pusat kota. Keseharianku adalah merias wajah para model. Aku sangat pintar soal make up. Dan aku paham racikan foundie yang pas untuk kulit berminyak atau pun kering. Selain itu, aku juga ahli dalam bidang merawat kulit.
Maka dari itu, tak heran jika aku lebih sering bergaul dengan grup perempuan-perempuan sosialita nan fashionable. Kadang mereka meminta saranku dan mencoba untuk merias wajah mereka dengan tekhnik yang baru. Aku punya banyak sekali brush dan beauty blender. Semuanya branded. Dan itu sebuah keharusan.
“Trus.. gue pake yang mana, nih?”
Trish sudah telanjang bulat. Dia masih bingung dan terus meminta pendapatku mengenai baju yang akan dikenakannya untuk photoshoot. Mulutnya terus mengerucut dan pipinya memerah. Dia terus mendesakku sedangkan aku masih sibuk memilih concealer yang cocok.
“Yang kedua aja itu bagus, sayangkuh. Ntar dulu, ah gue lagi ribet nih..” jawabku segera.
“Hmm..” Trish mendekat dan meraih baju pilihanku.
“Ya Tuhan, Trish! Pakai bajunya!! Kamu gak malu apa, telanjang begitu di depan Marell!” tahu-tahu Nel datang dan seketika melotot melihat penampilan vulgarnya Trish.
“Apaan sih, lu? Orang gue udah biasa begini juga! Lagian Marell juga oke-oke aja!!”
Banyak sekali yang sudah kujumpai tentang keunikkan dari para ‘cewek’. Terlebih lagi mereka. Para rekanku sekaligus geng kucingku. Ada Trish, seorang model cantik asal Tangerang, yang sering blak-blakan denganku. Ada lagi, Kirane, model asli kota ini yang baru memulai karirnya. Kirane sering memintaku untuk menemaninya tidur di apartemennya. Kemudian yang terakhir barusan adalah Nel, sama-sama perias juga sepertiku, asal Yogyakarta.
Kami sering berkumpul ria saat pulang kerja dan bergosip. Mereka adalah perempuan-perempuan menyenangkan sekaligus membuatku nyaman. Kadang mereka juga langsung memelukku ketika ada hal yang menakjubkan terjadi. Aku pun sering membalasnya dengan genit. Mereka semua terbuka denganku, karena mereka sudah melabeliku seorang lelaki gay.
Bahkan semua pelanggan di salon ini sering terhibur dengan tingkah centilku. Untuk mempertahankan reputasi dan gajiku supaya terus naik, ku mainkan peran tersebut dengan baik. Tapi untungnya juga, aku masih mempunyai tubuh ideal untuk seukuran lelaki ‘pemuda’. Yah, walaupun aku tak yakin kini semua orang disekitarku menganggapku apa.
Aku sedikit mengeluarkan foundation warna beige ke telapak tangan. Aku sedang memilih produk mana yang pas untuk menghasilkan wajah yang dewy-finish. Trish ingin wajahnya glowing dan tampak natural.
Aku kemudian mengambil liptint warna blueberry, dan kubaurkan sedikit ke tangan kiri.
“Menurut lu, ini bagus gak sih, warnanya? Baru datang tadi pagi nih.. barangnya... gue bingung parah tahu gak siih,”
Tepat saat aku menunjukan tanganku kepada Nel, pelanggan datang. Kami menoleh. Ada seorang wanita dan seorang gadis kucel disisinya.
***
“Ingat ya, harus cantik dan sedewasa mungkin! Dia akan setiap malam kesini untuk dirias dan tepat jam sepuluh, ia akan dijemput oleh seorang laki-laki.”
Kata-kata wanita itu terus terngiang di kepalaku sampai terasa sakit. Bayangan ketika wanita itu memberikan segepok uang pun masih terbayang. Dan aku pun ingat, ketika wanita itu selesai bicara, aku menyanggupinya dengan berujar, “Beres, cyin!”
Salah satu penyebab yang membuat kepalaku sakit adalah, aku tak kuat menahan baunya gadis kotor ini ketika datang bersamaan dengan wanita tadi. Gadis itulah yang harus kurias setiap hari. Aku langsung menyuruhnya mandi dan mengganti pakaian.
Kini, aku sudah berdiri dihadapannya. Penampilannya membaik. Rambut lepeknya pun sudah kusisiri dan kuberi obat. Aku menggulung rambutnya, dan ini saatnya aku mulai me-makeover. Dia duduk dengan kaku. Nampaknya dia tidak nyaman.
Aku merunduk dan mulai mengoleskan toner ke wajahnya yang kusam. Dia tampak terkejut dan menunjukan raut penasaran dengan apa yang kuberikan pada wajahnya. Dia.. gadis kampungan.
Aku menghela napas. “Berapa umurmu, sayang?”
Gadis itu menelan ludah dengan kikuk. Ia sedikit merunduk. “Delapan belas..”
“Whoa.. harusnya, umur segitu harus udah bisa merawat diri, lho. Apalagi kamu cewek.”
Gadis itu hanya diam. Tak berkomentar apapun sama sekali.
Aku mulai memoles wajahnya dengan cc cream. Aku membaurkannya foundie, memberikan eyeshadow warna muda dikelopak matanya, dan meratakan bedak dengan cekatan. Namun gadis itu tetap merunduk. Wajahnya redup. Aku ingin bertanya ada apa, namun entah kenapa rasanya tak nyaman.
Aku merapikan alisnya. Kemudian aku memoles pipinya dengan blush. Aku mendekatkan wajah supaya warna dipipinya tetap tipis. Namun saat aku menyentuh pipinya, entah kenapa aku terpana. Aku tak biasa merasakan sentimental seperti ini. Aku melihat bulumata hitamnya yang lentik, juga lingkar hitam matanya yang agak mencolok. Ini memang tiba-tiba, tapi aku baru menyadari bahwa dia ternyata sangat cantik. Dia kemudian mendongak dan menangkap pandanganku. Buru-buru, aku tersenyum. Aku menutup kotak blush dan beridiri.
“Selesai!! Pas jam sepuluh!!” aku melihat jam tangan dengan ceria, “yah..walaupun lebih empat menit..”
Gadis itu melihat pantulan dirinya dicermin. Detik pertama, mulutnya menganga tak percaya. Ia memang berbeda sekarang. Dia merunduk, kemudian mengambil napas. Ia menoleh dan melihat keluar pintu. Aku mengikuti pandangannya. Sudah ada seorang pria yang menunggunya disana. Gadis itu menoleh dan berterimakasih padaku. Dengan perlahan, ia bangkit dan berjalan mendekati pria itu.
Aku meliriknya. Aku memandang mereka dari dalam.
Gadis itu ditarik dan dirangkul paksa oleh pria itu.
***
Esoknya, gadis itu datang tepat waktu.
Dia akan menjadi pelanggan terakhirku disetiap harinya. Aku mulai mencari warna-warna lain untuk mata dan blushnya. Bentuk wajahnya pun sudah kuhafal hingga semakin membuatku mudah untuk mengira-ngira.
Dia benar-benar datang setiap malam. Tidak pernah absen sama sekali. Pria yang menunggunya tepat pada jam sepuluh juga sama datangnya. Namun yang kuherankan, pria yang sering datang menunggunya berbeda-beda. Tak ada yang sama.
“Wanita yang kemarin itu.. Ibumu?”
Sambil memilah warna lipcream, aku mencoba basa-basi. Selama ini, kami sering bertemu namun tak pernah sedikitpun berbincang. Dia tak seperti pelanggan-pelangganku yang lain yang asik dan nyambung untuk kuajak bicara. Sedangkan dia beda.
Selain untuk basa-basi, aku mulai penasaran dengannya. Tapi dia belum juga menjawab. Redup wajahnya masih sama seperti kemarin-kemarin. Aku menaruh warna yang tepat dimeja, kemudian mengambil kotak eyeshadow dan kuangkat.
“Bukan, dia bukan Ibuku.” jawabnya pelan.
Aku memandangnya. “Lalu?”
Aku bergerak dan mulai memberi warna pada kelopak matanya.
“Dia bosku.”
Aku terhenti. Aku masih menatap fokus pada kelopak matanya. Setelah itu, pandanganku turun ke wajahnya. Ternyata benar. Dugaanku selama ini benar. Dia memang bekerja menjadi perempuan bayaran. Aku sudah lama berusaha menimbang-nimbang, dan saat dia bilang bahwa wanita itu adalah bosnya, aku langsung paham bahwa perkiraanku selama ini benar.
Dia menatapku. Aku langsung membuang muka dan melanjutkan kegiatanku lagi sambil mengangguk mengerti. Tidak. Aku tidak mau terlihat seperti ingin ikut campur. Aku beralih ke mata satunya, namun dengan cepat ia menangkis tanganku sambil meringis kesakitan. Aku terkejut. Kuhentikan kegiatanku dan aku bergerak mundur.
“Ke-kenapa s..ay?”
Dia hanya diam. Tak lama ia menggeleng, kemudian diam-diam tangannya menyentuh kelopaknya. Sambil pura-pura mengambil eyeliner, aku mengintipnya.
Ada luka disana.
***
Dia datang lagi. Dan lukanya semakin menjadi.
Hidungnya terdapat luka codet dan ujung bibir kirinya berdarah. Sambil berusaha tak peduli, aku membuka eyebrow kit. Aku melihat-lihat warnanya. Aku mulai memoles wajahnya dengan hati-hati. Kami sama-sama diam. Entah kenapa perasaan kesal dan berdebar bercampur menjadi satu saat aku melihat lukanya. Ingin sekali aku bertanya siapa yang melakukan itu padanya, namun aku tak berani.
Aku mulai tak nyaman dengan kondisi seperti ini. Biasanya, dengan pelanggan introvert atau bahkan jutek sekalipun, mau itu perempuan atau laki-laki, aku tetap bisa luwes. Aku punya keinginan untuk menggodanya agar lebih seru. Namun entah kenapa, kepada gadis itu, rasanya beda. Semuanya aneh.
Aku memoles bibirnya dengan liptint warna coral. Jariku meratakan sedikit sampai hampir mengenai luka itu. Tanpa sadar, aku perlahan malah menyentuhnya dengan hati-hati. Saat kusentuh, gadis itu hanya diam menahannya. Seketika juga aku langsung sadar dan menaruh liptint.
“Ng.. aku boleh nanya gak nih?”
Dia menatapku. “Apa?”
Aku mengambil brush dan melihat ujungnya. “Pria yang setiap hari datang itu, siapa kamu?”
Kuberanikan diri untuk bertanya dengan santai. Aku tak peduli dengan apa yang akan dia pikirkan, yang penting aku merasa aku harus tahu dulu siapa pria-pria itu selama ini.
Namun ketika kutunggu, dia tak menjawab.
“Siapa?” aku bertanya lagi. “Pelanggan kamu?”
Aku tak bergerak. Aku masih menunggu jawabannya. Tapi dia hanya menunduk terus. Akhirnya, aku menghela napas.
“Jadi.. selama ini mereka..”
“Mereka semua pelanggan aku dan pekerjaan kamu hanya merias wajahku jadi gausah banyak nanya.” katanya cepat dan ketus. Sukses membuatku membatu. Aku menatapnya. Dia berujar seperti itu dengan posisi menatap kebawah. Dia tak berani menatapku langsung.
Sambil menahan kesal, aku menangguk, lalu meraih mascara.
“Oke. Kita lanjutkan.”
***
Malam ini benar-benar lain dari yang lain.
Gadis itu datang sangat terlambat. Saat salon sudah nyaris tutup. Tapi dia tetap datang dan menerobos masuk. Mau tak mau, aku harus bersusah payah meminta izin agar aku bisa melayani satu pelanggan lagi; dia.
Namun detik ini, kusesali keputusanku. Aku duduk dihadapannya. Aku melihat sesuatu yang membuat hatiku lebih kesal dari sebelumnya. Terdapat luka lebam samar dipelipisnya. Kemudian luka goresan disekitar lehernya. Aku mengangkat brush dengan sekuat tenaga. Entah kenapa aku sangat ingin marah sekarang. Saat tanganku terangkat, aku berhenti. Aku memerhatikan luka lebam itu. Hatiku terasa perih. Akhirnya, aku refleks menurunkan tangan dan berdiri untuk menaruh kembali brushnya.
“Kenapa?!!” akhirnya, gadis itu yang memulai percakapan diantara kami.
“Aku gak bisa, maaf.” jawabku. Saat ini aku merasa asing. Aku merasa lain dari diriku yang biasanya.
“Tapi.. kamu harus..”
“APA KAMU GAK LIHAT..” aku menahan diri, kemudian berbalik dan berusaha tenang.
“Semua luka lebam yang terjadi sama kamu? Apa kamu gak lihat? Siapa bajingan bangsat yang melakukan..” aku melipat bibir. Lagi-lagi aku marah tak jelas.
“Siapa yang melakukan itu?”
Gadis itu tak menjawab.
“Kenapa kamu mau ngelakuin pekerjaan ini!!”
“GAK USAH BANYAK BICARA!! KAMU CUMA PERIAS DAN RIAS AKU SEKARANG!! AKU HARUS DAPAT UANG UNTUK TETAP HIDUP!!” dia berteriak tiba-tiba. Suaranya melengking dan matanya menatapku nanar.
“MESKIPUN TAHU APA YANG AKAN PRIA-PRIA ITU LAKUIN KE KAMU?!” aku tak kalah teriaknya.
“AKU GAK PEDULI!! APA PEDULIMU, HAH?! KAMU GAK AKAN NGERTI!! AKU HARUS MELAKUKAN INI!! AKU HARUS PERGI!! RIAS AKU SEKARANG!!”
Brak!
Kuraih beberapa botol base dengan kasar hingga ada yang terjatuh sampai pecah. Kutarik kursi yang didudukinya supaya mendekat ke arahku. Gadis itu terkejut. Kedua tangannya kutahan dan kusemprotkan face mist pada wajahnya. Ia mengerang perih. Namun aku tak peduli.
***
Gadis itu berjalan pergi menuju pria kesekian yang sudah menunggunya diluar.
Aku merunduk dan membereskan semua alat make up yang terjatuh. Aku merapikannya dan berusaha untuk tidak menoleh pada gadis itu.
Tanganku meraih sebuah foundie yang pecah. Aku diam. Aku tidak tahu perasaan ini darimana datangnya, tapi aku semakin tidak terima.
“Baby Marell!! Udah selesai ya? Pilihin aku baju dong!!”
Trish tiba-tiba datang membawa sebuah majalah baju dan secangkir kopi panas. Aku bisa menghirup aroma nikmatnya dari jauh. Aku menoleh.
“Besok.. gue,”
Dengan cepat aku menarik gelas kopi itu dan meneguknya sampai habis.
“Eh Rell!! Tapi, kan katanya lu gak bisa minum ko..pi..” Trish melotot. “Dan itu.. panas..”
Aku menaruhnya.
Kemudian aku mengambil ponsel dan berlari keluar.
“Rell!!” Trish kemudian mematung dan menatap tak percaya pada langkahku.
***
Ini gila. Semalam penuh aku mencarinya dimana-mana, namun belum juga kutemukan. Beberapa hotel dan club sudah kukunjungi namun hasilnya nihil. Bagaimana pun juga, aku harus mendapatinya sekarang. Aku berlari. Aku terus mencari sampai akhinrnya tak terasa sudah jam dua malam.
Aku berjalan gontai karena mengantuk. Aku mulai menyerah. Aku harus pulang dan tidur sekarang.
PLAK!
Aku agak terkejut, kemudian menoleh ke kanan. Ke sebuah gang sempit yang gelap. Disana ada seorang pria dan perempuan yang sedang bertengkar. Tak lama pria itu menampar perempuannya lagi dan menjenggut rambutnya.
Perasaanku tak enak. Aku menyipitkan mata. Astaga benar! Dia gadis itu!
“DASAR JABLAY!! BERANINYA LU CUMA NGAMBIL DUIT GUE TERUS PERGI? GITU? HAH? HEBAT BANGET LU PEREMPUAN KOTOR!!”
Aku berlari dan kutendang pria itu sampai jatuh. Dia terkejut, lalu bangkit dan melihat ke arahku.
“Lawan gue sekarang.” kataku datar.
Dia memandangku agak lama, kemudian tertawa. “Oh elu?! Si bencong dari salon murahan itu?!”
BUG!!
Aku menghantamnya sekuat tenaga. Tak lama dia membalasnya juga. Saat pertahanan seperti ini, bayangan saat dulu aku SMP kembali terputar. Aku dan Ansel. Juara bela diri satu kampung saat itu. Ansel yang telaten mengajariku semuanya. Bagaimana caranya memukul, meninju, bertahan, dan lainnya.
Saat kepalaku dihantam lagi, rasanya aku baru sadar kalau selama ini aku sudah kehilangan jati diriku yang sebenarnya. Hanya karena tuntutan pekerjaan dan uang, aku rela merubah diriku sendiri.
Aku terjatuh dan pria itu menginjak kepalaku. Aku menutup mata. Aku menahannya sekuat tenaga hingga akhirnya ada yang memukul kepala pria itu dengan besi dari belakang sampai pingsan. Aku tahu bahwa gadis itu yang melakukanya. Aku menelan ludah, kemudian bangkit dan susah payah berdiri. Aku mengatur napas, kemudian menoleh ka arah gadis itu.
Dia masih gemetar dan melotot. Tangannya mencengkram pada sebuah besi besar. Darah mengucur banyak dari jidatku hingga menghalangi pandanganku. Segera, gadis itu melempar besi, menghampiriku dan menyentuh lukaku. Namun aku bergerak mundur. Aku berjalan melaluinya, kemudian meraih sepatu haknya yang tergeletak.
Gadis itu memandangku. Aku pun menoleh.
“Ayo pulang.”
***
Hening.
Kami berdua duduk disebuah halte yang sangat sepi.
“Kita tunggu bus selanjutnya aja. Aku gak bisa bawa mobil soalnya masih di bengkel.”
Dia menelan ludah. Kedua tangannya mengepal. Aku tak tahu raut apa yang kini ia tunjukan. Aku tak mau melihatnya. Aku tak berani.
“Tinggal saja dirumahku untuk sementara ini.”
Aku tak tahu perasaan asing apa ini. Aku pernah bertanya pada Trish tentang maksud dari jantung yang berdegup kencang ketika sedang berada di dekat seseorang. Jawabannya adalah, timbulnya sebuah perasaan. Artinya, rasa suka itu muncul. Aku tak mengerti teori apa itu. Tapi yang jelas, aku tak habis pikir bahwa itu semua memang terjadi ketika aku melihatnya, menyentuhnya, dan bahkan seperti sekarang, berdekatan seperti ini.
Kalau memang benar, itu adalah rasa suka, aku tidak akan menyangka bahwa orang sepertiku, banci sepertiku, usia pemuda sepertiku, menyukai seorang gadis kucel, kusam dan bau yang masih belia itu. Seorang gadis yang masih berusia delapan belas tahun.
“Terimakasih..”
Aku mendengarnya. Dia mengucapkan terimakasih.
“Kamu.. gak seharusnya melakukan semua ini..”
Gadis yang belum pernah kuketahui namanya itu semakin membenamkan wajahnya. Aku tidak tahu dia mengapa, karena aku berusaha keras untuk tidak menoleh. Aku mendengar isakannya dan itu menyesakkan dadaku. Aku menatap lurus kedepan. Datar, tanpa ekspresi. Pikiranku berkecamuk. Aku merasa kacau dengan perasaanku sendiri.
“Kenapa..”
Dia menoleh dan mengangkat kepalanya untuk memandangku. “Kenapa kamu melakukan ini semua?”
Aku menelan ludah.
Aku tak menjawab.
Karena bagaimana pun juga, ku akui bahwa kamu lah yang membuatku sadar, bahwa seorang lelaki tetaplah lelaki.
Dan itu memang sudah sejatinya.
***
nice story, cant wait next chapter :)