"Kenapa bisa seperti ini?" teriak Ayesha, begitu sampai di kantor.
Ketika Silvi--salah satu teman sesama media planner--menghubunginya beberapa waktu lalu, tidak ada yang bisa Ayesha pikirkan kecuali segera datang ke kantor dan mengeceknya secara langsung.
Memang benar, ada Silvi dan Agam dengan wajah kalut begitu kentara, sudah berada di kantor terlebih dahulu.
"Gue juga nggak tau, Ye. Tau-tau budget kita udah over gini," jelas Silvi dengan pasi.
Ayesha kemudian bergegas mengecek kembali pekerjaannya. Terakhir kali ia meninggalkan kantor, ia sudah yakin betul bahwa ads yang ia pasang sudah stabil di tempat.
"Gawat sih, Ye. Kalau sampai Pak Boss tahu, yaaa... ya siap-siap aja kita mah." Bukannya menenangkan, Silvi justru memperkeruh pikiran Ayesha dengan kata-kata horornya.
"Pak Bos nggak mungkin tahu kalau lambe-lambe kalian nggak mangap sembarangan." Ayesha tersulut, ia masih manteng di depan komputernya sembari mencari pemantik kasus iklannya ini. Eh dengan enteng Silvi malah nyeletuk hal lain yang membuat Ayesha lebih bingung.
"Ye, kalaupun kita keep. Pak Bos juga bakal tahu dari Laporan perkembangan ads kan?" Masih dilanjut, Silvi kembali megutarakan kemungkinan terburuk.
"Shit! Trus ini gimana?" Ayesha meraup wajah risaunya dengan kepanikan yang tak terkendali.
Pikirannya sedang tidak ada di tempat.
Pasalnya, adalah baru kali ini pengalaman sebagai media planner ia lakoni. Ilmunya masih cetek, ia butuh pembimbing, sementara kedua temannya yang lebih dulu itu, tidak banyak yang bisa Ayesha harapkan dari mereka.
"Lo tenang dulu, bisa?" Agam angkat suara.
"Mana bisa, Gam?"
"Iya, kita cari tahu dulu kenapa bid-nya jadi melonjak gini."
Lalu, Agam sudah mengutak-atik komputer Ayesha untuk mencari tahu sebab musababnya.
Dengan keseriusan dan tanpa banyak omong, Agam mengambil alih kendali. Sementara Ayesha, sudah kalang kabut dibuatnya.
"Ini lo pasang berapa awalnya?" tanya Agam sambil mengecek dashboard Facebook.
"Gue pasang $0.03/page like."
"Lah, kenyataannya bid yang lo pasang $0.4/page like, Ye."
"Itu, dia." Ayesha sudah hampir menangis di tempat.
"Lo udah cek lagi kemarin? Yakin lo masang segitu?"
"Gue cek sekali, habis itu gue biarin dia run seharian."
"Nah itu, sistem di FB tuh masih belum stabil, Ye. Banyak bugs juga. Jadi ya bisa aja bid ini berubah-ubah sendiri."
"Gue nggak paham, Gam." Ayesha semakin belingsatan.
"Ya itu tadi kek yang gue bilang," sahut Agam dengan tenang.
"Ya terus, gue kudu gimana sekarang?"
"Udahlah, kita cari solusinya bareng-bareng besok. Udah malem, lo pulang gih."
Jadi, yang Ayesha lakukan selanjutnya adalah menuruti kata-kata Agam. Karena ia pikir percuma juga ia berada di kantor malam-malam begini tanpa kejernihan pikirannya.
Ayesha memutuskan pulang. Ia mengandarai mobil Maminya yang ia pinjam mendadak untuk ke kantor tadi. Sepanjang perjalanan, fokusnya tercecer tak tentu arah. Jalanan pukul sembilan malam memang sudah mulai lenggang. Namun, definisi lenggang untuk Ibukota kan tidak sekonotasi maknanya. Masih ramai, hingga beberapa kali Ayesha mendapat peringatan dari klakson mobil di sekitarnya. Pasalnya, ia membawa mobil urak-urakan. Ayesha tidak bisa tenang.
Beruntung ia bisa sampai rumah dengan selamat, meski akhirnya mendapat interogasi dari Papi dan Maminya yang melihat putri sulung mereka pulang dengan wajah kucel terlihat begitu capai.
****
Hari berganti tidak membuat mood Ayesha berganti pula. Justru, hari ini begitu menakutkan untuk Ayesha hadapi.
Tak ubahnya seperti nasihat Papi yang semalam ia dengar, "jangan menghindar, salah bilang salah, ambilah tanggung jawab dengan gagah."
Jadi, yang Ayesha lakukan sekarang, berusaha tetap kalem, setenang mungkin. Duduk di kubikelnya, dan memgoperasikan komputernya seperti biasa.
"Ayesha Pak Dami minta weekly report perkembangan ads." Mbak Lia, asisten Pak Dami yang merupakan Bos besar DCA meminta Ayesha, sesaat ketika Ayesha baru mendaratkan dirinya ke kursi.
"Hah? Kok weekly, Mbak? Biasanya juga akhir bulan." Ayesha tentu saja kaget, belum genap ia mengatur napasnya yang naik turun akibat berlari, berjibaku dengan antrean lift yang menggila, Mbak Lia sudah menodongnya dengan weekly report.
Dengan artian, ia harus membuat pengakuan dosa sekarang juga. Padahal, belum juga ia merancang alasan keteledorannya itu, lalu kini, dirinya merasa sudah di tepian jurang. Sedikit lagi ia maju, maka, selesailah sudah semua ceritanya.
"Kurang tahu deh. Kayaknya si Bos lagi kuker, jadi yaa cari-cari kerjaan gini deh."
"Astaga." Ayesha menghela napas sejenak. Kekalutannya semakin menjadi.
"Kerjain aja dulu, nggak usah gupuh. Pak Dami stay di sini seharian, kok."
Ayesha menggigit kedua bibirnya. Memang sih stay seharian, tapi tetap saja, hari ini seolah hari eksekusi bagi Ayesha. Mau laporan pagi atau nunggu nanti sore, tetap saja ia akan diadili.
"Ye?" Silvi membuyarkan lamunannya. Bahkan ia nggak tahu kapan Mbak Lia pergi, lalu kini sudah berganti dengan Silvi dan Agam.
"Gimana, Gam? Sil?" Ayesha meminta persetujuan kedua temannya.
"Jujur aja, daripada ancur belakang."
Betul memang, Agam tidak sepenuhnya salah. Bagaimana pun, ia bukan tupai yang pandai meloncat. Ayesha juga sadar, dirinya tidak lihai berkelit dengan silatan lidah yang membelit. Jadi, memang tidak ada pilihan lain selain jujur.
Masih dengan raut kusut serba bingung, Ayesha berusaha mengendalikan emosinya.
Kalem, kalem, tenang.
Ia memilih mengerjakan weekly report terlebih dahulu ketimbang membahas kembali persoalan lonjakan bid yang fluktuatif tersebut. Ia kesampingkan dulu perihal itu, yang penting ia sudah mengembalikan bid yang terpasang pada nominal yang memang dikehendaki.
Setelah laporannya rampung, Ayesha bergegas ke ruangan Pak Dami. Dengan segala gugup, takut, dan rasa cemas lainnya, Ayesha memberanikan diri untuk masuk mendapat sahutan dari dalam.
"Ya, Ayesha, gimana? Ads aman?" Pertanyaan pertama langsung menjurus. Memang, Pak Dami terkenal dengan ke-to do point-nya yang tidak pernah bertele-tele.
"Mmm, maaf, Pak sebelumnya. Ada hal tidak aman yang akan saya sampaikan."
"Maksudnya?" Pak Dami memicingkan mata. Pandangan curiga beliau juruskan langsung ke arah Ayesha.
"Ini, Pak." Sedikit gemetar, Ayesha mengangsurkan laporannya kepada Pak Dami.
Pak Dami masih memandang penuh tanya, gelagat Ayesha yang tidak biasa. Lalu, dengan ragu beliau mulai membaca isi laporan Ayesha. Awalnya hanya memicingkan mata. Namun, lama-kelamaan Pak Dami sadar ada yang tidak beres.
"Ini maksudnya gimana? semalam habis segini? Ini setara budget setahun, Ayesha. Gimana bisa???" teriak Pak Dami beberapa detik setelah membaca sekilas laporan milik Ayesha.
"Bid yang saya pasang melonjak dengan sendirinya, Pak," lirih Ayesha tidak berani menatap Pak Dami.
"Yang jadi pertanyaan saya, gimana bisa????" Pak Dami kembali berteriak kencang.
Ayesha mengkeret di tempat, ia tidak pernah melihat Bosnya se-freak out ini sebelumnya. Lalu kini, semburan lava panas dimuntahkan tepat di depan Ayesha.
"Saya juga kurang tahu, Pak. Saya sudah memastikan bahwa bid terpasang sesuai budget sebelum saya tinggal."
"Kamu tinggal?" tanya Pak Dami dengan nada penuh penekanan.
"Iya, run seharian tanpa saya cek lagi."
"Astaga, Ayeshaaaaa!!!" Pak Dami berdiri, menghadap keluar jendela besar di belakang kursinya.
Sambil memijit pelan kepalanya, beliau begitu menyeramkan seperti ingin menerkam sang mangsa.
"Lalu, bagaimana kamu tahu ada hal semacam ini kemudian kamu diam saja?? Sejak kapan kejadian ini?"
"Saya tidak diam saja, Pak. Saya memang ingin konsultasi ke Bapak hari ini." Ayesha melayangkan pembelaan.
"Kalau sudah begini, terus bagaimana, Ayesha?" Frustasi, Pak Dami membanting laporan mingguan yang Ayesha kerjakan mendadak tadi. Beliau mengacak kasar rambutnya.
"Maafkan saya, Pak. Itu keteledoran saya memang." Ayesha bergidik ngeri melihat respons Pak Dami yang menyeramkan. Ia sudah duga akan hal ini, tapi mau bagaimana lagi, toh ia harus siap untuk segala kemungkinan terburuk.
Termasuk, di-drop out dari DCA.
"Ya maaf gampang, Ayesha. Tapi sekarang??? Sekian juta yang kamu keluarkan sia-sia itu nggak kecil!!!"
"Saya akan ganti, Pak," balas Ayesha cepat.
"Bukan jawaban seperti itu yang saya butuhkan. Saya tahu kamu anak orang berada. Tapi ini bukan soal ganti uang jutaan melayang. Bukan!!!
Impact-nya itu gede, Ayesha. Klien mah enak, KPI mereka terpenuhi, mereka nggak peduli dengan bagaimana kita bisa achieve. Tapi bagaimana dengan budget perusahaan? Bahkan mereka bayar segitu untuk kontrak satu tahun, Ayesha!!!"
"Saya mengerti, Pak." Ayesha menunduk, tidak berani menampilkan wajahnya yang sudah merah padam menahan tangis.
"Kalau kamu ngerti, hal gini nggak bakal kejadian, Ayesha!!!
Saya nggak mau tahu, kamu selesaikan bagaimana caranya. Telepon pihak FB Singapura konsultasi perihal ini kalau perlu."
"Baik, Pak." Suasana tegang berangsur menurun. Setidaknya, Pak Dami tidak mengeluarkan suara sekencang toa musala seperti tadi. Cukup memekikan telinga, dan cukup membuat Ayesha menahan napas beberapa saat.
"Ya sudah, kamu bisa kembali." Belum lega sepenuhnya memang, tapi Ayesha bersyukur ia bisa keluar dari kandang singa lapar tersebut.
Bahkan, Ayesha tahu, pasti beberapa temannya mendengar percakapan dirinya dengan si Bos. Jelas terdengar, karena suara desibel tinggi Pak Dami tadi, tidak mungkin tidak mengundang rasa penasaran seisi kantor.
Ayesha keluar ruangan Pak Dami langsung disambut pandangan heran, penuh tanya, prihatin, atau hanya kepo? Dari beberapa rekannya yang berpura sibuk depan komputer masing-masing.
Ayesha tak peduli, ia kembali ke kubikelnya dengan berusaha sesantai mungkin agar tidak kentara.
****
"Hei, lo kenapa, Ye?" Ayesha mengerjap begitu satu suara lain menghampirinya.
Ia memang sedang sendiri, menikmati istirahat makan siangnya di kantin bawah, duduk di bangku pojok dekat jendela. Ia membenamkan kepalanya ke meja kantin, bahkan satu piring batagor yang dipesannya tadi, urung ia santap.
"Gif?" Ayesha nggak menyangka sih, Gifi menemukannya.
Entah Gifi sengaja mencari atau memang hanya suatu kebetulan semata, Ayesha tidak ingin peduli soal itu, saat ini.
"Muka lo pucet, Ye," tutur Gifi sudah mengambil tempat di sebelah Ayesha.
Ayesha bergeming, ia memilih untuk memberi perhatian pada batagornya. Hanya diaduk saja, tanpa berniat memakannya.
"Gue bingung." Hingga pada akhirnya, Ayesha tidak tahan juga ingin cerita.
Satu siomay ia tusuk dengan garpu, dicocol dengan bumbu kacang. Namun, pandangannya masih mengawang jauh ke luar jendela. Pemandangan Ibukota siang hari yang begitu macet terpampang di sana. Ayesha menghela napas lelah.
"Soal bid yang melonjak itu?" tanya Gifi.
Ayesha mendelik. Ah, ternyata kasus dirinya sudah banyak diketahui orang lain. Termasuk Gifi. "Lo tahu?"
Pesanan Gifi datang, satu cup jus alpukat dan salad buad, membuat Ayesha mengalihkan fokusnya. "Agam cerita. Ya sekalipun ini salah lo, mereka berdua juga takut kena imbasnya juga sih."
"Gue bego banget nggak sih, Gif?" lirih Ayesha.
Gifi mulai menikmati sajian di depannya. "Nggak, Ye. Lo tahu? Orang kalau nggak diuji itu nggak bakal naik kelas.
Atau orang yang mudah puas dengan segala pencapaian yang sempurna dan terus naik, tidak akan pernah menikmati keindahan sebuah masalah."
"Apa sih, Gif. Gue nggak bisa nangkep omongan lo, nge-blank gue." Ayesha kembali menenggelamkan kepalanya di dasar meja.
"Gini, Ye. Dengan lo yang baru banget bergabung di sini. Kemudian ada kasus kek gini, ini bukan hal besar, Ye. Justru ini jadi media belajar lo. Ke depan bakal lebih banyak lagi. Ini dampaknya belum sampai ke klien langsung. Hanya persoalan intern yang seharusnya bisa dicari jalan keluarnya bareng-bareng."
"Tetap aja gue yang salah, Gif," gerutu Ayesha masih dengan posisi yang sama.
"Tahu, toh ini udah kejadian kan? Mau bagaimana lagi?" ucap Gifi sambil mengendikkan bahunya.
Ayesha mengacak rambutnya semrawut. "Harusnya gue yang tanya itu, Gif. Mau bagaimana lagi?"
"Saran Pak Dami apa?"
"Telepon pihak FB Singapura."
"Udah?"
Ayesha hanya mengangguk lesu. Memang, setelah diskusi dengan Agam dan Silvi, Ayesha langsung mengambil tindak lanjut. Tadi, sebelum istirahat, Ayesha sudah on call dengan pihak Facebook di Singapura--kantor pusat Facebook terdekat--menanyakan perihal kasusnya ini.
"Terus?"
Ayesha hanya geleng-geleng. "Ya mereka memang mengakui, sistem di dashboard mereka masih belum stabil. Bugs di mana-mana. Tapi mereka nggak mau tahu soal kasus gue. It means, balik lagi, itu salah gue nggak ngecek lagi. Udah."
"Ya memang kan? Buat pelajaran aja sekarang mah. Yang jelas lo beruntung masalah nggak sampai merembet ke klien," tukas Gifi dengan acuh. "Mau cari angin segar pulang kerja?" tawarnya, melihat Ayesha yang begitu kusut memasang wajah merengut.
"Ke mana?"
"Nemenin gue?"
"Iya, ke mana?"
"Bilang iya aja udah kenapa sih, Ye?"
"Gif?" Ayesha menelisik, jarang sekali ia bisa ngobrol dengan Gifi hanya berdua seperti ini.
Ayesha merasa lepas, ia bahkan tak sadar bagaimana bisa ia mencurahkan kegundahannya kepada Gifi baru saja itu.
"Jalan, Ye. Gue mau ajak Cia dia mau ada dinner bareng calon klien. Lobbying gitu katanya, semoga aja goal."
Mendadak Ayesha lesu. Oh, jadi hanya karena Cia nggak bisa diajak jalan lantas Gifi mengalihkan kepada dirinya?
Sedikit nyeri menusuk dada Ayesha. Namun, ia berusaha cukup tersenyum. Bahkan, Gifi seolah paham sekali jadwal Cia, ya? Ia sendiri, yang notebene, yang katanya 'sahabat' aja, tidak begitu hapal jadwal kerja Cia. Oh, atau mungkin Ayesha yang terlalu cuek? Ia hanya tersenyum miris.
"Oh, ya? Lo tahu banget soal Cia, Gif?" sindiri Ayesha.
"Ah elah, Ye. Hal umum yang semua orang juga tahu, terkait kerjaan juga kan?"
Gifi benar memang, tapi, tetap saja, ada sesuatu lain yang Ayesha tangkap.
"Nyatanya gue nggak tahu," lirih Ayesha berusaha agar tak terdengar oleh Gifi.
"Ya lo kalang kabut sendiri dari tadi."
"Hahaha, iya kali, ya?" Lagi-lagi, Ayesha hanya mengumbar tawa hambarnya.
Untuk beberapa hal yang sampai saat ini belum Ayesha pahami, ia memasrahkan semuanya pada waktu yang mengalir tak ada hentinya.
Juga, soal rasa itu, rasa yang Ayesha sendiri masih sangsi soal keabsahannya. Benar kah nyeri itu disebut cemburu? Atau hanya emosi keirian semata?
Keduanya lalu tenggelam dalam keheningan suasana siang. Hingga dentingan jam dinding besar di salah satu sisi kantin itu, membuyarkan mereka untuk kembali kepada rutinitas.
*****
"Ini?" Satu pertanyaan dari Ayesha begitu ia memasuki pekarangan hijau dengan pepohonan rindang di sepanjang tepian jalan.
Pada akhirnya Ayesha mengiyakan ajakan Gifi tadi. Selama perjalanan itu pun, tidak banyak pembicaraan terjadi. Ayesha juga tidak terpikir untuk bertanya mau ke mana mereka sebenarnya.
Gifi belum menjawab, ia terus melangkah memasuki pekarangan hijau tersebut. Ayesha tentu saja turut di belakangnya. Dan yaa, ia kemudian sadar bahwa tempat ini adalah persemaian terakhir.
Masalahnya adalah, untuk apa Gifi membawanya ke sini?
Satu tanya besar bergelung di pikirannya.
Ia tahan, Ayesha masih membuntuti Gifi begitu saja.
Sampai Gifi berhenti di salah satu makam yang terlihat masih baru. Ada bunga tabur juga satu bouquet bunga yang sudah layu. Gifi menggantinya dengan bouquet baru yang ia bawa.
Ah... bouquet bunga yang sempat membuat Ayesha gede rasa saat Gifi membelinya di floris sebelum ke sini tadi.
"Makam Naya" jawab Gifi sambil bersimpuh duduk.
Naya, satu nama yang kembali Ayesha ingat. Ah, nama yang ia kira sudah tidak ada lagi di benak Gifi. Lagi, Ayesha salah jika mengira Gifi sudah perlahan pindah hati. Naya masih tertaut erat di relung hati Gifi. Sepertinya.
Ayesha ikut duduk di bawah, melihat lebih dekat sosok yang sempat membuat Gifi seperti orang gila kemarin-kemarin itu. Sosok yang kini sudah melebur dengan tanah dan berpatok nisan bertuliskan Gema Kanaya Nasvitri.
"Kenapa lo bawa gue ke sini?" tanya Ayesha sambil mengelus nisan Naya.
"Cuma mau ngenalin lo ke Naya. Lo belum sempat kenalan, kan?" ucap Gifi sambil merapikan rumput liar di sekitar makam Naya. "Nay, ini Ayesha, anak baru di kantor yang sempat aku ceritain waktu itu."
Ayesha tersenyum kaku. Ia bingung harus bagaimana menanggapi.
"Iya tahu, kamu kenalnya Cia aja. Makanya sekarang aku mau ngenalin Ayesha ke kamu." Gifi mulai bermonolog, dan Ayesha hanya diam memerhatikan tanpa tahu harus menimpali apa.
"See? Aku nggak sendirian, Nay. Mereka banyak menghiburku. Cia sama Ayesha ini yang paling sering ngajakin aku jalan, nyadarin aku buat balik jadi manusia."
Hati Ayesha remuk redam, seperti inikah sosok lain seorang Gifi? Ia bisa begitu lemah di hadapan Naya. Gifi, seolah menumpahkan segalanya, tanpa rasa sungkan, malu, atau apapun itu. Tak terasa pula, satu bulir air mata keluar dari kelopak Ayesha melihat semua ini.
"Gif?" lirih Ayesha.
Gifi masih belum memedulikan. "Nay, maaf kalau akhir-akhir ini jarang nengokin. Kerjaan lagi padat, Pak Wiguna kalau kasih PR nggak tanggung. Tahu sendiri kan gimana beliau?" Gifi melanjutkan sesi curhatnya, ia tertawa sarkas. Dan Ayesha tahu, ada kepahitan yang terpancar di sana.
"Cia juga nggak bisa ikut. Dia lagi ada ketemu klien ntar malem."
Yaa, ada nama Cia, untuk kesekian kalinya, selalu terlibat, atau sengaja dilibatkan oleh Gifi. Ayesha meneguk ludah. Mungkinkah ia benar-benar kalah telak? Cia lagi, lagi, lagi.
"Istirahat, Nay. Aku tahu kamu lelah, jangan menungguku, tapi kamu harus ingat, suatu saat nanti aku bakal nyari kamu lagi. Sampai ketemu!" Gifi melanjutkan monolognya.
Ayesha tak tahan lagi, ia ingin enyah, tapi akan kentara sekali kalau ia memaksa untuk itu. "Gif?"
"Iya?" Gifi mendongak.
"Gu... gue." Ayesha bahkan mendadak kelu, tidak bisa berkata-kata.
"Lo harusnya udah tahu Naya dari orang kantor, kan?"
"Iya, gue tahu."
"Ada yang ingin ditanya?"
Ayesha urung pamit duluan. Ia kembali tenang duduk di depan nisan Naya. "Udah berapa lama sama Naya?"
Gifi kembali mengelus nisan Naya, menatapnya lekat-lekat. "Dua tahun barusan. Naya masuk DCA tuh sebenarnya cuma magang. Lalu dia nyambi kuliah, bahkan kemarin dia baru aja mau skripsi."
"Apa yang bisa bikin lo cinta dan sayang banget sama Naya?" Ayesha bertanya sambil menahan napas juga hatinya yang berdenyut-denyut ngilu.
"Nggak akan ada yang bisa kayak dia, Ye. Lakunya, anggunnya, santun, kalem, dia begitu mandiri. Bahkan gue pengin manjain dia aja susahnya minta ampun."
Benar saja, semua yang Gifi paparkan soal Naya membuat Ayesha lagi-lagi teriris pilu. Sesempurna itukah Naya di mata Gifi? Tidak adakah celah untuk Ayesha bisa masuk sedikit saja?
"Terus?" Rasa penasaran Ayesha masih berlanjut.
"Senyumnya, satu yang nggak bisa gue dapetin dari cewek manapun."
Cukup, Ayesha ingin berteriak untuk menghentikan semuanya. Salah kalau niatnya ikut Gifi tadi untuk menenangkan diri. Nyatanya, bukan rasa tenang yang ia dapat. Emosinya teraduk bercampur-campur. Ia ingin marah untuk apa? Cemburu? Pantaskah dirinya?
"Sampai kapan, Gif?" gumamnya, sambil menunduk memainkan taburan bunga di atas makam Naya.
"Apanya?" Gifi bisa mendengar itu.
Ayesha terperangah, berusaha lupa apa yang barusan ia ucapkan. Bodoh. "Engh... nggak."
"Kalau dibilang move on, gue nggak mau matok berapa lama. Karena sampai sekarang gue belum berhasil. Gue masih buta buat lihat cinta yang ditunjukkan orang lain. Kalaupun gue ada rasa nyaman yang serupa, gue nggak yakin akan hal itu, Ye."
"Ke... kenapa?"
"Partisinya kokoh dan tinggi banget. Gue kudu berupaya sekuatnya kalau mau menghancurkan itu."
Ayesha diam mencerna.
Partisi kokoh.
Apa yang sejatinya menjadi penghambat dirinya dengan Gifi?
Sejauh ini tidak ada. Kalaupun Gifi meminta, dan ia mengiyakan, maka, jadilah mereka. Sedederhana itu.
Lantas, partisi apa yang Gifi maksudkan itu?
Apa mungkin....?
"Sorry, Ya. Lo jadi gue ajak menggalau gini. Padahal lo lagi ruwet soal kantor," sesal Gifi yang kini memandang manik mata Ayesha dengan dalam.
"Nggak, gue suka."
"Suka?"
"Oh, maksudnya, suka bisa kenalan sama Naya." Gue suka lebih dekat dengan lo, Gif. Tapi tidak dengan ada Naya ataupun Cia. Egoiskah gue, Gif?
"Ah, iya. Naya juga pasti seneng bisa kenal lo." Satu simpul senyum lebih menyanyatkan untuk Ayesha. "Balik?" tawar Gifi kemudian.
"Boleh." Ya, balik itu lebih baik. Lebih baik untuk keutuhan hati Ayesha.
Mereka berdua bangkit, berjalan keluar area pemakaman dengan perasaan campur aduk. Berpayung awan gelap yang tinggal menunggu luruhnya, satu rintik air itu sudah jatuh terlebih dahulu. Air mata Ayesha, yang entah untuk alasan apa ia mengalir begitu saja. Sesak itu pasti ada, tapi, berulang kali Ayesha tanyakan pada hatinya, untuk apa sesak? Untuk apa ia menangis?
Ya, ia sendiri saja bahkan masih meragu soal rasa yang kerap ia gaungkan itu.
_______Nantikan Kelanjutannya_______
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta