Angga dan Sherin sudah terpisah dari rombongan. Mereka kini berjalan berdua, berjanji tuk menikmati keindahan kota Malang dan melupakan segala lelah yang ada tuk ditinggalkan sementara.
Langkah mereka tiba di sebuah hostel kecil, yang sudah masuk dalam itenerary yang mereka buat. Mereka sudah melakukan riset terhadap banyak hotel di Malang melalui media internet, tentunya; dan di hostel inilah mereka menetapkan pilihan. Butik Capsule Hostel, namanya.
"Kita mau istirahat dulu, atau langsung pergi?" tanya Angga, setelah mereka mengurus segala administrasi.
Sherin mengusap peluh di keningnya. "Istirahat dulu, kali, ya? Mandi-mandi dulu. Nanti, jam dua siang, baru deh kita pergi ke destinasi pertama. Gimana?"
"Boleh. Selamat istirahat, ya," kata Angga, sembari tersenyum.
"Lo juga, Ngga."
"Semoga teman sekamar kita enak-enak."
Sherin mengangguk, mengharap hal yang sama. "Ya udah, gue ke kamar dulu, ya."
"Kalau butuh apa-apa, hubungi gue."
Keduanya berpisah dengan sebuah lambaian tangan yang mereka lakukan bersama. Sherin menuju lorong sebelah kiri, yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar-kamar perempuan; sementara Angga menuju lorong sebelah kanan yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar-kamar pria.
Kalau dipikir, hostel ini persis seperti asrama. Hanya saja, tujuan orang berbondong menyewa kamar di hostel adalah untuk singgah saat wisata--kebanyakan adalah para backpacker--dengan budget keuangan minim namun ingin tetap mendapat waktu dan suasana istirahat yang layak. Murah, hanya dengan tujuh puluh ribu saja, mereka sudah bisa menginap satu malam di sini dengan fasilitas yang terbilang sangat-cukup.
Cklek... Sherin membuka pintu kamarnya. Ia sempat berhenti karena takjub dengan dekorasi kamar yang didominasi warna hijau muda, bergaya minimalis tetapi tetap elegan dan cantik. Satu kamar dihuni oleh enam orang tamu, yang pasti kebanyakan dari mereka tak saling mengenal satu sama lain.
Sherin segera meletakkan barang-barangnya, di loker, kemudian menempati salah satu ranjang yang ada di sana. Tidak ada manusia selain dirinya. Ya, ia berharap, di kamar ini hanya ia sendiri saja, sehingga ia tak perlu berbasa-basi dengan tamu lain yang--pasti--tak dikenalinya.
Drrrt... Drrrt... Drrrt... Ponsel Sherin bergetar berulang kali. Di layar, tertera nama 'Marcell', pria yang saat ini masih menjadi kekasihnya. Sherin menggeleng. Air matanya jatuh lagi, mengingat perlakuan pria itu beberapa hari lalu.
**
Sherin melangkah dengan cepat—membayangkan kasur di rumahnya yang nikmat tuk melepas lelah akibat enam jam berturut-turut mendengarkan materi yang diberikan dosen. Kebetulan, Marcell sudah menjemputnya di parkiran.
Ah, dari sini saja, Sherin sudah bisa melihat kekasihnya yang berada di luar BMW Putihnya, sambil menelpon dengan gaya cool yang selalu berhasil membuat Sherin jatuh cinta lagi.
Namun, langkah yang awalnya Sherin percepat, kini menjadi lebih pelan setelah mendengar perbincangan Marcell dengan seseorang yang entah siapa, di telepon sana.
“Iya.. Oke.,”
“…”
“Kamu tenang aja, Milla. Semua pasti baik-baik aja.”
Milla? Telinga Sherin panas mendengar nama gadis itu. Gadis itu, adalah teman sekelas Marcell di fakultasnya. Kebetulan, Marcell dan Sherin berada di fakultas yang berbeda. Sherin ada di Fakultas Ekonomi, sementara Marcell berada di Fakultas Hukum. Awalnya Sherin biasa saja, sampai ia mendengar banyak gossip berkeliaran tentang kekasihnya--dan gadis lain itu—yang sukses membuat telinga Sherin super-sensitif saat mendengar nama gadis itu.
Sherin mencoba memastikan lagi, menajamkan pendengarannya.
“Iya, nanti malam aku ke rumah kamu, ya, Milla? Kebetulan aku gak ada acara. ”
“….”
“Sip. See you, Mil.”
Glek. Sherin menelan air liurnya susah payah. Ternyata benar, kekasihnya berbincang dengan Milla, teman sekelas Marcell, yang diduga adalah orang ketiga diantara hubungannya dan Marcell. Sialan.
“Mau kemana sama Milla?”
Yang diajak bicara terlonjak kaget, saat menyadari bahwa ada kekasihnya di belakang punggungnya. Marcell langsung berbalik dan memasang senyum di wajah tampannya, kemudian hendak memeluk Sherin.
Namun dalam sekejap hempasan, Sherin menolak pelukan itu.
“Jawab! Mau kemana sama Milla? Kenapa malam-malam?” Tanya Sherin dengan nada tinggi yang mengintimidasi. Itulah suara khas Sherin, ketika amarahnya memuncak.
“Sayang, aku mau ketemu buat bahas agenda bulan depan di Himpunan Mahasiswa jurusan aku.. Kebetulan, aku sama Milla kan satu divisi. Masa iya, aku gak boleh jemput?”
Sherin memicingkan matanya, mencoba mencari kejujuran di mata pria itu. Dua tahun berpacaran dengan Marcell, membuat Sherin hafal gerak-gerik serta kejujuran Marcell. Dan sialnya, ia tak menemukan tanda kejujuran di mata Marcell, saat itu.
“Kamu pikir aku percaya? Setelah kemarin aku baca chat kamu dan Milla, dimana kalian udah mulai nonton berdua, makan malamr berdua? Kamu pikir aku percaya kalau nanti malam kalian cuma sebatas rapat?!” tandas Sherin dengan suara lebih keras.
“Kenapa sih kamu susah percaya sama aku, Sher?”
“Karena kamu memang gak pantas dipercayai!”
“Aku?” Marcell mengerutkan keningnya, dengan wajah polos. Ah, Sherin tau, lebih tepatnya ‘sok’ polos.
“Ya. Kamu! Selalu Milla, Milla, dan Milla. Emang selekat itu, hubungan teman antar organisasi? Perasaan, aku juga ikut organisasi. Tapi aku nggak pernah punya kedekatan seperti itu dengan laki-laki di organisasiku. Dan kalau aku seperti itu, pasti kamu marah besar, kan?!"
“Aku gak be—“
“Apa?” tantang Sherin lagi. “Itu karena kamu yang genit, dan Milla yang kegatelan!”
Marcell diam. Satu detik.. Dua detik… Dan tak butuh waktu lama bagi Sherin untuk menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
PLAK!
Benar, kan?
Tamparan keras melayang dari tangan mulus Marcell ke pipi kanan Sherin. Hal yang sudah biasa Sherin rasakan.
Sherin mengelus pipinya pelan, dan menatap Marcell dengan penuh keberanian. “Kamu gak malu? Nampar aku di parkiran kampus?”
Marcell diam, kemudian memperhatikan sekeliling. Dimana banyak orang yang melihat kejadian itu, dan mulai berbisik sana-sini.
“Selamat. Semua orang tau kalau Marcello Wicaksono, mahasiswa tampan, aktif, kaya raya, dan diagungkan dimana-mana… Ternyata nggak sebaik, dan sebijaksana yang mereka pikirkan.”
Dan dalam sekejap mata, Sherin berlari, dan menumpang pulang di salah satu mobil milik temannya.
**
Sherin tersadar dari lamunannya akan kejadian itu. Bertepatan dengan itu, getaran di ponsel milik Sherin berhenti, digantikan oleh getar pendek, yang berarti ada pesan yang masuk. Dan benar, ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk, salah satunya, dari Marcell sendiri.
Marcell:
Maafin aku, sayang.. Aku nggak bermaksud nampar kamu waktu itu.. Udah dua hari kamu nggak balas pesan-pesanku, atau bahkan angkat telponku. Kamu dimana? Kata orang-orang di kos kamu, kamu pergi liburan, ya?
Marcell:
Go get your time, sayang. Maafin aku, ya. Aku tunggu kamu pulang.
Marcell:
Aku janji, nggak akan ulangi lagi. Pegang janjiku. :)
Sherin menggelengkan kepalanya lagi. Kemudian ia membuka pesan WhatsApp selanjutnya, yang belum ia buka sejak berjam-jam lalu. Pesan tersebut dari Caca, salah satu sahabat baiknya yang kini tengah berjuang dalam pendakian Semeru, bersama para sahabatnya yang lain.
Caca:
Kalau lo tanya, kenapa gue selalu suruh lo putus dari Marcell... Gue akan jawab, karena lo sangat amat berharga. Dan lo berhak dapat yang lebih dari Marcell. Lo berhak dapat laki-laki yang menghargai lo. Dan lelaki yang menghargai lo, nggak akan pernah siksa lo, baik mental maupun fisik.
Caca:
Perempuan baik, akan diambil dengan cara yang baik, oleh laki-laki yang baik pula. Dan lo baik. Cukup tunggu waktunya datang, lo bakal menemukan laki-laki baik, yang paling tepat untuk lo.
Dan belum sempat ia membalas pesan tersebut, ponselnya bergetar lagi. Pesan baru lagi, dari Marcell.
Marcell:
Aku sayang banget sama kamu, Sherin. Aku janji, akan berubah. Demi kamu, demi hubungan kita.
Deg.
Sherin luluh lagi. Astaga. Bahkan ia memendam kesal dan benci karena perilaku kasar Marcell sejak berhari-hari lalu, namun kini dengan mudahnya semua rasa itu luntur. Ia memaafkan Marcell dengan amat sangat mudah, hanya karena kata-kata yang Marcell lontarkan, bahkan hanya dalam ketikan pesan.
Sherin menghela nafas. Kemudian, jemarinya berjalan mesra.
Sherin:
Iya, aku maafin kamu. Jangan diulangi, ya.
Dan dengan cepat, Marcell membalas lagi, hingga kini mereka saling berkirim pesan.
Marcell:
Akhirnya, kamu balas aku.. Terima kasih, Sher! I love you.
Sherin:
I love you, too, Marcell.
Dan bersamaan dengan terkirimnya pesan tersebut, terdengarlah ketukan pintu di kamarnya, serta suara serak gagah khas Angga, yang memanggil namanya dengan penuh pengulangan. "Sherin? Sher?"
Sherin membuang ponselnya ke sembarang arah, dan berlari segera membuka pintu untuk lelaki yang selalu menjadikan kebahagiaan Sherin sebagai prioritasnya.
"Kenapa, Ngga?"
Angga nyengir. "Yuk, jalan?"
"Sekarang? Kan janjiannya nanti?"
"Bosen, Sher, di kamar sendirian."
Sherin tertawa, kemudian mengangguk mantap. "Ayo. Mau kemana?"
Tak mempedulikan pertanyaan Sherin, Angga sudah menarik tangan Sherin, menggenggamnya kilat, sembari tertawa bahagia.
Saat ini, saat dimana ia bisa menggenggam tangan Sherin, membawanya bercengkerama di balik dinginnya udara kota Malang, adalah saat yang paling seorang Angga nantikan.
Semoga, kisah mereka tak berhenti sampai di sini. Semoga, Malang justru menjadi awal dari cerita milik mereka, yang akan mereka rajut hingga akhir nanti. Setidaknya, itulah harapan besar Angga. Meski Angga tau, bahwa harapan Sherin, tak pernah sama dengan harapannya.
*bersambung**
Lucu juga baca ini. Aku suka kok. Tapi, aku saranin untuk kata seperti lipbalm dan fix, sepertinya harus di italic. Over all ceritanya bagus. ๐โคโค
Comment on chapter Rencana Mereka