Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Juwi selain bisa jalan di malam Minggu bersama Abang tersayangnya. Padahal, mereka juga tidak jalan berdua lho, ada Izzy yang turut serta.
Sedari berangkat tadi, Juwi sudah mesam-mesem sendiri menahan semerbak bunga-bunga cinta yang bermekaran di hatinya. Kalau ada orang paling lebay abad ini, mungkin Juwilah orang tersebut.
Sementara Izzy, jangan ditanya! Ia sudah senewen sepanjang perjalanan menuju Gambir Expo. Pasalnya, Juwi memonopoli Rayyan, minta duduk di depan sementara Izzy dibiarkan begitu saja menyaksikan segala aksi Juwi untuk merayu Rayyan.
Kalau dirinya tadi mengoloki Ayesha sebagai obat nyamuk, apa kabar ia saat ini? Izzy kesal, ia kira, ia bahkan lebih dari obat nyamuk. Ini mah, kambing congek tak kasat mata namanya. Keberadaanya invisible, hanya bisa dilihat oleh mereka yang benar-benar memiliki keimanan tinggi. Hahaha.
Juwi yang membawa bekal salad buah dari rumah, sibuk menyuapi Rayyan sambil sesekali melempar candaan. Rayyan sih manut saja, memang kebetulan dirinya juga sedang lapar. Nyemil salad buah sambil nyetir tak ada salahnya, toh disuapi, ia senang-senang saja.
"Jiji pengin?" tanya Juwi meledek Izzy yang berada di bangku tengah.
Pembunuh kebosanan nomor satu memang tidak ada dua selain berpura sibuk menekuri ponsel. Gila! Padahal sebenarnya, acara menonton Syncronized Festival ini adalah hasil obrolannya bersama Rayyan yang tiba-tiba saja terlintas saat cangkrukan kemarin sore. Lah sekarang? Seolah ini menjadi acara kencan Rayyan dan Juwi dengan Izzy sebagai asisten mereka yang mengekor kemanapun mereka pergi.
Izzy diam saja tak menanggapi ledekan Juwi. Sementara Juwi sudah terkikik puas melihat penderitaan Izzy.
"Suwe, Bang. Bisa lebih cepet dikit, nggak?" gerutu Izzy yang merasa dua orang di bangku depan sedang sengaja mengerjainya.
Rayyan dengan santai menikmati perjalanan ke Gambir Expo yang bisa dibilang cukup lenggang tapi ia hanya melaju di angka 60 km/jam. Alhasil, Gambir Expo yang normalnya bisa ditempuh waktu dua puluh menit ini bisa ngaret sepuluh menit lama. Sama seperti kondisi macet. Bah! Izzy menggerutu sendiri.
"Santai elah, Zy. Masih jam berapa juga. Lagian gue lagi nggak nguber, gabisa lo ngatur gue buat cepet-cepet. Iya kan, Mbul?" ucap Rayyan, turut bersekongkol dengan Juwi untuk menggoda Izzy sambil mengerlingkan mata ke arah Juwi.
Juwi yang menangkap hal itu cukup salah tingkah karena ulah Rayyan. Serius, tidak ada niat Rayyan untuk genit kepada Juwi. Gadis itu rasanya memang benar-benar lebay. Dikit-dikit baper sampai kelewat laper.
Juwi menetralkan rasa deg-degannya. Ia mengalihkan pandangan ke bangku tengah, menengok Izzy yang tetap terpekur dengan ponselnya. "Jiji jan cemberut dong. Sini Juju suapin," bujuknya menyodorkan sendok ke arah Izzy.
"Nggak usah, Ju. Gue nggak mau jadi yang kedua," tolak Izzy masih memegangi ponsel seolah di layar tersebut ada suatu hal menarik yang sayang untuk dilewatkan.
Ah, itu sih hanya pengalihan Izzy. Ia terlanjur malas dengan dua sepupunya yang terang-terangan membuatnya keki.
"Aiiih... hati mbak terenyuh, Dek." Juwi tidak jadi menyuapi Izzy, menarik kembali sendoknya lalu menyuapkan ke mulutnya sendiri dengan kesal. "Lagian kagak sampe juga mau nyuapin situ. Nggak usah ngarep jadi yang kedua Dek Jiji!"
Izzy tak menanggapi celotehan Juwi. Masa bodoh dengan omelan sepupu beda satu tahu tahunnya itu. Secara lahiriah, Juwi tidak salah, benar bahwa Izzy adalah yang termuda dari mereka berempat. Hanya saja, selama ini ia dan Juwi sudah sepakat untuk tidak memakai panggilan Kak, Dek, atau apapun itu yang menurut mereka hanya akan menimbulkan semacam penyekat kedekatan hubungan. Kecuali dengan Rayyan dan juga Ayesha yang lebih tua dari mereka, jelas tidak bisa mereka begitu saja memanggil langsung dengan nama.
Sementara Rayyan hanya geleng-geleng tak habis pikir dengan kelakuan Izzy dan Juwi. Hingga mereka pada akhirnya sampai ke tempat tujuan. Rayyan mencari tempat parkir yang lumayan jauh dari gate utama. Tujuannya sih biar gampang aja ketika keluar pas pulang nanti. Mereka langsung masuk ke veneu setelah menunjukkan tiket kepada petugas. Masih pukul tujuh malam memang, belum berjubel oleh mereka para penyuka seni musik. Sebenarnya, open gate sudah sejak pukul tiga sore tadi. Hanya saja, seperti biasa, puncak acara memang di waktu-waktu pukul tujuh ke atas sampai mid night.
Konsep Syncronized Festival kali ini sedikit berbeda, tidak seperti konser pada umumnya yang digelar festival begitu saja. Mengusung tema 'Lebih Dekat, Lebih Erat dengan Musik Lokal Indonesia' seperti yang terpampang di banner yang terletak di gate tadi, tak heran jika kali ini terdapat semacam kursi-kursi dan meja kecil yang disebar merata di hall depan stage. Panggung dibuat tidak terlalu tinggi sehingga memungkinkan terjalinnya komunikasi antara penyaji musik dengan penikmatnya. Mungkin itulah maksud tema yang diangkat.
Dekorasinya juga cozy sekali, ala-ala garden party dengan lampion tergantung yang memberikan kesan temaram nan syahdu. Sekeliling lapangan terdapat tenda bazar yang kebanyakan berisikan makanan minuman. Lengkap, dijamin betah berlama-lama nonton konser kalay konsepnya nyaman seperti ini. Hiburan terjamin, perut pun tak kan protes karena kelaparan.
Rayyan, Juwi, dan Izzy mengambil tempat di tengah, kebetulan masih kosong, tempat paling strategis padahal. Tidak salah jika mereka memutuskan untuk berangkat tepat setelah salat magrib di rumah Izzy tadi. Jadi, sepanjang hari sejak pagi tadi, yang mereka lakukan adalah gelimpungan menghabiskan waktu bertiga saja. Ayesha memilih mengurung diri di kamar sampai pukul empat, sementara mereka memilih bermain Uno sampai capek lanjut tidur siang, nonton teve, berantem, tidur lagi, sampai akhirnya jadilah mereka keluar setelah magrib usai.
Lagu-lagu pembuka masih seperti biasa disajikan oleh band-band indie yang sebenarnya mereka bertiga pun kurang paham. Hanya saja Izzy tahu kalau band indie yang bernama Tahu Genjrot itu adalah salah satu band jebolan ukm seni kampus sebelah yang kerap menjadi pesaing berat Rajendra Band di ajang Festival Musik Kampus tahunan.
"Kok lo tahu sih, Ji?" tanya Juwi penasaran juga.
"Iya, RaB kan sering bentrok sama mereka. Tapi gue akuin sih, secara kualitas Tahu Genjrot lebih mumpuni untuk ikutan festival sekelas gini. RaB mah menang nama doang." Izzy menjelaskan dengan gamblang, mengomparasi RaB--singkatan Rajendra Band, Band utama besutan ukm seni Rajendra University--dengan Tahu Genjrot.
"Yah elu, Ji. Band kampus sendiri kagak bangga," seru Juwi kembali meledek Izzy. Sepertinya mereka memang terlahir untuk menjadi jelmaan Tom and Jerry yang tak pernah akur.
"Bukan kagak bangga, Ju. Ini soal taste. Kagak muna gue. Tahu Genjrot itu punya aransemen yang khas gitu. Jadi kalaupun mereka cover tuh kagak sekadar cover, improve-nya kagak semena-mena. Punya khas tersendiri gitu. Semacam ada sesuatu yang selalu ditunggu di tiap performance Tahu Genjrot." Izzy tidak mau kalah, mengeluarkan argumennya dengan menggebu-gebu.
"Halah, sok sokan tahu tentang musik lu! Bukannya lo taunya mesin dan oli doang?" Bukan Juwi kalau mengiyakan pernyataan Izzy. Membantah, membalikkan dengan ledekan lain, itulah yang Juwi lakukan.
"Enak aja! Daripada elu? Tau apa?" Benar, sekarang mereka bahkan sudah gulat. Tinggal menunggu saja mereka berdua adu jotos, dan konser musik akan berubah menjadi ajang WBA.
"Heh, kalau-kalau lu lupa, gue ingetin dah, Ji. Gue pernah menang Java Grand Prix Festival. Which is choir adalah salah satu jenis seni musik juga. Jadi kagak mungkin gue nggak tahu beginian kan? Bege emang!"
Juwi jadi kesal, Izzy tidak mau kalah, sementara dirinya ya sama saja. Tidak akan selesai sampai salah satu ada yang menangis. Mereka berdua memang tidak sadar umur, masih berantem seperti anak kecil yang rebutan mainan.
"Apa gue di sini cuma buat ngemong kalian berdua? Liatin kalian berantem, iya?" sahut Rayyan menghentikan mereka.
Rayyan yang tadinya asyik menikmati penampilan Barasuara menjadi teralihkan karena suara berisik dari mereka berdua. Dugaan betul, dua saudaranya sedang beradu mulut yang begitu menarik perhatian orang sekitar. Hanya masalah sepele padahal. Receh sekali.
"Tahu tuh, Bang. Kesayangan lo tuh!"
"Lo juga ngalah sih, Zy. Yang waras ngalah gitu lho!" ucap Rayyan kepada Izzy.
Merasa dirinya tidak dibela oleh Rayyan, Juwi menyahut, "oh, jadi maksud Abang, Juwi nggak waras? Gelo kitu? Abang teh meni jahat pisan iih. Juwi kesel!"
"Baru tahu Bang Ray jahat? Gitu lho demen." Izzy kembali menggoda Juwita dengan isengnya.
"Jiji diem, aing jejalin sandal nyaho maneh!" Nah, seperti biasa, kalau Juwi sudah mengeluarkan bahasa kalbu seperti itu, artinya ia benar-benar kesal. Baik Rayyan maupun Izzy memilih diam selanjutnya.
Juwi menggembungkan pipinya, merasa sebal. Sudah benar tadi di mobil ia menang mem-bully Izzy. Ah, roda kehidupan memang bisa berputar dengan cepat tanpa aba-aba, sayang.
"Please, Mbul. Duduk, diem, nonton yang anteng." Rayyan mengambil lengan Juwi dan membawanya duduk kembali. Tidak enak juga banyak yang memerhatikan mereka bertiga.
Keadaan sudah mulai tenang. Mereka kembali menyaksikan penampilan dari salah satu band yang memang dihadirkan khusus untuk mengisis acara ini. Ada Efek Rumah Kaca dilanjut White Shoes and Couple Company yang menyanyi maraton bergantian.
"Yauda, gue cari cemilan dulu. Mau apa kalian?" Izzy bangkit, celingukan ke pinggir lapangan memindai stand bazar yang terpasang di sana.
Jelas itu bazar makanan kebanyakan, jadi daripada ia mati bosan menunggu band kesayangannya tampil, mending ia menyingkir dari dua makhluk lainnya. Bete juga lama-lama menjadi setan di antara Rayyan dan Juwi.
"Gitu kek dari tadi. Gedeg gue lihat muka lo, Ji." Juwi justru senang, penggangunya akan pergi. Jadi, setelah ini ia benar-benar berduaan dengan Rayyan.
Lalu, imajinasinya mengawang, berduaan dengan Rayyan melakukan adegan romantis seperti di novel-novel ataupun di drama korea yang selalu ditontonnya. Dibelai rambutnya, dipeluk sambil dielus-elus lengannya. Sesekali disuapi cemilan dan minuman. Ah, sungguh manis bukan?
Plak!
"Heh Jupret! Bengong aja lo! Mau pesen apa?"
Hal paling menyebalkan itu adalah ketika lamunan tiba-tiba buyar karena gertakan seseorang. Seperti sedang berada di atas pohon menikmati keindahan langit biru awan putih, lalu kejengkang nyungsep jatuh ke bawah hanya karena gigitan semut kecil tak tahu diri. Mungkin itulah yang kini Juwi rasakan. Gondok sangat.
"Bicik, Jipret. Sono, beliin gue sosis bakar," dumel Juwi.
"Gue jagung aja, Zy, kalau ada. Nih, bawa," sahut Rayyan sambil mengeluarkan pecahan seratus ribu dan memberikannya kepada Izzy.
"Nah, Abang tau aja adeknya nggak gablek duit." Izzy menerima uang dari Rayyan sambil cengengesan khas ala Izzy. Sok-sokan cool, persis seperti Om Fachry kalau kata Daddy-nya.
"Hahaha, muke lo keliatan, Njing."
"Bangciat lo, Bang." Tidak menanggapi Rayyan lebih lama lagi, Izzy segera enyah.
"Abang ih, biarin sekali-kali Izzy yang traktir sih. Abang mulu." Sepertinya Juwi tidak terima, keenakan Izzy kali ya.
Menurut Juwi, harusnya Izzy yang mentraktir mereka. Bapake Izzy yang notabene punya kampus. Ya mana mungkin kalau Izzy kagak gablek duit. Pembohong publik kelas pesut itu namanya. Lagi-lagi, kalau soal dumal-mendumal seperti itu, Juwi paling jago lah.
"Kalau gue balik, biar sekali-kali Juwi yang traktir sih, gue mulu. Emang lo mau?" tanya Rayyan yang segera dibalas gelengan oleh Juwi.
"Ih, Abang!!!!"
"Ya makanya. Kalian tuh adek-adek gue. Kalau lagi waras begini mah, jiwa kekakakan gue muncul, Mbul. Serasa ngemong dua bocah tahu, nggak?" Wibawa Rayyan mulai keluar.
Namun, kenapa harus bawa-bawa status bocah sih. Juwi kan jadi kicep. Merasa kecil untuk bisa bersanding dengan Abangnya.
Halah!
"Iiiih, tapi Juwi udah nggak bocah lagi, Bang."
"Iya, tahu. Makanya bahaya."
"Hah?" Juwi mengernyit, tidak bisa menangkap makna kata 'bahaya' dari kalimat Rayyan barusan.
"Hahah, lupakan. Sok dengerin, tuh Banda Neira. Enak ya?" Rayyan mengalihkan fokusnya, sudah ada Banda Neira di atas panggung. Mulai melantunkan nada demi nada indah yang bisa menghanyutkan para pendengarnya.
"Emang, edgy sih dia. Cuma bukan gue banget sih, Bang. Ya denger sambil lalu aja," jelas Juwi mendadak menjelma sebagai gadis pendiam yang begitu anggun.
Posisinya, kini Juwi tidak banyak tingkah seperti saat masih ada Izzy tadi. Duduk di kursi pendek dengan kaki disilangkan satu ke kanan, dagu tertopang tangan, satu tangan lainnya mengetuk-ngetuk lutut seirama musik yang tengah bermain.
Mereka terus menikmati sajian demi sajian yang dibawakan apik oleh para pengisi. Setelah Banda Neira dengan Sampai Jadi Debu, kini giliran salah satu solois muda berbakat, Vadi Akbar memasuki stage dan menyapa audience sebagai salam pembuka.
"Siapa sih?" tanya Rayyan merasa belum pernah lihat sebelumnya.
"Itu lho, adiknya Vidi Aldiano," balas Juwi.
Rayyan hanya ber-O ria ssbagai balasan.
"Eh, dengerin deh, Bang. Enak lho."
Lalu, yang Rayyan lakukan selanjutnya adalah, menyaksikan dengan saksama tiap lirik yang dinyanyikan oleh si Vadi ini.
Sudah lama kupercaya
Cinta hanya sebuah kata
Tak nyata makna di dalamnya
Dusta cipta Adam dan Hawa
Merasa ada seseorang disampingnya yang turut bernyanyi dengan gumaman, Rayyan menoleh. "Hapal?"
Juwi ikutan menoleh. Hoho, ia tidak sadar kalau rupanya Rayyan sedang diam-diam memerhatikannya.
Bolehkah pipinya bersemu merah?
Oh, tidak. Sekali lagi, Juwi kelewat lebay. Perihal gini saja sampai blushing. Tolong, Wi!
"Baru-baru ini sih. Ih dengerin dulu coba. Asyik lho."
Dan kau datang Mengubah hampir segalanya
Karna hadirmu membawa tanya
Ku bermimpi dengan mata yang terbuka
Ku melayang di atas awan tanpa terbang
Ku tlah jatuh cinta tanpa kau harus berusaha
Kau ubah tanya menjadi rasa
Ku cari arti dari semua ini
Rasa tinggi karna kau disini
Kau beri kesempatan hati
Tuk kembali mencintai
"Dalem banget?" tanya Rayyan, menelisik manik Juwi yang sedari tadi benar-benar seperti terhanyut dalam lantunan lagu tersebut.
"Iih Abang! Sumur kali ah dalem," balas Juwi, sambil mengeplak lengan Rayyan pelan.
"Dari hati, ya? untuk siapa? Gebetan?" tanya Rayyan, menjadikan Juwi terdiam sebentar.
Juwi tersenyum masam. Kepalang basah sama orang yang dari tadi membuatnya menahan napas. Lagu itu, cocok sekali untuk kondisi dirinya saat ini bukan?
Bermimpi dengan mata yang terbuka. Ya, memimpikan Rayyan untuk jadi seseorang terspesialnya lebih dari sekadar Abang. Mustahil memang, tapi Juwi masih menggaungkan harap yang tinggi untuk itu.
"Hahaha, iya. Tapi sepertinya dia nggak peka."
Rayyan manggut-manggut, kembali melihat ke arah panggung, di mana Vadi masih membawakan lagu itu dengan baik. Nadanya ringan, tidak terlalu buruk pikir Rayyan. Bisa masuk dalam zona musik favoirtnya juga.
"Memang menurut lo, inti lagu tadi itu apa, Wi?" Rayyan kembali bertanya saat Juwi masih bersenandung mengikuti irama Vadi.
"Mmm, apa, ya?" Juwi berpikir sejenak. "Kadang kita tidak menyadari suatu hal saking bersemangatnya dengan satu hal yang lain. Lalu, di saat keheningan tercipta, sebuah tanya baru menyembul begitu saja. Sebenarnya, suatu hal ini tuh apa? Rasa nyaman, rasa yang begitu menggebu, rasa tidak karuan yang hinggap sejak ada dia. Oh, bukan, sejak dia berbeda. Pertanyaan kayak gitu kadang mampir nggak tahu diri sih," jelas Juwi.
"Terus?"
"Ya terus semakin ke sini gue semakin yakin, kalau semua pertanyaan gue tuh berkaitan dengan rasa. Rasa yang timbul akibat perlakuan-perlakuan tak wajar tadi. Implikasinya jadi sebuah nyaman, jadi sebuah ketergantungan. Kayak drugs, bikin candu. Kalau nggak lihat dia gelisah sendiri, khawatir. Kalau ada di dekat dia, senengnya kebangetan, deg-degan mampus. Itu sebuah rasa. Ya gitulah, Bang! Iiiihh udah iiih..."
"Solusinya apa? Bahaya nggak ke depannya?" Rayyan belum berhenti mengorek Juwi.
"Hmm... bahaya kalau dibiarin. Bisa SVT bukan cuma takikardi biasa." (Read: supra ventrikular takikardia--salah satu kegawatdaruratan jantung dan pembuluh darah. Lebih sederhannya ya serangan jantung).
"Wih, bahasanya anak semester dua udah SVT aja," goda Rayyan dengan seringai jailnya.
"Nggak usah ngeledek, Abang! Gue sedang berusaha menjadi calon dokter yang baik." Untuk bisa jadi calon istri dokter yang baik pula. Ada tambahan di belakang ucap Juwi barusan.
Ah, tapi hanya Juwi dan Tuhan yang bisa mendengar. Juwi belum seberani itu untuk frontal di depan Abangnya. Iya kalau dapat, kemungkinan terburuk lain yang mencuat adalah bisa-bisa ia dipecat jadi adiknya. Itu tidak masuk list Juwi ya.
"Iya, iya. Jadi siapa gebeten lo sebenarnya, Mbul? Gue kenal kagak? Angkatan lo? Kalo angkatan lo mah ya mana gue kenal. Paling Ayunyun lo itu kan yang ke mana-mana sama lo."
Juwi masih dalam mode menahan napas sejak tadi. Lalu, saat Rayyan bertanya seperti itu, ia ragu untuk menjawab. Apakah sekarang waktu yang tepat? Tengsin kali ah, masa cewek mengungkapkan rasa terlebih dahulu? Begitu pikir Juwi.
Juwi menyedot dalam oksigen sekitaran, mengambil ancang-ancang untuk mengungkapkan. "Dia--"
Belum sampai ia melanjutkan kalimatnya, Izzy datang menyela. "Haiii gaes! Sorry lama. Antre banget. Nih sosis buat Juju. Ini jagung bakar buat Abang."
"Thanks, Zy," ucap Rayyan sambil menerima jagung bakar dari Izzy.
Juwi menghela napas lega. Pasalnya, ia juga tidak siap jika harus membeberkan perasannya kepada Rayyan saat ini. Namun, Izzy juga menyebalkan sih, nyelonong tiba-tiba tanpa permisi terlebih dahulu. Ah, Juwi kira, ini harus tuntas bagaimanapun caranya. Ia sudah berada di suatu kondisi yang sangat memungkinkan untuk berbicara dengan Rayyan lebih dalam. Perihal rasa, jelas. Jadi, kesempatan yang entah kapan lagi datangnya ini, tidak seharusnya Juwi lewatkan.
"Zy, nggak ada cita-cita buat beliin minum sekalian?" Juwi berubah pikiran, ia mencari celah lagi agar bisa melanjutkan perbincangannya dengan Rayyan, salah satunya dengan mengusir paksa Izzy begini.
"Nggak sekalian sih!" gerutu Izzy sambil menikmati kentang tahu bulat di tangannya.
"Normalnya, tanpa diminta, orang mah beli makanan satu paket sama minumnya. Lah elu?"
Izzy yang paham betul modus alus sepupunya itu, akhirnya kbali menyingkir dengan dalih mencari minum. "Iya deh. Bilang aja lo masih pengin berduaan dengan Abang lebih lama. Awas, Bang, Juju kalau laper suka gigit."
"Jiji...." hentak Juwi gregetan dengan Izzy yang terus-terusan menggodanya.
Setelah Izzy kembali pergi, sunyi hadir menyergap mereka. Ah, tidak sunyi sih, deguban paduan suara bass dan kawan-kawannya dari arah panggung bukanlah suatu kesunyian. Namun, semua itu seolah tak terdengar di telinga Juwi. Kasat kuping, bukan kasat mata, istilahnya.
"Bang...." Sepi di tengah keramaian. Lapangan berubah menjadi kedap suara. Yang Juwi dengar saat ini hanyalah detak jantungnya yang bergemuruh persis gledek bersaut-sautan.
Rayyan yang hanyut dalam musik tergagap mendengar panggilan Juwi, "eh iya. Jadi, dia itu siapa, Mbul?"
Juwi kembali mengambil ancang-ancang. Tarikan napas dalam lagi-lagi ia hirup panjang mengisi rongga parunya. "Jadi..., dia tuh..."
"Iya?"
"Dia itu..."
Kali ini, godaan datang dari dering tanda WhatsApp masuk milik Rayyan. "Eh bentar." Rayyan membuka ponselnya.
Dan, untuk kesekian kalinya, Juwi mengembuskan napasnya lelah. Gagal maning, gagal maning.
Belum jodoh, Wi. Tidak sekarang mungkin. Hahaha.
Sementara itu, Rayyan mengerutkan keningnya begitu serius. Ia bingung dengan pesan masuk yang ternyata dari kakaknya, Ayesha.
Ayesha Anugrah
Bang, tolong gue. Dragonfly, now.
Sejujurnya Rayyan belum paham maksud pesan Ayesha tersebut. Namun, satu yang ia tangkap; Dragonfly.
Ia bukan tidak paham tempat seperti apa Dragonfly itu. Ia juga tidak mengerti untuk apa Ayesha memintanya ke sana.
Namun satu yang pasti. Rayyan pikir, kakaknya butuh dirinya saat ini juga. Butuh bantuan lebih tepatnya. Ia memutar-mutarkan ponselnya, gusar. Kemudian, ia melihat Juwi yang ternyata juga sedang menatapnya serius.
"Kenapa, Bang?" tanya Ayesha bingung dengan perubahan mimik Rayyan yang mendadak cemas.
Rayyan mengamati gelagat Juwi. Sepertinya, Juwi tidak nampak mendapat pesan yang sama oleh Ayesha. Itu berarti, mungkin saja, adiknya yang lain tidak boleh tahu perihal ini. Jadi, Rayyan kira, cukuplah ia saja yang menyusul Ayesha ke sana. Ia kesampingkan dulu hal-hal buruk terkait untuk apa kakaknya mengunjungi tempat laknat semacam itu. Ia harus segera pergi.
"Wi, gue ada emergency call," dusta Rayyan mencari alasan.
"Serius?" Juwi tidak percaya sepenuhnya. Ia menilik pasti sorot mata Rayyan saat berbicara.
Rayyan, jelas saja, ia berusaha sekuat mungkin agar terlihat natural dan tidak kentara. "Iya, kalian gimana?"
Juwi celingukan. Entah ke mana perginya Izzy tadi, ia juga tidak bisa memutuskan mau seperti apa. Namun, dalam hati Rayyan hanya berharap, bahwa adik-adiknya tidak nekat ikut dirinya. Bisa ketahuan bohong dan lebih panjang lagi urusan kan!
"Wi, lo sama Izzy di sini dulu aja, ya. Gue minta temen uber gue buat jemput kalian. Ntar gue send contact ke lo. Gue harus cabut."
"Tapi, Bang--"
Dalam hitungan detik kemudian, Rayyan sudah melesat ke tempat parkirnya, meninggalkan Juwi yang belum sampai selesai dengan kalimatnya. Tidak butuh waktu lama untuk ia bisa membelah keramaian plataran konser, beruntungnya ia memilih parkir paling ujung tadi.
Rayyan tidak sepenuhnya salah soal kebohongannya tentang emergency call. Sepertinya ini memang darurat kan? Hanya saja panggilan itu tidak dari rumah sakit.
????????????????
"Lepaskan dia!" seru Rayyan begitu melihat Ayesha dengan kondisi mengenaskan. Kepala tergeletak di meja bar dengan dikelilingi oleh tiga gigolo biadab yang sudah mulai menggrayangi bagian tubuh Ayesha.
Rayyan mendekat, menampik keras tangan salah satu bajingan yang hampir saja menyentuh dada Ayesha.
"Heh, siapa lo?" Jelas saja bahwa si brengsek itu menjadi berang. Sudah enak-enak mau menikmati makan malamnya, satu penganggu datang.
Rayyan berusaha berani. Ia mencoba untuk tidak melibatkan emosi saat menghadapi mereka. Rayyan sendiri sedang menggunakan taktik menyamar. Ia tak boleh lengah menghadapi makhluk jenglot macam mereka.
"Dia tawanan gue. Gue udah membayar dia buat melayani gue. Kalian cari yang lain saja," jelas Rayyan dengan nada penekanan penuh.
Rayyan sudah hampir membawa Ayesha dengan kedua tangannya kalau saja dua kawanan gigolo lainnya ikut andil. Justru, giliran Rayyan yang kini menjadi sandera. Dua tangannya dicekal oleh mereka.
"Lo? Ngebayar dia? Anak bau kencur kayak lo? Lo siapa?" Pria kurang ajar yang ia yakini sebagai bos gigolo itu, kini sudah menggulung lengan bajunya siap mengeksekusi Rayyan.
Dua lainnya sudah mendorong Rayyan hingga punggungnya terhempas ke dinding bar. Ricuh sudah terjadi. Para penghuni bar lainnya saling berteriak melihat Rayyan terpental begitu saja. Apalagi, kebanyakan mereka adalah wanita gemerlap malam yang memang sedang menjajakan dirinya di sini.
Rayyan mengerang kesakitan mendapati punggungnya begitu keras menghantam dinding bar yang dingin itu. Ia berusaha bangkit sambil tertatih.
Rayyan pikir, ini tidak bisa berakhir di sini. Ia harus membawa kakaknya segera angkat kaki dari tempat jahanam ini.
Mereka, tiga gigolo itu masih bersiaga untuk menghalau Rayyan kembali. Namun kali ini, Rayyan mengatur dirinya agar setenang mungkin dan tidak gegebah seperti tadi.
Rayyan lantas mengeluarkan member card-nya beserta free pass dan golden card yang menyatakan bahwa ia adalah pelanggan tetap serta salah satu anggota yang didewakan di sini. Ia menunjukkan tiga kartu tersebut sekaligus.
Ajaib, ketiga gigolo cungpret itu seketika terdiam. Mereka terbelalak tidak percaya. Pasalnya, siapapun yang memiliki tiga kartu sakti itu sekaligus, maka, kedewaannya di tempat laknat ini tidak perlu diragukan lagi. Jelas ia rajanya gigolo. Siapapun ia, patut mendapatkan servis terbaik. Termasuk, berhak memilih wanita termahal yang akan melayaninya. Mutlak, tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
"Gue bawa dia. Thanks udah jaga."
Lalu, dengan seringai penuh kemenangan, Rayyan memapah Ayesha keluar dari bar. Ayesha benar-benar sudah teler tak sadarkan diri. Bau alkohol begitu menyengat di tubuh kakaknya itu.
Ia menyelimuti Ayesha dengan jaketnya begitu sampai di dalam mobil. Dilihatnya dengan saksama gurat wajah Ayesha yang begitu damai, namun, Rayyan rasa ada masalah yang sedang melanda kakaknya. Entah apa itu, Rayyan juga tak tahu.
Rayyan teringat, bukankah kakaknya tadi pamit untuk jalan bersama teman kantornya? Lalu, mengapa sampai berakhir seperti ini?
Kali ini, tidak salah lagi, Rayyan meyakini, ada sesuatu yang terjadi dengan kakaknya.
"Shit!" Ia memukul kemudinya dengan keras, misuh-misuh sendiri nggak jelas maksudnya.
Iya, Rayyan kesal, ia merasa gagal sebagai adik yang tidak bisa menjaga kakaknya. Untung saja ia datang dengan cepat. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kakaknya jika ia telat sedikit lagi.
Oh, soal kartu dewa tadi, ia bersyukur menemui temannya dahulu di pangkalan uber. Niatnya meminta tolong mereka untuk menjemput kedua adiknya di Gambir Expo. Namun, setelah ia menceritakan singkat ke mana ia akan pergi, salah satu temannya menawarkan kartu sakti tersebut. Tidak rugi punya teman-teman brengsek macam mereka. Sedikit berguna untuk hal-hal darurat seperti ini.
Lalu, Rayyan bingung juga, ke mana ia akan bawa kakaknya. Tidak mungkin dalam kondisi Ayesha yang sedang tak sadarkan diri, ia nekat mengantarnya pulang ke rumah. Urusan bisa panjang, dan berakhir dengan sesi interogasi semalam suntuk. Rayyan tahu peringai omnya, ia tidak bisa melihat sesuatu sedikit saja melenceng dari kewajaran yang memang seharusnya terjadi. Sementara, kondisi kakaknya saat ini bisa dibilang tidak wajar. Mana pernah seorang Ayesha berani mencoba hal-hal tidak lazim seperti tadi. Jelas itu bukan Ayesha sama sekali. Jadi, ia perlu bertanya terlebih dahulu kepada Ayesha daripada omnya yang tahu terlebih dahulu kemudian salah paham.
Mungkin, ia tahu harus ke mana mengungsikan kakaknya sementara.
_______Nantikan Kelanjutannya_______
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta