Ada yang berbeda pagi ini. Pemandangan arah pukul dua dari tempat Ayesha tampak kosong tak berpenghuni. Tentu saja hal itu menimbulkan pertanyaan di benak Ayesha. Ke mana empunya bangku tersebut?
Meski rasa penasaran Ayesha kian memuncak, tapi Ayesha masih diam saja nggak berani bertanya pada siapa pun. Mau langsung hubungi via personal chat tapi ia merasa belum sedekat itu untuk melakukannya. Tanya Cia? Mungkin bisa, tapi ia nggak mau dikira Cia terlalu ngebet sama Gifi. Hah, serba repot ya si Ayesha.
Komunikasi terakhir antara dirinya dengan Gifi adalah ketika campaign mereka resmi diluncurkan.
Satu pesan teks yang masih disimpan Ayesha begitu membekas di ingatannya.
Great jobs, Ye. Tetaplah menjadi keren untuk saat ini dan selanjutnya. Lo itu macam kuda item, mungkin orang lain meremehkan lo, but you must show up that you can. Believe in your self. No matter how they blame or what people saying about it. Once more, kamu keren, Ye.
Mungkin isi pesan tersebut singkat dan sederhana. Namun tidak bagi Ayesha, satu bait tersebut adalah vitamin tersendiri baginya. Ia seperti mendapatkan suntikan hormon yang nge-boost rasa percaya dalam dirinya.
Setelah itu, intensitas obrolan mereka perlahan memudar, baik ketika mereka di dalam kantor, jam istirahat, ataupun bertukar pikiran lewat dunia maya. Sebatas keperluan pekerjaanlah yang masih mengaitkan mereka. Selepas itu, Ayesha benar-benar minus kabar dari Gifi.
Ayesha mengenyahkan segala praduganya saat ini, ia memilih kembali berkutat dengan antrean pekerjaan yang berebut minta segera ia sapa. Anyway campaign mereka soal brand Marshmalove sudah mulai berjalan. Meskipun sejauh ini belum ada pergerakan yang signifikan sih. Kurvanya masih stagnan, belum ada tanda-tanda peningkatan antusias dari audience. Mungkin karena memang campaign juga baru mulai kali ya. Jadi yang Ayesha lakukan hanya daily monitoring. Sambil memikirkan planning cadangan jika campaign yang ia pasang saat ini benar-benar nggak memberikan pengaruh.
Sayup-sayup terdengar beberapa rekan kerjanya mengobrol sedikit berbisik. Ah, Ayesha pikir hal itu biasa, namanya juga mbak-mbak, atau malah sebagian dari mereka adalah ibu-ibu, jadi sudah seperti kewajaran jika mereka bergosip ria di sela-sela jam kerja begini. Apalagi saat ini pekerjaa bisa dikatakan sedang senggang.
Namun, pembicaraan mereka terlihat serius, tidak ada celetukan, makian, olok-olokan, atau guyonan seperti biasa. Hal tersebut tentu saja membuat Ayesha penasaran. Bahkan, Cia sudah tergabung bersama gerombolan mbak-mbak tersebut dengan centre mbak Sita, anak Finance.
Ayesha berusaha menajamkan telinga dari tempatnya. Tidak banyak yang bisa ia dengar, sedikit sekali, dan itu clueless sangat.
Sebelah Ayesha persis, Mang Ucup yang sedang meng-copy beberapa berkas pesanan orang HRGA, diam-diam memerhatikan Ayesha yang celingukan ke arah gerombolan Sita and the genk. Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Ayesha, perempuan itu enggan bergabung, tapi penasaran juga.
"Ngeliatin apa, Mbak Aye?" tanya Mang Ucup membuka pembicaraan.
"Eh.., Mang Ucup, nggak. Hehe," jawab Ayesha sedikit gagu.
"Penasaran ya kenapa mereka begitu serius?" Tanpa tedeng aling, Mang Ucup langsung menembak Ayesha dengan pertanyaan inti.
"Iya, Mang. Cuma nggak enak kalau tiba-tiba ikut nimbrung," jawab Ayesha kembali memusatkan perhatiannya pada layar komputer.
Mang Ucup masih melanjutkan dengan mesin copy di depannya, sambil sedikit membereskan kertas-kertas hasil copy. "Kasihan Mbak Naya, Mbak." Celetukan Mas Ucup tentu saja membuat Ayesha tertarik.
Siapa tadi kata Mang Ucup? Naya?
Naya... Naya... Nay???
Gifi! Ya, satu ingatan muncul di permukaan pikirannya.
"Mbak Naya siapa, Mang?" Ayesha memberikan pancingan.
"Mbak Naya orang sini juga, anak media buyer. Pas Mbak Aye masuk Mbak Naya udah off."
"Off?" Tentu hal tersebut membuat teka-teki di kepala Ayesha bertambah.
"Cuti lebih tepatnya." Mang Ucup memberikan klarifikasi. Namun, hal tersebut belum memuaskan rasa ingin tahu Ayesha soal Naya-Naya ini.
"Cuti kenapa, Mang?" Lagi, Ayesha melayangkan pertanyaan susulan.
Belum juga Mang Ucup menjawab, ia keburu ditunggu oleh orang HRGA untuk menyerahkan berkas-berkas yang di-fotocopy olehnya. "Eh, Mbak, ntar dulu ya," pamit Mang Ucup membuat Ayesha sedikit kecewa.
Sepertinya Naya adalah keyword dalam puzzle tersebut. Masalahnya, ia harus bermain cantik untuk menyusun kepingan puzzle tersebut. Bukan dengan blak-blakan kepo sana sini. Kalau seperti ini mah, ya sudahlah yaa... nanti bisa tanya Cia atau entahlah, Ayesha juga nggak begitu yakin.
Ayesha mengesampingkan urusan keponya terhadap hal-hal yang masih mengambang tersebut. Ia lebih memilih melanjutkan pekerjaannya, melakukan daily monitoring yang sebenarnya sudah rampung ia kerjaan. Palingan kalau sedang nganggur seperti ini ia nyolong membuka yutub dan mencari sesuatu yang menarik di sana. Tutorial make up, menjadi salah satu dari konten yutub yang masuk dalam daftar wajib tonton bagi Ayesha.
????????????????????
Ponsel Ayesha berdering saat dirinya sibuk membereskan barang-barang di atas meja. Ada nama Papi tertera di caller id yang berkedip-kedip minta perhatiannya untuk segera mengangkat. "Halo, iya, Pih?" sapa Ayesha dengan mengamit ponselnya sebelah lengan.
"Kak, udah mau pulang?"
"Iya, ini nunggu bel, lima menit lagi."
"Ke RS ya, Papi tunggu."
"Lah, ngapain?"
"Pulang bareng, Papi tunggu. Kamu ke sininya gojek aja. Oke, kak?"
Klik. Tanpa menunggu jawaban Ayesha, sambungan telepon di ujung sana terputus gitu aja. Papinya itu memang ajaib deh. Buyar sudah perandaian Ayesha untuk pulang tenggo dan bisa leha-leha di sofa depan teve di rumah pas adzan magrib.
Tepat ketika mejanya sudah kembali rapi, jam besar di dinding kantor berdenting lima kali bebarengan dengan bel tanda pulang kantor. Ayesha bergegas memesan ojek online seperti biasa. Sejak sesi brainstorming malam itu, di mana Gifi tiba-tiba pamit karena ada keperluan mendadak, ia jarang ditebengin Gifi lagi. Komunikasinya dengan Gifi juga merenggang, paling-paling ya bahasan soal kerjaan aja. Lebih aneh lagi, kalau sudah memasuki jam pulang kantor begini, Gifi mendadak hilang. Atau kalaupun masih sempat berpapasan, Gifi cuma menyapanya, 'duluan ya,' sambil lalu gitu aja.
"Pulang, Ye?" Cia juga sudah rapi dengan tas yang sudah ditentengnya.
"Heem, yuk, turun," ajak Cia. Terbersit satu hal di pikiran Ayesha. Kenapa nggak ia tanya Cia aja soal ramai-ramai tadi siang? Atau, tanya Cia soal kenapa Gifi nggak masuk hari ini?
"Eh Ci, tumben sih lo seharian ini ngendon di kantor? Nggak muter ketemu klien?" tanya Ayesha sedikit berbasa-basi.
Ia sebenarnya heran, orang-orang di sekitarnya mendadak mengalami perubahan. Nggak Gifi, termasuk Cia juga. Yaa... walaupun kalau Cia nggak menunjukkan perubahan yang signifikan, tapi Ayesha merasa kalau ada something yang berusaha Cia sembunyikan tapi ia nggak tahu.
"Iye, pada anteng mereka. Paling cuma follow up doang. Lagian kata Pak Wig mau ada tender baru, jadi mumpung damai gini, kita nikmatilah pulang tenggo. Sebelum badai katrina menerpa kita lagi, kek dua minggu kemarin. Gila, napas aja kagak bisa gue."
Memang benar sih kata Cia, dua minggu kemarin adalah puncak kesibukan Ayesha sejak pitching-an mereka lolos. Paling sore, Ayesha bisa sampai rumah pukul sembilan malam. Untungnya saat itu Gifi belum begitu aneh seperti sekarang, beberapa kali Ayesha beruntung karena bisa pulang bareng Gifi. Kalau nggak gitu paling ia minta jemput adik-adiknya, Izzy dan Rayyan.
Sekarang ini, katakanlah mereka lagi mid season, jadi menyaksikan senja lingsir yang menyibak gedung-gedung pencakar langit itu adalah panorama tak ternilai. Indah, untuk ukuran masyarakat perkotaan macam mereka. Adanya sunset model begini, jadi nggak usahlah terlalu jauh menginginkan sunset ala-ala pantai di Bali atau puncak gunung.
"Eh Ci, Gifi ke mana sih, tumbenan tuh bocah nggak masuk nggak kabar-kabar?" Kali ini Ayesha melempar umpan kepada Cia saat mereka berada di dalam lift yang membawanya turun ke lantai dasar.
Ayesha tahu dari gerak-gerik mata Cia bahwa teman seperjuangannya itu sedang merangkai jawaban.
"Eung... nggak tahu deh. Lo pikir gue emaknya!" Iya juga sih, tapi Ayesha nggak puas. Ia merasa bahwa Cia tahu sesuatu tentang alasan absen Gifi hari ini. Sepi menyergap, hanya deru napas orang-orang di dalam liftlah yang terdengar.
"Ye, gue ke basement ya, lo nguber?" tanya Cia begitu lift telah terbuka
"Iya biasa."
"Ya deh, ati-ati ya lo. Jangan kepincut supir uber lho."
"Eek lo!"
Mereka berpisah di lantai dasar, Cia mengarahkan langkahnya ke belakang menuju parkiran basement, mengambil si kupi untuk menemaninya pulang. Cia memang nggak pernah menawari Ayesha tebengan, lha wong arah mereka berlawanan. Cia tinggal di daerah Daan Mogot, sementara Ayesha merunut ke timur, mampir ke RMC sesuai titah sang Papi, baru kemudian pulang ke Setiabudi.
????????????????????
Hal yang membuat Ayesha gondok adalah, ketika sang Papi memintanya untuk ke RMC sementara setelah ia sampai sana Papinya tidak ada di ruangan. Kata perawat asisten Fachry sih, Papinya itu masih ada visit terakhir. Namun, sampai setengah jam ia menunggu di ruangan Papinya, belum ada tanda-tanda pria paruh baya tersebut datang. Bosan menunggu, Ayesha memutuskan untuk jalan-jalan sekadar keliling di sekitaran rumah sakit.
Kebetulan sekali, adzan magrib tengah berkumandang saat Ayesha berada di area sekitaran masjid. Lantas, ia putuskan saja untuk sejenak menghamba kepada Tuhan sembari menunggu Papinya yang entah berapa lama lagi selesai.
Ada perasaan tertohok saat Ayesha memerhatikan pemandangan di sekelilingnya. Ada kakek-kakek berusia renta yang berjalan tertatih dengan bantuan kruk. Sebelah tangannya dipapah oleh sang nenek. Betapa ia merasa tidak apa-apanya dibandingkan mereka. Hatinya tersayat melihat mereka dengan kondisi yang bisa dikatakan lemah tapi masih memiliki semangat yang tinggi untuk mengunjungi rumah Tuhan.
Sementara dirinya? Limpahan nikmat sehat yang didapatkannya kadang luput ia syukuri dan ia lafalkan di setiap napas yang terembus. Kadangkala untuk beribadah lima kali sehari saja ia seringkali masih tak tepat waktu karena kesibukan pekerjaan yang merenggutnya. Ayesha bukannya nggak paham soal begini kok, hati kecilnya kadang berteriak jua untuk perlahan menjadi makhluk yang taat pada Tuhan dan agamanya. Nggak muluk-muluk, soal hijab saja, ada keinginan ke arah sana sebenarnya. Namun, lagi-lagi itu hanya soal ragu yang tak menentu.
Selesai salat, Ayesha melipat mukena yang dipakainya dan meletakkan kembali di rak penyimpanan. Namun, tak sengaja sorot matanya menangkap satu bayangan familier dari tempat para jamaah pria.
Ayesha tertarik untuk mengejar sosok yang menjadi pertanyaan di benaknya akhir-akhir ini. Ia bergegas memakai flat shoes-nya kembali lalu membuntuti bayangan lelaki itu.
Nggak salah lagi, lelaki dengan kaus kasual dan sepatu sandal berwarna coklat tersebut adalah Gifi. Lelaki itu sudah macam buronan saja bagi Ayesha. Salah sendiri, menghilang tiba-tiba tanpa ada kabar sedikit pun. Atau... hanya Ayesha yang tidak mendapatkan kabar dari Gifi? Kalau itu masalahnya, berarti ceritanya lain lagi. Oke, lupakan sejenak.
Gifi tampak berbelok ke arah bangsal Seruni, salah satu bangsal yang Ayesha kenal sebagai bangsal Penyakit Dalam. Iya, Ayesha bahkan akrab dengan para penghuni bangsal tersebut, mulai dari perawat sampai office boy yang bertugas tiap paginya.
Rasa penasaran Ayesha kian memuncak. Sebenarnya, untuk apa Gifi berada di sini? Atau siapa yang sakit hingga Gifi berada di sini? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang berkeliaran di pikiran Ayesha.
Belum sampai langkahnya menjangkau Gifi, satu sosok lainnya muncul mengagetkannya.
"Astagfirullah! Papi?" serunya heboh seolah baru saja ia melihat penampakan.
Jangan salahkan Ayesha, salah sendiri Papinya itu tiba-tiba muncul tinggi menjulang dengan pakaian serba putih. Apalagi lorong ini lumayan sepo. Lumayan serem sih, ya.
"Emang Papi segitu seramnya ya sampai kamu kaget banget?"
Ayesha masih celingukan, arah pandangnya mengikuti sosok tersebut hingga menghilang entah ke mana. Papinya sih! Gagal sudah misi penyelidikan Ayesha.
"Ngeliatin apa, sih? Kamu ngapain di sini bukannya nunggu di ruangan Papi?" tanya Fachry melihat putrinya itu serius memerhatikan arah belakang dirinya.
Sementara Ayesha sudah jengkel banget dengan Papinya. Sudah nggak ngerasa salah karena ngaret, eh muncul tiba-tiba kayak om genderuwo dan menghilangkan jejak investigasinya. Papinya itu nggak sadar banget sih anak sulungnya hampir karatan menunggu ia selesai visit.
"Ya menurut Papi aja. Siapa ya yang ngajakin pulang bareng, eh malah molor hampir sejaman?" Ayesha memasang mode merajuk. Biar saja, biar Papinya itu sedikit ngerti kalau anak gadisnya udah kepayahan karena menantinya.
"Maafin Papi deh. Papi lupa kalau masih ada visit, Kak."
"Hmm." Balasan singkat Ayesha semakin membuat Fachry gemas dengan tingkah putrinya tersebut.
"Udah yuk pulang. Mau apa deh ntar Papi turutin," bujuk Fachry yang hanya dibalas cebikkan dari Ayesha.
Namun, bagaimanapun pada akhirnya ego Ayesha harus runtuh. Nggak bisa ia lama-lama ngambek sama Papinya. Dibandingkan dengan Valerie, Ayesha memang lebih dekat dengan Fachry. Ayesha menurut, mengikuti langkah Fachry kembali ke ruangannya untuk berkemas.
Dengan begitu, Ayesha harus rela mengikhlaskan rasa penasarannya yang belum tuntas. Namun, ia yakin sih kalau sosok tadi itu adalah Gifi. Hanya saja soal untuk apa Gifi ke sini, itu yang masih menjadi tanda tanya di benak Ayesha.
"Kak, bentar ya. Papi ke toilet dulu."
Ayesha mulai jengah. Papinya itu ada aja, bukannya langsung mengambil tas lalu pulang, eh ini malah meminta Ayesha nunggu lagi. Ya Ayesha bisa apa? Ia juga nggak bisa menghalangi panggilan alam kan? Bisa berabe urusannua ntar.
Ayesha memilih menunggu Papinya di kursi kebesaran beliau. Ia membenamkan kepalanya dengan kedua tangan sebagai tumpuan. Ruangan ini sudah akrab dengannya sejak ia masih kecil. Tak jarang, sewaktu kecil dulu seringkali ia ikut praktik Papinya. Sekadar menunggu dan mengamati Papinya memeriksa para pasien. Kendati begitu, nggak ada tuh sedikit pun keinginan Ayesha untuk mengikuti jejak sang Papi. Menurutnya, siklus kehidupan itu butuh penyeimbangan. Keluarga sudah terlalu banyak yang terjun di bidang medis. Cukuplah untuk dirinya tidak perlu mengikuti, ada banyak orang-orang di luar sana yang memiliki impian serupa, dan ia menyediakan satu kuota untuk mereka dengan mundur dari persaingan tersebut.
Hahaha, halah! Itu alasan diplomatisnya. Padahal mah, Ayesha males aja dengan siklus kerja yang harus tersedia 24 jam dengan panggilan emergency yang tiba-tiba.
Entah mengapa naluri keponya hari imi begitu kuat. Ia tertarik dengan berkas-berkas Papinya yang sudah rapi di atas meja. Ia tahu kok kalau berkas-berkas tersebut adalah medical record pasien Papinya. Ayesha memindai aja lembar demi lembar kertas yang isinya jelas nggak mungkin ia mengerti. Bahasa Pluto semua, bah! Ia nggak membayangkan kalau setiap hari ia harus berurusan dengan istilah jelimet seperti ini. Ia kagum sih dengan profesi Papinya itu. Kadang ia mikir, berapa memori otak mereka dari masih kuliah hingga menjadi konsulen spesialis seperti Papinya saat ini. Dengan jutaan istilah yang berbeda-beda. Gilssss.... iya aja baru baca sebentar sudah muak. Padahal mah ini cuma medical record, belum diktat atau kamus yang biasanya dibawa Juwi atau si Rayyan.
Satu lembar menarik perhatiannya.
Gema Kanaya Nasvitri, Perempuan, 20 tahun.
Namanya cantik, masih muda, pasti orangnya cantik. Kira-kira Gema ini sakit apa ya? Eh tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Ayesha. Nama tengah Gema, Kanaya, Naya. Haduh, kenapa terlalu banyak nama Naya berkeliaran hari ini?
Nggak! Ayesha mengsugesti dirinya sendiri untuk berhenti kepo soal Naya-Naya itu.
"Kak? Ngapaian?" Papinya muncul dari dalam toilet.
"Eh, nggak Pih, cuma bantu beresin doang kok."
"Udah rapi deh, Kak. udah, yuk pulang. Mampir beli martabak pesanan Mami dulu."
Heung, ada lagi penghambatnya untuk segera memeluk guling rilakuma kesayangannya itu. Nggak Papi, nggak Mami, sama ajah!!!! Tak tahukah mereka bahwa Ayesha sudah kezeeel pakai bingitsss. Ayesha hanya gedeg-gedeg doang deh kalau sudah begini.
_______Nantikan Kelanjutannya_______
? Fachry.Sp.Pd, ValerieS, IzzyAlf, Jujuwwitjantik, and 8741 others
AyeshaA ZBL itu when yu diminta bokap lo mampir ke tempat kerjanya dengan dalih mau pulang bareng tapi smpe sana orangnya gak ada ???????????? segantengnya Papi Aja deh.
View all comments
Fachry.Sp.Pd duh anak gadis jelek banget sih.
AyeshaA apasih Pih? @Fachry.Sp.Pd
Jujuwwitjantik whahahaha syukurin lo, emang enak dikerjain Papi? Lanjutin Pih, songong sih sejak punya gawean baru ????????????????
AyeshaA u cp? @Jujuwitjantik
ValerieS martabak pesanan Mami kak jangan lupa
AyeshaA iya yang mulia ????@ValerieS
RayyanArg lo ke rs? Gitu ga ngabarin ????????
AyeshaA penting banget???? @RayyanArg
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta