"Jadi, sekarang kita harus naik angkutan kota, untuk menuju ke tempat penyewaan mobil Jeep, yang nantinya akan mengantar kita ke basecamp Ranupani," kata Boy, mengawali pembicaraan.
Tersisa empat orang manusia kali ini. Boy, Juang, Caca, dan Maya, adalah keempat manusia yang kini sudah tergabung--dan tak bisa mundur-untuk sebuah petualangan yang sudah mereka nanti-nantikan.
Petualangan pendakian ke Gunung Semeru, yang adalah cerita baru bagi seorang Caca dan Maya. Kalau bagi Juang dan Boy, mendaki gunung Semeru adalah hal kesekian kalinya yang sudah pernah mereka lalui, namun mereka ketagihan dan selalu ingin menikmati, lagi dan lagi.
"Menurut gue, Gunung Semeru itu candu," kata Juang.
"Kenapa?" Maya mengerutkan keningnya.
"Asli, indah banget! Apalagi Ranu Kumbolo. Beeeh! Bagai karunia Tuhan yang nggak akan pernah bosan untuk gue nikmati." Juang menggebu.
Boy mengangguk mantap. "Kalian berdua, pasti suka."
"Eh, itu angkutannya. Ayo," kata Juang, sembari mengajak teman-temannya tuk segera naik angkutan kota.
Tak sabar untuk tiba di sana. Karena pesonanya, sudah menanti dengan indah.
*
Di dalam angkutan, terdapat beberapa orang penumpang lainnya, yang sepertinya adalah para pendaki juga.
Ah, tak sabar rasanya. Baru saja melihat banyak manusia dengan tas gunung dan pakaian ala pendaki saja, rasanya eufhoria pendakian sudah sangat melekat di batin mereka.
"Lo pernah naik gunung mana aja, May? Lo sempet ikut pecinta alam juga, kan?" Juang membuka suara, mengawali pembicaraan di dalam angkutan kecil ini.
"Iya. Tapi gue nggak sehebat kalian berdua." Maya memberi penekanan pada kata 'berdua', yang ditujukkan untuk Boy dan juga Juang saja, tanpa mengikutsertakan Caca. Caca yang menyadari hal tersebut hanya menarik nafas dalam-dalam, toh memang benar bahwa Caca sama sekali tak pernah terlibat dalam pendakian apapun, kan?
Maya melanjutkan. "Gue baru pernah ke Gunung Prau, Gunung Andong, Gunung Merapi.. Itu aja kayaknya."
"Wah, pernah ke Merapi, May? Sampai puncak?" tanya Boy.
"Sampai, dooong!"
Juang mengacungkan jempolnya. "Keren, keren, May. Bagi gue, cewek yang suka naik gunung dan sampai ke puncak, itu keren abis!"
"Semoga yang ini sampai puncak juga, ya, May!"
"Aamiin.. Semoga kita berempat bisa lihat puncak Semeru. Nggak sabar!" Boy membayangkan, betapa bahagianya ia jika bisa membawa teman-temannya sampai puncak.
"Yakin berempat?" Maya tersenyum sinis, sembari melirik kearah Caca. Boy dan Juang langsung paham apa maksud sindiran Maya.
Caca tersenyum. "Gue nggak ambisius, kok. Kalian bertiga aja yang sampai puncak, nggak apa-apa."
"Jangan pesimis gitu, Ca." Boy menghibur. "Lo memang belum pernah, tapi bukan berarti lo nggak bisa."
"Tapi mustahil kali, Boy. Realistis aja. Kalau dipaksa, malah nanti ngerepotin!" tandas Maya, dengan pedas.
Caca mengangguk. "Bener. Gue nggak mau ngerepotin kalian."
"Ca, apaan sih?!" Juang menegur. "Dari dulu, jaman kita pacaran, gue paling benci sama sikap pesimis lo. Jangan pesimis, jangan rendah diri gitu. Cepet nyerah, namanya!"
Bukannya bangkit, Caca malah makin down kali ini. Caca menoleh kearah jendela, "Iya, gue pesimis, gue banyak kurangnya, makanya lo nggak suka, makanya lo tinggalin gue. Ya, kan?"
Deg. Juang sadar, ucapannya salah. "Bukan gitu, Ca. Bukan gitu.."
"Udah, udah, lah. Kenapa sih jadi pada sensitif gini?" tegur Boy. "Kita bahkan belum mulai naik gunung, tapi udah saling cekcok aja! Dimana jiwa pecinta alamnya? Kalau di angkutan aja udah nggak kompak, gimana pas perjalanan ke puncak?! Sadar, woy," tandas Boy, dengan nada tingginya.
"Sorry," kata Maya, pelan.
Juang pun mengikuti, "Sorry," dan dilanjutkan dengan melirik kearah Caca. "Maaf, Ca."
Caca tersenyum tipis. Hatinya benar-benar tidak karuan. Ingin rasanya menangis pada seorang Sherin. Tapi bagaimana mungkin, bahkan Sherin sudah tidak disini bersama mereka. Solusinya, Caca hanya bisa diam dan menghadapi segalanya seorang diri.
Bagi Caca, dari sekian banyak hal yang membuatnya down, hanya satu yang bisa membuatnya down berpuluh kali lipat hingga ingin menangis rasanya. Hal itu adalah; intimidasi seorang Maya.
Mereka melanjutkan perbincangan lagi, hingga tanpa terasa, angkutan mereka telah tiba di tempat yang mereka tuju, yaitu penyewaan jeep.
*
*
Maya dan Juang mengurus segala hal yang diperlukan dalam penyewaan mobil Jeep, sementara Boy dan Caca memilih mencari warung--atau minimarket kecil, semisal Indomaret dan teman-temannya--untuk melengkapi perbekalan logistik.
"Lo sedih, ya, Ca?" tanya Boy, saat mereka memilih air mineral mana yang akan mereka beli dan bawa ke kasir.
"Enggak," balas Caca singkat.
"Jujur aja sama gue. Lo kelihatan beda... Sejak dari tadi Maya sindir-sindir lo, ditambah lagi Juang bilang kayak tadi..."
Caca menghela nafas. "Ternyata lo peka juga, ya."
Boy tersenyum. "Gue baru peka akhir-akhir ini kok. Jaman dulu gue nggak peka, apalagi ketika gue nggak sadar kalau pengirim puisi jaman SMA itu lo, bukan Nadiva. Gue nggak peka, gue nggak paham kalau lo suka sama gue kala itu, dan gue malah jadian sama perempuan lain."
"Udah, lah, jangan dibahas. Udah lewat juga," balas Caca.
"Sorry, Ca.."
"Buat apa?"
"Semuanya."
Boy dan Caca saling pandang sejenak. Kemudian, keduanya melanjutkan misi mereka untuk mencari makanan penunjang selama perjalanan.
"Lo suka coklat kan, Ca? Bawa yang banyak, gih. Buat cemilan.."
Caca mengangguk, "Oke."
"Udah banyak, nih. Yuk ke kasir."
Caca mengekor di belakang Boy. Keranjang mereka sudah penuh. Mereka membeli beberapa botol air mineral ukuran besar, kemudian cemilan berupa aneka biskuit, tak lupa mi instan, minuman bubuk seperti susu dan segala macamnya, dan tak lupa cokelat kesukaan Caca.
Kali ini, Caca banyak diam. Hanya menjawab pertanyaan yang Boy berikan, tapi tidak pernah balik bertanya. Dan Boy merasa sepi karena hal itu. Ia kehilangan sosok ceria Caca, hanya karena mulut pedas Maya dan Juang yang tidak sengaja salah ucap.
"Nggak usah dipaksa kalau nggak bisa sampai puncak," kata Boy, masih berusaha memancing suara Caca.
"Gue tau.. Daripada ngerepotin, kan?" balas Caca, masih terpengaruh sindiran Maya tadi.
"Bukan gitu.. Gue mah santai. Nggak merasa direpotkan sama sekali."
"Itu lo. Tapi yang lainnya pasti ngerasa repot."
Boy tertawa. "Yang lainnya? Maya doang, paling."
Ya, memang hanya Maya. Tapi justru itu yang membuat Caca menjadi super down. Ketika semua orang membela, namun Maya tetap berdiri dengan pendiriannya tuk membenci Maya. Padahal lagi-lagi, Caca tidak tau apa salahnya.
"Semangat, Ca. Gue ada buat lo. Selalu," kata Boy.
"Jangan janji-janji, Boy. Gue nggak butuh janji." Caca sedikit melirik dan menahan senyumnya.
Dari setitik senyuman Caca, Boy sedikit menemukan kelegaan. "Kenapa? Kayak partai politik, ya?"
"Gitu deh."
"Ya udah, bodo amat. Yang penting, gue bakal kasih bukti." Boy bersaksi.
"Halah, udah tuh, cepetan di bayar. Ditungguin Mbak kasirnya, loh," kata Caca, mencubit lengan Boy.
Tersadar, Boy langsung melanjutkan transaksinya di kasir, sementara Caca masih terkekeh.
Caca tau, masih ada rasa yang tertinggal dari kisahnya dengan Boy yang belum selesai sedari dulu. Dan rasa ini, tumbuh lagi. Hanya saja, Caca tak mau menaruh harap terlalu banyak. Ia takut dikecewakan, lagi.
Mereka melangkahkan kaki keluar dari minimarket. Teringat akan sebuah hal. Boy memanggil Caca. "Ca?"
"Ada apa?"
"Dulu waktu kita dekat, jaman SMA, lo selalu cerita tentang..." Boy menggantung kalimatnya, ragu-ragu tuk melanjutkan.
"Tentang apa?"
Boy menatap Caca tegas. "Keluarga lo."
Deg.
Caca menahan nafasnya. Boy ternyata masih mengingat segala cerita dan keluhan yang Caca luapkan tentang keluarganya kala itu.
"Gimana kabar Nyokap lo, Ca?" tanya Boy, pada akhirnya.
Caca tersenyum. "Keadaan jauh lebih baik saat ini, Boy."
"Bersedia bercerita?" Boy mencoba menawarkan diri. Mungkin bisa melegakan hati Caca, atau lebih tepatnya, bisa menjawab rasa penasaran Boy yang sempat hilang kemudian muncul lagi.
"Nanti, ada saatnya," jawab Caca singkat.
**bersambung**
Lucu juga baca ini. Aku suka kok. Tapi, aku saranin untuk kata seperti lipbalm dan fix, sepertinya harus di italic. Over all ceritanya bagus. ๐โคโค
Comment on chapter Rencana Mereka