“Eriz!”
Dalam kamar, Eriz duduk menghadap jendela yang bersisian dengan meja belajarnya. Kedua telinganya disumbat oleh headset putih yang tersambung dengan ponsel. Seirama dengan ketukan jarinya di atas meja, ia menggerakkan kepala naik-turun.
Pintu kamar terbuka dan membentur dinding cukup keras. Eriz terlonjak dan refleks menoleh ke belakang.
“Erizia!”
Seketika Eriz melepas kedua headsetnya lalu nyengir ke Bu Riza yang berdiri di dekat pintu.
“Mama sudah bilang jangan dengar musik lewat headset. Tahu tidak sudah berapa kali mama manggil kamu?”
Masih dengan cengirannya, Eriz menggeleng pelan.
Bu Riza membuang napas dan beralih ke topik lain. “Rifan ada di luar nungguin kamu. Katanya mau ngajak kamu ke suatu tempat.”
Usai mengatakan itu, beliau kembali ke dapur. Sementara di tempatnya duduk, Eriz tampak bersemangat. Setelah mendengar nama Rifan, ia langsung meletakkan ponselnya lalu merapikan rambut dengan tangan. Matanya berbinar cerah saat keluar dari kamar.
Rifan mau ngajak gue ke mana? batinnya.
Eriz menemukan Rifan duduk di teras. Langsung saja, ia mengambil tempat di depan cowok itu. “Kita mau ke mana, Ga? Nonton?”
Rifan berdiri, menatap Eriz lama-lama lalu menjawab dengan ekspresi jail. “Mini market.”
“Kampret.” Pupus sudah kebahagiaan Eriz. Wajahnya berubah kecut. Ia jadi tidak bersemangat keluar rumah hari ini.
Rifan terkekeh lalu mengambil tangan Eriz dan menuntunnya berjalan. “Daripada ngurung diri di kamar, mending bantu orang. Dapat pahala.”
“Bantu elu, pahalanya nggak seberapa kali.”
“Yeee, sok tahu.”
Eriz menekuk wajahnya sampai di depan mini market. Ia menyuruh Rifan masuk belanja sendiri sementara dirinya menunggu di luar.
“Jangan lama-lama, ya Ga,” ucapnya.
Rifan mengangguk. “Sejam doang.”
“Ish.”
Di luar, Eriz mengamati tukang becak yang tiduran di atas becaknya. Setiap orang punya kebahagiaannya sendiri.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Yerin tertera di layar. Eriz menjawab panggilan itu segera.
“Kenapa, lu?”
Terdengar suara mendengus. “Lu yang kenapa? Ditelepon kok jawabnya gitu sih?”
Eriz tertawa lalu bertanya dengan cara lebih sopan. “Halo, ada yang bisa dibantu?”
“Buku catatan gue ikut dalam tas lu. Besok, jangan lupa dibawa, ya.”
“Iyaaa. Lagian, bukunya masih dalam tas.”
“Jangan dibaca, mata lu bisa sakit lihat tulisan gue.”
Eriz berdecak. “Iya, iya. Siapa juga yang mau buang waktu baca tulisan lu.”
“Siapa yang tahu. Buktinya lu bawa pulang buku gue.”
“Nggak sengaja ituuu. Ugh, sebal.” Eriz menghentakkan kakinya tanpa sengaja. Tukang becak yang tidur tadi terlonjak kaget.
Panggilan dari Yerin berakhir setelah cewek itu tertawa puas. Eriz baru akan menyimpan ponselnya saat panggilan lain masuk. Nama yang cukup familiar tertera di layar.
Eriz menerawang, bukannya dulu ia sudah menghapus kontak itu?
Eriz menatap layar ponselnya lagi. Tanpa berpikir lama, ia menekan tombol merah. Namun, di menit ke dua, ponsel itu berdering lagi. Dan Eriz menolaknya lagi.
“Kok nggak dijawab?”
Eriz menyelipkan ponselnya ke dalam tas lalu menoleh ke belakang. Ia tersenyum lebar ke arah Rifan yang baru keluar dari mini market sambil menenteng kantongan putih.
“Lu beli apa aja?” Eriz mencoba mengintip isi kantongan Rifan tapi cowok itu memindahkannya ke belakang.
“Jawab dulu, itu dari siapa? Kok langsung dimatikan?”
Eriz mendesah. “Dari orang. Gue matikan karena dia nggak penting. Cukup?”
Rifan menggeleng, membuat Eriz meringis. “Rifan, gue ini bukan anak lu yang bebas lu kepoin. Udah deh. Yaaaa?” pintanya dengan muka memelas.
“Kan sayang….”
“Idih.” Eriz menyikut perut Rifan lalu mendahuluinya berjalan. Rifan bilang sayang padanya, sudah dianggap nasi putih, makanan sehari-hari yang kalau disodori lagi, tidak akan membuatnya bersorak saking senangnya.
Rifan mengamati punggung Eriz yang menjauh sebelum berlari mengejarnya. Begitu langkah mereka sejajar, Rifan merangkulnya. “ Cobaaa saja lu tahu kalau sebenarnya gue itu ….”
“Bau ketek,” sambung Eriz lalu cekikikan.
Mendengar itu, Rifan mengembuskan napas dengan hati-hati lalu memaksakan tawanya keluar.
***
Sekhan mengelus dagu sambil mengamati Ginov yang duduk di depannya. Dua menit yang lalu, cowok itu sibuk menghubungi seseorang. Lalu sekarang, sibuk menatap layar ponsel dengan serius dan sesekali terlihat kesal.
“Lihat apaan sih, Van?” tanya Sekhan, lelah tidak diacuhkan.
“FB.”
“FB?!”
Lengkingan Sekhan berhasil mengalihkan perhatian Ginov dari ponsel. Cowok itu menatap Sekhan dengan tanda tanya di wajahnya.
Sekhan menarik nafas dan mengembuskannya dengan ekspresi khawatir. Ini tidak beres. Ginov yang dikenalnya paling malas buka media sosial.
“Lu nggak sakit, kan?” Sekhan memutar jari telunjuknya di samping pelipis. “Bukannya lu nggak suka main fb, ya?”
Ginov mengedikkan bahu lalu melanjutkan kegiatannya, membuat Sekhan semakin penasaran. Sekarang saja, cowok itu menggeram dengan sikap Ginov yang terus-terusan cuek.
“Van!”
Nah, Sekhan mulai berteriak.
“Apa lagi?” Ginov menoleh dengan ekspresi datar. “Buka fb bukan dosa, kan?”
“Bukan,” jawab Sekhan spontan.
“Ya udah. Selesai. Jangan ganggu gue.” Ginov merebahkan diri dan memunggungi Sekhan.
Kepalan tangan Sekhan terangkat. Gemas. Ingin menghajarnya agar berhenti bertingkah menyebalkan.
“Argh!” Tiba-tiba Ginov terduduk lalu mengacak rambutnya. Kemudian ia melirik tajam ke arah Sekhan. “Gara-gara lu nih. Gue diblokir sama Eriz. Ergghhh!”
Sekhan terdiam.
Tunggu, Eriz katanya?
“Padahal tadi gue baru mau ngasih komentar di statusnya, tapi elu malah ngajak gue ngobrol. Ergh, sial, sialllll”
BRAKKK
Kepala Ginov terayun ke belakang oleh bantal yang dilempar Sekhan ke wajahnya. “Woi!”
Sekhan bersiap dengan bantal lain, tapi Ginov buru-buru mengangkat tangannya ke depan. “Do, kenapa sih lu?” tanyanya panik.
“Gue mau ngusir roh jahat yang ada dalam kepala lu,” ucap Sekhan sambil mengambil ancang-ancang.
Ginov berdesis lalu merebut paksa bantal di tangan Sekhan. Kalaupun ia memang kerasukan roh jahat, tetap saja ia enggan dilempar bantal. Cara bodoh darimana itu?
“Gue sehat, Sekhannn. Sehat baaanget.” Ginov menyimpan bantal yang direbutnya ke pangkuan. Ekspresinya berubah sedih. “Lu benar, seharusnya gue deketin Eriz supaya menang pemilihan nanti.”
Melihat itu, Sekhan girang. “Gue siap bantu kalau lu butuh,”
“Coba lu buat skandal dengan Rifan supaya Eriz ilfil atau benci sekalian sama dia. Setelah Eriz dan Rifan berjauhan, gue bisa dekati Eriz dan nembak dia. Terusss kami pacaran dan jabatan Ketua OSIS jadi milik gue.”
Sekhan memutar bola matanya sambil berpikir. Kemudian ia menjawab tegas, “Kasihan Rifannya. Gue nggak mau ah.”
Ginov memandangi Sekhan dengan tatapan jengkel. “Lu ini sahabat gue atau sahabat Rifan?” tanyanya lalu mendesah.
Sekhan menarik ujung bibirnya. “Sahabat lu sepenuhnya.”
Ginov mengangkat alis.
“Ginov melakukan cara kotor untuk jadi Ketua OSIS, gosip itu yang gue hindari, Bro,” lanjut Sekhan mantap. “Lagian, gue bilang ke lu supaya mendekati Eriz, bukan ngajak dia pacaran.”
Ginov menatap Sekhan serius. “Lu bilang mumpung gue putus dari Jean, gue harusnya deketin Eriz, itu tuh kayak lu nyuruh gue pacaran sama dia, Sekhann.”
“Enggak!” Sekhan keras kepala. “Dekat bukan berarti pacaran, orang berteman juga dinamakan dekat. Coba deh lu cari di kamus bahasa Indonesia, definisi dekat itu apa.”
“Lu pintar ngeles sekarang rupanya.”
Sekhan menepuk dadanya, mendadak ingin sombong.
“Sahabat nggak guna,” gumam Ginov, kembali meneliti layar ponselnya.
“Kampret, kita kapan perginya? Gue pulang nih?” Sekhan habis kesabaran. Masa’ gara-gara stalking akun facebook Eriz, Ginov lupa ajakannya bermain futsal.
Tidak mendapat tanggapan. Sekhan bangkit dan menoyor kepala Ginov. “Woi, buruan!”
***
“Rasain.” Eriz tersenyum jahat memandangi ponselnya setelah berhasil memblokir akun facebook Ginov. Harusnya dari kemarin ia ingin melakukan itu, tepatnya semenjak Ginov memutuskannya di perpustakaan. Berteman dengan mantan di sosial media cuma membuat mental bermasalah. Ginov sering sekali mengupload fotonya yang bersama Jean.
Tangan kanan Eriz terulur ke samping, meminta sesuatu dari orang di dekatnya. Namun, tangannya malah dijabat.
Eriz menoleh dengan kening berkerut ke Rifan lalu ke tangan cowok itu yang menempeli tangannya. Lu ngapain?
Rifan menatap cewek itu tanpa berkedip. Perlahan jabat tangannya pun mengerat.
“Rifan, lu bisa bikin tangan gue remuk,” ucap Eriz.
“Maaf.” Rifan mengambil bungkusan es krim yang tersisa dan menyerahkannya pada Eriz.
“Makasih,” ucap Eriz, menatap Rifan sambil bertanya-tanya dengan sikap aneh cowok itu. Tangan yang digenggamnya tadi masih terasa panas. Eriz selalu dibuat tidak mengerti dengan perbuatannya.
“Bagusan nonton atau ditraktir es krim kayak sekarang, Riz?” tanya Rifan.
Eriz pura-pura berpikir lalu menjawab sambil tersenyum lebar. “Lebih bagus diajak nonton terus ditraktir es krim.”
Rifan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban itu. “Serakah bisa bikin lu kehilangan dua-duanya loh.”
“Kalau hilang, tinggal cari penggantinya. Gampang, kok,” jawab Eriz sambil menikmati es krimnya. Sementara tangannya yang bebas menaruh ponselnya ke samping.
“Gampang, tapi nggak akan sama dengan yang dua tadi.”
Eriz manggut-manggut, menjilati es krim yang jatuh ke jarinya. “Ngapain juga cari yang sama. Pengganti memang sebaiknya berbeda dari yang digantikan.”
Baru setelah mengatakan itu, ia mengernyit, mereka sedang bahas apa sih sebenarnya?
Rifan menyodorkan tisu, dan Eriz menerimanya sambil tetap tersenyum. Sambil membersihkan sisa es krim di bibirnya, ia berkata lagi, “Lu kesini hanya untuk sedekah es krim ke gue?”
“Enggak. Es krim itu utang. Lu boleh bayar semester depan.”
“Serius, lu?” Eriz menatap dongkol cowok di dekatnya itu beberapa detik.
Dengan mudahnya, Rifan mengangguk. “Uang jajan gue masih dikasih orang tua, lu kira gue sedermawan itu traktir lu es krim sebanyak ini, hah?”
Eriz menyelesaikan es krim yang telanjur ia habiskan setengah. Dua bungkus es krim yang tersisa ia dorong ke arah Rifan. “Ambil es krim lu. Kalau tahu begini, gue nolak tadi.”
“Baik.” Rifan memindahkan dua es krim itu ke dalam kantongan dan ditaruh ke pangkuannya. Setelah es krim yang diemutnya habis, ia berdiri. “Gue pulang.”
Eriz melongo, menatap Rifan pergi sambil membawa serta es krim yang tersisa. Jujur, tadi ia yakin cowok itu bercanda. “Rifan!” panggilnya tapi tidak mendapat respon.
***
Untuk memperpanjang waktu tidurnya, Eriz menyiapkan segala keperluan sekolah sebelum tidur. Ia susah bangun pagi. Karena itu, di samping ranjangnya tersedia alarm seukuran telapak tangan berwarna biru. Di ponselnya pun alarm disetel sebanyak tiga kali dengan beda waktu tiga menit.
Eriz sadar dengan kebiasaan buruknya yang kalau tidur suka lupa bangun.
Pernah ia tidak melakukan itu dan akibatnya tiap minggu berkunjung ke ruang BK. Berkunjung dan membawa pulang surat panggilan untuk orang tua siswa.
Eriz benci melibatkan orang tuanya dalam urusan seperti itu. Sebab di rumah, mereka sudah penuh dengan masalah.
Saat mulai menyusun bukunya ke dalam tas, Eriz melihat buku catatan Yerin. Ia tersenyum dan menghentikan kegiatannya lalu mengeluarkan buku Yerin.
Jangan dibaca, mata lu bisa sakit lihat tulisan gue.
Eriz ingat peringatan itu. Cuma… selain susah bangun pagi, Eriz punya kebiasaan buruk lain yang sulit disembuhkan. Ia sering melanggar larangan orang lain.
Sambil terkekeh, Eriz membawa buku catatan Yerin ke atas ranjang. Dua bantal ditumpuk di ujung ranjang. Kemudian ia berbaring dengan posisi semi fowler.
“Buku catatan biologi,” bacanya pada sampul depan lalu membuka halaman pertama. Dari situ, Eriz membaca dalam hati dengan cepat. Yang dianggapnya tidak penting, dilewati dan lanjut ke halaman berikutnya. Semakin lama, gerakan tangan Eriz membuka halaman buku semakin cepat.
“Hm?” Isi buku itu tidak banyak. Eriz kemudian turun dari ranjang, hendak mengembalikan buku Yerin ke dalam tas saat sebuah kertas kecil terjatuh dari sela-selanya.
Eriz melirik kertas itu dan mengernyit saat membaca kalimat apa yang tertulis di sana.
Eriz berjongkok lalu meraih kertas itu dan menatapnya lama. Tulisan tangan yang amat dikenalnya tertoreh jelas membentuk ancaman singkat.
Jangan katakan apapun pada Eriz.
Sambil menyelipkan kertas itu ke sela buku Yerin, Eriz menghela napas dan mengembuskannya.
Ketukan pintu menyentak Eriz. Ia buru-buru berdiri dan berjalan ke arah pintu yang sengaja dikuncinya karena sang mama sering melanggar privasinya.
“Mau diinfus atau makan?” tanya Bu Riza begitu pintu terbuka lebar.
“Maaa!” teriak Eriz. Pertanyaan mamanya menakutkan.
Gaya bahasanya aku suka banget. Enak banget dibaca ????
Comment on chapter PROLOG