Loading...
Logo TinLit
Read Story - SATU FRASA
MENU
About Us  

Adalah hari paling menegangkan bagi Rayyan, penentu kelulusannya atas kuliah yang telah ditempuh empat tahun ini. Yaa... meskipun perjalanan kariernya masih panjang, tapi setidaknya satu langkah telah terlewati lagi. One step closer, katanya demikian.

Sebenarnya yang membuat Rayyan gugup adalah bukan ketika memulai presentasi, tapi momen setelah itu. Gila, saat ini aja Rayyan deg-degan mampus menunggu para pengujinya melontarkan pertanyaan demi pertanyaan perihal skripsinya.

Sementara itu, di bangku penonton, ada Juwi yang nggak kalah gugup dibanding Rayyan. Segala doa ia rapalkan untuk kelancaran sidang skripsi Abangnya itu.

Ini cuma jadi penonton sidang skripsi lho, bukan mau diajak akad, tapi jantung Juwi udah nyuguhin orkesan aja. Bah! Gimana nanti kalau nanti dirinya yang sidang sendiri? Atau, ohhh... gimana kalau ia beneran diajak akad sama Abang Ray. Duh! Perandaian Juwi benar-benar nggak aturan. Khayal!

Juwi geleng-geleng cepat, maksudnya sih mengusir bayangan-bayangan manjanya itu. Ia kembali fokus pada Rayyan yang berdiri dekat layar proyektor dengan setelan Jas Alamater kampusnya. Beberapa dosen masih sibuk berdiskusi sebelum akhirnya pertanyaan demi pertanyaan itu membombardir Abangnya.

"Rayyan Arganata, kalau soal teknikal dan isi skripsimu, saya kira sudah cukup baik. Mungkin ada beberapa revisi yang nanti akan saya sampaikan sambil lalu. Namun, ini poin pentingnya. Menurut kamu, apa makna profesi dokter dan mengapa kamu memilih profesi ini? Karena warisan? Tuntutan, atau apa? Coba saya ingin dengar dari sudut pandang kamu."

Maaak!!! Juwi bukan sekali ini saja sih mengikuti sidang skripsi terbuka kakak tingkatnya. Namun, jarang sekali ia menemui pertanyaan seperti barusan. Kebanyakan selama ini pasti nggak jauh-jauh dari metode penelitian, rancangan percobaannya, dan hasil. Apa mungkin sekarang sedang revolusi sidang skripsi ya? Di mana bahasan teknikal sudah bukan hal penting lagi. Au ah, Juwi kembali tenang, karena nyatanya ia masih jauh mengalami masa-masa seperti ini. Dipikir nanti ajalah! Begitu pikir Juwi.

Sementara Rayyan, mengambil ancang-ancang dengan tarikan napas dalam. Sudah bukan rahasia bahwa ia menjadi target empuk para dosen di sini. Dengan pembawaan Rayyan yang terbilang sangat santai menjalani perkuliahan selama ini, banyak pihak yang meragukan keseriusannya. Apalagi dengan latar belakangnya sebagai putra mahkota pemilik RMC yang merupakan rumah sakit pendidikan kampusnya itu, semakin menambah pihak-pihak tertentu melayangkan dengki kepada Rayyan. Tak jarang beberapa dosen memberikan nilai yang tidak sesuai dengan hasil aslinya. Namun Rayyan sih nggak ambil pusing, ia malas berkonfrontasi untuk hal-hal sepele seperti itu. 

"Memang, bagi saya yang memiliki latar belakang keluarga dokter, tidak heran jika banyak yang meragukan saya. Soal warisan, mungkin saya bisa katakan itu benar. Saya tidak munafik jika keilmuan yang saya ambil sekarang sedikit banyak karena pengaruh kedua orang tua saya. Mereka influence terbesar di hidup saya. Sumber inspirasi nomor satu. Dan, mereka juga pemicu bagi saya untuk bisa lebih dari mereka. Yaa... Walaupun untuk mencapai hal itu saya masih harus melewati tahapan yang sangat jauh," jawab Rayyan dengan tetap kalem.

"Jadi benar, dari awal kamu jadi dokter hanya karena kedua orang tuamu?" Salah satu dosen penguji Rayyan itu, kembali menyerang dengan pertanyaan jebakan.

"Nope, konteks kalimat saya tadi tidak menjelaskan demikian. Dari kecil saya sudah dibesarkan di lingkungan kesehatan. Hampir setiap hari saya melihat orang-orang kesakitan, atau orang-orang yang tersenyum bahagia karena kesembuhannya. Ketika saya akan melanjutkan kuliah, saya diam sejenak. Saya berpikir, saya mau jadi apa? Kata orang life is passion, do what you love, and you'll loving what yo do. Sementara saat itu saya bahkan nggak tahu minat bakat saya itu ada di mana. Lalu, kenapa saya nggak mengikuti mereka? Mungkin menjadi follower itu picik sekali, tapi kalau mengikuti jejak kebaikan itu baik, kenapa tidak? Pekerjaan ini mulia, Tuhan menitipkan syafaatnya melalui tangan-tangan mereka. Senyum kesembuhan pasien menjadi kebahagiaan sendiri bagi para tenaga kesehatan seperti kami. Dokter juga begitu kan?"

Paparan Rayyan barusan itu, jelas sedikit banyak menyindir para dosen pengujinya itu. Rayyan sudah duga sih sidang skripsinya bakal panas seperti ini. Namun pesan Biyanya sebelum berangkat ke kampus tadi selalu ia pegang. Tetap tenang, tetap kalem, hadapai dengan dingin dan yakin.

"Lalu, tentang seseorang yang memiliki segala fasilitas penunjang dan ia digadang-gadang sebagai pewaris. Mungkin saja ia mengambil profesi ini hanya sebagai formalitas untuk menduduki tahta tersebut. Bagaimana menurutmu?" 

Merasa tidak puas dengan jawaban Rayyan, dosen yang satu lagi, pria paruh baya dengan kumis seperti ulet nemplok di bawah hidung, memberikan serangan tambahan.

Rayyan tersenyum kecil, "bisa saja, sekarang gini, saya bukan mau sok diplomatis atau memaparkan alasan klise seperti kebanyakan mereka yang memilih pekerjaan mulia ini. Benar, bahwa mungkin saya memiliki segala fasilitas yang mendukung karier saya ke depannya. Saya juga berpikir kok, kalau bukan saya yang meneruskan, lalu siapa? Relakah saya semua yang sudah pendahulu-pendahulu saya perjuangkan dan bangun dari nol kemudian jatuh kepada orang lain yang katakanlah itu hanya untuk kepentingan bisnis. Jelas saya tidak rela. Tapi, sekali lagi, orientasi awal saya bukan soal tahta dan jabatan. Ini soal kemaslahatan banyak orang. Apalagi tiap hari kami harus bergelut dengan ambang hidup dan mati banyak orang. Jelas ini bukan pekerjaan main-main. Ada nurani yang diperankan di sana. Jadi tidak bisa dicampur adukkan keduanya."

"Jadi bisa dikatakan orang tua anda juga menuntut agar anda bisa menuruskan profesi mereka ya?"

Lagi, sepertinya mereka memang niat banget menjatuhkan Rayyan. Juwi sudah geram di tempatnya. Kalau ia nggak ingat ia cuma mahasiswa, ia sudah maju dan memaki-maki dosennya itu. Out of topic kali, Dok! Ini mah bukan sidang skripsi. Pembantaian terang-terangan sih lebih tepatnya. Namun, Juwi cuma bisa menggerutu aja lah, mana berani ia berkowar gitu. Yang ada nilanya bukan D lagi, bukan juga E. Udah Z iya. Zonk!!!

"Oh nggak. Saya tekankan kembali, orang tua saya sedari awal tidak pernah meminta, menyuruh atau bahkan memaksa saya untuk mengikuti jejak mereka. Kalau mereka memberikan pengaruh, itu benar. Jadi sampai sini saya kira sudah jelas ya, atas dasar apa saya memilih dokter menjadi profesi saya."

Anehnya, Rayyan masih bisa selow banget sampai tahap ini. Lagi-lagi, hal itu menjadi daya tarik tersendiri bagi Juwi. Abangnya keren banget lah. Mungkin, kalau status mereka bukan sepupu, Juwi sudah ikut Rayyanizer, sebutan pagi para fans Rayyan di Fakultasnya. Ya, Rayyan memiliki fans club. Mereka yang kebanyakan adik tingkatnya terkadang secara terang-terangan mengejar Rayyan dengan beragam hadiah yang ditenteng. Termasuk, salah satunya si Debby debong kemarin itu. Duh, Juwi merasa risih dengan mereka.

Kembali memerhatikan Rayyan, tampak dosen-dosennya itu saling berbisik diskusi satu sama lain. Rayyan diam saja di tempatnya. Saat ini, ia nggak lagi deg-degan seperti tadi. Lebih kepada, apapun hasil yang akan ia dengar, ya sudah lah, terima, dan jalani. Karena faktanya, menjadi salah satu klan Rajendra tidak menjadikan ia bisa bernepotisme ria seperti yang ada dalam bayangan Rayyan sebelum ini.

"Oke, bisa diterima. Setelah kami diskusi singkat tadi, saya juga sependapat dengan jawaban kamu. Menarik, great job Rayyan. Dan, dengan ini kami nyatakan bahwa kamu telah lulus menempuh pendidikan Sarjana Kedokteran dengan beberapa revisi yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang telah kami tentukan."

Yeay, Juwi ingin bersorak tapi terpaksa ia tahan karena ternyata prosesi ini belum selesai seutuhnya. Juwi kembali bungkam, menahan dirinya agar tidak lepas dan berlari memeluk Rayyan di depan sana.

"Kalau kemarin adalah masa pre klinik, kini selamat datang di clinical stage. Bahwa benar, perjalananmu masih sangat panjang. Gunakan masa Koas ini untuk menggali lagi keilmuan yang telah kamu dapat dengan aplikasi langsung. Semakin banyak kasus itu semakin baik. Sekali lagi selamat Rayyan Arganata, dan good job."

Ucapan selamat yang pertama datang dari dosen pembimbing Rayyan, dokter Darwis. Beliau memang support sekali terhadap Rayyan. Dari tadi memilih diam ketika para rekannya yang menjadi penguji sedang melakukan penetrasi penyerangan bertubi-tubi. Rayyan menyalami Dokter Darwis dengan santun. "Terima kasih, Dok. Berkat bimbingan dokter saya bisa sampai tahap ini."

"Bukan saya, tapi kamu sendiri. Ya sudah, sekali lagi selamat. Segera kerjakan revisi dan urus yudisium juga berkas-berkas persiapan koas."

"Baik, Dok. Sekali lagi terima kasih."

Sepeninggal para dosen tersebut keluar ruang sidang, akhirnya Rayyan bisa menghela napas penuh kelegaan. Sebentar lagi, ia resmi menyandang gelar sebagai Sarjana Kedokteran. Profesi yang sudah bukan lagi menjadi impian Rayyan, tapi ini seperti sudah mendarah daging. Seperti napas yang selalu ia embuskan tiap detiknya.

"Abaaaaang...... selamat ya." Satu sorakan datang membuat Rayyan tersenyum lebar.

Ada adiknya yang sudah memasang wajah sumringah, berjalan mendekatinya sambil membawa satu bouquet bunga matahari dan balon-balon huruf membentuk S.Ked.

"Makasiiiih, Wiwi mbul. Tapi bunga doang nih? Mana bisa dimakan Mbul? Kagak kenyang elah." Rayyan menerima bouquet tersebut sambil mencubit gemas pipi Juwita.

Ya, ia lagi senang memanggil Juwi pakai embel-embel Mbul. Jangan salahkan Ray karena nyatanya pipi Juwi itu empuk banget kayak bakpao. Oh, mirip squishy juga, itu yang membuat Rayyan nggak bosan menjewer-jewer pipi Juwi. Sementara Juwi, meski kesel tapi ia seneng sih. Jadi paling-paling ia hanya mencebik aja.

"Iih, abang nggak bilang kalau pengin coklat."

"Ye... ya masak request hadiah sih. Kagak sweet dong jadinya." Rayyan makin menggoda Juwi dengan protes terhadap hadiah yang diberikan.

"Yauda yaudaa, pulang ini ntar mampir Indoapril lah beli Tobleron. Abang pilih sendiri lah biar puas."

Benar kan, gampang banget lah adiknya satu ini dikerjain.

"Bercanda elah Mbul. Diseriusin amat sih." Lagi, Rayyan men-squish pipi gembul Juwita.

Sementara Juwi berusaha mengelak, sambil membatin miris. Gue nggak bisa bercanda Bang, kayak perasaan ini yang gak sebercanda itu.

"Bang Ray selamat yaa. Sukses dan lancar koasnya ntar." Ayunda, teman kental Juwi tiba-tiba datang membuat Juwi lebih malas lagi.

Si Yunda ini nggak tahu sikon banget sih. Orang lagi berduaan diganggu juga! Bah, Juwi gondok parah.

"Makasih ya Yunda.... kalian juga, jadi mahasiswa serius boleh, main jangan lupa. Hahaha."

Juwi hanya memutar mata jengah. Abangnya ini ya.... sumpah! Ngeselin sih, tapi ia suka, bagaimana dong? Jangan salahkan dirinya, ia juga nggak mau terjebak rasa seperti ini. Ia ingin move, tapi belum nemu tempat move yang lain. Ah, ya sudahlah.

Rayyan kemudian menyalami beberap teman-temannya yang lain. Lumayan banyak, hingga mampu membuat Juwi agak-agak bored sih ya. Maklum, Rayyan itu mantan anak BEM FK pada zamannya. Kenalan nggak satu dua, dari kakak tingkat, hingga para maba yang baru menetas itu.

'Kagans.... Kagansss... Selamat yaaa...'

Seru mereka yang bermakna Kakak gantengs.

Atau,

'Kak Ray, foto dulu yuk.'

Ewrr... ini macam jumpa fans. Dan, Juwi engep lihat kelakuan mereka.

Bukan risih sih, ini lebih kepada... ya kalau begitu caranya kapan waktu Abang buat dirinya. Nah! Isi otak Juwi emang nggak pernah jauh dari how to be closed with Rayyan. Ya gitu lah pokoknya.

Belum selesai kekesalan Juwi, kericuhan lainnya datang. Ini biang onar yang sesungguhnya.

"Rayyyyy.... Congraduations Raymuuut. Selamat ya Ray. Lo keren parah emang."

Debby Debora, atau Juwi lebih suka menyebutnya sebagai Debby Debong, datang gegasrukan sambil bawa kotak kado berpita pink. Tuh mak lampir udah nyamperin Abangnya aja, sambil menyerahkan kado tersebut.

"Apa sih, Deb. Nggak usah lebay. Gue B aja. Lagian gue belum graduation kali."

Juwi sedikit lega, Abangnya agak jijik gimana gitu yaa... walaupun kado dari si cacing kepanasan tetap diterima sih.

"Yeee... kan gue ngawali kasih ucapan selamat, Ray. My future doctor soon to be," ucap Debby sambil matanya dikerling-kerlingkan ke Rayyan.

Itu semua nggak luput dari pengawasan Juwi. Sumpah, Juwi beneran ingin muntah saat itu juga.

"Uweeek... cih. Yun, kok gue mual ya?" kata Juwi mempraktikkan adegan mual di depan Debby langsung.

Si Yunda yang nggak tahu trik dan sandiwara Juwi malah ikutan bingung dikira Juwi mual beneran. Lah, kenapa sahabatnya ini?

"Lah, lu kenapa Wi? Salah makan kali?" tanya Yunda sambil sedikit memijit tengkuk Juwi.

"Wi, lo nggak pa-pa?"

Begitu pula dengan Rayyan, bisanya ia dibohongi oleh musang berbulu kucing macam Juwi. Lihai banget lah kalau soal drama.

"Duh, carmuk mode on. Keknya di pasar muka-muka gitu diobral deh. Masih aja carmuk. Ya kali." Debby kembali berulah, menambah geram Juwi yang udah nggak tahan pengin nyakar-nyakar aja tuh muka hasil oplasan Debby.

"Deb, apaan sih?" Rayyan membela Juwi membuat Debby memberengut kesal.

"Nggak pa-pa Raymuuut marmut. Nih, kado dari gue, setidaknya ini lebih bermanfaat daripada bunga-bungaan nggal guna gitu. Palingan besok layu, eh nggak usah lah nunggu besok, ntar sore udah layak buang tuh."

Kepura-puraan itu jelas kentara sekali. Duh, emang nggak Juwi nggak Debby sama saja sih sebenarnya. Sama-sama opera, bah!

"Deb, gue balik ya. Thanks kadonya. Wi, ikut balik kan?"

Juwi mengiyakan ajakan Ray. Sambil lalu, ia mengejek Debby yang masih mematung ditempat. Yaa... ya... ya... mungkin kali ini Juwi bisa tertawa karena kemenangannya, tapi tidak ada yang tahu soal esok.

*****


 

Seluruh keluarga besar Rajendra sudah lengkap berkumpul di salah satu restoran bintang empat. Bahkan oma dan opa, juga omnya, Devan, yang selama ini jarang sekali nimbrung, turut hadir makan malam dalam rangka perayaan keberhasilan sidang skripsi Rayya, putra Mahkota RMC satu-satunya. Tidak heran jika banyak sekali yang menganak-emaskan. Ibarat kata, Ray itu aset yang kelak digadang-gadang sebagai pewaris RMC di masa depan.

"Abang... selamat ya. Doanya semoga ke depan lebih lancar, jadi dokter yang baik. Dan, segera dipertemukan jodohnya."

Ayesha, yang baru saja pulang kantor langsung menyusul ke tempat acara, belum sempat ia mampir pulang sekadar ganti baju atau apalah. Lagian, ia juga kelewat laper sih. Kapan lagi keluarga besarnya makan malam ramai begini di luar pula.

"Mmm... yang terakhir itu agak-agak berbau ledekan sih yaaa," balas Rayyan membuat seisi meja makan menggelegar tawa.

Duh, kayaknya Ayesha salah deh kalau berniat meledek. Lihat saja, saat ini Papi, Ayah, bahkan Daddynya ikut menertawakan Ayesha. Semacam memberikan pertanyaan balik, 'apa kabar elu, Kak?'

"Yee... nggak kali, Bang. Gue tulus sebagai kakak yang baik. Nih."

Ayesha menyerahkan bouquet bunga yang lebih besar dari bouquet pemberian Juwi. Tentu saja, hal itu membuat Juwi mengkeret dan pengin kejedot tembok lalu amnesia. Ia berharap semoga saja Rayyan lupa siapa yang ngasih bouquet sunflowers tadi siang. Ya iya, Juwi juga nggak modal sih. Beli bouquet di florist kemitraan Ayahnya, udah kenal baik, ya dikasih gratis.

"Gue doain juga deh semoga kakakku satu ini segera dipertemukan jodohnya lebih dulu. Move on, Kak, jangan stuck melulu. Udah dua tahun lho!"

Hmm, kalau sudah menyinggung soal move on, Ayesha hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Mau dikata bagaimana juga, nyatanya pindah haluan nggak seguyon itu. Tentang dua tahun yang dimaksud adiknya, dengan jujur, luka itu masih menganga nyata.

"Dan semoga kita dapat kecipratan bonusan dari proyek-proyeknya. Oke kan, Kak?" Untungnya, Juwi mengalihkan suasana. Ayesha mengusir kegalauannya yang sempat hinggap sejenak itu. Bukan saatnya bersendu sedang seperti ini.

"Itu mah mau lo, Wi!" sambar Izzy, membuat Juwi mencebik.

"Eh, emang lo berdua kagak mau? Awas aja yaa kalau gue beneran kecipratan, lo berdua jauh-jauh deh." 

"Udah, udah, kalian ini kalau udah kumpul nggak pernah sepi." Opa Reikhan menengahi mereka berempat. "Gimana Bang soal koas? Udah beres semua berkasnya?" tanya opanya itu.

"Beres, semoga aja dapat konsulen yang enak dan nggak galak."

"Berdoa aja nggak kena Papi, Bang." Freya ikut menyahut, tantenya itu suka bener deh kalau ngomong.

Konon, stase mayor paling menantang adrenalin adalah Interna, dengan konsulen sembah sungkem paduka raja dokter Fachry Anugerah Rajendra, Sp.Pd, K.GEH. Ya, meskipun agak-agak, papi Ayesha dan Izzy itu adalah konsulen ter-roar di mata para koas dan residen. Jangan macam-macam deh kalau nggak mau jeroannya dilahap mentah-mentah.

"Halah, iya sih Papi killer. Tapi apa kabar tante yang biusnya mematikan? Para kakak tingkat Abang banyak juga kok yang cerita soal seremnya tante."

Skak! Tawa mereka pecah, suasana menjadi cair seketika. Juwi menggerutu sendiri. Bundanya tuh nggak ngaca dulu kalau mau ngeledekin Papi. Kena sendiri kan jadinya.

"Kalau gak ditegesin suka nyepelein sih anak-anak koas itu, Bang."

Obrolan mereka berlanjut satu sama lain. Bercakap-cakap dari bahasan G sampai J. Alias Gak Jelas. Tapi gitu mereka nyambung-nyambung aja sih. Para tetua ngomongin kemelut politik di Rajendra Group, sementara para piyiknya sibuk main congklak. Hahaha, ya kali. Kagak!

Di tengah-tengah keramaian itu, satu notifikasi Line dari ponsel Ayesha menyembul membuat fokusnya teralihkan.

Cia?

Ayesha sudah berpikir paling-paling soal revisi design. Atau laporan kemajuan campaign mereka. Namun, sepertinya ia salah duga.

Cia Gaitsa

Ye, lo bisa ke RMC sekarang? Please, gue butuh lo tapi gue nggak bisa ceritain sekarang.

Ayesha mengernyit sejenak. Ia berpikir sedikit lama, untuk apa Cia ke RMC malam-malam begini?

Astaga! Bahkan Ayesha baru saja sadar, bisa jadi Cia kecelakaan.

"Baik saya ke sana sekarang. Tahan vitalnya limabelas menit saya sampai."

Ketika Ayesha mau mangkat, Papinya juga tampak bergegas seperti ada panggilan emergency.

"Semuanya, saya duluan ya. Pasien saya apnoe," pamit Fachry yang langsung ngacir membawa kunci mobilnya.

"Papi, Aye ikut," ucap Ayesha cepat membuat semua orang kebingungan seketika.

"Kak, ngapain?"

"Kakak ada janji dengan teman kakak di rs, Mih. Nanti kakak kabarin." Begitu juga dengan Ayesha. Ia menyusul Papinya dengan langkah lebar.

Satu yang ia harapkan, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.

________Nantikan Kelanjutannya______

?


? RayyanArg, IzzyAlf, GifiPrama, and 1895 others
AyeshaA be a good you are and be a gorgeous doctor. Congrats, Abang????

Nb: still ready. Minat, pm. ????
View all comments
Jujuwwitjantik me... me.... booked. ????????????
RayyanArg anjir, depan boleh sweet, belakangnya kek barang-barang di OLZ jatohnya ????
IzzyAlf kondisikan Wi @Jujuwwitjantik
Kiya.Zee gantengnya Biya ????????????
















 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.

    Comment on chapter Sembilu Dusta
  • eksindrianii

    Ada abg disini????????

    Comment on chapter SERANGKAI FRASA
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter BERMULA KARENA
Similar Tags
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
612      433     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.
Manuskrip Tanda Tanya
5236      1655     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Konstelasi
880      462     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Campus Love Story
8014      1864     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Love 90 Days
3757      1696     2     
Romance
Hidup Ara baikbaik saja Dia memiliki dua orangtua dua kakak dan dua sahabat yang selalu ada untuknya Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan bila ada harga yang harus dibayar atas semua yang telah dia terima yaitu kematian Untuk membelokkan takdir Ara diharuskan untuk jatuh cinta pada orang yang kekurangan cinta Dalam pencariannya Ara malah direcoki oleh Iago yang tibatiba meminta Ara untu...
SIREN [ RE ]
621      344     5     
Short Story
nyanyian nya mampu meluluhkan hati. namanya dan suara merdunya mengingatkanku pada salah satu makhluk mitologi.
Gray Paper
540      307     2     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?
Dia & Cokelat
577      409     3     
Short Story
Masa-masa masuk kuliah akan menjadi hal yang menyenangkan bagi gue. Gue akan terbebas dari segala peraturan semasa SMA dulu dan cerita gue dimulai dengan masa-masa awal gue di MOS, lalu berbagai pertemuan aneh gue dengan seorang pria berkulit cokelat itu sampai insiden jari kelingking gue yang selalu membutuhkan cokelat. Memang aneh!
Praha
297      181     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Pasha
1254      563     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?