Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah yang Kita Tahu
MENU
About Us  

Benar kata Mitos. Rasa penasaran itu, kalau tidak diladeni, benar-benar mengganggu. Tapi aku menolak menggunakan metafora yang digunakan Mitos ya, maaf saja.

Saat ini, kepalaku dipenuhi sebuah pertanyaan mahapenting: siapa cowok yang disukai Mitos dan Fakta? Bukannya aku mau jadi adik posesif sok ngatur atau bagaimana. Apakah mereka bahkan menyukai orang yang berbeda? Bagaimana kalau mereka naksir cowok yang sama? Bagaimana kalau cowok itu jadian dengan salah satu dari mereka? Aku tidak siap menghadapi kakakku yang patah hati. Dan karena Mitos dan Fakta tidak pernah bertengkar, yang akan jadi pelampiasan kesedihan mereka, pastinya, tak lain dan tak bukan adalah AKU.

Selain itu, selama lima belas tahun kami mengarungi samudera kehidupan, tak pernah sekali pun aku mendapatkan tanda-tanda Mitos dan Fakta meyakini keberadaan makhluk fana bernama cowok. Bagi mereka, cowok hanyalah jenis manusia yang sama denganku, tak lebih, tak kurang. Lalu bagaimana bisa terjadi prahara taksir-menaksir ini? Aku merasa kecele. Aku kan seharusnya jadi satu-satunya cowok yang memahami mereka!

Parahnya lagi, masalah ini sama menyita perhatiannya dengan masalah Kak Nirmala. Jika sedang sendirian, aku memikirkan Kak Nirmala. Jika sedang tidak sendirian, aku terbayang sosok berupa siluet hitam yang bergandengan tangan dengan kakak-kakakku.

Nah, sudah kubilang kan bagaimana keadaanku saat ini? Jadi jangan salahkan aku kalau nilai-nilaiku masih tidak menunjukkan adanya perbaikan.

Jangan salah aku juga kalau aku jadi banyak melamun sehingga tidak memerhatikan jalan dan langsung terpental begitu menabrak sesuatu.

Rasanya belakangan ini aku banyak terpental ya?

“Legenda,” kata sesuatu yang kutabrak, yang ternyata seseorang. Suaranya yang dalam dan bergemuruh membuatku seketika mengangkat wajah.

Di depanku berdiri seorang pria bertubuh kekar. Tidak begitu tinggi, tapi sangat kekar. Jangan-jangan beratnya dua kali lipatku. Lihat itu lengannya… aku tidak tahu lengan orang bisa membengkak sampai sebesar itu. Hanya saja, lengannya tidak bengkak, melainkan menggelembung oleh otot. Urat-uratnya nampak menonjol seolah-olah selang air berwarna hijau dijejalkan di bawah kulitnya.

“P-Pak Rangga,” cicitku sambil cepat-cepat berdiri. Tanpa sadar, aku mundur dua langkah. Berada terlalu dekat dengan otot seperti itu membuatku gugup. Jangankan dipukul, kesenggol saja bisa bikin gegar otak.

Apalagi kalau mengingat masa lalu di antara kami berdua.

Tunggu, kalimat itu kedengarannya rancu.

“Ikut saya,” kata Pak Rangga.

Aku mencoba menenangkan diri. Pak Rangga yang berbentuk binaragawan itu tidak menyuruhku untuk ikut dengannya kan? Maksudku, memangnya bantuan macam apa yang bisa kuberikan padanya? Aku bahkan tidak pernah berinteraksi langsung dengan Pak Rangga. Selama kelasnya, aku hanya mengerut di pojok, tidak berani bersuara. Menulis pun pelan-pelan, takut goresan pensilku membuatnya menyadari keberadaanku. Tentu saja, dia pasti tahu aku berada di kelasnya. Mana mungkin tidak kan. Kecuali kalau aku ternyata punya kemampuan menghapus keberadaanku dari persepsi orang-orang tertentu. Yang sebenarnya adalah sebuah kemampuan yang sangat keren. Yang sayangnya tidak kumiliki.

Bukannya kenapa-kenapa… aku takut dia ingin memberiku pelajaran gara-gara musibah itu. Aku tahu dia tidak mungkin melakukannya. Menurut banyak orang—Mitos dan Fakta—Pak Rangga hanya menganggap kejadian tersebut sebagai konsekuensi pertempuran, dan tidak menaruh dendam terhadapku. Tapi tetap saja hal itu tidak mengurangi rasa bersalahku. Dan selama aku merasa bersalah, aku akan selalu dibayangi rasa takut akan pembalasan.

“Legenda. Kamu tidak dengar?” Pak Rangga mengulangi perintahnya, “Ikut saya.”

Jadi aku tidak salah dengar ya? “K-k-kemana Pak?”

“Lapangan.”

Mampus. Mampus kuadrat. Kalau dibawa ke kantor guru, paling Pak Rangga cuma mau bicara. Tapi ke lapangan? Aku bakal diapakan di lapangan? Apa dia akan mengajakku berduel? Mitos, tolooong!

Tapi Mitos tidak muncul sebagaimana harapanku. Malah, tidak ada seorang pun yang muncul selama kami berjalan menuju lapangan olahraga yang letaknya di sayap selatan komplek sekolah.

Saking takutnya, aku tidak berani bernapas. Entahlah. Aku tidak ingat seperti apa perjalananku menuju lapangan. Mungkin aku telah membangkitkan kekuatan mengubah diri menjadi katak, sehingga aku bisa bernapas secara difusi.

Akhirnya kami pun tiba di lapangan olahraga. Bagian tengahnya adalah lapangan sepakbola, dan di sekelilingnya ada trek lari. Sepasang gawang berdiri berhadapan di kedua ujung lapangan, sementara di tengahnya, sekelompok murid dalam pakaian lapangan sedang melakukan pemanasan. Segerombolan ransel gunung teronggok di pinggir, menyaksikan pemiliknya bersiap-siap.

Di Matra ada dua jenis kegiatan kokurikuler outdoor: pelajaran olahraga dan pelajaran life survival (LS). Kostum untuk kedua kegiatan berbeda. Untuk pelajaran olahraga, murid-murid mengenakan kaus putih dan celana trening abu-abu, seragam olahraga Matra. Pelajaran ini hanya diberikan pada anak-anak kelas X. Sementara itu, LS diadakan di wahana diklat kebanggaan Perisai: gunung ini. Semua murid menggunakan kaus dan celana lapangan yang banyak sakunya itu, serta membawa ransel gunung. Pelajaran life survival ini diberikan pada anak-anak kelas XI dan XII, menggantikan pelajaran olahraga.

Sekarang kalian sudah terbayang sekolah macam apa Matra ini kan? Ya, sekolah ini sebenarnya lebih mirip akademi militer. Mengingat bahaya macam apa yang mengancam nyawa kami, wajar kalau kami harus terlatih dalam bertempur dan menaklukkan alam.

Melihat kedatangan kami, instruktur LS, seorang bapak-bapak 50-an bertubuh tambun tergopoh-gopoh mendekat.

Aku tidak akan meremehkannya hanya karena dia berperut buncit.

Barangkali perutnya itu bisa berubah jadi logam berduri yang bakal membuat tubuhku bolong-bolong kalau aku berdiri terlalu dekat.

“Ada apa, Rang?” bapak itu bertanya, melirik ke arahku.

“Anak ini kepergok lagi mabal di perpustakaan,” kata Pak Rangga.

Si bapak instruktur melirikku lagi, kelihatan geli. Memang aneh sih… masa mabal di perpus? Eh, tunggu dulu! Aku tidak mabal!

“S-saya dari toilet, Pak!” aku memberanikan diri bicara.

“Dari kelasmu ke toilet kan tidak perlu lewat perpus,” tukas Pak Rangga.

Ugh… benar sih. Aku memang sengaja mengambil jalan memutar karena ingin menengok kelasnya Fakta dan Mitos. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk soal cowok yang mereka sukai itu. Bisa jadi teman sebelah meja mereka, atau bahkan guru. Aku memang tidak bisa menerka ekspresi orang dengan akurat, tapi aku bisa menebak lah sedikit.

“Terus?” kata si bapak tambun. “Eksekusi?”

Aku spontan terbelalak.

“Eksekusi,” Pak Rangga mengangguk.

Aku mau diapakan? Jangan-jangan benar, Pak Rangga hanya mencari-cari alasan untuk menghajarku?!!!

Tiba-tiba, si bapak tertawa keras. Dia berkata ke arahku sambil terkekeh-kekeh,

“Tenang, kamu nggak bakal dihajar kok. Pak Rangga ini cuma bercanda.”

Aku tahu mukaku pasti nampak bego sekarang, tapi aku tidak tahan lagi. Pak Rangga yang lebih stoic daripada batu kali itu bercanda?! Jangan bercanda!!!

“Tapi serius, kenapa kamu bawa dia ke sini? Bukannya dikembalikan ke kelasnya.”

“Anak ini perlu latihan intensif, segera,” kata Pak Rangga serius.

“Latihan? Tapi, kita—“

“Ada Fira?” sela Pak Rangga.

Si bapak terdiam, mengusap dagunya, berpikir. Sementara itu, aku bertanya dalam hati: siapa itu Fira? Apakah Pak Rangga akan menyuruhku berduel dengan kakak kelas?

Kemudian si bapak berpaling dan berteriak kepada murid-muridnya. “Fir! Kemari sebentar!”

Seseorang menyahuti panggilannya, lalu bangkit dari posisinya yang sedang jongkok.

Orang itu adalah murid perempuan yang sedikit lebih tinggi dariku, berambut panjang, dan berkulit sawo matang. Rambutnya dikuncir buntut kuda dengan praktis, tidak menyisakan poni sehingga membuatnya nampak sporty dan segar. Kausnya seperti kulit kedua, menempel ketat ke tubuhnya sehingga memperlihatkan pinggangnya yang singset dan dadanya yang—

Aku buru-buru menatap ke tanah, merasa canggung sendiri.

“Matamu ngeliatin apa!” kepalaku ditimpuk dari belakang oleh si bapak instruktur.

 “Ada apa, Pak?” tanya Kak Fira.

Aku memberanikan diri mengintip wajahnya sebelum kembali memelototi rumput.

Wajahnya lancip dan mungil, bola matanya berwarna abu-abu jernih. Hidungnya mancung dan bibirnya penuh. Aku terlalu terbiasa melihat wajahku sendiri—menempel di leher Mitos dan Fakta—sehingga melihat wajah gadis lain rasanya membuatku merasa aneh.

“Kamu tahu anak ini?” kata si bapak.

Kak Fira tidak langsung menjawab. Aku penasaran apa yang membuatnya tidak segera menjawab, sehingga aku meliriknya lagi.

Ups.

Rupanya dia sedang menatapku lekat-lekat.

Aku cepat-cepat melirik ke arah lain. Sialnya, mataku malah bertemu dengan Pak Rangga.

“Ah,” kata Kak Fira. Tapi entah mengapa aku merasa reaksinya dibuat-buat. Dia sudah tahu sejak awal siapa aku. “Anak yang melegenda itu?”

Si bapak mendengus.

“Bapak nggak bermaksud ngejodohin aku sama dia, kan?” Kak Fira tiba-tiba bertanya penuh kecurigaan.

Aku langsung tersedak udara.

Darimana datangnya pertanyaan spektakuler begitu? Lebih kacau lagi, jawaban Pak Rangga membuatku semakin gemetaran.

“Memangnya kamu mau sama dia?”

“Aku nggak suka cowok kerempeng.”

Sori kalau aku nggak punya otot rambo, gerutuku dalam hati, tidak bisa tinggal diam mendengar penilaian sebelah pihak itu. Aku memang tidak macho, tapi aku juga tidak kerempeng-kerempeng amat. Masih ingat Kak Daya?

“Nggak masalah, saya nggak berniat menjodohkan kalian,” kata Pak Rangga santai, seolah-olah tidak baru saja mendengar seorang anak muda malang sepertiku baru dicabik-cabik hatinya. “Hubungan kalian terlalu dekat, riskan nantinya.”

Ucapannya itu, akhirnya, berhasil membuatku mendongak. Apa maksud Pak Rangga? Meski canggung, kuberanikan diri menatap Kak Fira di matanya. Kak Fira, tidak seperti kebanyakan orang yang kupapasi sehari-hari, tidak mengerut seraya menatapku. Penuh keberanian, bahkan, mungkin, ada tantangan di sana. Semakin lama menatapnya, aku semakin tak nyaman, seperti ada kait-kait tajam yang menarik hatiku keluar lewat kerongkonganku.

“Legenda, perkenalkan,” kata Pak Rangga sambil meremas bahuku. “Ini Fira, putri bungsu Farel Atmaspara. Sepupumu.”

Kak Fira memberi salut dan sebuah cengiran lebar. Cengiran yang tidak mengandung tawa. “Halo.”

Aku terlalu syok untuk menjawabnya.

 

#

 

Mitos dan Fakta, sementara itu, tidak sekaget aku. Ketika Kak Fira mengisi tempat di sebelah Fakta saat makan siang, kemudian aku mengenalkannya sebagai anaknya kakaknya Ayah, mereka hanya mengangguk sambil memberi senyum sopan. Awalnya kukira hanya aku yang lebay menyikapi persoalan “keluarga yang hilang dan ditemukan kembali” ini, sampai akhirnya Mitos memekik pelan, terbelalak menatap Kak Fira seperti baru benar-benar melihatnya.

Kak Fira tertawa renyah.

“Aku jammer,” katanya. “Aku bisa mengeluarkan sinyal gangguan ke otak. Kamu mind reader kan? Jangan harap bisa melongok isi kepalaku seenaknya ya!”

“Berbahaya,” komentar Mitos penuh kengerian, tapi tidak terlihat malu sudah tertangkap basah mencoba mengintip pikiran orang lain. Justru air mukanya menyuratkan ketertantangan karena untuk pertama kalinya seseorang bisa menghalangi hobi mengintipnya.

“Kalian bener-bener eksklusif ya, bisa pake meja tengah begini bertiga aja,” Kak Fira berkomentar sambil memandang berkeliling.

Lagi-lagi kami duduk di meja tengah di kantin, dan tidak ada yang mau duduk di meja yang sama dengan kami. Yah, kecuali Kak Fira, yang dengan sengaja mendatangi kami hari ini.

“Bukannya kelas XI lagi LS hari ini?” tanya Mitos, langsung mengganti ramah-tamahnya dengan kewaspadaan level tinggi. Mitos memperlakukan kebanyakan orang dengan santai karena dia tahu apa yang mereka pikirkan. Sikap hati-hatinya hanya muncul ketika berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak bisa dibacanya.

“Aku dikasih dispensasi,” kata Kak Fira. “Gara-gara Pak Rangga minta bantuanku melatih adik kesayanganmu ini. Menurut Pak Rangga, semakin cepat dia bisa dijamin aman, semakin cepat juga sekolah jadi tenang. Jadi kali ini aku bisa bolos LS dengan alasan mau persiapan.”

Yang tidak kupercaya. Jangan-jangan Kak Fira sengaja menjadikanku alasan karena dia sedang malas LS.

“Tapi kenapa?” tanya Mitos.

“Bukannya gara-gara satu sekolah takut adikmu itu tiba-tiba ngamuk dan membunuh kita semua?”

Aku langsung kehilangan selera makanku. Padahal hari ini menunya chicken katsu. Aku suka ayam. Dan aku suka nyaris segala hal yang digoreng dengan tepung, jengkol crispy sekali pun. Tapi perutku tiba-tiba terasa penuh dan mulutku seperti dipenuhi pasir.

Aku tidak ingin makan.

Aku ingin keluar dari tempat ini. Namun, tertahan oleh ingatan akan apa yang terjadi terakhir kali aku melarikan diri dari makan siangku, kakiku tidak mau bergerak. Aku terkunci di tempat yang aku tidak ingin berada di dalamnya.

“Maksudku,” kata Mitos, nadanya sedikit naik, “Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin? Dan kenapa Kakak nggak nyapa kami? Kakak tahu kita sepupu kan?”

“Mit,” tegur Fakta. Tetapi aku bisa melihat chicken katsu di piringnya sedikit bergetar oleh psikokinesisnya yang bocor. Fakta sudah jauh lebih baik mengendalikan kekuatannya selama setengah tahun terakhir ini, tidak lagi kecolongan membuat benda-benda di sekitar kami melayang. Namun, sepertinya hari ini pengecualian.

Kak Fira terlihat masa bodoh dengan nada menuduh Mitos. Dia bahkan tidak terlihat cemas dengan chiken katsu berlumur saus dan mayones di piring Fakta, yang mungkin saja akan menampar mukanya kalau dia tidak berhati-hati memilih kata.

“Kamu mau jawaban jujur?” tanya Kak Fira.

Mitos menatapnya lurus-lurus. Seperti terjadi lecutan listrik statis di udara yang membatasi mereka. Aku bisa melihat Mitos sangat frustrasi karena tidak bisa menembus benteng pikiran Kak Fira.

“Memangnya kalian siapa, sampai aku harus repot-repot bantuin kalian?”

Jawaban itu begitu lugas, sehingga aku tidak perlu meragukan kejujurannya. Tapi sekaligus sangat keras, meskipun dikatakan dengan volume suara yang cukup rendah dan nada yang santai. Aku tidak seperti baru mendengar suara orang, melainkan mendengar guntur. Yang menggelegar dan mengguncangkan tanah tempatku berpijak.

“Kita—“ Mitos membuka mulut, tetapi Kak Fira mengangkat satu jarinya.

“Bukan keluarga,” katanya tegas.

“Tapi—“

“Aku nggak peduli kalian menganggapku apa. Aku nggak menganggap kalian keluarga. Titik.”

Hening.

Keheningan yang menulikan. Padahal, aku tahu, kantin berdengung oleh bincang-bincang para penyantap makan siang.

Tiba-tiba Kak Fira mendengus. Dia memasukkan sesuap nasi ke mulutnya, disusul sepotong daging. Lalu dia bicara sambil mengunyah.

“Kalian serius menganggapku keluarga? Kalian bahkan baru tau kalau ayah kalian punya sodara kan? Kalau aku jadi kalian, aku sih nggak mau ribet-ribet ya. Lagian bukannya lebih gampang punya keluarga kecil seperti yang kalian pikir selama ini? Atau kalian merasa keluarga itu penting karena kalian perlu bantuan? Kalau begitu, kalian nggak butuh keluarga. Kalian butuh pembantu.”

Aku tidak mengerti.

Benar-benar tidak paham.

Aku sering menemukan orang meng-keluarga-kan orang lain meski tidak punya hubungan darah. Dan sekarang di depanku ada orang yang men-tidakkeluarga-kan kami walau kami berhubungan darah. Aku tidak pernah memikirkannya sebelumnya, tapi persoalan keluarga itu rumit ya? Jangan lupa masalah Kak Adrian dan Kak Nirmala yang sepertinya jenis yang sama sekali berbeda dengan masalahku ini.

“Ayah kalian meninggalkan rumah kami puluhan tahun yang lalu,” kata Kak Fira pelan. “Dia nggak meneruskan nama kami ke kalian. Jadi kekerabatan kita cuma sebatas pertalian darah aja. Secara silsilah, kalian bertiga nggak ada.”

Aku mencoba meneliti wajah Kak Fira, berharap menemukan setitik… apa ya? Entahlah, rasa rindu mungkin? Pada ayah kami. Pamannya yang pergi meninggalkan rumah bertahun-tahun yang lalu.

Ah, tapi… kalau Ayah pergi jauh sebelum aku lahir, maka Kak Fira pasti tidak mengenalnya. Yang diketahuinya hanyalah sosok paman yang mencampakkan keluarga besarnya untuk suatu tujuan yang tidak diketahuinya. Jadi barangkali, pendapatnya tentang kami terbiaskan oleh hal itu.

Enam bulan yang lalu, kami baru tahu bahwa ayah kami adalah anggota keluarga Atmaspara. Kabarnya, Ayah adalah seorang Pemuda dengan kemampuan yang sangat spesial dan diharapkan menjadi tulang punggung keluarga. Namun, menginjak usia 17 tahun, Ayah pergi dan tak pernah kembali.

Jujur, aku tidak tahu harus berpikir bagaimana. Selama lima belas tahun, kami tidak mengenal keluarga selain Ayah dan Ibu. Kami tidak kenal kakek dan nenek, dan kami tidak pernah mempertanyakannya juga meskipun kami menyadari, pada satu waktu, bahwa keluarga kami berbeda dengan keluarga orang lain. Mungkin karena kami terlalu sibuk merahasiakan keanehan kami. Atau mungkin juga karena kami tidak memerlukan anggota keluarga yang lain, karena keberadaan kami sudah saling melengkapi. Bahkan ketika akhirnya Ayah pun meninggalkan kami.

Sekarang, tiba-tiba kami mendapati ada satu klan besar dari leluhur yang sama. Aku tidak merasa senang, hanya takjub. Heran. Tak percaya. Dan bingung.

Kak Fira makan dengan cepat. Kurang dari lima menit, piringnya sudah licin, bahkan tidak tersisa setetes saus pun. Dengan kelotak pelan, dia menaruh sendok dan garpunya.

“Hei, nggak usah murung begitu,” kata Kak Fira. “Kalian tau Nono Reksaraga nggak?”

Kami menggeleng.

“Nah, aku dan Nono nggak ada bedanya kan? Kami sama-sama orang asing.”

Ya… benar sih. Tapi ada yang salah dengan itu. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Maksudku, aku mengontradiksi diriku sendiri. Mana ada yang benar sekaligus salah.

Pusing ah.

Kak Fira berdiri dan mengambil piringnya untuk diletakkan di bak piring kotor. “Mulai weekend ini, ketemu aku di dojo jam tujuh pagi,” katanya padaku. Lalu, dia pun beranjak, meninggalkan Mitos, Fakta, dan aku terdiam dalam renungan masing-masing.

“Kak Fira… Om Farel…” gumam Mitos, matanya mengikuti Kak Fira yang sedang berjalan keluar. “Jammer…”

“Aku masih nggak bisa beradaptasi dengan perkara ini,” ujar Fakta. Dia juga sudah selesai makan. Aku melirik piring Mitos, yang sudah hampir kosong juga. Cuma piringku yang masih penuh. Bagaimana mereka berdua bisa makan dengan kilat begitu, setelah pembicaraan yang menggetarkan langit dan bumi seperti tadi?

Mitos mengangkat bahu.

“Yaudahlah.”

“Yaudah apanya?” tanyaku.

“Mau gimana lagi? Kita memang nggak pernah kenal mereka. Lebih gampang menganggap mereka orang asing. Jadi nggak usah terlalu ambil pusing. Pusing kok diambil.”

“Haha. Garing, Mit,” gerutuku.

“Tapi kamu ketawa tuh,” timpal Fakta.

“Itu ketawa sarkastis!”

“Udah, udah,” kata Mitos, segera menengahi. Dia menepuk bahuku. “Yang penting, sekarang kamu udah punya partner latihan. Siapa tahu, mulai sekarang kamu nggak jadi lonely boy lagi.”

Aku mendengus. “Lonely boy… jijik amat sih kedengerannya.”

“Cocok kan buat kamu?”

“Maksudnya aku menjijikkan?!”

 

#

 

“Kelakuan yang seperti stalker ini menjijikkan.”

Dikatai menjijikkan oleh saudara kandung dan oleh orang lain itu rasanya beda. Beda banget.

Kupikir, setelah berlalu setengah tahun, masa adaptasiku sudah usai dan akan seperti inilah sisa kehidupanku selama paling tidak dua setengah tahun ke depan. Tapi sepertinya aku terlalu naif. Dan kalau aku berpikir masalahku ini sudah sangat pelik, berarti aku naif kuadrat. Yang berarti, aku naif kuadrat. Karena sekarang, untuk kedua kalinya pekan ini, Pak Rangga memergokiku mengintip perpustakaan. Rasanya jantungku mau copot begitu kudengar suaranya berbisik di belakangku.

Aku langsung terpikir untuk meminta maaf.

Tapi tunggu dulu… aku kan tidak melakukan kesalahan! Sekolah sudah bubar, dan murid-murid sekarang menyebar di seantero sekolah, mengerjakan ekskul mereka yang tidak ada hubungannya dengan kekuatan supranatural dan pertahanan diri.

Dan di sinilah aku, di jendela perpustakaan, ingin melihat kakak keduaku yang sedang berdiskusi seru dengan teman-teman klub literaturnya. Di sekolah ini, klub literatur peminatnya sangat sedikit. Hanya ada empat orang di dalam sana. Tiga perempuan. Satu laki-laki. Anak laki-laki itu duduk di kelas XII, penampakannya sangat kutu buku dan aku bisa membayangkan dia menyumpah dengan menyebutkan lafal teorema matematika berumur ribuan tahun. Kedengarannya jenis orang yang membosankan, tapi mungkin justru yang begitu seleranya Fakta. Aku kan tidak tahu.

“Sedang apa kamu di luar jendela perpustakaan?”

“Uh… eh… i-itu…”

“Kalau kamu mau menguntit, lakukan tanpa mencurigakan.”

“M-m-misalnya?”

“Masuk, ambil buku, pura-pura membaca.”

Aku memang bego. Tentu saja mengendap-endap di luar akan terlihat mencurigakan. Otakku ini terbuat dari apa sih, micin ya? Tapi tetap saja, ada satu hal yang harus kuluruskan. Aku memberanikan diri cemberut di depan Pak Rangga. “Saya nggak lagi nguntit siapa-siapa kok!”

Pak Rangga nampak skeptis.

“Kapan kamu mulai latihan dengan Fira?”

Begitu nama Kak Fira disebut, rasanya aku kehilangan setengah energiku.

Weekend ini.”

“Oke.”

Lalu kami berdua berdiri berhadapan dalam keheningan yang mencekam.

“Hati-hati,” kata Pak Rangga, kemudian berbalik pergi.

Aku mengantar kepergiannya dengan pandanganku. Sosoknya yang 90% otot nampak agak kikuk dan kaku, tetapi aku yakin dia bisa bergerak dengan kecepatan mengejutkan. Aku juga tak meragukan kekuatannya. Kalau ada anggota umat manusia yang bisa mengayun-ayunkan Mjölnir, maka Pak Rangga-lah orangnya. Bahkan dibandingkan dengan anggota keluarga Adikala yang lain pun beliau nampak sangat kuat.

Aku pernah membuat orang sehebat itu koma selama tiga bulan? Benar-benar sulit dipercaya kan?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • drei

    @yurriansan halo.. makasih sudah mampir XD

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Nama tokohnya juga anti mainstream :D.
    Klau berkenan kunjungi story ku juga ya. Trims

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Hai, aku suka dengan ceritamu. Unik dan bahasanya walau "marah" ttp enak dibaca. Aku bkalan lnjut baca

    Comment on chapter I.
Similar Tags
P.E.R.M.A.T.A
1873      933     2     
Romance
P.E.R.M.A.T.A ( pertemuan yang hanya semata ) Tulisan ini menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan cinta sejatinya namun ketika ia sedang dalam kebahagiaan kekasihnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya dan meninggalkan semua kenangan yang dia dan wanita itu pernah ukir bersama salah satunya buku ini .
HIWAY Ketika Persahabatan Mengalahkan Segala
1079      529     1     
Inspirational
Persahabatan bukan tentang siapa yang salah. Persahabatan adalah tentang meminta maaf. Hany, seorang gadis SMA bermata indah telah mengecewakan teman-temannya saat memutuskan untuk keluar dari ekskul cheerleader dan beralih ke ekskul futsal. Apa alasan Hany? Dan mampukah dia mengobati kekecewaan teman-temannya?
Letter hopes
1105      615     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Wanna Be
6150      1696     3     
Fan Fiction
Ia dapat mendengar suaranya. . . Jelas sekali, lebih jelas dari suara hatinya sendiri. Ia sangat ingin terus dapat melihatnya.. Ia ingin sekali untuk mengatakan selantang-lantangnya Namun ia tak punya tenaga sedikitpun untuk mengatakannya. Ia sadar, ia harus segera terbangun dan bergegas membebaskan dirinya sendiri...
Catatan 19 September
26553      3397     6     
Romance
Apa kamu tahu bagaimana definisi siapa mencintai siapa yang sebenarnya? Aku mencintai kamu dan kamu mencintai dia. Kira-kira seperti itulah singkatnya. Aku ingin bercerita sedikit kepadamu tentang bagaimana kita dulu, baiklah, ku harap kamu tetap mau mendengarkan cerita ini sampai akhir tanpa ada bagian yang tertinggal sedikit pun. Teruntuk kamu sosok 19 September ketahuilah bahwa dir...
Cute Monster
669      383     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
Gino The Magic Box
4196      1303     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
ONE SIDED LOVE
1512      667     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Musim Panas Jack
636      461     0     
Short Story
Dad is everyone\'s heroes
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...