Read More >>"> She Never Leaves (Nothing Matter) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - She Never Leaves
MENU
About Us  

Kubuka mataku dengan susah payah. Pipiku terasa sembab pagi ini. Aku pasti menagis semalaman hingga aku tertidur. Hal pertama yang kulakukan adalah mencari ponselku yang pagi ini tidak berada disampingku seperti biasa. Dengan berat hati kupaksakan badanku untuk bangkit dari tempat tidur dan mulai menyesuaikan mataku dengan pemandangan sekeliling. Aku ingat terakhir kali aku pulang dari rumah Silvi dan mematikan ponselku. Aku berjalan kemeja yang tidak jauh dari kasur dan menemukan ponselku disana. Tidak mau menyala. Dengan helaan nafas lelah, kuisi daya ponselku disalah satu lubang colokan dekat meja dan pergi kekamar mandi untuk membersihkan wajahku pagi ini agar tampak lebih segar. Aku terus berpikir kenapa Silvi tidak mau membukakan pintu bagiku. Saat akan mengosok gigiku, mataku tertuju pada satu sikat lainnya kepunyaan Ellena. Aku teringat akan telepon Ellena yang terus aku reject. Biasanya dia akan datang kerumah jika aku tidak memberinya kabar sama sekali. Rasa cemas mulai menghinggapi diriku. Kuselesaikan kegiatanku dikamar mandi dan berjalan kebelakang, tempat dimana mama sedang menikmati kopi paginya.

“Ma, semalam pas aku sudah tidur, Ellena ada datang ?” tanyaku.

Mama menggelengkan kepalanya, tidak ada. Aku berjalan kembali kekamar dan mulai menyalakan ponselku yang sudah mulai terisi. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari Silvi. Kubuka pesannya pertama kali dan betapa terkejutnya saat aku membaca pesan yang kukirimkan kepadanya semalam. Aku pasti sudah tidak waras saat mengirimkan pesan ini. Wajahku terasa dingin begitu saja. Tanganku kaku dan aku berusaha mencerna sendiri kata – kata dari pesan yang kukirimkan padanya malam itu. Silvi, membalas dengan singkat pesan tersebut.

“Terimakasih, senang mengenalmu selama ini Sharon.”

Ingin aku menagis namun tidak mampu. Kutekan nomor Silvi dan segera menghubunginya. Tidak aktif. Aku berlari kebelakang dan tidak memperdulikan mama yang bertanya padaku. Kupakai jaketku dan kunyalakan motorku, dengan kecepatan penuh aku segera menuju rumah Silvi. Airmataku menagis sepanjang perjalananku, setelah semua yang dia berikan padaku sejak kami masih SMA, bagaimana aku bisa menyebutnya sebagai iblis yang berusaha merusak persahabatanku dengan Ellena ! aku harus minta maaf padanya. harus !

Pintu merah yang semalam berusaha kuketuk terbuka didepanku. Bisa kulihat mama Silvi sedang duduk dimeja kasir seperti biasa, ditemani dengan kertas dan kalkulator besar. Aku parkir tidak jauh dari pintunya dan berjalan masuk kedalam toko tersebut. Mamanya melirikku sebentar lalu mengabaikanku, tidak seperti biasanya.

“Bu, Silvinya ada ?” tanyaku dengan suara yang sudah tidak kukenali.

Mamanya tidak menyahut pertanyaanku sama sekali. Sibuk dengan pekerjaan dia.

“Bu, Sharon mau ngomong sama Silvi.” Aku berusaha sebaik yang kubisa agar mama Silvi mau ngobrol denganku. Tetap, mama Silvi tidak menyahutku sama sekali. Wajahku terasa begitu panas, aku mulai merasakan amarah yang kupedam tidak tertahankan lagi.

“Bu, maaf kalau Sharon kurang ajar !” kataku lalu aku berlari kedalam rumah Silvi dan mulai mencari Silvi disetiap sudut rumahnya.

“Silvi !!” aku mencari sambil meneriaki namanya. Tidak ada satupun sahutan.

Rumah Silvi begitu sepi, papanya juga tidak ada dirumah. Mama Silvi tidak mengejarku sama sekali, begitu juga dengan pembantunya. Aku mengelilingi 3 lantai rumah tersebut dan tidak ada Silvi. Aku masuk kedalam kamar Silvi dan kosong. Apakah dia pergi ! dengan cepat aku turun dan kembali mendatangi mama Silvi.

“Bu, dimana Silvi !!” suaraku begitu tinggi hingga semua pembantu ditoko tersebut melihat kearahku. Mama Silvi membuka kacamatanya dan memandangku.

“Apa artinya Silvi buatmu Sharon, kamu kan sudah ada sahabat baru. Dia sudah pergi, tidak akan kembali lagi. Sekarang saya minta kamu pergi dari toko ini dan jangan pernah datang lagi !” suara mama silvi datar dan mukanya terasa sangat kecewa padaku. Aku terdiam dan mulai berpikir. Pasti papa Silvi mengantarkannya kebandara ! tanpa pamit dengan mamanya, aku berlari kemotorku dan kunyalakan, aku akan mengejarnya kebandara. Setidaknya aku harus menjelaskan maksud pesanku dan meminta maaf padanya secara langsung.

Aku sampai dibandara dalam waktu 30 menit, satu doaku sepanjang jalan bahwa agar aku punya kesempatan bertemu dengan Silvi. Aku segera berlari kedalam dan mulai panik mencari kira – kira kemana arah Silvi. Kuperhatikan setiap papan yang tergantung tinggi, mencari arah dan mencari sosok sahabatku. Pintu keberangkatan. Aku segera berjalan dengan cepat kesana. Papa Silvi ! aku mengenali sosok tinggi dan kurus itu. Aku melambaikan tanganku dan mereka tidak melihatku. Aku berjalan mendekat dan dari sisi berlawanan papa silvi berjalan berbalik arah. Bisa kulihat seseorang dengan jaket hitam dan kopernya bersiap untuk check in dan masuk kedalam. Kuabaikan sekelilingku dan kupanggil namanya dengan keras,

“Silvi !!” teriakku. Spontan semua orang melihat kearahku. Termaksud Silvi.

Dia terkejut melihat kedatanganku, lalu membuang mukanya dan terus berjalan menuju arah check in. Aku ingin mengejarnya namun tidak diperbolehkan masuk kedalam. Aku terus meneriaki nama Silvi namun diabaikan olehnya. Sampai petugas bandara datang dan membawaku untuk keluar. Tangisku meledak, petugas tersebut terkejut, begitu juga dengan sekeliling orang yang berada disana.

Silvi menoleh dan berjalan kearahku, ada sedikit kebahagiaan dalam hatiku. Dia berjalan dengan kencangnya kearahku dan begitu jarak kami sudah tidak begitu jauh, aku bisa melihat matanya yang bengkak, menagis seharian. Aku tidak akan membiarkannya pergi lagi kali ini.

“Silvi, aku minta maaf soal semua yang aku katakan dipesan tersebut. Aku kesal karena kamu tidak membuka pintu untukku. Jangan pergi lagi, kumohon !”

“Sharon ! aku sudah tidak sanggup berteman dengan mu ! Kamu itu sungguh egois ! Aku sudah bilang bahwa aku ada acara keluarga, tidak ada orang dirumah semalam ! tapi kamu….” Silvi terdiam dan tidak melanjutkan perkataannya. Dia berusaha membendung airmatanya.

“Plis…” aku memohon padanya. Hal yang sungguh tidak pernah aku lakukan. Semua orang yang berada dibandara tersebut menoleh kearah kami.

“Sharon, STOP ! aku sudah tidak bisa tahan lebih dari ini !” katanya.

“Aku tidak marah padamu Sharon, tapi aku kecewa. Begitu rendah kamu menilai persahabatan kita selama ini !” tangisnya meledak. Aku terdiam dan tidak sanggup memberikan penjelasan apapun lagi padanya.

Dia lap airmatanya dengan jaket yang dia kenakan dan menghela nafasnya dengan panjang.

“Jangan panggil aku lagi dan jangan cari aku lagi Sharon !” katanya dengan keras dan membalikkan badannya, berjalan pergi tanpa menoleh sedikitpun kearahku lagi. Aku tidak memanggilnya lagi. Benggong dan tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Aku berjalan menuju parkiran dan terdiam disana. Aku menagis dalam keheningan. Bisa kurasakan sebagian orang yang lewat melihat kearahku namun kuabaikan. Setelah puas menagis, kunyalakan motorku dan keluar dari bandara. Sepanjang perjalananku menuju rumah, aku terus memikirkan perkataan Silvi padaku. Apakah aku begitu egois sehingga dia bahkan tidak mau memberikanku kesempatan kedua kalinya.

Aku sampai dirumah dan bisa kulihat mama sedang duduk diruang depan, tidak seperti biasanya.

Kuperhatikan wajahku didepan cermin untuk memastikan mataku tidak bengkak dan berjalan mendekati mama.

“Ma, tumben duduk disini.” Aku mendekatinya dan duduk disampingnya.

Tidak lama mama mengangkat sebuah plastik hitam dan memberikannya padaku. Dengan perasaan binggung kubuka plastik tersebut yang berisi laptop. Kukeluarkan laptop tersebut dan sebuah surat terjatuh. Masih dengan perasaan binggung aku membuka kertas tersebut dan tulisan Ellena menari dengan indah dikertas tersebut.

Kubaca setiap bait pesannya dan tersadar bahwa dia meneleponku semalam karena ingin pamit denganku. Dia datang kerumah tepat setelah aku pergi kerumah Silvi. Hal yang bisa dia lakukan hanyalah menitipkan laptop ini pada mama. Sudah sejak lama dia ingin memberikan laptop padaku, namun tidak menemukan moment yang tepat. Dia akan melanjutkan kuliahnya ke master degree dan mungkin akan sulit berkomunikasi jika aku hanya mengandalkan ponsel biasa, memberikan laptop adalah pilihan tepat baginya. Kulipat surat tersebut, Ini adalah hari yang berat bagiku. Hari dimana aku kehilangan kedua sahabatku sekaligus.

Kusandarkan kepalaku dipundak mama. Tangannya yang sudah tidak muda lagi membelai kepalaku dengan lembutnya.

“Ma, aku egois sekali ya ?” tanyaku pelan.

Mama tidak menjawab pertanyaanku dan tangannya membelaiku tanpa henti layaknya aku anak kecil. Kubiarkan airmataku terjatuh dipundaknya, setiap tetesnya memberikanku perasaan lega yang berbeda daripada aku menagis seorang diri. Mama dengan sabar menunggu airmataku kering.

“Sharon, mereka sayang sama kamu. Dan tidak ada yang salah dengan menjadi egois. Kamu pasti bisa menemukan teman baru. Jika kamu berarti juga bagi mereka, tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan kalian, sebesar apapun masalah yang ada. Sahabat terbaik akan selalu kembali.” Kata mama.

“Tugasmu adalah menjadi sukses. Kejar impianmu dan jadilah lebih baik. Raih impianmu dan bahagialah. Karena tidak ada hal yang lebih penting daripada kebahagiaanmu, nak !”

Aku hanya diam sambil memikirkan semua perkataan mama. Tidak ada satupun bantahan yang keluar dari mulutku.

“Ingat Sharon, mama akan selalu ada untukmu. Tidak peduli seburuk apapun keadaanmu, tidak peduli sebanyak apapun orang meninggalkanmu, mama akan selalu ada disampingmu. Kamu tidak sendiri.”

Kuangkat kepalaku dari pundak mama dan kutatap dirinya. Tersadar bahwa mama sudah tidak muda lagi. Dia adalah sosok yang selalu berjuang untuk membesarkanku sejak aku kecil, dia juga selalu mendukungku, dan tidak pernah meninggalkanku. Tidak peduli saat aku mulai melawannya, saat aku sibuk akan duniaku bahkan saat aku lebih mementingkan duniaku daripadanya. Pada akhirnya dia adalah sosok yang setia menemaniku tanpa lelah. Tidak ada yang lebih berarti daripada seorang mama disampingku.

Meskipun dia tidak memberikanku kebahagiaan layaknya orang lain, meskipun tidak tidak mampu memberikanku hal – hal mewah, namun dia adalah sosok yang mengajarkanku makna kehidupan. Tidak peduli seberapa sulit kehidupan kami, dia mengajarkanku untuk terus bermimpi dan tidak pernah menyerah akan keadaan. Kupeluk dirinya dengan erat dan berbisik dengan lembut ditelinganya,

“I Love You, MOM ! ” ucapku pelan.

 

 

~ The End ~

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Stuck In Memories
14318      2864     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
My Teaser Devil Prince
5753      1387     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
A - Z
2675      921     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Angkara
935      559     1     
Inspirational
Semua orang memanggilnya Angka. Kalkulator berjalan yang benci matematika. Angka. Dibanding berkutat dengan kembaran namanya, dia lebih menyukai frasa. Kahlil Gibran adalah idolanya.
Past Infinity
206      176     0     
Romance
Ara membutuhkan uang, lebih tepatnya tiket ke Irak untuk menemui ibunya yang menjadi relawan di sana, maka ketika Om Muh berkata akan memenuhi semua logistik Ara untuk pergi ke Irak dengan syarat harus menjaga putra semata wayangnya Ara langsung menyetujui hal tersebut. Tanpa Ara ketahui putra om Muh, Dewa Syailendra, adalah lelaki dingin, pemarah, dan sinis yang sangat membenci keberadaan Ara. ...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
358      253     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Malaikat Hati
10319      1943     1     
Romance
Sebuah persinggahan dalam menjalin sebuah ikatan tidak lagi terasa dan bersemayam dihati. Malaikat hati yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah senyuman dan pelukan. Mengenalkan arti bahagia dan arti kenyamanan hati. Disaat itu, aku sadar bahwa hidup bukan untuk menentukan sebuah pilihan tapi hidup untuk menjalin sebuah kepercayaan.
Violetta
583      343     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
REASON
8846      2149     10     
Romance
Gantari Hassya Kasyara, seorang perempuan yang berprofesi sebagai seorang dokter di New York dan tidak pernah memiliki hubungan serius dengan seorang lelaki selama dua puluh lima tahun dia hidup di dunia karena masa lalu yang pernah dialaminya. Hingga pada akhirnya ada seorang lelaki yang mampu membuka sedikit demi sedikit pintu hati Hassya. Lelaki yang ditemuinya sangat khawatir dengan kondi...
Find Dreams
230      189     0     
Romance
Tak ada waktu bagi Minhyun untuk memikirkan soal cinta dalam kehidupan sehari-harinya. Ia sudah terlalu sibuk dengan dunianya. Dunia hiburan yang mengharuskannya tersenyum dan tertawa untuk ratusan bahkan ribuan orang yang mengaguminya, yang setia menunggu setiap karyanya. Dan ia sudah melakukan hal itu untuk 5 tahun lamanya. Tetapi, bagaimana jika semua itu berubah hanya karena sebuah mimpi yan...