"Makan es krim kenyang, ya, ternyata," ucap Angga, mengusap perutnya.
Sherin tertawa. "Tapi masih belum afdol kalau belum makan nasi. Ya, kan?"
"Bener. Ciri khas orang Indonesia, termasuk kita."
Usai menjelajah dan menggoyang lidah dengan es krim yang mereka nikmati di Toko Oen, kini mereka berkelana lagi dengan sepeda motor sewaan kebanggaan mereka.
"Jadi, mau makan apa kita?" tanya Angga, menoleh sedikit ke belakang, menatap gadis yang ia dambakan bertahun-tahun ini; namun terkendala oleh seorang lelaki--yang adalah kekasih--yang selalu di samping gadis itu.
"Terserah lo aja, Ngga," jawab Sherin.
"Kok gitu?"
"Karena gue tau, pilihan lo soal kuliner, nggak pernah salah," balas Sherin, sambil mencubit kilat perut Angga.
Deg.
Ada rasa yang aneh, saat tangan Sherin terjulur demi mencubit perut Angga. Meski hanya mencubit dalam hitungan detik--bukan memeluk--namun sensasinya tetap berhasil membuat Angga tercengang. Rasanya, indah. Perutnya penuh kupu-kupu meski hanya dalam sekedip mata.
"Tuh, perut lo dikit buncit. Soalnya lo doyan makan," lanjut Sherin, tanpa sadar, bahwa pria di depannya sedang tercengang dimabuk asmara.
Kemudian Angga tersadar dari rasa nyaman yang tercipta secara kilat, dan memaksakan diri tuk tertawa. "Ah, kalau nggak doyan makan, nanti gue kurus, gimana?"
"Jangan, ih. Lo nggak boleh kurus. Bagusan gini, berisi!" kata Sherin menepuk bahu Angga.
Dan lagi-lagi, Angga gagal fokus. Benar, ia terlalu mengharap dan mendambakan gadis ini. Hingga sekecil apapun hal yang dilakukan gadis ini--meski berupa cubitan atau tepukan, bukan usapan mesra--tetap saja memberi efek berbahaya bagi dirinya.
**
Cara terbaik untuk menjelajahi Malang, adalah dengan menikmati kuliner lokal. Jika pas di lidah, perut bisa kenyang, mood pun ikut senang. Ditambah, harganya murah. Ah, surga dunia.
Keduanya tiba di sebuah warung, yaitu Warung Sidik. Warung Sidik ini terletak di jalan Agus Salim No.47 Kota Batu Malang.
"Ini warung apa? Kok kayaknya ramai banget, sampai cari parkiran motor aja susah," kata Sherin, sedikit mengeluh.
Angga dan Sherin baru saja turun dari motor, dan kini mereka berjalan berdampingan tuk masuk ke wilayah warung Sidik.
"Iya, warung ini memang legendaris. Katanya, sih, Warung Sidik sudah turun temurun ke beberapa generasi." Angga menjelaskan singkat.
Sherin menggeleng dan bertepuk tangan. "Astaga.. Wikipedia berjalan sudah mulai bersabda!"
"Sialan! Gue masih kalah jauh dari Wikipedia, kali!"
"Ya... Nyaris sama! Daripada gue, minim pengetahuan," kata Sherin, merendah. Padahal, ya, sebenarnya gadis itu pintar dalam hal akademik; namun dalam hal seperti tempat kuliner dan wisata, Sherin minim pengetahuan.
Suasana Warung Sidik memang diciptakan seakan warung tempo dulu yang sederhana namun bersahaja. Beberapa sudut warung ada foto keluarga yang seakan memerhatikan bahwa Warung Sidik memang termasuk warung pioner di Kota Batu. Bahkan, foto foto perjuangan yang seakan ingin mempertontonkan pesona karisma warung ini. Terlihat dari depan jalan, Warung Sidik seakan menampilkan arsitekturnya sebagai warung tempo dulu yang memang tidak diubah menjadi warung modern.
Sajian warungnya ditampilkan seperti warung Tegal, dengan suguhan piring dan lauk di almari kaca. Namun, rasanya memang memberikan pesona kuliner Jawa Timur yang asin pedas.
"Mau makan apa?"
Sherin memutar otak sejenak, hingga ia tau apa yang perutnya inginkan. "Gue mau nasi rawon, deh. Lo apa?"
"Pecel, kayaknya."
Sajian makanan yang dihidangkannya punwal umum masakan Jawa Timur, namun memiliki cita rasa yang khas. Ada nasi rawon, pecel, gudeg, ayam, hingga krengsengan, namun senantiasa dipadu dengan kekhasan sambal kentang yang pedas.
Dan beberapa menit setelahnya, baik Sherin maupun Angga sudah menikmati nasi rawon dan pecel, serta es teh milik mereka masing-masing. Mereka menikmati dalam keheningan, serta kekaguman akan rasa masakan sederhana yang luar biasa nikmatnya ini.
"Enak?" tanya Angga.
Sherin mengacungkan ibu jarinya. "Pilihan lo soal makanan, selalu tepat."
"Dan setelah ini, akan banyak kuliner lainnya yang menanti kita."
"Ah, jadi nggak sabar."
Mereka melanjutkan perbincangan mereka. Perbincangan ringan, namun bermakna, dan membuat Angga dan Sherin sama-sama menemukan kenyamanan.
Makanan yang nikmat, dan murah; ditemani oleh suasana dinginnya kota Malang; dan sajian orkes keroncong yang tampil di pelataran warung, membuat jarak antara kedua insan ini semakin terasa syahdu dan dekat. Sederhana, namun menyenangkan, itulah yang dua insan ini rasakan.
*
Hari sudah makin sore. Namun mereka belum mau beranjak kembali ke penginapan. Keduanya memilih tuk menjelajah lagi, selagi hari belum terlalu malam. Dan destinasi yang mereka pilih malam ini adalah Alun-Alun Kota Batu.
Kota mana yang tidak iri dengan keindahan Alun-Alun Kota Batu. Wajahnya asri, banyak arena bermain, serta fasilitasnya lengkap. Inilah gambaran alun-alun yang diidamkan banyak kota di Indonesia, warga Batu berhak untuk bangga memiliki alun-alun sekeren ini. Para pengunjung pun bisa dipastikan betah bermain-main di sana, apalagi mengunjunginya tidak dipungut biaya.
"Bagus nggak menurut lo?" tanya Angga.
Sherin menunjuk kamera polaroid yang ia bawa di tangannya. "Kalau gue udah ngeluarin kamera dan siap-siap untuk foto-foto, tandanya apa? Tandanya, tempat ini keren!" kata Sherin antusias.
"Ayo foto-foto," ajak Angga.
Alun-Alun Kota Batu bukanlah alun-alun biasa yang berisi lapangan dan taman ala kadarnya. Di sini, para traveler akan dibuat takjub dengan aneka fasilitas pendukung yang luar biasa indahnya. Ada playground untuk anak-anak, air mancur, ruang informasi berbentuk strawberi, toilet berbentuk apel dan yang paling ikonik adalah bianglala.
Keduanya menikmati pemandangan Alun-Alun Batu, dengan mengumpulkan foto sebanyak mungkin. Bahkan, mereka seringkali berfoto berdua, atau meminta orang lain tuk mengambil gambar mereka berdua. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih.
"Foto ini bagus, nggak? Mau gue upload di instagram!" kata Sherin.
"Bagus. Hasil jepretan siapa dulu, dong?"
Sherin meringis. "Jepretan Angga!"
Angga tersenyum. Kalau boleh, sebenarnya ia ingin memposting fotonya bersama Sherin di media sosial. Tapi itu tak mungkin. Bisa-bisa, Sherin membencinya sampai mati, karena dianggap telah merusak hubungannya. Ya sudah, lah.
Segudang tempat wisata keren bisa traveler jumpai jika memilih Kota Batu sebagai tujuan berlibur. Seperti kata pepatah Jawa “Rupo Nggowo Rego” yang kurang lebih memiliki arti jika mau mendapatkan sesuatu yang bagus tentu sebanding dengan harganya yang mahal. Tapi tidak usah khawatir, Kota Batu memiliki stok tempat wisata murah, namun tidak murahan.
"Mau naik bianglala?" Angga menawarkan. "Di atas, kita bisa lihat pemandangan kota Malang. Kita bisa ambil gambar dari atas."
Sherin berbinar. "Serius?"
Dan tak butuh waktu lama, keduanya sudah naik di salah satu ruang bianglala. Keduanya berputar menikmati pemandangan.
"Alun-Alun Batu adalah satu-satunya alun-alun di Indonesia yang memiliki wahana bianglala permanen." Angga, selaku Wikipedia berjalan, mulai bercerita lagi.
"Permanen?"
"Iya. Bianglala dengan 17 kabin ini siap digunakan untuk melihat wajah Kota Batu dari perspektif yang berbeda." Ckrek. Angga mencoba mengambil gambar dari atas. Dan ia menunjukkan hasil jepretannya pada Sherin.
Sherin menggelengkan kepalanya, dan seketika berteriak girang. "Keren, Ngga! Thanks!"
Dan detik setelahnya, Sherin sudah memeluk Angga kegirangan. Angga terkejut. Angga diam, bukan berarti ia tidak mau; namun karena terkejut dan bahagia dalam waktu yang sangat cepat, tanpa persiapan.
Begitu Sherin sadar, Sherin langsung melepas pelukannya. "Sorry, Ngga. Gue terlalu senang!"
"I..iya, santai aja," balas Angga gugup.
Sherin meringis, kemudian mengambil kamera dari tangan Angga. "Ngga, ayo selfie. Mumpung di atas, nih!"
Keduanya tersenyum, dan ckrek! Fotopun jadi. Foto tersebut sangat indah, dengan pemandangan luar biasa, dan dua sosok manusia di dalamnya, yang tersenyum seakan menunjukkan bahwa mereka adalah dua insan yang paling bahagia.
**
Sepulang dari Alun-Alun Batu, mereka masih memiliki satu agenda lagi yang akan mereka lakukan. Yaitu mengunjungi Pos Ketan Legenda, yang sangat terkenal diantara para pecinta kuliner.
Pos Ketan Legenda letaknya tak jauh dari alun-alun Batu, hanya sekitar satu kilometer saja. Dan begitu sampai disana, mereka disuguhi pemandangan yaitu banyaknya pengunjung yang datang di tempat ini.
Sherin berdecak. "Gila.. Ramai juga, ya?"
"Gimana? Masih mau makan di sini?" tanya Angga.
"Iya, dong! Justru karena ramai banget, gue jadi penasaran. Ayo cari tempat."
Keduanya duduk di antara para kerumunan. Dan setelah memutar otak, akhirnya mereka menentukan pilihan. Angga memilih ketan susu durian keju vla, sementara Sherin memilih ketan pisang keju susu vla.
Mereka mulai mencicipi ketan legenda tersebut. Dan mereka sama-sama takjub, rasanya sangat nikmat!
"Sekarang gue tau, kenapa tempat ini ramai banget. Rasanya aja enak gini! Enak banget malah!" kata Sherin, sambil mengambil foto ketan yang mereka nikmati.
Angga mengangguk, setuju. Ketan ini enak. Meski manis, namun tak meninggalkan kesan eneg. Yang ada, mereka justru ketagihan dibuatnya.
Disela-sela acara makan serta berbincang ringan dengan Angga, ponsel milik Sherin bergetar. Ada pesan masuk, dari Marcell.
Marcell:
Baby i miss you. Kapan pulang? I want you back. I love you, and do not try to leave no matter what happen. Ok, baby?
Dengan cepat, Sherin membalasnya.
Mungkin beberapa hari lagi, karena aku sendiri nggak bisa pastikan kapan pulang.
Sherin meneguk ludahnya sendiri. Kenapa nih Marcell begini? Biasanya dia cuek dan nggak pernah peduli akan apa yang aku lakukan. Aneh, ya, batin Sherin.
“Mikir apa, Sher?”
“Eh? Enggak kok,” jawab Sherin cepat.
“Pacar lo?” tanya Angga, sembari meneguk es teh manisnya.
Sherin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dia lagi aneh. Tumben dia bilang kangen? Kayaknya udah lama banget gue nggak digituin sama dia. Hahaha.” Sherin tertawa getir.
“Karena terlalu sering disiksa?”
Eh.
“Apaan sih, Ngga?”
"Gue tau gimana pacar lo.. Gue tau dan paham.. Memang gak banyak, tapi gue tau kalau hubungan kalian gak sehat. Dulu, lo lebam di leher dan pipi. Dan sekarang, gue bisa lihat lo lebam di lengan.” Angga menatap lengan Sherin yang memang membiru, bekas pukulan Marcell kala itu. “Dan patut dicurigai kalau pacar lo lagi menutupi sesuatu.”
Sherin sedikit jengah di kalimat terakhir yang Angga ucapkan. “Ngga, lo memang sahabat gue. Dan meskipun Marcell kasar, dia masih pacar gue.. Jadi, nggak pantas kalau lo jelek-jelekin dia.”
“Tapi Sher, gue—“
“Angga,” potong Sherin. “Gimanapun kondisinya, gue akan berusaha bertahan sama dia. Nggak segampang itu gue putus.. Karena gue dan dia serius. Masalah nggak harus selesai dengan kata putus, kan?"
"Sher.."
"Jadi lo nggak usah sok jadi pahlawan, deh, Ngga. Jangan terlalu berharap juga," tandas Sherin.
Satu detik.
Lima detik.
Dan berdetik-detik setelahnya, Angga diam. Dan itu membuat Sherin sadar, jika ucapannya keterlaluan.
“Gue memang sayang sama lo, Sher. Tapi bukan berarti gue egois dan ngotot pengen memiliki lo. Gue sadar posisi gue. Gue nggak mau juga jadi perebut pacar orang," tandas Angga.
"Tapi gue cuma mau bilang, kalau cinta jangan sampai bikin otak lo kayak orang tolol yang gak mampu berbuat apa-apa dan rela diperlakukan nggak sewajarnya!”
Deg.
Dan mulai detik itu, mereka dipenuhi keheningan. Bahkan hingga mereka pulang, mereka tetap hening. Dan hingga mereka hilang ditelan pintu kamar masing-masing, mereka tetap diam, tanpa kata perpisahan atau sekedar terima kasih atas kebahagiaan yang telah mereka beri satu sama lain di hari lain.
Dan Sherin tau, itu semua karena ucapannya.
*bersambung**
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D