Hazel membuka matanya saat merasakan sapuan nafas hangat dan harum milik seseorang didepan wajahnya. Wajah mereka terlihat begitu dekat dan hanya terpisahkan oleh hidung mancung keduanya saja. Pria itu tersenyum dengan kedua tangan bertumpu disamping tubuh Hazel. Menahan bobot tubuhnya agar tidak jatuh menindih tubuh wanita dibawahnya. Terlihat begitu intim, sampai mereka bisa mendengar degup jantung satu sama lain.
Sebelumnya Hazel belum pernah berada dalam jarak sedekat ini dengan pria. Apalagi berada dibawah kukungan tubuh Zaidan, hal yang memang tak pernah sekalipun terfikirkan olehnya. Meski begitu, tak ada yang dilakukan oleh keduanya selain saling pandang satu sama lain. Tak ada yang memulai dan tak ada tanda-tanda sesuatu akan terjadi.
“Ada dimana kita sekarang?” tanya Hazel. Sedikit mendorong dada Zaidan agar lekas menjauh dari tubuhnya.
Zaidan bangkit dan mengulurkan tangannya. Membantu Hazel bangun dan berdiri tepat diatas kedua kakinya. “Duniaku. Kau berada dalam duniaku sekarang, Hazel.”
“Apakah duniamu seindah ini?” Hazel tersenyum sambil mengitari pemandangan disekelilingnya. Dimana beberapa meter dari kakinya, terdapat sebuah danau yang dikelilingi taman bunga dan pohon-pohon rindang. Udaranya terasa begitu sejuk, dengan semerbak serbuk sari bunga yang bermekaran.
Beberapa puluh meter dari sana, terdapat sebuah gedung istana yang sangat mirip dengan lukisan Zaidan di ‘The Eternal Love’. Tak hanya itu, Hazel dan Zaidan pun ikut mengenakan pakaian yang sama persis dengan lukisan itu. Hazel dengan gaun putih bersinar dan Zaidan dengan setelan glamour ala keluarga kerajaan.
Pria itu menggeleng. “Duniaku tidak seindah yang kamu lihat, Hazel.”
“Kalau begitu––tunjukan duniamu yang sesungguhnya!”
“Ingin melihat duniaku?” tanya Zaidan sambil mengusapkan punggung tangannya dipipi kanan Hazel. “I can show you my world.”
Hazel membisu saat Zaidan menggendongnya ala bridal style. Sepasang kaki telanjangnya berjalan menyusuri rerumputan menuju sebuah danau dengan air jernih didalamnya. Keindahannya semakin terlihat memukau dengan banyaknya beragam jenis pohon berbunga warna-warni seperti: pohon Jacaranda dengan keindahan bunga berwarna biru yang memukau, pohon terompet lavender atau Handroanthus impetiginosus yang tumbuh ditepi danau disertai keindahan dari guguran bunga berwarna pink memenuhi permukaan air, dan pohon benang sutra atau Ceiba speciosa dengan bunga merah muda yang memukau.
Tak ada magnet, tapi angin sepoi membawa dedaunan kering, kumbang, dan kupu-kupu kompak beterbangan menyelimuti tubuh mereka. Mengeikuti setiap langkah kaki Zaidan menyusuri rumput hijau berhias guguran kelopak bunga benang sutra merah muda. Sesekali terdengar suara remuk dedaunan kering yang terinjak. Semakin menambah asrinya alam.
“A new fantastic point a view.” Hazel bergumam sebelum Zaidan membawa tubuhnya memasuki danau. Senyumnya merekah lebih indah dari kelopak bunga manapun didunia. Terutama bagi Zaidan. Dimatanya Hazel adalah ciptaan Tuhan paling indah yang pernah ada. Dari semua pemandangan yang disuguhkan disekelilingnya, Zaidan sama sekali tak bisa memalingkan matanya dari wajah wanita dalam gendongngannya, Hazel Star.
Dingin.
Itulah yang mereka rasakan saat pertama kali menyentuh air danau. Zaidan menurunkan Hazel dari gendongannya. Membiarkan perempuan itu berpijak diatas bebatuan kecil didasar danau. Membuat kedua telapak kaki mungil itu berjinjit dengan dikelilingi ikan-ikan kecil beragam warna. Ujung kakinya bergerak gusar mencari tumpuan, sampai inci demi inci tubuhnya mulai tenggelam berselimut air dingin.
“Zaidan, so show me!” bisik Hazel seraya merapatkan tubuhnya.
Dikarenakan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, alhasil Hazel harus berjinjit dan melingkarkan kedua tangan disekeliling leher Zaidan. Sedangkan Zaidan memilih melingkarkan kedua tangannya disekeliling pinggang Hazel. “Hazel––” sengaja memutus kalimatnya untuk mengambil napas sejenak. Mengisi rongga dadanya dengan oksigen secukupnya. “Mungkin selama ini kamu berfikir aku tidak berlari padamu. Sebenarnya aku berlari, tapi ada satu pintu yang sulit aku lewati.”
“Maksudmu?” Hazel benar-benar tak mengerti dengan perkataan Zaidan barusan.
“Pejamkan matamu!” pinta Zaidan dengan suara rendah.
Dan tak lama kemudian Zaidan mulai menurunkan tubuh mereka. Saling berpelukan didalam air sambil menenggelamkan tubuh mereka dengan mata tertutup. Danau yang tadinya tidak terlalu dalam, kini jauh terasa lebih dalam. Ilusi menghanyutkan mereka kedalam dunia kegelapan.
“Apa yang kamu rasakan?” tanya Zaidan setelah sebagian tubuh mereka mencapai permukaan.
“Gelap dan hening.”
Zaidan mengangguk. “Ya, itulah duniaku yang sebenarnya.”
Hazel membisu dengan genangan air mata dipelupuk matanya, seperti awan hitam yang membendung dan siap menumpahkan tangisnya. Zaidan memang tidak berbicara banyak tentang kehidupannya, tapi Hazel merasa bahwa pria itu sudah melalui hari-hari yang berat. Adapun rasa sesak yang Hazel rasakan saat ini memang terasa begitu asing. Seperti seseorang yang turut sedih akan kesedihan orang tercinta. Cinta adalah hal yang rumit untuk dideskripsikan. Dan Hazel bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta pada sembarang pria, apalagi tokoh atau karakter fiksi seperti Zaidan Abriana.
“Hazel.”
“Ya?”
“Aku takut tidak bisa melihatmu lagi setelah ini. Jika aku menutup mata sekarang dan membukanya didunia nanti, aku takut waktuku bersamamu akan terbuang sia-sia. Penantian dari ribuan malam yang terbuang tak mungkin aku sia-siakan dengan melepasmu begitu saja. Jadi, maukah kamu tetap bersamaku disini?”
Hazel tersenyum dan mengangguk pelan. Tak mampu atau lebih tepatnya seperti belum siap menjawab ungkapan cinta Zaidan. “Waktu akan terhenti saat dunia mengelilingi kita, seperti saat ini.”
DEG! DEG! DEG!
Jantung Hazel berdebar dengan hebatnya saat Zaidan memiringkan rahang dan mendekatkan kepala kepadanya. Jarak wajah yang terlalu dekat membuat keduanya saling merasakan deru nafas dan debaran jantung pasangan. Sampai waktu dimana dua pasang mata terpejam tepat setelah dua daging kecil beradu dengan indahnya. Dan sampai dimana dua pasang mata yang terpejam itu sama-sama meneteskan air mata secara bersamaan.
Kicauan burung mulai terdengar dari segala penjuru taman. Mengiringi sepasang manusia yang kini saling memadu kasih dengan indahnya. Beberapa ekor burung saling bercanda dan berterbangan dari satu ranting ke ranting pohon lainnya. Juga dedaunan dan kelopak bunga cerah berjatuhan diatas tanah kering lewat sapuan angin. Gelombang air danau mulai terlihat akibat pergerakan Zaidan yang membawa tubuh Hazel kedalam air. Keduanya tenggelam dengan tubuh saling berpelukan dan mata terpejam.
Zaidan membuka matanya dan berkata. “Aku mencintaimu, Hazel.”
Hazel tersenyum dan mengangguk pelan.
DEG!
Hazel terdiam. Dia tak bisa membalas ungkapan cinta Zaidan. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar membentuk gua besar. Dia mulai bergerak setelah melihat tubuh Zaidan kian menjauh darinya hingga mencapai bagian terdalam dan gelap. Mulut Zaidan masih sempat berteriak, mengungkapkan perasaan padanya. Bahkan bibirnya masih juga tersenyum sampai gulungan air memakan tubuhnya. Tak peduli seberapa banyak air masuk kedalam mulutnya, dia terus menyatakan cintanya sampai tenggorokan dan rongga mulutnya dipenuhi air.
“Ti-tidak. Jangan pergi!” teriak Hazel dalam hati.
Tubuh Zaidan kini benar-benar hilang dari pandangannya. Pria itu perlahan tenggelam dengan mata terpejam dan bibir yang tengah tersenyum bahagia. Gelapnya dasar danau membuat Hazel kehilangan jejak kekasihnya. Kedua matanya sama sekali tak melihat sosok pria itu disana. Bahkan Hazel sudah berusaha keras menggerakan tubuhnya, menyelam dan berenang kesana-kemari mencari tubuh sang kekasih. Dan hasilnya tetap nihil, Zaidan menghilang tanpa meninggalkan jejak.
~~~@~~~
DEG!
Dengan berat hati Hazel membuka matanya dan menerawang pemandangan sekitar. Raut wajahnya terlihat masam dan kusut seolah-olah baru saja pulang dari pertempuran. Pipi kanannya terasa dingin dan basah. Bantal dibawah kepalanya terasa dingin saat telapak tangannya mengusap kain sarung berwarna putih itu. Bukan hanya bantal––pelipis, leher, dan juga rambutnya ikut basah. Kedua matanya sembap. Hidungnya terasa sedikit tersumbat dan perih.
Bibirnya tersungging saat melihat tubuh seorang gadis tengah meringkuk disampingnya. Dia Aurellie, adik perempuan Zaidan. Sekarang dia ingat, semalam Zaidan membawanya pulang ke rumah orang tuannya untuk menginap. “Ah, mimpi itu,” Hazel memejamkan matanya. Teringat kembali akan mimpinya beberapa saat yang lalu.
Wanita itu bangkit dan memakai kimono tidurnya, menutupi tubuh ramping berbalut kaus putih polos dengan celana super pendek. Berjalan cepat menuju kamar Zaidan. Menerobos masuk setelah beberapa ketukannya tak mendapatkan respons. Tak ada siapapun disana, kamar bernuansa putih dan abu-abu ini sama sekali tak menunjukan ada kehidupan didalamnya.
“Dompet?”
Hazel memicingkan matanya. Mulai berfikir untuk merangkai niat jahilnya. “Apakah Zaidan juga menyimpan fotoku, seperti yang dilakukan pria lainnya?”
Kening Hazel berkerut setelah membongkar isi dalam dompet Zaidan. Sebuah tanda pengenal atau KTP berhasil membuat Hazel membisu seribu bahasa. Tempat kelahiran Zaidan bukan Jakarta, melainkan Toronto, Kanada. Pria itu lahir di Toronto, 29 Februari 1992, lebih tepatnya 30 tahun silam ditanggal kabisat. Itupun karena saat ini Hazel berada ditahun 2022. Tak hanya itu, Hazel juga menemukan beberapa credit card, E-KTP, ATM, dan juga selembar foto berukuran 2R; seorang bocah laki-laki dan perempuan yang wajahnya hampir terlihat sama.
Kecurigaannya ternyata membuahkan hasil, karena sebelumnya dia cukup merasa janggal karena hanya Zaidan yang terlihat beda di keluarga ini. Dari warna mata, warna kulit, dan kepribadiannya yang bertolak belakang baik dengan Aurellie dan kedua orang tuanya. Ada kemungkinan kalau Zaidan bukan putra biologis dari pasangan Sarah dan Frans Wijaya.
Tak lama kemudian Hazel keluar untuk mencari keberadaan sang pemilik kamar. Langkah kakinya seketika terhenti sesampainya dibalkon mansion megah itu. Terdiam mematung dibalkon lantai dua, memandangi sesuatu yang membuatnya tertegun sekaligus tak habis pikir. Matanya tak berkedip sama sekali, menatap sesuatu yang begitu memukau dan bercahaya ditengah-tengah kolam renang.
Disana, ditengah-tengan kolam renang, seseorang mengambang diatas permukaan air. Dia terlihat seperti peri, begitu tampan dan bersinar. Lampu-lampu taman disekitar kolam menerangi sosoknya yang begitu sempurna. Pantulan cahaya membuat air kolam terlihat seperti birunya samudera. Pria dengan rambut hitam, mata cokelat, kulit putih, dan kaus polos berwarna putih. Tak ada yang dia lakukan selain terdiam memandang langit, dengan bagian punggung terendam air.
“Apa yang sedang dia lakukan?” tanya Hazel entah pada siapa. Menopang dagu dengan kedua tangannya diatas tembok pembatas. Menerka-nerka pemandangan langka didepannya.
Sebelumnya dia belum pernah mendapati pemandangan ini, bahkan dia tidak tahu kalau Zaidan begitu menyukai air. Tapi rasanya sekarang masih begitu pagi, bahkan langit belum menunjukan tanda-tanda matahari anak naik. “Haruskah aku menariknya dari sana?” gumam Hazel sedikit khawatir.
“Biarkan saja!” ujar seseorang dari arah belakang.
“Ah, Tante.” Hazel tersenyum saat melihat Sarah yang kini tengah berada disampingnya dengan tubuh berbalut kimono tidur.
Sarah tersenyum sekilas, kembali memperhatikan apa yang sedang Zaidan lakukan dibawah sana. “Setiap orang memiliki caranya tersendiri untuk menghadapi setiap permasalahan. Seseorang seperti Zaidan tidak bisa menangis, tidak seperti kita. Dia hanya bisa terdiam diatas air, seperti yang kamu lihat sekarang.”
Sarah tersenyum sambil mengusap punggung Hazel lembut. “Selama ini kami belum pernah melihat air mata menghiasi wajah tampannya. Dia tak pernah menangis. Namun itu semua bukan karena hidupnya selalu bahagia.” Kembali menatap sosok pria yang masih diposisi sebelumnya dikolam renang.
“Hidupnya pasti berat.”
Sarah mendesah berat kemudian mengangguk. “Dia cukup banyak menangis dimasa kecilnya. Ibunya begitu membencinya. Karena itu, tante berharap, mulai sekarang kalian bisa saling membuka diri dan hidup bahagia.”
“Untuk sekarang, biarkan saja dia seperti itu. Suatu saat nanti dia akan membuka diri dan menangis didepan seseorang yang paling dia percaya.” Sarah tersenyum sambil mengusap bahu Hazel. Dan kemudian pergi meninggalkan Hazel seorang diri disana.
Hazel melepas kepergian Sarah dengan berjuta tanda tanya. Menatap punggung wanita itu sampai diujung tembok dan menghilang. Berbalik dan kembali memposiskan tubuhnya seperti semula. Mencari-cari keberadaan Zaidan yang sedari tadi terus mencuri perhatiannya. Memejamkan matanya sejenak dan mendesah berat. “Zaidan, tidakkah terlalu pagi untuk—” ucapannya terhenti seketika saat melihat tubuh sang kekasih sudah tak dipermukaan lagi. “Hei!” teriaknya. Berlarian menuruni tangga ke lantai dasar.
“Zaidan!” Hazel berteriak ditepi kolam sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Hei, ada yang tenggelam disini!” teriaknya lagi seraya melambai-lambaikan tangannya diudara. Berharap seseorang akan muncul dan menyelamatkan Zaidan.
Hazel meremas rambutnya frustrasi, melepaskan lilitan kimono tidur ditubuhnya dan—
BYURRR!
Perempuan itu menjatuhkan dirinya kedalam air. Kakinya bergerak, berusaha keras menggerakan tubuhnya kedasar kolam. Mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik tangan kanan Zaidan dan membawanya kedalam pelukan. Meski Hazel tidak begitu mahir berenang, tapi perempuan itu berjanji untuk menyelamatkan Zaidan bagaimapun caranya.
“Ughh!” Hazel masih berusaha keras membawa tubuh sang pria ke permukaan. Namun beberapa saat kemudian tubuhnya melemas, dia kehabisan tenaga dan juga pasokan oksigen didadanya.
Kedua matanya terpejam. Lilitan tangan disekeliling tubuh Zaidan terlepas. Gelembung-gelembung halus keluar dari mulut dan hidungnya, air itu mulai masuk kedalam tenggorokannya. Rasa sesak dan dingin semakin menusuk diri, dia akan membeku bersama prianya. Ingin sekali rasanya berteriak kencang, namun sayang, mulutnya terkunci seketika, tubuhnya melemas dan tak mampu lagi untuk bergerak. Hazel butuh oksigen sekarang juga.
“Zaidan?” bisiknya dalam hati. Seketika membuka matanya cepat.
Dan benar saja. Zaidan membawa tubuh kekasihnya ke permukaan. Dengan satu lengan memeluk pinggang Hazel, satu tangannya lagi bergerak naik. Dibantu dengan pergerakan otot tubuh dan juga kedua kakinya. Dia bahkan terlihat mahir berenang.
“Jangan gila kamu!” bentak Zaidan setelah membawa tubuh kekasihnya pada sisi kanan kolam. Membantu tubuh perempuan itu untuk berdiri tegap, bertumpu dengan pinggiran kolam dibelakangnya.
Hazel terkejut dan langsung mengerjapkan kedua mata saat tubuhnya masuk kedalam pelukan sang kekasih. “Ahh, Za––”
“Kamu gak bisa berenang!” bentak Zaidan lagi. Kedua bibirnya bergetar dan membiru, sama sekali tak ingin melepas dekapannya. “Jangan mati tanpa seizinku!”
“Memangnya kamu Tuhan? Dasar sinting!” bentak Hazel balik. Mendorong tubuh Zaidan menjauh dari tubuhnya. Bergerak cepat menaiki tangga besi, kemudian duduk sila disisi kolam menghadap Zaidan yang masih berdiri mematung didepannya.
“Asal kamu tahu, aku tadi panik setengah mati karena mengkhawatirkanmu,” ujar Hazel membela diri. Menekuk kedua lututnya didepan dada. “Melihatmu mengambang dengan tatapan kosong, lalu menenggelamkan diri didasar kolam. Aku takut kamu pergi seperti ... mimpi itu.”
Dia mulai kesal dan berusaha bangkit dengan tenaga seadanya, berbalik, sambil meletakkan kedua telapak tangan dipipinya. Menyadari bareface yang baru saja ia tunjukan didepan Zaidan. Bukan hanya wajah tanpa makeup yang disesalinya, mata sembab dan kulit pucatnya juga hal baru yang pernah ia tunjukan didepan pria. Perempuan itu berjalan cepat menuju pintu utama sambil menggerutu kesal. “Setidaknya ucapkan ‘Thank you', bukan malah memakiku seperti itu. Dia bukan Tuhan, kenapa aku tak boleh mati tanpa izinnya? Dasar sinting!”
Greppp!
Hazel membelalakan matanya terkejut, tubuhnya terangkat tiba-tiba tanpa komando. Seseorang mengangkat tubuhnya dan meletakkannya dibahu bak memikul sekarung beras. Dia tahu ulah siapa ini, siapa lagi kalau bukan Zaidan. Pria itu selalu bertindak seenaknya tanpa bertanya terlebih dahulu, apalagi meminta persetujuannya. Bahkan lelaki itu tetap membungkam mulutnya saat Hazel memakinya secara kasar.
Zaidan terlihat sedikit meringis saat Hazel menendang-nendangkan kedua kakinya diperut Zaidan. Sedangkan Hazel hanya terus meronta sambil memukul punggung Zaidan dengan kepalan tangannya, tanpa sempat berpikir apakah sang pemilik tubuh merasa kesakitan atau tidak. “Turunkan aku! Dasar sinting!” teriak Hazel. Namun, setelah itu dia langsung menutup wajahnya, saat beberapa maid dan security melewati mereka sambil memberi hormat.
Dan sesampainya didalam kamar, Zaidan langsung menurunkan tubuh kekasihnya disisi ranjang. Melemparkan handuk kecil kearah Hazel, tepat menutupi dadanya. “Pakaian dalammu terlihat.” Kemudian melepas kausnya sambil memunggungi tubuh sang kekasih. “Aku tak sengaja melihatnya, dan aku tak ingin orang lain ikut melihatnya juga.”
“Itu alasan kenapa tiba-tiba kamu menggendongku?” tanya Hazel sambil memajukan bibirnya. Masih menutupi dada dengan handuk yang diberikan Zaidan barusan.
“Ya,” jawab sang pria singkat. “Setidaknya aku bisa menyembunyikan bagian depan tubuhmu dibahuku,” lanjutnya lagi.
“Alasanmu benar-benar diluar dugaan, tak masuk akal. Kau alien? Otakmu terbuat dari apa?”
Zaidan tersenyum tanpa sepengetahuan Hazel, sedikit terkekeh pelan mendengar gerutuan sang kekasih, namun masih membelakangi tubuh wanitanya untuk saling menjaga privasi. “Bisa bantu aku?”
“Bantu apa?”
“Tolong ambilkan kain kasa dan kotak obat didalam laci dibelakangmu. Aku harus mensterilkan lukaku.” kata Zaidan. Memilih duduk disisi ranjang. Berusaha keras untuk membuka perban diperutnya.
“A-apakah ini ulah penguntit itu?” Hazel terkejut bukan main saat melihat luka gores diperut Zaidan.
Zaidan mengangguk. “Ya.”
Hazel bergegas mengambil kain kasa dan kotak obat sesuai permintaan kekasihnya. Berjalan cepat kesisi ranjang kemudian berlutut, bertumpu dengan kedua lututnya. Membantu Zaidan melepas perban dan menggantinya dengan yang baru. “Zaidan, aku rasa penguntit itu cukup mengenalmu dengan baik. Dia cemburu padaku. Tak ingin aku memilikimu seutuhnya.”
Zaidan terdiam.
“Maaf,” gumam Hazel. Wanita itu meringis seakan ikut merasakan perihnya luka bekas tusuk pisau.
Zaidan menyunggingkan bibirnya. Dia baru saja berseringai, memikirkan rencana jahilnya. “Apakah warnanya hitam?” Pria itu mengerutkan keningnya, melipat bibirnya kedalam seolah-olah tengah berpikir keras. “Emm, aku rasa warnanya biru.”
Hazel semakin heran dibuatnya. Dia sama sekali tak mengerti maksud dari semua pertanyaan kekasihnya. “Hitam? Biru?”
“Ya. Apakah kamu membelinya saat kita berbelanja di Departemen Store pusat kota?” Pria itu kini tengah berusaha keras berakting, seolah-olah dia tengah berpikir keras.
Zaidan menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah sang kekasih. “Oh, aku ingat sekarang. Saat kita berpisah ditoko sepatu lantai atas. Kamu pamit pergi ke toko pakaian formal untuk setelan kantor, namun rupanya diam-diam kamu menyelinap ke toko koleksi Victoria Secret. Apakah tebakanku benar?”
“Awhh!” ringis Zaidan saat merasakan perih diarena lukanya. Sepertinya Hazel baru saja menekan lukanya, wanita itu sengaja melakukannya.
Mendengar penuturan Zaidan, membuat Hazel refleks membulatkan matanya, berdiri dan kembali menutupi dadanya dengan handuk tebal berwarna putih. Sekarang dia sadar bahwa sang kekasih tengah menggodanya. Zaidan sedang membicarakan sesuatu didalam pakaian basahnya. “Sial!”
Kaus putih kebesaran itu sedikit mencetak warna pakaian dalamnya. Rasa malu, kesal, dan marah bersatu dalam dirinya. Ingin rasanya dia mengutuk Zaidan dengan segala makian dan pukulan keras. Namun niat itu segera ia urungkan melihat keadaan sang pria yang tengah terluka karenanya. Dan sekarang Hazel hanya bisa memendam semua kekesalannya. Membalikan tubuhnya dan berjalan cepat kearah pintu kamar. Tubuhnya terhenti saat tangan kanannya meyentuh kenop pintu. “Asal kau tahu kalau warnanya bukan hitam, tapi navy.”
Jelas saja alasan Zaidan tahu barang apa yang dibeli sang kekasih kala itu, tak lain karena SMS debet credit card diponselnya. Dimana tertulis bahwa kartu atas namanya baru saja melakukan transaksi pembelian satu set pakaian dalam mahal merek Victoria Secret. Dan lihat saja sekarang, pipi Hazel memerah karena rasa malu bukan kepalang. Walau Hazel tak ingat dan tak pernah merasa membeli pakaian dalam menggunakan uang orang lain, dia masih saja merasa malu.
Brugh!
Hazel menutup pintu kamar dengan keras, menghasilkan bunyi dentuman diseisi ruang kamar dimana Zaidan ada didalamnya. Pria itu tertawa terpikal setelah kepergian kekasihnya. Dia tahu Hazel tengah kesal karenanya, dan Zaidan menyukainya. Dia suka menggoda sang kekasih terutama disaat-saat seperti ini. Saat dimana dia butuh tersenyum dan juga tertawa terpikal, guna menyembunyikan tangis dan luka yang dideritanya.
“Perasaan apa ini?” Hazel bertanya-tanya dalam hati. Bersandar dibalik pintu kamar Zaidan dengan muka bersemu merah. Bibirnya tiba-tiba saja tersenyum dan tersipu malu, seraya merasakan detak jantung yang menari dengan indahnya. Menutup kedua matanya dan berbisik, “Nice to meet you.”
Wah, bagus nih. Serasa baca novel thiller Amerika. Kalo difilmkan ini keren, baru setengah jalan padahal, gak sabar kelanjutan ceritanya.