Hazel terkejut dengan perubahan sikap Zaidan setelah mereka turun dari rooftop. Pria itu memilih berjalan mendahului Hazel menuju lift, tanpa bergandengan atau berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih. Wajah dan ekspresinya seketika berubah dingin dan misterius. Tak ada senyuman apalagi sapaan untuk orang-orang disekelilingnya. Sangat berbeda dengan sikapnya yang terbuka dan manis saat bersamanya dirooftop. Dia berani memeluk, memangku Hazel, bahkan sampai berani mencium puncak kepala gadis itu. Apa mungkin hubungan mereka tidak dipublikasi atau lebih tepatnya hanya mambuat batasan interaksi didepan umum?
“Abriana,” panggil Hazel dengan bisikan kecil.
Bisikan kecil Hazel berhasil menghentikan langkah kaki pria didepannya. Zaidan berbalik dan langsung menarik Hazel memasuki lift kosong. “Apa katamu?” tanyanya sedikit menggeram.
Hazel menggigit bibirnya takut. “A-aku tak mengatakan ap––”
Pria itu secepat kilat mendorong tubuhnya kesudut. Mengukung tubuh Hazel dan menahan tengkuknya. “Kamu memanggilku dengan sebutan––”
“Abriana?” tanya Hazel.
Zaidan mengangguk. “Ya. Kamu tak pernah melakukan itu sebelumnya.”
Tertangkap kau Hazel.
Hazel benar-benar ceroboh. Dia baru saja menggali kuburannya sendiri. Sekarang Hazel takut Zaidan menyadari kalau wanita yang sedang bersamanya ini bukanlah orang yang sama dengan yang dicintainya dulu. Bukan gadis yang dikejar-kejar Zaidan dan dibantunya secara diam-diam. Atau gadis yang ditolongnya untuk keluar dari serangan dua kubu siswa yang sedang bertauran sepulang sekolah.
“Kamu tak suka? Kalau begitu––”
“Aku suka!” potong Zaidan dengan senyuman lebar yang memamerkan deretan gigi putihnya.
Mulut Hazel terbuka membentuk gua besar. Dia sungguh terkejut dengan respon Zaidan yang terbilang berlebihan. Disisi lain, Hazel juga ikut merasakan lega setelah tahu bahwa panggilannya sama sekali tidak menyinggung perasaan Zaidan. “Ah, aku turut senang.”
Tak lama kemudian pintu lift terbuka, menunjukan beberapa pasang mata yang sedikit terkejut dengan pemandangan didalam sana. “Ma-maaf, kami akan menunggu lift selanjutnya.” Kata salah satu dari mereka yang terlihat kebingungan dan gugup setelah melihat Zaidan mengunci tubuh Hazel didinding.
Mendengar hal itu, Zaidan segera menjauhkan tubuhnya dari Hazel dan menyisir rambutnya kebelakang. So cool. Meminta orang-orang didepannya untuk masuk dan bergabung bersamanya. “Silakan bergabung.”
Seketika suasana berubah hening.
Meski lift terisi penuh, tapi semua orang memilih untuk menutup mulutnya. Biasanya, dijam-jam seperti ini, semua orang sudah meninggalkan gedung dan pekerjaan mereka. Entah kenapa malam ini orang-orang memilih untuk pulang telat dari jam biasanya. Hazel tak tahu itu, bahkan dia tak tahu jenis kantor dan pekerjaan apa yang mereka lakukan. Dia juga tak tahu apa yang sedang dilakukannya digedung ini. Mungkin dia juga merupakan salah satu staf, pegawai, atau petinggi diperusahaan ini.
“Kenapa mereka terlihat begitu segan terhadapmu?” tanya Hazel setelah keluar dari lift. Berjalan berdampingan menuju tempat parkir didepan gedung.
Zaidan menoleh dan menyunggingkan senyum misteriusnya. “Kamu lupa dengan julukan kekasihmu ini, hem? Prince Frozen karena sungguh begitu malas berinteraksi hangat dengan orang-orang yang tidak begitu aku kenal. Dan juga Face Genius, karena wajah dan otak kekasihmu ini yang membuat namanya melambung sebagai Journalist of the Year.”
“W-what?” Hazel terkejut bukan main. “Journalist of the Year?”
Zaidan mengangguk cepat. “Ya. Belum baca berita utama hari ini? Hei, bahkan kamu ikut menghadiri ajang penghargaan itu kemarin malam.”
Seketika Hazel memutar tubuhnya menghadap gedung tinggi dengan nama INDOnews tepat dibelakangnya. Dimana terdapat layar LED billboard yang menampilkan sebuah komersial berita dari salah satu stasiun televisi swasta. Video itu juga menampilkan Zaidan Abriana dengan setelan jas hitam, didampingi dengan wanita yang memiliki paras sama persis dengan Hazel. Bedanya hanya dari pakaian yang terlihat jauh lebih formal dan dibubuhi dengan makeup juga hair style yang begitu elegan.
“Oh my god!” Hazel menggelengkan kepalanya frustasi. Dia benar-benar tak percaya dengan semua ini.
Perempuan itu hanya bisa diam membisu setelah Zaidan membukakan salah satu pintu mobil untuknya. Dia tak tahu bagimana caranya mimpi ini dimulai, dia juga tak tahu bagaimana caranya mimpi ini akan berakhir. Terlalu menakutkan mengingat kehidupannya disini yang sama sekali tak dikenalinya. Terlalu asing dan diluar dugaan mengingat posisinya disamping Zaidan yang terbilang jauh lebihh pantas ketimbang versi dirinya didunia nyata.
“Zaidan,” bisik Hazel. Menahan tangan Zaidan yang baru saja selesai memasangkan sabuk pengaman ditubuh Hazel yang diam mematung. Menahan pintu yang hendak ia tutup sebelum Hazel menggenggam tangan kekar itu.
“Ya?”
Jantung Hazel mulai berpacu lemah. “Tahun berapa sekarang?”
“Kamu pasti becanda. Tidak mungkin kamu mengalami demensia diusia muda sampai harus lupa kalau kita berada ditahun 2022.”
Cekalan tangannya dipergelangan tangan Zaidan terlepas begitu saja. Membiarkan pria itu menutup pintu dan memutari kap mobil untuk menduduki bangku supir. “2022?”
“Aku ingin kembali,” gumam Hazel dengan wajah frustasi. Berusaha keras memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur kembali. Berharap ketika bangun nanti semua keadaan sudah kembali normal.
Zaidan tak habis fikir dengan tingkah Hazel hari ini. Wanita itu banyak melupakan sesuatu seperti; tanggal jadian mereka, posisinya sebagai pembawa acara berita, acara penghargaan yang dihadirinya kemarin malam, dan tahun dimana dia bernafas sekarang. Benar-benar tak masuk akal. Memikirkannya saja sudah membuat Zaidan pusing. Sepertinya pekerjaan ini menjadikan Hazel beban terberat dalam hidupnya. Mereka kurang istirahat, banyak menghabiskan waktu dilapangan untuk mencari bahan berita, dan hubungan mereka yang terbilang monoton juga membosankan.
“Aku akan mengambil cuti dan kita bisa pergi untuk berli ... bur.” Zaidan terdiam mematung dengan satu tangan menahan pintu mobil. Menatap kursi penumpang disampingnya yang tak lagi berpenghuni.
~~~@~~~
Jakarta, 2019
Tok! Tok! Tok!
“Hazel, buka pintunya!” teriak Adipati didepan kamar putrinya.
Hazel tersentak dan langsung mengerjapkan matanya. Kedua tangannya bergetar hebat, jantungnya berdebar cepat, dan juga nafasnya yang memburu tak terkontrol. Tubuh ramping itu bangkit duduk dengan novel ‘The Eternal Love’ dikedua tangannya. Termangu sebentar sambil membuka kembali halaman demi halaman novel yang belum dibacanya sampai tuntas. Keningnya berkerut, merasa heran dengan alur cerita yang dibacanya. “Ke-kenapa ceritanya mirip dengan mimpiku?”
“Ini benar-benar gila,” batin Hazel.
Bagaimana bisa dia memimpikan alur cerita bab pertama ‘The Eternal Love’ tanpa membacanya terlebih dahulu. Dan alur cerita yang diimpikan Hazel terasa begitu detail. Dia juga bisa melihat jelas wajah orang-orang didalam mimpinya, terutama Zaidan Abriana.
Biasanya, dia tidak pernah bisa melihat wajah orang-orang dalam mimpinya secara jelas. Membayangkan wajah karakter fiksi yang menjelma jadi manusia saja tidak pernah, apalagi sampai membayangkan berpacaran, kencan romantis, berpelukan, bersenda gurau, bahkan sampai bisa merasakan hangat disekujur tubuhnya karena kecupan yang ditinggalkan Zaidan dipuncak kepalanya.
“Astaga, Hazel!” teriak Adipati setelah melihat Hazel masih bergumul diatas kasur. “Anak gadis normal tidak seperti ini. Apa yang kamu lakukan seharian tanpa keluar kamar, huh?”
“A-apa? Anak gadis normal? Jadi menurut Ayah–– Hazel ini gak normal, begitu?”
Adipati mendengus frustasi. Berjalan cepat kearah ranjang dan menjewer telinga Hazel kesal. “Gadis sesusiamu dijam-jam ini seharusnya sedang sibuk berkutat dengan pekerjaannya dikantor. Bukan sibuk menempel poster kartun dan mengoleksi novel fiksi seperti itu.” Pria tua itu terus mengomel sambil memunguti barang-barang Hazel yang berserakan dilantai kamar.
“Aah, sudahlah. Ayah keluar saja sana!” gerutu Hazel sambil berusaha keras mendorong badan pria yang jauh lebih besar dibanding dirinya.
“Tapi––”
“Hazel mau mandi, Ayah.”
Adipati mengembuskan nafasnya pasrah. “Baiklah. Kalau sudah selesai cepat turun. Ayah tunggu kamu dimeja makan.”
“Siap!” ujar Hazel memberikan hormat bak tentara dengan badan tegak, sepasang kakinya tertutup rapat, dan tangan kanan ditempatkan disamping kepalanya.
Selepasnya Adipati menutup pintu, Hazel bergegas menjatuhkan tubuhnya kembali keatas kasur. “Dimana novel itu?” tanyanya entah pada siapa. Mencari-cari novel yang sebelumnya dia peluk kini hilang tanpa jejak, meninggalkannya dengan penuh tanda tanya besar.
“Hazel, ayah tahu yang sedang kamu lakukan sekarang. Cepat mandi atau––”
“Iyaaa!” teriak Hazel kesal.
Wanita itu bergegas ke kamar mandi setelah berhasil memberantakan kembali kamarnya. Sia-sia usaha sang ayah yang sebelumnya sempat membereskan kamar anak gadisnya. Hazel belum berubah, dia masih sama dengan Hazel 15 tahun lalu. Kekanakan, manja, dan penakut. Tubuhnya memang telah tumbuh dewasa, tapi tidak dengan sifat dan kepribadiannya yang masih sering dicap bayi oleh sang ayah.
“I-ini ...” Hazel terpaku didepan cermin wastafel. Memandangi pantulan wajahnya sendiri dengan kening berkerut. “Ikat rambut pemberian dari Zaidan.”
Selain kesamaan mimpinya dengan cerita novel, Hazel juga ikut bingung dengan benda yang ada dikepalanya. Sebuah ikat rambut hitam melingkar dirambutnya, mengingatkannya pada ikat rambut yang dipasangkan Zaidan dalam mimpi. Padahal Hazel ingat betul kalau dirinya tak memiliki ikat rambut seperti ini, kecuali pemberian Zaidan yang dianggapnya sebagai hadiah bunga tidur. Hazel rasa dia masih belum bangun dari tidurnya. Mimpinya masih terus berlanjut tanpa arah dan scenario.
Hazel melirik pakaiannya masih sama sebelum dia tertidur tadi. Setelan pajamas pink dengan renda bunga dibagian samping, tidak ada yang berubah selain ikat rambut hitam. Tapi, ada satu hal yang membuat kedua kakinya meleleh bak jelly. Saat dia memejamkan matanya, mengulang kembali ingatan tentang mimpinya, saat itu juga tubuhnya kembali menghangat.
Sosok Zaidan kembali ia rasakan mulai dari wajah tampannya, tubuh tingginya, dan juga aroma parfum yang dipakainya malam itu. Dan jangan lupakan tentang rasa nyaman dan bahagia yang diberikan Zaidan lewat dekapan dan juga kecupan dipuncak kepalanya. “Ini terasa begitu nyata.”
~~~@~~~
INDOnews, 2022
“Hazel!” teriak Zaidan. Bergegas keluar dan berjalan memutari mobilnya. Mencari jejak kemana kepergian Hazel tanpa sepengetahuannya. Dia juga berlari menyusuri halaman gedung, halte bus, ruangan kerja Hazel, dan juga berkali-kali menelfon perempuan itu yang terus berujung tanpa jawaban.
“Sam, lo lihat Hazel, gak?” tanya Zaidan pada orang yang hendak memasuki mobilnya.
Pria tampan bermata sipit itu mengangkat bahunya. Berdiri disamping mobilnya dengan kening berkerut. “Bukannya kalian habis merayakan anniversary dirooftop? Gue gak lihat dia sehabis meeting sore tadi.”
Zaidan meremas rambutnya frustasi. Dari wajahnya terpancar rasa cemas yang amat sangat dalam. Tidak seperti biasanya Hazel pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Bahkan tak butuh waktu lama untuk gadis berkaki pendek seperti Hazel bisa menghilang begitu cepat dari pandangannya. Zaidan hanya memutari kap mobilnya untuk menduduki kursi kemudi, tapi dia bisa kehilangan jejak kekasihnya hanya dalam hitungan detik saja.
“Gak usah khawatir, Bro. Mungkin Hazel punya urusan mendesak atau––memangnya kapan terakhir lo lihat dia?” tanya Samuell penasaran, sampai memotong ucapannya sendiri.
Zaidan menjatuhkan dagunya, lelah. “Beberapa menit yang lalu.”
Wah, bagus nih. Serasa baca novel thiller Amerika. Kalo difilmkan ini keren, baru setengah jalan padahal, gak sabar kelanjutan ceritanya.