Sore itu hujan. Kla menatap air yang turun dengan derasnya dari balik jendela kaca di kamarnya. Baru saja Dee keluar dari kamarnya, setelah menginterogasi mengapa Ardha sampai bisa mengantar Kla pulang. Cewek yang tidak biasa berbohong itu, akhirnya jujur. Dee marah besar, tapi bukankah Kla juga berhak marah?
Dulu kan, Kla pernah bilang kalau cinta tidak bisa dipaksakan.
Berbeda dengan Kla yang menatap hujan, Ardha saat ini sedang berada di bahwa rintik hujan, di sebuah pemakaman yang terakhir kali ia kunjungi sebulan lalu. Makam Nadine.
“Nad, kamu harus bantu aku untuk menang melawan Bu Direly. Aku cuma mau Kla yang jadi pengganti kamu, jadi ibu untuk Oza.” Ardha megusap wajahnya yang basah akibat hujan.
“Saya terima. Waktu kamu dua minggu, tidak lebih.”
Ardha menghela nafasnya. Bagaimana bisa dia menang melawan Dee kalau waktu yang ia minta hanya dua minggu. Kla saja memberikan waktu padanya untuk jatuh cinta selama dua bulan, walau sejujurnya dia menyukai Kla sejak lama. Sejak cewek itu pertama kali ia temukan sedang melihat pengumuman lomba menyanyi di mall Kertajaya.
Bukan maksud Ardha ingin mencuri milik keponakannya, tapi tanpa perlu bermunafik ria, setiap manusia pasti ingin memiliki orang yang mereka cintai. Begitu pula dirinya. Dia yakin kalau Kla masih menyimpan perasaan untunya. Kalau tidak, untuk apa cewek itu kemarin repot-repot mengejarnya meminta jawaban mengenai taruhan?
“Doain yang terbaik untuk aku, Nad.”
**
Dua manusia rupawan yang berdiri di dekat kelas tempat Kla kuliah mengundang perhatian semua mahasiswa yang berlalu lalang. Dua manusia itu berjenis laki-laki dengan gaya yang bertolak belakang. Pertama, ada Oxel yang mengenakan hoodie berwarna maroon, jeans hitam dan sneakers putih. Rambutnya sedikit acak-acakan karena hari sudah menuju sore dan cowok itu baru saja menyelesaikan kuliahnya. Dia memasukkan tangannya ke dalam kantong hoodie yang ia kenakan, menambah kesan cool.
Kedua, ada Ardha yang bersetelan rapi, selayaknya pria kantoran, dengan rambut yang rapi dan klimis. Pria itu merasa heran karena berpasang mata melihat ke arahnya. Bahkan beberapa dari mereka dengan percaya diri menunjuk-nunjuk ke arah Ardha sambil membisikkan sesuatu.
“Salah Om sendiri, ngapain ke sini? Jadi pusat perhatian deh, kan,” sungut Oxel.
“Om mau dekatin Kla lagi.”
Oxel menatap tajam ke arah pamannya itu, “Setelah bikin dia sedih dan nangis? Dari dulu kenapa disia-siain, Om? Umur aja yang tua, tingkah kayak anak ABG.” Oxel mendecak kesal.
“Pokoknya Om jangan ganggu hubungan aku dan Kla. Jangan jadi benalu dalam hubungan orang lain. Kla juga nggak bakalan suka.”
Ardha malas menjawab. Untuk apa dia bertengkar dengan keponakannya sendiri? Dia mau dekatin Kla kan bukan urusan Oxel. Lagipula, mereka pacaran juga belum sampai satu bulan, masih menjalani minggu.
Tidak sampai lima menit, kelas Kla bubar. Pertama, seorang dosen yang tampaknya sudah berusia setengah abad keluar dari ruangan itu, diikuti mahasiswa yang ada di dalamnya. Akhirnya, Kla keluar bersama dengan Alya dan yang lain. Ada pula Risabelle di sana.
Kla mematung melihat sudah ada dua laki-laki menunggunya, menatapnya dengan tatapan seakan mengatakan harus memilih di antara mereka.
“Wah, Kla kita populer banget ya?” bisik Alya pada Kla.
Teman-teman Kla yang lain sibuk bersorak, sedangkan Risabelle mengerutkan dahi heran.
“Kalian pikir, Mas Ardha itu kenal sama Kla?” tanya Risa penuh percaya diri. “Dia itu bisa aja ke sini untuk aku.”
Alya mencibir, “Kalau untuk kamu, ya udah silakan sana temui masnya.”
Risa menuju ke tempat Ardha berdiri, diikuti dengan langkah kecil Kla di belakangnya. Alya dan yang lain enggan pulang karena masih ingin menyaksikan tontonan yang jarang ada itu.
“Hai, Mas Ardha. Ke sini ada kuliah umum lagi, ya?” tanya Risa centil.
Ardha menoleh sekilas kemudian menggeleng.
“Lama ya, Xel?” tanya Kla tak enak hati. Dia sudah bilang kalau pulang jam dua siang, tapi dosen yang baik hati itu malah menambah jamnya jadi jam tiga dengan alasan karena sebentar lagi sudah mau ujian tengah semester.
Oxel menggeleng kemudian mengusap pelan kepala Kla, “Nggak, kok.”
Ardha panas hati melihat adegan di hadapannya. Risa mengejek kemesraan Oxel dan Kla dengan memajukan bibirnya seakan jijik.
“Mas, daripada lama-lama di sini lihat dua manusia lebay ini, kita makan siang aja, gimana?”
Kla dan Oxel serentak menoleh mendengar suara menjijikan dari Risa saat berbicara dengan Ardha. Kla melirik Ardha yang masih menatapnya tanpa kedip.
Risa melingkarkan tangannya di lengan Ardha, tanpa malu, bahkan sangat percaya diri, menunjukkan kalau Ardha itu mengenalnya. “Ayo, Mas?”
Ardha akhirnya sadar kalau di sebelahnya ada makhluk lain. Pria itu mengerutkan dahi kesal lalu menepis tangan Risa. Ardha beralih pada Kla, menggenggam tangan cewek itu dan menariknya pergi dari sana. Oxel terkejut dengan tindakan pamannya itu. Cowok itu langsung mengejar langkah Kla dan Ardha, meninggalkan Risabelle sendiri menahan malu.
“Loh, kok Ardha malah narik orang yang nggak dikenal ya, Ris?” tanya Alya setelah menghampiri Risabelle yang mematung.
**
“Ar, kamu ngapain sih?” Kla menahan langkah lebar Ardha yang membawanya ke parkiran mobil.
“Kamu pulang dengan saya mulai sekarang sampai dua minggu ke depan.”
Kla berusaha menepis tangan Ardha yang menggandengnya, walau hasilnya nihil.
“Kamu nggak bisa seenaknya kayak gini, Ar. Aku emang mau dipanggil Mama sama Oza. Aku juga nggak marah waktu Oza minta kita bertiga jalan sama-sama kayak keluarga. Bahkan aku udah nggak permasahalin persoalan dua tahun lalu. Tapi, kalau kayak gini,” Kla mengangkat tangannya yang digenggam Ardha, “namanya kamu mencampuri urusan pribadi aku. Aku nggak suka.”
“Cuma dua minggu, Kla.”
Kla menggeleng, “Aku nggak bisa, Ar.”
Oxel menghentikan langkahnya ketika melihat paman dan pacarnya berdebat. Cowok itu mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menyingkirkan rasa sesaknya sekarang. Apa mungkin Kla akan kembali menyukai Ardha?
“Kla, cuma dua minggu. Aku mau buktiin kalau kamu udah ngelupain aku. Nggak lebih dari dua minggu.” Ardha mulai tidak berbicara formal, membuat pertahanan Kla sedikit goyah. Ntah kenapa, cewek itu merasa, Ardha seksi jika berbicara tidak formal seperti ini.
Kla memandang lelah tepat ke mata Ardha, “Ar, aku sudah berusaha untuk lupain kamu selama dua tahun ini. Aku sudah bangun tembok di antara kita. Kalau dua minggu ini aku selalu sama kamu, ketemu kamu, aku takut, Ar.”
“Kamu takut jatuh cinta lagi sama aku?”
Kla menggeleng pelan, “Aku takut kamu ninggalin aku. Lagi. Di saat aku sudah nyaman.”
Ardha tersentak. Spontan, dia melepaskan tangan Kla. Kesempatan itu diambil Oxel untuk mengajak Kla pergi meninggalkan Ardha yang masih diam di tempat.
Tidak ada ekspresi atau nada sedih saat Kla berbicara tadi. Ardha mengira-ngira, jangan-jangan cewek itu benar sudah melupakannya. Tapi, mata Kla tidak bisa berbohong. Masih ada cinta di sana.
**
Bohong kalau Kla tidak memikirkan perkataan Ardha kemarin. Cewek itu bahkan tidak dapat tidur malam ini. Rasanya aneh, karena dulu dia yang bersikeras untuk Ardha memberikan waktu padanya, tapi sekarang malah Ardha yang meminta waktunya. Apa dia egois kalau tidak memberikan waktu untuk Ardha, padahal pria itu sudah memberinya waktu dulu.
“Kla?” sebuh tepukan pelan menarik Kla kembali ke saat ini. Itu Nathan, ayahnya.
“Eh, Papa? Kapan masuknya?” Kla menoleh ke pintu kamarnya yang terbuka.
“Udah dua menit kayaknya Papa perhatiin kamu melamun. Nilai kamu katanya naik ya semester kemarin?” tanya Nathan kemudian duduk di sebelah anaknya sambil memeriksa sekeliling kamar mahasiswi manis itu.
Kla mengangguk, “IPK Kla juga bagus.”
“Besok kalau magang, di kantor Papa?”
Kali ini Kla menggeleng, “Nggak ah, Pa. Sesuai kampus aja. Lagian, kalau aku di kantor Papa, yang ada nanti dikira nilainya dibuat-buat, kan?” cewek itu mengernyit, “Ngomong-ngomong, tumben Papa masuk ke kamar Kla?”
Nathan mengusap kepala anaknya penuh sayang, “Papa tahu kalau kamu ketemu dengan pria itu.”
“Kok bisa?”
“Mama kamu cerita,” jawab Nathan sambil menahan tawa. “Katanya, dia ngotot mau buktikan kalau kamu masih sayang sama dia, dan kalau kenyataannya sebaliknya, Ardha bakal maksa Mama buat jadi mertua dia. Tahu nggak, apa reaksi Mama?”
Kla menggeleng dengan mata melotot, ia terkejut dengan keberanian om gantengnya itu.
“Ya kagetlah. Bayangin, sudah dua tahun ini dia nggak ada kabar, eh tiba-tiba nongol bilang kayak gitu.” Nathan berdiri, mengambil bingkai foto yang berada di atas nakas Kla, tersenyum hangat kemudian. “Mama cantik ya di sini?” tanyanya sambil menunjuk Dee, istrinya, yang tertawa lepas di foto tersebut.
“Iya, Pa. Ini foto favorit aku.”
“Mama kamu itu sayang banget sama kamu, jadi dia nggak mau kalau kamu jatuh ke pelukan pria yang salah. Ardha itu kan jarak usianya sama kamu lumayan jauh, sudah punya anak pula.”
Kla menghela napas, lelah karena ayahnya mengungkit status Ardha, “Tapi, Pa–“
Nathan meletakkan telunjuknya di depan bibir, “Ssst. Orang tua belum selesai ngomong.”
“Maaf.”
“Kalau kamu sudah punya anak nanti, kamu pasti bakal ngerti gimana perasaan Mama. Papa kasih bocoran nih ya, Mama kamu ngizinin Ardha buat dekatin kamu selama dua minggu.”
“Apa?”
*****
Bocoran dari ayahnya sukses membuat Kla berpikir dua kali lipat, sampai benar-benar bisa tidur. Hal itu berdampak pada matanya yang nyaris mirip mata panda.
“Kla? Kamu semalam ada tugas, ya?” tanya Cleva sambil menepuk bahu Kla. Sahabatnya yang satu itu terkenal tukang tidur. Mau ada tugas pun, dia pasti memilih mengerjakannya di siang hari dan malamnya langsung tidur dengan pulas sebelum jam sepuluh. Jadi, sesuatu yang aneh kalau melihat Kla seperti orang yang kurang tidur.
Kla menggeleng.
“Hmm. Ada acara di rumah?”
Kla menggeleng lagi.
“Terus kenapa dong, Kla? Mata kamu udah kayak lagi saingan sama panda, ditambah bengong mulu dari tadi. Aku tuh lagi bahas soal Delta tapi kamu nggak ada respons.”
Kla menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, memberikan cengiran, “Maaf deh, Va, kalau aku jadinya ngacangin kamu. Emang Delta kenapa?”
Cleva menggembungkan pipinya kesal, “Udah deh nggak usah dibahas, nggak penting. Kamu kenapa, kok kayaknya kusut gitu?”
Kla akhirnya membuka mulut, menceritakan info yang ia dapat dari ayahnya.
“Serius? Mama kamu ngasih waktu dua minggu?”
“Iya, Va. Gimana dong?”
“Apanya yang gimana? Kamu itu seharusnya dari kemarin nggak usah terima Oxel, Kla! Lihat sekarang akibatnya. Seharusnya kamu bisa leluasa buat pdkt ulang sama Ardha. Gara-gara ada Oxel jadinya kamu mikir sepuluh kali lipat– ah bukan, seribu kali lipat. Padahal, langkah kamu buat bersatu udah terbuka lebar.”
Kla tidak menyalahkan perkataan Cleva. Sahabatnya benar. Kla sudah salah ambil keputusan. Cewek itu menerima pernyataan cinta Oxel karena saat itu sedang dikuasai oleh emosi. Emosi memang membuatmu mengenyampingkan kenyataan.
“Tapi, cinta juga nggak harus memiliki, kan? Walau aku dan dia masih saling cinta, tapi kalau nggak jodoh mau dikata apa? Skenario sudah diatur Tuhan, kok. Episode selanjutnya kita lihat nanti. Sekarang aku mau jalani hidup kayak biasa dulu.”
Cleva menyentil dahi cewek yang duduk di sebelahnya itu, “Kalau aku bilang Tuhan sudah bikin skenario kamu untuk bersatu dengan Ardha gimana? Kamu biarin dia berjuang sendiri artinya kamu merusak skenario Tuhan.”
Kla berpikir sejenak. Tidak, dia tidak boleh menyakiti Oxel. Tapi, kalau hatinya masih dimiliki Ardha, apa itu namanya bukan menyakiti Oxel juga? Cowok bertubuh kurus tinggi itu akan sakit hati kalau hanya memiliki raga Kla, tidak dengan hatinya. Seperti lirik lagu saja.
Kalau Kla membuka peluang untuku Ardha? Itu juga termasuk menjahati Oxel, kan? Kenapa dia memacari cowok itu kalau Kla masih membuka pintu bagi Ardha yang statusnya adalah paman dari Oxel?
“Kamu harus milih Kla.” Oxel tiba-tiba datang ntah dari mana, membuat Cleva hampir menjatuhkan ponselnya dan Kla hampir terjengkang ke belakang saking terkejutnya.
“K-kok kamu ada di sini?” Kla menunjuk cowok yang berstatus pacarnya itu.
Oxel menatap sekelilingnya, “Ini kampus. Dan ini taman belajar mahasiswa. Itu bangku umum,” ujarnya menunjuk bangku yang diduduki Kla dan Cleva. “Nggak salah dong aku ada di sini?”
“I-iya maksudnya ... kok kamu bisa ada pas di sini?” Kla tak enak hati.
“Seharusnya kamu bersyukur kalau aku di sini, jadi aku tahu perasaan kamu yang sebenarnya.” Oxel tersenyum miring, “Walau kamu nggak meluapkan perasaan secara langsung, ekspresi kamu udah ngebuktiin semuanya.”
“Jadi, kamu udah tahu kan, Xel, kalau si Kla itu cintanya sama siapa?” tanya Cleva dengan wajah penuh tuntutan setelah menetralisir rasa terkejutnya.
Oxel mengangguk, “Tau. Tapi aku nggak mau tau. Aku yakin kalau Kla milih aku. Iya kan, Kla?” tanyanya yakin. “Aku kan sahabat kamu dari SD, Kla. Kamu udah kenal aku luar dalam, dan kamu nggak mungkin mau nyakitin aku dengan balik lagi ke om aku yang plin-plan itu. Aku benar kan?”
Kla ingin sekali berkata kalau Oxel itu salah, tapi mau bagaimana pun, dia memang tidak ingin menyakiti sahabat sejak sekolah dasarnya itu. Cleva yang duduk di samping Kla tampak tidak terima, melirik Kla untuk meminta jawaban segera.
“Iya kamu benar kok, Xel, aku emang nggak mau nyakitin kamu.” Kla tertunduk.
Oxel tersenyum penuh kemenangan, melirik dengan tatapan mengejek ke arah Cleva, “Iya, aku bakal bantu kamu buat lupain O–“
“Jadi ...” Kla berdiri, memotong kalimat Oxel dan menatap cowok itu mantap, “lebih baik kita putus, Xel.”
Cleva mengembangkan senyum, sedangkan Oxel membuka mulutnya hendak memberi komentar.
“Kla, aku sayang sama kamu.“
“Xel, kamu sahabat terbaik aku. Aku juga sayang banget sama kamu. Aku cinta sama kamu, tapi bukan cinta yang kayak gitu. Ini melebihi itu. Kamu itu sudah kayak saudara aku, Xel.”
Oxel tertawa miris, “Jadi kemarin kamu cuma jadiin aku pelarian, Kla?”
Kla kembali menunduk, “Maafin aku Xel. Kalau kali ini aku masih simpan semua perasaan aku, aku bakal nyesal seumur hidup. Aku bakal ngerasa jadi orang yang nggak punya ketegasan. Tolong ngerti, Xel.”
Oxel diam sesaat, kemudian tanpa sepatah kata pun, cowok itu memilih pergi. Dia muak dengan semuanya.
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha