Kringggg!!!!!!
Ya ya ya, baiklah, aku akan bangun, alarm sialan! tidak bisakah kudapatkan tidur yang cukup untuk saat ini? Terpaksa, kubuka mataku yang sangat berat demi menyongsong satu lagi hari yang akan kuisi dengan sekolah. Aku duduk sebentar, berusaha mengumpulkan nyawaku dan sadar seratus persen sambil memandang ke sekeliling kamar. Kenapa kamar ini selalu berantakan, ya? Ya karena aku malas.
“Kla, mau sampai berapa lama di kamar? Sekolah nggak sih, kamu?”
Mendengar panggilan mama, aku langsung berlari menuju kamar mandi setelah sebelumnya berteriak heboh, “Kla lagi pakai baju, Ma.”
Ya, aku berbohong.
****
Sial! Angka-angka menyebalkan yang sedang kuhadapi kali ini terlihat seperti sedang menghinaku. Kalau kalian kira aku sedang mengerjakan matematika, maka kalian salah. Lagipula, aku lebih memilih matematika daripada menyelesaikan yang satu ini. Akuntansi. Aku, Klatina, remaja usia 17 tahun dengan status siswa kelas 3 SMA yang menduduki kelas IPS 3, sangatlah tidak berbakat dalam pelajaran satu ini. Nilai ulanganku minggu lalu saja hanya 30 dan sudah kuduga itu upah tulisan yang diberikan Pak Gading. Jika aku tidak menulis soalnya, mungkin aku akan menelan telur bulat sebagai upahku.
Aku jenuh, kemudian mengedarkan pandanganku ke sekeliling kelas, mendapati Joseph, si ketua kelas sekaligus cowok sok manis yang tadi malam baru memutuskan untuk mengakhiri hubungannya denganku, sedang menatap ke arahku. Singkatnya, aku sedang ditatap oleh cowok yang belum 24 jam menyandang status sebagai mantanku. Lihat itu, lagi-lagi dia melemparkan senyum sok manisnya. Dipikirnya aku bakal luluh? Maaf saja, Joseph, aku sudah memasukanmu ke dalam buku hitam dalam hatiku. Baik, aku berlebihan, maaf.
“Baik anak-anak, waktunya sudah habis, jadi silakan kumpulkan jawaban kalian!”
Aku mendongak, menatap Pak Gading yang mengumumkan kalau waktu sudah habis, dan beralih menatap lembar jawabanku yang asal jadi. Aku hanya bisa menjawab satu soal mengenai teori akuntansi, tidak dengan soal berikutnya yang sudah pasti berhubungan dengan angka-angka. Aku berharap, aku bisa mendapatkan nilai 30 seperti kemarin saja, asal tidak lingkaran merah yang menyeramkan.
Setelah mengumpulkan jawaban, diiringi dengan suara bel yang kurasa sangat merdu, aku bergegas menuju kantin. Lapar. Dengan cuaca yang akhir-akhir ini sering kelabu, makan jadi hobi yang selalu kulakukan di kala lengang. Kata lainnya, aku doyan. Rasanya hanya dengan melihat soal akuntansi tanpa menjawabnya, energiku langsung terkuras habis. Bagaimana kalau aku mampu menjawabnya? Bisa-bisa aku mati kelaparan.
“Hai, Klatina!” sebuah suara pengganggu membuat telingaku gatal. Itu Risabelle. Memang, namanya ribet, sama seperti orangnya. Kapten pemandu sorak, atau biasa kusebut cewek-cewek berisik, yang sejak lama memusuhiku. Untuk informasi, dulu akulah yang ditunjuk sebagai ketua pemandu sorak. Walau bentukku tidak meyakinkan, aku merupakan kandidat unggulan dalam komplotan manusia-manusia heboh itu. Tapi, karena aku lebih menyukai ekskul menyanyi, aku keluar dari tim pemandu sorak. Jadwalnya bertabrakan, jadi aku harus memilih satu, dan keluar dari yang satunya. Aku keluar di saat ada pertandingan basket yang tim pemandu soraknya turut dilombakan, bertepatan dengan adanya kontes menyanyi di salah satu mall yang mengharuskan aku untuk mengikuti kontes tersebut sebagai perwakilan sekolah. Jelas saja aku memilih kontes menyanyi, karena selain tidak perlu bekerja sama dengan Risabelle, aku juga sangat suka bernyanyi.
Setelah keluarnya aku dari tim pemandu sorak, Risabelle naik tahta dan menjadi cewek arogan karena banyak penggemar. Ya, memang dia cantik sih, keturunan Kanada, katanya, belum lagi dia pintar, lagi-lagi tidak seperti aku. Tapi tetap saja, sifatnya memuakkan.
“Kenapa ya, mbak pemandu sorak?”
Risabelle melipat kedua tangannya di depan dada, “Cheerleader, norak! Nggak bisa bahasa Inggris ya?”
Aku memutar bola mataku, jenuh. Lihat sendiri, kan, Risabelle ini memang tidak punya kerjaan selain memancing emosi orang lain. Aku tak menghiraukannya lagi, kali ini fokus pada bakso yang sudah diletakkan di depanku oleh abang penjualnya.
Risabelle duduk di hadapanku, “Dengar-dengar gosip, kamu putus ya dari Joseph?”
Sendok yang menjadi pengantar baksoku terhenti di depan mulutku yang menganga. Anak ini dulu mamanya ngidam apa sih, sampai urusan orang lain pun mau dicampurinya? Aku tahu kalau dia dan Joseph dulu pernah berpacaran, jadi mungkin itu alasannya dia tambah membenciku. Tapi bisa tidak jangan membahas hal itu saat aku sedang makan?
“Eh, Anabelle, minggir!”
Wajah Risabelle memerah, menahan marah mendengar namanya diucapkan dengan salah, lebih tepatnya sengaja disalahkan. Aku akhirnya bisa memasukkan bakso ke dalam mulutku karena Risabelle sedang berdebat dengan Oxel, si anak basket yang setiap bertanding akan dapat semangat dari tim pemandu sorak.
Risabelle kelihatan murka, “Risabelle. R-i-s-a- belle. Bukan Anabelle! Dikira aku setan?”
“Kamu sendiri yang ngomong,” ujar Oxel cuek lalu mengusir Risabelle dengan sedikit menarik lengan cewek itu agar menjauh kemudian duduk di tempat Risabelle tadi duduk untuk menggangguku. Aku hanya bisa tertawa dan melemparkan pandangan terima kasih pada Oxel. Risabelle paling malas berdebat dengan Oxel, karena cowok satu itu merupakan kapten tim basket. Basket dan pemandu sorak, tidak boleh bertengkar, apalagi masing-masing kapten, karena bisa mengurangi poin dan mengakibatkan dikeluarkannya dari tim. Oxel sih cuek saja, kalau Risabelle, pasti akan mempertahankan jabatannya, yang padahal sebentar lagi akan diserahkan ke adik kelas.
“Demen banget kayaknya si mak lampir itu ganggu kenyamanan hidup kamu, Kla? Heran, kayak nggak ada kerjaan lain jam istirahat gini. Ngapain, kek, makan misalnya.”
Aku mengiyakan pernyataan Oxel. Risabelle memang kadang tidak ada kerjaan. Mungkin, dia hanya kesepian, karena yang kudengar, orang tuanya jarang di rumah. Belum lagi, kakaknya dikabarkan sering minggat.
“Ohya, kamu putus dari Joseph? Kenapa?”
Aku meletakkan sendok, meneguk es teh dengan rakus sampai tersisa setengah gelas, “Nggak usah dibahas. Jawaban basi yang seharusnya dari aku, malah keluar dari dia. Katanya mau fokus sampai masuk kuliah. Biar aku juga fokus, gitu, katanya. Udah sih, mending bahas kamu aja. Kapan cari pacar? Buat penyemangat di kala ujian nasional.”
Oxel mengangkat bahu tak acuh lalu menghabiskan sisa es tehku. Syukurlah tadi aku sempat meneguknya, jadi kekesalanku tidak berlebihan. Perkenalkan, dia Oxel, manusia yang sudah menjadi sahabatku sejak SD. Dia memiliki kesamaan denganku. Sama-sama memiliki dua mata, satu hidung, dua kaki, dan memiliki otak yang masih berfungsi. Itu sedikit kesamaan kami, terlalu banyak jika disebutkan. Oxel merupakan satu dari tokoh populer di sekolah. Kalau di film-film, Oxel ini pemeran yang saat disorot, akan ada angin-angin sejuk dan musik seru membuat semua terpana. Sebenarnya, Oxel ini anak yang baik, tapi kebanyakan orang menyalahartikan kebaikannya. Ada yang mengaku sebagai pacar Oxel hanya karena baper akibat Oxel yang selalu baik padanya. Padahal, cowok satu ini memang baik pada semua orang, kecuali Risabelle pastinya.
Walau semua tahu kalau Oxel dan aku bersahabat sejak SD, masih banyak yang mengira aku menyimpan perasaan pada cowok satu ini. Aku akui memang Oxel manis dan ganteng, ditambah lagi dia memiliki lesung pipi yang menggemaskan, tapi kalau aku hanya menganggapnya sahabat, bagaimana? Perhatianku padanya selama ini juga sebagai sahabat, aku menyayanginya sebagai sahabat, tidak lebih, namun hal itulah yang susah untuk diterima oleh fans Oxel dan anak-anak satu sekolah.
“Eh iya, kemarin kamu kok tiba-tiba izin pulang pas 2 jam terakhir, kenapa? Aku dengar dari Novita, soalnya aku mau ajak pulang bareng, kamu nya hilang.”
Oxel mendesis, “Mau ajak pulang bareng atau mau nebeng, Non?”
Aku memberikan cengiran.
“Kemarin itu aku ada acara 4 tahun kepergian tanteku gitu, dan aku harus jagain anaknya yang masih 4 tahun. Aku sering ke rumah sepupuku itu sekarang, soalnya dia masih kecil dan sering ditinggal kerja sama bapaknya. Emang ada babysitter dan asisten rumah tangga, tapi tetap aja, keluarga lebih dibutuhkan untuk jaga, kan?”
Aku manggut-manggut mengerti. Selama ini aku hanya mengenal keluarga Oxel sebatas mama-papanya dan Bayu, adiknya yang sekarang duduk di kelas 3 SMP. Aku tidak tahu mengenai omnya, tantenya, bahkan sepupu kecilnhya tadi.
****
Aku masuk ke dalam rumah dengan wajah ditekuk. Selain masih lelah karena ulangan akuntansi tadi, aku juga lelah karena dapat tugas tambahan merekap absensi dan agenda kelas yang ternyata masih kosong sejak awal kelas 3 SMA. Sekarang saja sudah Februari, jadi bayangkan sebanyak apa aku merekap absensi. Mataku menangkap segelas jus segar di atas meja ruang tamu. Memang mamaku selalu mengerti keinginan anaknya. Lihatlah sekarang, jus jeruk sudah diletakkan dengan sempurna di atas meja, menantiku untuk meneguknya. Dengan rakus, aku habiskan jus itu dan meletakkan gelas kosongnya kembali.
Aku tersenyum pada mama yang keluar dari dapur, “Makasih jusnya, Ma.”
“Jus apa? Itu bukan untuk kamu, Kla,” ujar mama dengan nada lelah.
“Lah terus, buat siapa?”
“Biar saja, Bu, nggak papa, saya juga nggak begitu haus, kok.”
Aku melirik ke arah belakang mama. Seorang pria dengan pakaian rapi a la orang kantoran berdiri di belakang mamaku. Dia tinggi sekali dibanding mama, belum lagi wanginya sampai tercium di hidungku. Astaga, itu dia!
“Saya buatkan lagi jusnya, ya?” tanya mama tak enak hati.
“Ah, nggak perlu, Bu, saya juga lagi buru-buru. Besok, saya berikan gantinya ya, Bu. Maaf sekali lagi.”
Mama tersenyum mengiyakan, “Nggak papa, nggak usah minta maaf terus.”
“Kalau begitu saya pamit, Bu.”
Aku berdiri, turut mengekori mama yang mengantarkan pria itu keluar rumah. Aku kenal orang itu. Dia cinta pertamaku! Dia om ganteng yang dulu pernah kutabrak pakai sepeda, dan aku juga sering melihatnya di Kertajaya mall. Dia salah satu alasanku sering datang ke mall itu dan mengapa aku lebih memilih ekskul menyanyi daripada pemandu sorak.
“Siapa, Ma?”
“Oh, dia itu pemilik salah satu toko barang antik di kota ini. Tadi Mama belanja di sana, trus pegawainya yang bungkus barang belanjaan Mama mecahin guci yang mau Mama beli. Pas si Pak Ardha itu lewat, lagi patroli kali, ya? Si pegawai kekeuh kalau Mama yang teledor, dan Mama disuruh ganti rugi. Ya mana Mama mau, kan nggak salah. Akhirnya diselesaikan sama Pak Ardha itu, bahkan Mama sampai diantarin pulang. Gucinya bakal diantar besok, persis dengan yang dipecahin pegawainya, jadi Mama bayar guci yang baru, bukan yang pecah.”
Aku manggut-manggut, “Ribet ya, Ma.”
“Kamu tahu nggak, dia juga yang punya Kertajaya mall, tempat kamu biasa nongkrong-nongkrong alay sama teman-teman kamu.”
Aku melotot, “Kok alay, Ma?”
“Kok kamu malah fokus ke alay-nya, bukan pemilik mall nya?”
“Ah iya, kok bisa ya, Ma, semuda itu bisa punya mall?”
Mama mengangkat bahunya, “Nggak tahu, Kla. Dengar dari ceritanya, dia itu duda. Istrinya meninggal 4 tahun lalu. Kasian, ya? Kalau Mama punya anak cewek yang sudah matang, mau deh Mama jodohin sama dia. Kelihatannya juga baik, sayangnya duda.”
Aku mengangguk-angguk mengerti, jadi itu alasan dia sering terlihat keluyuran di mall. Kasihan ya, om ganteng itu. Tak kusadari, bibirku mengukir senyum. Apa ini namanya takdir? Aku bertemu dengan orang yang dari dulu kusukai. Biasanya aku hanya melihatnya dari jauh, sekarang malah dia ada di rumahku. Lagipula mama apa-apaan sih? Aku kan anak perempuannya, walau usiaku belum matang, nanti juga matang sendiri, bisalah om itu jadi menantu mama. Terus kenapa kalau duda? Manusia juga, kan? Hehe.
“Udah ah, Mama mau lanjut masak. Kamu ganti baju, sana!”
Aku mengangguk. Dengan kesadaran penuh aku berbisik, “Istri om ganteng di mana pun berada, restui aku untuk jadi penggantimu.” Eh tunggu dulu, dia sudah punya anak belum, ya?
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha