Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah yang Kita Tahu
MENU
About Us  

Sejak saat itu, Kak Nirmala tidak pernah lagi nongkrong di taman belakang.

Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Tapi aku juga tidak berani mendatanginya di kelas dan menanyakan kabarnya. Maksudnya, siapa pula aku? Malah aku ragu Kak Nirmala masih ingat padaku. Sayangnya, waktu tidak mau menunggu kegalauanku berakhir. Dan dalam keadaan penuh kekhawatiran seperti ini, ulangan datang bertubi-tubi. Segala ilmu yang kudapat dari Fakta buyar semua, menyisakan fatamorgana. Tidak mengherankan, Fakta langsung menyemprotku begitu melihat lembar jawabanku dengan angka yang bisa bikin veteran remedial pun menangis.

“Kok nilai kamu ancur gini sih? Ini kan udah aku ajarin!” Fakta berkata nyaring. Dengan kakak seperti dia, siapa pun tidak butuh guru BK. “Pas remed nanti kamu harus dapet tiga kali lipat dari ini! Aku nggak mau tau gimana caranya!”

Teman-teman sekelasku—yang jumlahnya hanya lima belas, masih berada di kelas karena belum waktunya istirahat—menoleh ke arah kami, bikin aku pingin menggali lubang lalu mengubur diri hidup-hidup. Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tapi dia seperti tahu kapan persisnya hasil ulangan kelasku dibagikan. Kemudian dia datang ke kelasku sepuluh menit sebelum bel makan siang berbunyi untuk mengecek nilaiku. Jangan-jangan dia punya radar nilai merah? Seram.

Fakta terus mengomel, mengabaikan—atau mungkin tidak menyadari—orang-orang yang mulai berbisik-bisik dan menertawakanku.

Fakta tidak pernah gagal sih. Dia tidak tahu betapa memalukannya nilaiku yang nyaris satu digit itu diumbar-umbar di depan orang-orang yang memang sejak awal tidak punya penilaian bagus terhadapku.

Kemudian, Fakta menghela napas, berhenti mengoceh. Sadar aku tidak mendengarkan sepatah kata pun yang dia ucapkan.

“Ayo keluar,” katanya.

“Hah? Kemana?”

Fakta meraih tanganku, tidak menjawab, dan malah menyeretku pergi dari kelas. Aku tidak memprotes, membiarkannya memimpin jalan. Kami melalui koridor kelas, keluar menyeberangi taman tengah.

“Sori,” katanya pelan.

“Buat apa?”

“Menjatuhkan harga diri kamu di depan mereka.”

Oh? Jadi dia sadar?

“Aku pikir, kalau mereka ngeliat kamu punya kekurangan, mereka bakal berhenti ngejauhin kamu.”

Aku berhenti melangkah. Tanganku terlepas, sehingga Fakta pun berhenti.

“Fak, mereka nggak mau berteman sama aku bukan karena aku terlalu hebat,” kataku pahit. Masa sih Fakta tidak mengerti hal itu?

Fakta menarik napas dalam-dalam. “Iya, aku tahu. Tapi aku pikir… kalau kamu nampak biasa, mereka nggak punya alasan lagi untuk menganggap kamu monster.”

Sebenarnya aku mengerti apa yang dia pikirkan. Aku paham, tapi aku tidak menyukainya. Memang pintar akademis itu belum tentu pintar bersosial. Yang pintar dua-duanya seperti Mitos, menurutku, sangat jarang. Ditambah lagi Mitos seperti menyabotase dirinya dalam dunia akademis, sehingga personanya yang nampak di muka umum hanyalah si gadis yang kelebihan otot dan kekurangan otak. Tentu saja, itu persona yang terlihat oleh yang belum mengenal Mitos, dan menurutku jumlahnya sangat sedikit di seantero Matra.

“Aku… cuma pingin kamu balik lagi kayak kamu yang dulu. Nggak kayak gini.” Fakta membuang muka. Nada suaranya terpeleset di suku kata terakhir, dan aku tahu dia sebenarnya menahan diri agar tidak menangis.

Pernyataan ini benar-benar membuatku trenyuh. Aku tak pernah membayangkan kalau keadaanku sekarang ternyata membuat kakakku ikut menderita. Kupikir aku sudah menutupi kesedihanku dengan baik. Tapi mau bagaimana lagi… kami kan sudah bersama-sama sejak di dalam perut Ibu. Tidak butuh telepati untuk saling mengetahui kondisi masing-masing.

Aku meletakkan tanganku di pundak Fakta, meremasnya dengan lembut. Wajah Fakta yang nampak penuh kegalauan itu baru pertama kalinya kulihat. Apakah situasiku ini benar-benar parah, sampai kakakku yang kaku itu bisa memasang ekspresi begitu?

Samar-samar, aku teringat ucapan ayahku, dulu, bertahun-tahun yang lalu, sebelum aku paham apa yang dia maksud.

Gen, jadi cowok itu harus kuat. Ayah titip, jaga ibu dan kakak-kakakmu ya.

Apa yang telah kuperbuat selama setengah tahun ini? Aku hanya membuat mereka khawatir.

“Fak, aku yang sekarang nggak lebih buruk dari aku yang dulu, kok. Lagian, aku belum berhenti main musik. Nanti juga kalau udah nemu orang yang cocok, aku bisa ngeband lagi. Nggak mungkin bisa nandingin bocah-bocah itu sih.” Yang kumaksud adalah teman-teman satu bandku di SMP.

Fakta menarik napas dalam-dalam beberapa kali, sebelum tiba-tiba Fakta menghambur memelukku, membenamkan wajahnya di bahuku.

Untuk pertama kalinya dalam setengah tahun ini, aku menyadari betapa kedua kakakku telah begitu tegar bersikap di depanku. Kalau bukan karena khawatir aku akan merasa tambah buruk, mungkin mereka akan menangis, atau bertekad mengundurkan diri dari tempat ini sekalian. Tapi hal itu tidak boleh terjadi. Mereka butuh Matra. Mereka butuh orang-orang ini. Dan aku, meskipun aku benci mengakuinya, tidak bisa melindungi mereka seorang diri.

Saat itulah bel tanda makan siang berbunyi. Terdengar suara gedebuk di kejauhan, kemudian mendekat. Whuushhwhuushhh

Kami menengadah. Sejurus kemudian, sesosok hitam nampak di langit, berkaki empat dan sayap lebar yang berbulu. Tak lama kemudian, terdengar teriakan membahana yang diamplifikasi oleh toa murah-meriah.

“DIGDAYAAAA!!! TURUN KAMU SEBELUM AKU SURUH WALI NYUNDUT ANUSMU SAMPE RAPEEETTTT!!!”

Kemudian, sesosok murid laki-laki dengan armband hitam di lengan kirinya keluar gedung, toa di tangan, mata terpancang lurus ke arah si makhluk hitam yang makin lama terbang makin rendah, kepakan sayapnya menimbulkan angin ribut. Murid-murid bergerombol di pintu keluar, ingin menyaksikan apa yang terjadi. Tak satu pun dari mereka nampak khawatir, sudah terbiasa dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

“JANGAN TURUN BARENG KAMITUAAAA!!!” si pemegang toa, yang tak lain dan tak bukan adalah Kak Saza, berteriak lagi.

Aku dan Fakta, menyipitkan mata, menyaksikan Kak Daya meluncur turun dari tunggangannya, seekor kuda terbang berwarna hitam legam dengan sepasang mata yang juga hitam, hingga nampak kosong mengerikan.

Kak Saza memaki, “Kamprett!” sambil melempar toanya ke samping dan menempelkan peluit yang tergantung di lehernya ke mulut, meniupnya sekuat tenaga. Udara di sekelilingnya beriak. Sesuatu yang transparan telah muncul, kemudian menangkap tubuh Kak Daya yang meluncur cepat dari ketinggian sepuluh—lebih—meter, memelankan terjunnya. Begitu Kak Daya sampai di tanah, Kak Saza langsung menyemprotnya dengan omelan yang sangat mirip dengan Fakta.

Melihat mereka—kakak beradik yang harmonis—membuatku ingin tertawa. Tidak ada yang lucu. Tapi aku ingin tertawa saja.

 

#

 

“Rasa penasaran itu kayak diare. Kalau nggak dikeluarin, ya ngeganggu terus.” Entah dipicu oleh wangsit dari dimensi mana, Mitos tiba-tiba memuntahkan petuahnya sambil menyendok nasi goreng ke mulut, secara sukses membuat mood-ku yang merosot sejak memasuki kantin semakin buruk.

Aku meletakkan nampan dan duduk di sebelahnya, sementara Fakta duduk di seberang kami. Mitos, yang duduk lebih dulu, memilih bangku agak di tengah. Mengingat pembicaraanku dengan Fakta, aku punya dugaan dia sedang melancarkan propaganda “Legenda itu Anak Baik” dengan menempatkan kami di pusat perhatian. Mengerti tujuan kakakku tidak membuat perasaanku lebih baik. Bahkan, perasaan ringan setelah menyaksikan Kak Saza mengomeli Kak Daya, yang nampak tidak peduli, bahkan nampak sengaja ingin membuat kakak tirinya itu marah-marah, juga menghilang.

Aku tersentuh dengan usahanya, jujur saja. Tapi tidak merasa ingin berterima kasih. Setiap bangku panjang di kantin ini muat untuk 12 orang, dan tak seorang pun yang mau duduk bersama kami. Mereka malah bela-belain sempit-sempitan di meja lain. Menghadapi penolakan terang-terangan begini bikin aku tambah bete. Aku tidak mengerti kenapa aku membiarkan diriku mengalami hal ini setiap hari selama beberapa minggu terakhir, sejak semester baru dimulai. Jam makan siang di kantin selalu mengingatkanku pada betapa drastisnya perubahanku.

Seperti yang sudah pernah kubilang sebelumnya, dulu aku ini ekstrovert caper. Aku suka manggung, ska jadi pusat perhatian, suka dielu-elukan orang. Sekarang, aku ingin oplas saja supaya orang tidak bisa mengenaliku.

Libur semesteran kemarin, aku dan Pria, Trez, dan Andre sempat ketemuan. Mereka bertiga masuk Wira I, SMA yang tadinya juga incaranku. Gawain, sementara itu, masuk sekolah musik di tanah kelahiran ayahnya, dan hanya bertukar kabar lewat medsosnya sesekali.

Bisa dibilang reunian kami tidak begitu menyenangkan buatku. Rasanya ada yang berbeda. Memang sih, kumpul-kumpul kami tidak mungkin sama lagi tanpa Gawain si mulut mercon, tapi biasanya kami tidak sekaku itu.

Aku berbeda.

Sejak kejadian setengah tahun yang lalu itu, aku merasa kehilangan semangat caperku.

Sekarang, rasanya konyol sekali kalau mengingat dulu aku sangat iri pada Mitos dan Fakta. Iri pada kekuatan mereka, meskipun aku tahu betapa sulitnya bagi mereka—terutama Fakta—menyembunyikan hal itu. Menjadi anak bungsu yang tidak bisa apa-apa benar-benar membuatku merasa tidak berguna. Bagaimana lagi aku bisa melindungi orang-orang yang kusayangi kalau aku tidak bisa apa-apa?

Andai saja sejak dulu aku tahu, bahwa punya kekuatan tidak sama dengan kuat.

“Kenapa sih harus ngomongin diare sebelum makan?” kataku, karena Fakta tidak kunjung berkomentar. Padahal aku berharap mendengar kata-kata pedasnya ditujukan pada Mitos, sekali-sekali.

Kalau diingat-ingat lagi, rasanya Fakta tidak pernah menyemprot Mitos, tak peduli setak-rasional apapun omongannya.

“Poinnya,” kata Mitos sambil mencondongkan tubuh ke depan. “Kalau kamu segitu kepikirannya sampe apa yang diajarin Fakta aja mental, kamu harus melakukan aksi nyata!”

“Apaan sih, Mit. Ngomong yang jelas kenapa.” Hap! Aku menyuap mie goreng sambal matahku.

“Soal Kak Nirmala. Ajak ngobrol gih. Biar nggak penasaran.”

Aku hampir tersedak. Fakta segera mengangsurkan minuman ke arahku. Dengan susah payah, kutelan mie di mulutku bulat-bulat. Rasanya seperti menelan biji salak. Tidak semenyakitkan menelan biji kedondong, tapi cukup bikin megap-megap.

“Kenapa tiba-tiba ngomongin itu?”

“Soalnya, kalau kamu nggak segera melakukan sesuatu, bisa-bisa nilai kamu bukan jeblok lagi. Tapi minus!” kata Mitos sambil tertawa keras. Ingin sekali kujejalkan sambal ke mulut toanya. “Eh tapi, nilai minus itu menarik juga. Kamu pasti satu-satunya.”

“Mit…”

“Gimana, Fak? Kamu setuju kan?”

Fakta menggumam pelan, tidak jelas apakah dia setuju atau tidak.

“Mit, kamu dengerin apa kataku nggak sih? Kak Nirmala nggak pernah nongkrong di taman belakang lagi,” kataku dengan nada putus asa.

Kali ini Mitos yang memutar bola matanya dengan putus asa. “Kamu cari dong, Le. Usaha dikit napa? Waktu diare pun, kamu harus berusaha pergi ke toilet. Jangan keluarin di tempat.”

“Mit, kita lagi makan, ampun…”

“Aku cariin deh. Mau? Sekarang.”

“Nggak, nggak usah!”

“Aku cariin nih yaa…”

“Aku bilang enggak usah!”

“Oh, ketemu, dia lagi—“

“MITOS!!!” aku membentak, sambil menggebrak meja dan berdiri. Telingaku tiba-tiba berdenging. Kemudian, aku sadar… aku sudah bicara terlalu keras, dan sekarang semua orang di kantin menoleh ke arah kami.

Semua orang membeku.

Bahkan, desau angin di luar pun seolah tersedot ke dalam keheningan yang menyelimuti kami.

Denging di telingaku semakin kencang. Aku…

…aku tidak bisa tinggal di sini.

“Le?” panggil Mitos, alisnya bertaut.

Aku menghembuskan napas keras-keras. Tiba-tiba tidak lagi punya selera makan. Padahal, perutku yang kosong sudah berteriak-teriak ingin diisi. Tapi mulutku terasa masam dan kebas secara bersamaan.

“Duluan,” pamitku pelan. Kutinggalkan makan siangku yang baru kulahap sesuap—itu pun nyaris keluar lagi lewat hidung. Panggilan Mitos sama sekali tidak kudengar.

Setelah keramaian kantin jauh di belakangku, aku berlari. Koridor sekolah saat ini kosong, semua orang sedang menikmati santap siang mereka, entah di kantin, entah di tempat lain. Yang jelas tidak di tempat yang kulewati. Baguslah, karena aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan siapa pun saat ini—tidak peduli mereka mengindahkanku atau tidak. Aku tidak tahu menuju kemana kakiku melangkah, tetapi aku tidak berhenti untuk berpikir.

Ah… benar juga. Bukankah aku ingin berhenti berpikir? Seharusnya hal ini sudah kulakukan dari kemarin-kemarin. Berlari benar-benar terasa bebas, lepas…

Tak berapa lama, aku telah melewati pintu ganda yang menghubungkan koridor utama sekolah dengan taman depan. Tetapi aku tidak berhenti. Aku akan terus berlari, meninggalkan sekolah ini, menerjang barisan pepohonan, menyesatkan diriku di hutan yang rimbun dan damai.

Tersesat, entah mengapa, terdengar begitu menggiurkan saat ini. Tersesat di tengah-tengah pepohonan tanpa perlu lagi bertemu manusia.

Sepertinya menyenangkan.

Aku bisa kembali menjadi diriku yang dulu. Aku bisa kembali tersenyum, tertawa dengan lepas, bernyanyi, berteriak. Tanpa perlu khawatir ada orang yang mengerut ketakutan karena mengira aku sudah kehilangan kendali akan kewarasanku.

Lucu kan? Orang-orang itu takut padaku, tapi sebenarnya aku lebih takut pada mereka.

Kenapa ya, aku mau repot-repot memerhatikan mereka? Bukankah masalah itu, seberat apapun, akan jadi ringan… jika kita abaikan saja? Memangnya apa ruginya bagi siapa pun kalau aku tidak ingin menyelesaikan masalahku? Itu kan masalahku, bukan masalah mereka.

Sinar matahari siang ini sedang terik-teriknya. Cuaca cerah, tidak seperti kemarin-kemarin yang selalu mendung. Samar-samar, di kejauhan, aku mendengar kepakan sayap Kamitua. Sepertinya Kak Saza sudah melepaskan Kak Daya, bukan karena memaafkannya, tetapi karena tidak bisa melakukan apapun terhadapnya. Sebagai Ketua Komite Disiplin, Kak Saza memiliki hak menjatuhkan hukuman bagi siswa yang melanggar aturan—misalnya, bagi Kak Daya, menerbangkan Kamitua di dekat sekolah. Namun sepertinya kekuasaannya itu ternihilkan di hadapan Kak Daya, yang meskipun ‘hanya’ menjabat sebagai Ketua OSIS, tetapi memiliki kewenangan mengatur hidup Kak Saza di luar lingkungan sekolah. Dan keluarga-keluarga Perisai, sepanjang yang kutahu, menomorsatukan keluarga di atas segalanya. Di atas Perisai sekali pun.

Kurasa Kak Daya beruntung sekali. Aku yakin, prasangka yang diterimanya lebih parah daripada aku, tapi paling tidak dia menghadapinya berdua dengan Pamongnya yang mengerikan itu.

Gerbang sekolah ada di depan mata. Aku meningkatkan kecepatanku. Pahaku terasa tegang, tapi aku tak peduli. Aku belum pernah merasa sebebas ini sebelumnya. Di depan pintu gerbang, sebuah jalan yang lebarnya cukup untuk dua lajur mobil menanjak dari kaki gunung menuju ke puncak, berkelak-kelok menyusuri lereng dan tebing. Di seberang jalan itu, tanah miring yang lebih cocok disebut jurang dihalangi oleh pagar setinggi setengah meter.

Pikiranku yang gila membayangkan bagaimana rasanya melompati pagar itu dan terjun.

Dulu aku benci wahana pemacu adrenalin di taman-taman bermain. Aku bahkan benci kincir raksasa.

Tapi sekarang… sepertinya terbang bukan ide yang buruk ya?

Hanya saja, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan keinginan sesaatku itu.

Karena begitu aku melewati pintu gerbang, tubuhku tertabrak sesuatu.

Atau lebih tepatnya, aku menabrak sesuatu.

Tubuhku langsung terpelanting. Bayangkan sesuatu yang sedang bergerak dalam kecepatan tinggi, bertubrukan dengan sesuatu lain yang kira-kira sama besarnya, bergerak dalam kecepatan yang sama tingginya, dalam arah yang berlawanan.

Di jalan yang miring itu, badanku berguling-guling, sampai akhirnya aku tersangkut di anak pohon bambu yang baru saja tumbuh.

Denging di telingaku menghilang sepenuhnya, digantikan oleh degup jantung yang bertalu-talu.

Sambil menggeram kesakitan—sepertinya tidak ada yang patah, untunglah—aku berbalik, mengangkat tubuhku sehingga bertumpu pada kedua sikut. Aku menatap ke arah atas, ke arah pintu gerbang sekolah, ingin melihat benda yang kutabrak.

Hanya semeter dari tempatku, sesosok perempuan tergeletak, dengan posisi yang mirip denganku, perlahan mendorong tubuhnya bangkit dari tanah. Rambut panjangnya merumbai ke depan. Kemudian, mungkin untuk alasan yang sama denganku, dia mengangkat wajahnya dan pandangan kami bertemu.

“Kak… Nirmala?” panggilku tak yakin. Pandanganku sedikit kabur. Apa tadi kepalaku terbentur? Atau hanya karena tubuhku shock saja, baru dibuat menggelundung di jalan gunung yang tak beraspal ini?

Aku mendudukkan diri. Selain baret-baret di lengan dan celana sobek di bagian lutut, aku baik-baik saja. Agak dekil karena baru berguling-guling di tanah, tapi secara umum baik-baik saja.

Plok… terdengar suara keras dari arah atas.

Kami menengadah.

Empat orang murid lelaki dengan badan yang lebih macho daripada polisi baru lulus dari akademi sedang berjalan ke arah kami. Pemimpin mereka mengenakan kacamata dan rambut cepak yang stylish. Baik kacamatanya maupun rambut cepaknya stylish. Aku tidak tahu mengapa aku merasa harus memberi emphasis pada dua hal tersebut. Tangannya bertepuk pelan. Plok… plok… plok…

Aku dan Kak Nirmala berdiri. Aku bisa melihat Kak Nirmala menatap sekeliling. Mencari jalan keluar—atau perlindungan. Sementara aku, masih mencoba memahami situasi yang tidak biasa ini, menatap lurus-lurus ke arah Kak Adrian yang sedang menyeringai sadis.

“Wah, wah, kasian bener,” kata Kak Adrian. “Lo memang malapetaka dimana pun lo berada, Mal. Tuh, nama lo aja udah pas banget.”

Teman-temannya tertawa.

Aku tidak.

“Udah lebih paham kan sekarang? Lo tuh harusnya udah minggat dari sini. Harus berapa banyak lagi orang yang jadi korban sebelum lo sadar, hah?!”

Dari sudut mataku, aku melihat tangan Kak Nirmala bergetar. Udara di sekitarnya seperti bergelombang. Aku membayangkan suhu di sekitar itu meningkat ke level yang tidak lagi manusiawi, tetapi tak sepercik pun api muncul.

Kenapa? pertanyaan itu bergaung di kepalaku. Bukankah Kak Nirmala memiliki kekuatan untuk melawan Kak Adrian?

Kak Adrian sudah berada di hadapan kami, bersidekap dan menatap kami dengan mata menyipit.

“Elo, pergi sana,” katanya kepadaku.

Ketika aku tidak bergeming, dia mengulang.

“Budek lo? Gue bilang, pergi!”

Entah mendapatkan keberanian darimana—mungkin lebih tepatnya bukan keberanian, tapi efek tingginya kadar adrenalin dalam darahku—aku menggeser posisiku, sehingga berada di antara Kak Adrian dan Kak Nirmala. Aku mendengar Kak Nirmala menarik napas tajam di belakangku, sementara Kak Adrian mengangkat satu alisnya.

“Enggak,” kataku mantap.

“Nggak usah ikut campur!”

“Menurutku aku harus ikut campur.”

“Oh? Lo pikir lo siapa?”

“Bukan siapa-siapa, tapi aku nggak bakal diam aja melihat orang lain diperlakukan seenaknya. Memangnya Kakak pikir Kakak siapa?”

Aku bisa melihat urat di pelipis Kak Adrian menonjol. Kak Adrian mencengkeram kerah bajuku dan menarikku, sampai hidung kami nyaris beradu, matanya yang cokelat berkilat-kilat.

“Lo… sadar nggak… lo… berhadapan… dengan siapa?!” dia berkata gusar, setiap suku katanya bergetar oleh amarah.

Balas memberinya tatapan keras, aku menjawab, “Dengan pecundang yang merasa super karena menindas yang lemah!”

Kak Adrian mendengus tertawa. Napasnya yang berbau mint menerpa wajahku.

Awalnya kupikir dia menganggap omonganku lucu. Sampai setengah detik kemudian, tubuhku kembali terpelanting, dan menggelundung lagi. Aku mendengar sebuah suara tinggi meneriakkan namaku, tapi aku tidak punya waktu untuk mencerna suara siapa itu. Sesuatu yang panas dan amis membuncah di dalam mulutku.Aku membiarkan tubuhku lemas, direngkuh oleh gravitasi.

Sebelum aku bisa memperbaiki posisiku, beberapa kejadian terjadi beruntun dan dengan cepat. Angin bertiup kencang, seseorang berteriak ngeri, gemerisik dedauanan disusul dengan gedebuk keras.

Kemudian, aku ditubruk lagi.

Tapi, kali ini aku tidak kembali menggelundung, melainkan diselimuti oleh kehangatan.

Baru ketika aku merasakan paru-paruku teremas, aku sadar bahwa seseorang sedang memelukku erat-erat.

Rupanya sekarang bukan hanya ada aku, Kak Nirmala, dan Kak Adrian dan gengnya, di tempat ini, tetapi juga Mitos dan Fakta.

Dan sosok besar dan hitam di depan kami. Kamitua.

Sayapnya bergerak-gerak perlahan, sementara kakinya menjejak-jejak tanah dengan enerjik, seperti sudah tidak sabar ingin menginjak-injak sesuatu sampai hancur. Dengan sedikit usaha dan telengan kepala, aku bisa melihat Kak Adrian terkapar di tanah, kacamatanya copot, sudut bibirnya mengeluarkan darah, sementara kelompoknya nampak mengerut penuh kengerian.

“Mit,” aku menepuk pundak kakakku, yang memelukku begitu erat sampai rusukku berkeriut menyakitkan, “ada apa ya…?”

Mitos melepaskanku, kedua tangannya membingkai wajahku, wajahnya nampak sangat khawatir—ekspresi yang baru kedua kalinya kulihat seumur hidupku. Dan aku langsung menyesal.

Ya, aku sudah bertindak bodoh. Terlalu bodoh.

“Kamu nggak apa-apa, Le?”

“Aku nggak apa-apa. Tapi ada apa…”

Perlahan, aku mencoba merekonstruksi peristiwa dua puluh detik yang lalu dalam kepalaku.

Kak Adrian memukulku. Itu yang membuatku terpelanting.

Mitos dan Fakta datang bersamaan dengan Kak Daya dan Kamitua.

Seseorang—atau sesuatu—menghajar Kak Adrian. Aku lebih percaya Fakta yang melakukannya, tapi melihat agresi yang ditunjukkan Kamitua, bisa saja makhluk itu yang melemparkan Kak Adrian dengan kepakan sayapnya yang bisa menimbulkan badai kecil itu. Hanya saja, aku tidak punya penjelasan mengapa Kamitua mau menghajar Kak Adrian. Tentu saja, mungkin kuda terbang itu melakukannya karena perintah Kak Daya. Yang memberikan pertanyaan lain: mengapa Kak Daya ingin menghajar Kak Adrian?

Dia tidak mungkin melakukannya untuk membelaku kan?

Terdengar derap langkah seseorang, kemudian Kak Saza muncul di gerbang.

“Daya!” bentaknya galak. “Aku kan udah bilang, bawa pamongmu pulang! Kamu pikir biaya renovasi atap runtuh itu receh, hah?!”

Kak Daya menggumamkan sesuatu. Aku tidak bisa mendengarnya dari jarak segini. Aku juga yakin Kak Saza memahami ucapannya bukan karena bisa mendengarnya, tapi karena membaca gerakan bibirnya.

Kemudian Kak Saza melayangkan pandangannya ke sekitar, menatapi kami satu per satu. Dia tidak kelihatan terkejut atau heran, hanya mengevaluasi TKP dengan tenang dan objektif. Sepertinya butuh seumur hidup tinggal di tengah-tengah lingkungan penuh fenomena supranatural untuk bisa setenang Kak Saza dalam menghadapi kejadian seperti sekarang ini.

“Kalian semua ikut aku ke Kamar Konseling,” katanya tegas.

“Hah,” kata Kak Adrian, yang sudah kembali berdiri dengan dibantu teman-temannya. Meludahkan darah dari mulutnya. “Kenapa gue harus nurut sama lo?!”

Kak Saza mendelik dingin. “Kamu pikir aku peduli kamu nurut atau enggak?”

Lalu, udara seperti memadat di sekitar Kak Adrian, kemudian tubuhnya menjadi kaku dengan kedua tangan rapat di sisi tubuhnya, terangkat beberapa sentimeter. Sesuatu yang besar dan transparan—seperti seekor makhluk melata yang terbuat dari air—melilitnya. Makhluk yang tadi muncul untuk menangkap Kak Daya yang meluncur turun dari Kamitua.

“Hei!” Kak Adrian memprotes. Dia mencoba menggerakkan tangannya. Ujung-ujung jarinya berpijar, kemudian berasap.

Makhluk melata itu meraung kesakitan.

“Sagara!” seru Kak Saza.

Si makhluk melepaskan Kak Adrian dan terbang meliuk-liuk ke belakang Kak Saza, seperti anak kecil yang berlindung di balik orang tuanya. Kak Saza menjadi berang.

Kak Adrian melepeh. “Hah! Berani-beraninya lo! Lo lupa gue siapa, hah?!”

Kenapa sih dia selalu menanyakan hal itu? Apa dia tidak mengenal siapa dirinya sendiri?

“Dia udah terbiasa dianggap pangeran, semua orang sembah sujud sama dia,” bisik Mitos, jelas-jelas membaca pikiranku.

“Trus kenapa,” gerutuku. “Kak Daya kepala keluarga Reksaraga, dia jauh lebih berhak untuk sok berkuasa daripada dia.”

“Kamu nggak tau, Le? Kak Daya itu seperti kita.”

Aku mengerutkan kening, tak mengerti. Mitos melanjutkan,

“Kak Daya dibesarkan di luar Perisai. Sia baru setahunan kembali ke keluarga besarnya.”

Aku spontan terbelalak. “Apa? Terus gimana…”

“Rupanya, di keluarga Reksaraga, siapapun yang bisa menjinakkan Kamitua, itulah yang pantas jadi kepala. Sejak kecil, Kak Daya bisa mengendalikan makhuk-makhluk gaib dengan mudah. Kamu ingat gempa hebat setahun yang lalu? Itu gara-gara Kak Daya nggak sengaja memanggil makhluk besar dari dalam tanah.”

“Apa?!”

Memanggil makhluk besar saja sudah sulit, menurut yang pernah kudengar, apalagi melakukannya secara tidak sengaja.

“Berkat kejadian itu, Kak Shirleyn berhasil melacak keberadaan Kak Daya, dan akhirnya Kak Daya dibawa pulang.”

“Dibawa pulang itu kedengeran kayak pesen take away.”

Mitos menjitak kepalaku. “Sempet-sempetnya bercanda!”

Tiba-tiba Kamitua mengepakkan sayapnya kuat-kuat, sehingga aku dan Mitos harus merunduk kalau tidak ingin terhempas jauh-jauh menuruni lereng. Kak Daya memeluk lehernya yang besar kuat-kuat. Sepertinya pegasus hitam itu sudah bosan dengan pembicaraan anak-anak manusia yang berkepanjangan dan tidak signifikan di depannya. Tindakannya membuat Kak Adrian kembali meringkuk, begitu pula gengnya.

Setelah beberapa saat, akhirnya Kak Daya bisa menaiki tengkuk Kamitua, kemudian menepuk lehernya.

“Hei, aku belum selesai ngomong!” teriak Kak Saza.

Tapi Kak Daya memberinya salut, kemudian menerbangkan Kamitua. Kami kembali merunduk sementara kuda itu mengepak pergi.

“Angon kuda brengsek,” maki Kak Saza. Makhluk air di belakangnya bergelung-gelung, seolah menyetujui ucapannya.

“Ngurus keluarga sendiri aja ga bisa,” cibir Kak Adrian, kembali menemukan keberaniannya setelah Kamitua pergi. “Nggak usah sok jagoan lo!”

Kak Saza memberi Kak Adrian tatapan paling tajam yang pernah kulihat. Tetapi Kak Adrian tidak nampak takut, malah menantang. Kemampuan sebesar apa yang membuatnya bisa begitu percaya diri? Padahal lawannya adalah seorang manusia lengkap dengan pamongnya.

Rasanya bermenit-menit berlalu, sementara dua orang menyeramkan itu adu pelotot.

Akhirnya, Kak Adrian mendecakkan lidahnya, dan memutus kontak mata. Dia berbalik, berjalan menuju sekolah.

“Ck. Udah ga selera lagi gue,” gerutunya.

Konco-konconya segera mengekori.

Kami, yang masih tinggal, mengikuti mereka dengan pandangan, sampai mereka menghilang di balik tembok.

Kak Saza menoleh pada kami.

“Kenapa kalian masih di sini?!” bentaknya.

“Maaf, Kak,” kata Mitos cepat-cepat. Lalu dia menyenggol sikutku, yang terasa perih. “Ayo.”

Fakta bergerak ke sisiku, sehingga aku diapit olehnya dan Mitos. Kami berjalan beriringan.

“Kak Nirmala,” kataku saat melewatinya.

Kak Nirmala melirikku sekilas, kemudian berjalan cepat-cepat mendahului kami. Aku memanggilnya sekali lagi, tapi dia tidak menoleh.

“Jangan leha-leha,” tegur Kak Saza.

Kami bertiga segera menyingkir.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • drei

    @yurriansan halo.. makasih sudah mampir XD

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Nama tokohnya juga anti mainstream :D.
    Klau berkenan kunjungi story ku juga ya. Trims

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Hai, aku suka dengan ceritamu. Unik dan bahasanya walau "marah" ttp enak dibaca. Aku bkalan lnjut baca

    Comment on chapter I.
Similar Tags
Dear Diary
516      323     1     
Fantasy
Dear book, Aku harap semoga Kamu bisa menjadi teman baikku.
Today, I Come Back!
3940      1356     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Alfazair Dan Alkana
275      223     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
Beach love story telling
3011      1477     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
Violetta
616      365     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
JUST A DREAM
1024      503     3     
Fantasy
Luna hanyalah seorang gadis periang biasa, ia sangat menyukai berbagai kisah romantis yang seringkali tersaji dalam berbagai dongeng seperti Cinderella, Putri Salju, Mermaid, Putri Tidur, Beauty and the Beast, dan berbagai cerita romantis lainnya. Namun alur dongeng tentunya tidaklah sama kenyataan, hal itu ia sadari tatkala mendapat kesempatan untuk berkunjung ke dunia dongeng seperti impiannya....
The Secret
411      282     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Alvira ; Kaligrafi untuk Sabrina
14119      2565     1     
Romance
Sabrina Rinjani, perempuan priyayi yang keturunan dari trah Kyai di hadapkan pada dilema ketika biduk rumah tangga buatan orangtuanya di terjang tsunami poligami. Rumah tangga yang bak kapal Nuh oleng sedemikian rupa. Sabrina harus memilih. Sabrina mempertaruhkan dirinya sebagai perempuan shalehah yang harus ikhlas sebagai perempuan yang rela di madu atau sebaliknya melakukan pemberontakan ata...
Love Finds
16074      3288     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...