Suasana di dalam perpustakaan yang begitu luas berhiaskan banyak buku yang berbaris rapi di dalam rak buku cukup tenang meski mahasiswa-mahasiswi yang masih betah berada di dalamnya cukup ramai. Walaupun saat ini adalah waktu makan siang, tetapi tetap saja masih banyak mahasiswa-mahasiswi yang berkutat dengan buku ataupun laptop mereka.
Termasuk Karina, salah satu mahasiswi jurusan Sistem Informasi yang sudah memasuki tingkat akhir ini pun menjadi salah satu dari mereka yang masih tetap betah berada di dalam perpustakaan. Tidak ada tanda-tanda keinginan baginya untuk pulang ke rumah ataupun makan di kantin. Ia justru membuka laptop yang masih dalam keadaan menyala setelah buku yang dibacanya telah ia tutup dan di letakkan di atas meja.
Begitu jaringan wifi tersambung, Karina langsung membuka facebook dan melihat ada satu pesan obrolan. Ternyata ada satu pesan obrolan berasal dari seorang temannya yang sudah Karina kenal semenjak tiga tahun terakhir.
Assalamu’alaikum. Kamu yang jauh disana, bagaimana kabarmu?
Karina pun segera membalas pesan dari temannya itu. Wa’alaikumsalam. Aku baik.
Tidak harus menunggu lama, Karina langsung mendapat balasan.
Begitu saja jawabanmu. Apa kamu tidak lihat? Pesanku masuk dari jam berapa dan kamu baru membalasnya sekarang?
Karina tersenyum karena di akhir tulisannya, temannya itu menambahkan tanda emoticon kesal dan marah. Maaf, aku baru sempat membalasnya. Lagipula kenapa kamu harus marah?
Kamu benar, kenapa juga aku harus marah? Tapi paling tidak kamu harusnya bisa sedikit basa-basi dengan menanyakan bagaimana kabarku, ‘kan?
Baiklah. Sekarang akan aku tanyakan, bagaimana kabarmu temanku yang jauh disana? Karina tidak lupa pula menambahkan tanda emoticon senyum agar temannya itu tidak kesal lagi padanya.
Aku tidak baik. Kamu sudah membuatku badmood hari ini.
Balasan pesan dari temannya itu membuat Karina kembali tersenyum. Aku sudah minta maaf, bukan? Apa itu tidak cukup?
Aku rasa tidak. Tapi kalau kamu menuruti permintaanku ini, badmoodku pasti hilang.
Karina pun menyerah menuruti keinginan temannya itu. Baiklah.
Nanti malam kamu harus punya waktu untukku. Karena aku ingin mengajakmu berbincang lewat Skype. Kamu harus bisa karena kamu sudah bersedia mengabulkan permintaanku. OK.
Belum sempat Karina membalas, tiba-tiba saja Maya sudah datang menghampirinya. “Karin, apa kamu sudah selesai?” tanya Maya begitu berada di dekat Karina.
“Belum May, sebentar lagi,” sahut Karina menoleh ke arah Maya.
“Tapi ini sudah waktunya kita untuk pulang. Ayolah!” ajak Maya yang tidak sabar ingin segera pulang ke rumah.
“Tunggu sebentar, ya,” ucap Karina, lalu ia pun beralih menatap laptop dan segera membalas pesannya. Insya allah.
“O.K. Ayo, kita pulang!” Karina mematikan laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sementara itu, Maya sudah berdiri gelisah menunggu Karina.
Karina dan Maya berjalan menuju halaman parkir.
“Karin, semenjak kamu mengenal teman facebook kamu itu, kamu selalu saja berkutat dengan laptopmu. Sampai-sampai terkadang aku sering kamu cuekin,” ucap Maya kesal.
“Masa sih? Aku merasa nggak pernah cuekin kamu, kok,” sahut Karina tidak percaya.
“Itu memang benar. Lagian ‘kan aku yang merasakannya, bukan kamu.”
Karina berpikir mungkin ia memang pernah melakukannya pada Maya. “Maaf. Kalau terkadang aku sudah bersikap seperti itu padamu,” kata Karina dengan lembut.
“Ya, aku maafkan. Tapi, apa sih yang membuat kamu begitu nyaman ngobrol panjang lebar dengan temanmu itu? Apa jari tangan kamu nggak keriting kelamaan mengetik terus?”
Karina tertawa pelan. “Cuma obrolan singkat, terkadang cuma sekedar sharing info saja,” jelas Karina diiringi senyum yakin.
“Sharing info tentang apa saja?” tanya Maya penasaran.
“Ada aja …,” sahut Karina seraya mengerlingkan matanya ke arah Maya. Tanpa banyak bicara lagi, Maya tidak ingin bertanya lagi. Ia bisa mengerti Karina akan memberitahukannya kalau nanti Karina sendiri yang ingin cerita padanya.
“Oh ya, boleh aku tanyakan sesuatu?” tanya Maya serius.
Karina mengangguk.
“Apa kamu pikir dia bisa membawamu kesana?”
Alis Karina berkerut samar. “Dia siapa?” tanyanya bingung.
“Teman facebook yang sering chatting sama kamu itu, Karin,” sahut Maya.
“Aku tidak berpikir begitu. Aku hanya ingin berteman dengannya. Itu saja.”
Maya hanya menganggukkan kepalanya pelan, tidak jelas apa maksudnya.
“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, May?” tanya Karina pada Maya dengan ekspresi wajah polosnya memandang ke arah Maya.
“Aku juga tidak tahu,” jawab Maya santai.
Karina hanya terdiam. Alisnya berkerut. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Maya yang menyadari bahwa Karina sedang memikirkan sesuatu, ia pun mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. “Sudahlah. Lupakan saja. By the way, kita makan siang dulu, yuk!”
Karina mengangguk. “Aku juga lagi lapar berat. Cacing-cacing di perutku sudah pada saling keroyokan.”
Maya tertawa cukup keras mendengar celoteh Karina. Begitu juga dengan Karina yang ikut tertawa karena tawa Maya begitu lepas. Namun dibalik tawanya itu, ia memikirkan sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang ia harapkan terjadi suatu hari nanti. Sesuatu itu juga yang ia tak tahu akankah dapat menjadi sebuah kenyataan atau tidak.
Bersama iringan langkah kakinya, terselip sebuah harapan yang telah lama terpendam. Namun, seiring laju langkah kaki yang melangkah pasti, terselip pula sebuah keyakinan akan terwujudnya sebuah harapan