Keempat manusia tersebut sudah siap untuk sebuah pendakian. Carrier--tas gunung--dan segala perlengkapan sudah mereka bawa, dan sudah tak ada waktu lagi untuk mereka mundur--dan merekapun tak mau mundur--karena beberapa menit lagi, pendakian agar segera dimulai.
Mereka tak sabar. Namun mereka percaya, mereka bisa melaluinya.
"Inget aturan mainnya, ya. Satu capek, semua berhenti. Dan jangan sungkan bilang, apalagi dengan alasan takut ngerepotin," kata Boy, menegaskan.
"Benar. Kita ini tim. Nggak boleh egois," tandas Juang. "Nggak boleh menghina kalau salah satu capek."
Kedua gadis yang ada diantara mereka, saling pandang sejenak, meski setelahnya mereka saling buang muka lagi. Baik Caca maupun Maya tau, kata-kata yang Boy dan Juang ucapkan, ditujukan untuk mereka. Untuk Caca, agar tak sungkan bilang jika lelah. Dan untuk Maya, agar tak menghina--dan tak berkata bahwa Caca lemah dan merepotkan--jika Caca kelelahan.
Dan setelah sepakat, keempat manusia itu mulai berjalan. Pendakian menuju Pos Ranu Kumbolo, dimulai.
**
Tanjakan pertama yang mereka dapati adalah tanjakan setelah gapura bertuliskan ‘Selamat Datang’.
Meski tanjakan pertama, namun curam kemiringannya sudah cukup membuat mereka--terutama Caca--mulai ngos-ngosan kelelahan.
"Ca, kuat?" tanya Juang.
Caca mengangguk. "Kuat."
Maya melirik sekilas. "Yakin? Misal lo nggak kuat, bilang deh, daripada kenapa-napa di atas."
Deg.
Ada rasa senang di hati Caca, usai Maya mengucapkan kalimat tadi.
Namun Maya menggeleng cepat. "Jangan pikir kalau gue mulai lunak sama lo, Ca. Gue cuma mengingatkan apa yang sudah kita sepakati, untuk saling menjaga, dan untuk saling men-support selama pendakian."
Meski begitu, Caca tetap saja senang.
"Capek, Ca?" tanya Boy.
Caca mengangguk tanpa ragu-ragu. "Lumayan."
"Guys, ayo break sebentar!" teriak Boy.
Akhirnya, keempat manusia tersebut duduk, meluruskan kaki mereka yang mulai lelah. Tak peduli celana mereka kotor, yang jelas, saat ini hal yang paling mereka dambakan--terutama Caca--adalah duduk.
"Maaf ya, gue baru pertama naik gunung.." Caca menunduk, tak enak.
Juang tersenyum. "Santai, Ca."
"Tapi gue nggak enak.. Karena gue, kalian terlalu sering berhenti.."
Kali ini Maya bergeser, duduk tepat di sebelah Caca. "Ca, aslinya gue pengen hina lo, masa segini doang udah jiper?? tapiii, gue kan udah janji nggak akan ejek lo."
Caca mengerutkan keningnya, tak mengerti akan maksud Maya.
"Sinih kaki lo," kata Maya.
"Hah?"
Maya menggapai kaki Caca, dan menggulung sedikit celana yang Maya pakai, hingga sedikit betis Caca terlihat. "Lo suka pakai koyo?" tanya Maya.
"Kadang-kadang. Kenapa?"
"Lo harus pakai ini." Maya mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Koyo, bermerek salonpas, yang sudah terkenal seantero jagad raya. Dan terkejutnya lagi, Maya menempelkan koyo tersebut di kedua betis Caca. "Biar hangat."
Deg. Ada rasa hangat di hati Caca. Sungguh, kali ini ia menahan rasa harunya, agar ia tak menangis. "Thanks, May."
Juang dan Boy bertatapan. Kemudian, Boy menyelinap di sela-sela dua gadis tersebut, dan menepuk bahu kanan Maya dan bahu kiri Caca bersamaan. "Nah, gitu dong. Akur kan enak dilihatnya."
Juang mengangguk. "Iya. Nggak capek apa jutek-jutekan mulu?"
Maya menepis tangan Boy yang hinggap di bahunya. "Apaan, sih?"
"Ngomong-ngomong.. Perjalanan ke Pos Ranu Kumbolo, berapa lama, ya?" tanya Caca. Caca tak bermaksud mengalihkan pembicaraan. Namun rasa penasaran Caca memang sudah sangat memuncak. Ia ingin cepat sampai, rasanya.
"Estimasi pendakian dari Pos Ranupani menuju pos Ranu Kumbolo sekitar 5-6 jam lamanya," jawab Juang.
Astaga.. Caca menepuk dahinya. Bahkan seperempat perjalananpun, belum ia lalui.
"Tenang aja.. Kita nggak pasang target kok untuk sampai puncak. Santai aja, pelan-pelan nggak masalah," kata Boy, mencoba menenangkan Caca.
Mereka menghabiskan waktu sepuluh menit tuk beristirahat sejenak, dan mereka meneguk minum hanya sedikit, karena mereka mencoba menghemat perlengkapan logistik yang mereka bawa.
Setelah dirasa cukup, merekapun melanjutkan perjalanan.
**
Bulir-bulir keringat sebesar jagung sudah membasahi baju mereka. Bunyi nafas yang tidak teraturpun terdengar dari mulut mereka. Mereka mulai lelah.
"Masih jauh?" tanya Caca.
Juang mengangguk. "Banget."
Tiba-tiba Caca begidik ngeru, terbayang harus melalui medan seperti itu untuk beberapa jam kedepan.
Posisi barisan adalah, Boy menjadi pemimpin di barisan terdepan. Kemudian, disusul dengan Caca, Maya, dan di akhiri oleh Juang sebagai penjaga belakang, berjaga-jaga jika ada sesuatu yang terjadi pada para gadis yang menggantungkan hidupnya pada dua lelaki ini.
Caca melirik ke arah belakang. Dan ia bahagia, karena mendapati Maya tengah menikmati satu bungkus tolak angin yang tadi ia berikan untuk Maya, dengan perantaraan Boy.
Maya yang mengetahui bahwa Caca tengah melihatnya, kini memutuskan tuk mengatakan hal yang sedaritadi mengganjal pikirannya. "Ca?" panggil Maya.
"Apa, May?"
"Thanks, buat minyak kayu putih sama tolak anginnya," kata Maya, akhirnya, setelah berjam-jam menahan rasa bimbang, antara mengucapkan terima kasih atau tidak. Tapi kali ini hati Maya tergerak tuk berucap terima kasih pada seorang Caca.
"Sama-sama. Kalau habis, gue masih ada, kok," balas Caca.
Maya mengacungkan ibu jari tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk memegang satu bungkus tolak angin cair yang menjadi penghangat suhu badannya saat ini.
Dalam dua jam perjalanan, mereka tetap ‘konsisten’ untuk selalu break--istirahat sejenak selama beberapa menit--dan kemudian, jalan lagi.
Bagi mereka, lebih baik terlambat, yang penting selamat.
**
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Maghribpun tiba. Keempat kepala tersebut memutuskan berhenti sejenak.
"Sholat dulu, yuk?" ajak Boy. "Minta keselamatan."
Caca tersenyum. Sebenarnya, jika Boy belum mengajak, Caca-lah yang akan mengingatkan teman-temannya tuk sholat. Namun ternyata Boy sudah mengingatkan.
Dan mereka semua setuju. Menggunakan kompas yang dibawa, mereka mencari arah kiblat. Mereka menghentikan pendakian sejenak, lalu mulai menjalankan ibadah sholat maghbrib, diawali dengan ber-tayammum dahulu.
Usai sholat, keempat manusia tersebut saling pandang dan tersenyum bergiliran. Keempatmya merasa bahagia, pernah melaksanakan sholat di tempat yang lebih tinggi dari biasanya.
"Ini pertama kalinya gue sholat waktu naik gunung," kata Juang.
Maya mengangguk. "Sama."
Boy pun ikut mengangguk. "Sama. Gue pun begitu. Tapi mulai hari ini, gue janji, akan lebih rajin ibadah. Toh, sholat ketika naik gunung, nggak repot, kan?"
"Subhanallah... Boy.. Lo kesambet apa nih?" tanya Juang, dengan nada tengilnya.
Boy hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Gadis di dekatnya, adalah jawabannya. Caca, membuka mata Boy, bahwa memanjatkan doa adalah cara terbaik dalam sebuah penghidupan. Karena disitulah, semua manusia menemukan ketenangan.
"Lanjut lagi, yuk?" ajak Boy.
Dan dalam perjalanan usai detik ini, hati mereka jauh lebih tenang. Maya dan Caca pun sudah tak sungkan tuk saling memegang tangan satu sama lain, tiap kali langkah mereka hampir goyah.
"May?" panggil Caca.
"Apa, Ca?" balas Maya, sedikit terengah.
Caca tersenyum. "Kita sahabat, kan?"
Maya mengangguk. "Iya."
Dan Caca mengembangkan senyumnya, sangat lebar. Dingin yang menusuk tulang, tak terasa lagi, karena hati Caca sudah menghangat karena percakapannya dengan Maya baru saja.
Biar saja angin di perjalanan Ranupani hingga Ranu Kumbolo menjadi saksi, tentang empat kepala manusia yang berusaha bertahan, hanya dengan bermodalkan kuatnya persahabatan. Karena mereka percaya, keberadaan sahabat untuk sahabatnya, adalah penghangat paling baik disaat-saat seperti ini. Mereka telah membuktikan, meski saat ini udara sangat dingin, mereka merasa hangat.
*bersambung**
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D