Hello, world! It’s Earlene being late for school for the 164th time. Entah kuping gue yang memang budeg atau tempat tidur ini terlalu sayang sama gue, gue baru bangun jam enam padahal seharusnya gue udah bangun dari setengah jam sebelumnya. Akibatnya, I have to eat my breakfast on my way to school dan supir gue berpotensi kena omelan gue lagi—even though I know I’m the guilty one here.
“EARLENE! MAU BERANGKAT JAM BERAPA KAMU?!”
Well, meet my sis, Dara. Nyokap gue itu tipe-tipe wanita lembut yang nggak sanggup meneriaki anaknya sendiri, jadi Ci Dara yang lebih sering ngomelin gue. Not that my mom never gets mad at me, cuma kalo untuk urusan jarak jauh kayak sekarang ini tuh jatahnya Ci Dara.
“GOING DOWN, SIS!” Gue balas berteriak sambil menuruni tangga, hampir lupa bawa PR yang subuh tadi baru gue selesaiin. My life, people.
»»——— ♥?♥ ———««
It only took me fifteen minutes to arrive at school, but if I’m late even for just a minute maka tamatlah riwayat gue. Buku Agenda gue tahun ini udah mau penuh, boi. Parahnya, isinya semua catatan keterlambatan gue. I’m screwed.
“Ya ampun, Earlene! Telat lagi, lo? Kenapa? Diare lagi?”
Let me introduce my friend, Thea. Been my friends since we were a 10th grader, otaknya lumayan encer, rajin luar biasa, berkacamata, rambut hitam lurusnya hampir sepinggang, dan suaranya cempreng but still tolerable. Gue cuma bisa menanggapi pertanyaannya dengan cengiran karena kemudian guru piket udah dateng ke kelas gue dan gue cuma sempet taruh tas gue di tempat duduk biasa.
“Udah berapa kali nggak telat, Earlene?” tanya si guru piket yang namanya Bu Mita.
“Waduh, kayaknya ini yang ke sepuluh deh, Bu,” jawab gue asal sambil ngeloyor masuk ke barisan. Bu Mita cuma bisa geleng-geleng, reaksi standar guru-guru yang udah bohwat sama rekor telat gue.
“Untung ya, Lene, untung otak lo cair dan tampang lo cakep. Kalo nggak, rekor telat lo itu minta gue hujat banget deh!” kata Thea waktu kami masih baris.
“Namanya orang, Thea sayang. If I’m this pretty and this smart and such a morning person, kasian yang lain. Ketutupan pesona gue. HAHA.”
“Plis, Lene. Pede lo itu berlebihan!”
Kami menyalami Bu Mita, kemudian melanjutkan obrolan di tempat duduk kami. Kelas gue emang kece. Cuma butuh satu kali pelajaran Fisika dan tempat duduk kami yang tadinya sendiri-sendiri jadi berdua-berdua gini, thanks to our beloved physics teacher.
“Sampe sekarang gue masih nggak ngerti deh, Lene. Lo tuh rapi, organized, bahkan pake planner, tapi kenapa setiap ke sekolah telat terus?”
“Heh! Nggak telat terus juga, kali! This is like the… seventh time I’m not late? Pokoknya—“
“Oke, oke. Kenapa lo SERING telat?” koreksi Thea sambil memutar bola matanya kemudian dilanjutkan oleh gerutuannya yang nggak tertangkap telinga gue.
“I am that pretty even my bed loves me too much, Thea.”
Gue tau Thea kemungkinan besar akan menghujat gue sebagai tanggapannya, tapi untunglah karena Bu Mita udah mulai ngoceh-ngoceh entah apa di depan kelas.
Nggak lama kemudian, Bu Mita digantikan oleh Pak Danu. Terkutuklah siapapun yang ngatur jadwal hari ini dan dimulai dengan pelajaran Sejarah. Kenapa sih anak IPA tetep harus belajar sejarah? Ekonomi sama geografi aja diusir jauh-jauh!
“Theaaa..,” rengek gue pelan.
“Ape, nyong? Bosen?” balasnya tanpa melihat ke arah gue, fokus ke arah slide dari Pak Danu dan ke buku catatannya.
“Iya bangeett! Lo kayaknya masih niat nyatet aja ya. Gue males banget ini,” keluh gue sambil mengintip catatan Thea.
Thea menghentikan kegiatan mencatatnya sebentar, lalu menolehkan kepalanya ke arah gue. “Lene, lo mau niat nggak niat juga catatan lo tetep rapi. Gue mah sekalinya nggak niat udah macem tulisan dokter versi kw 3-nya!”
Gue balas gerutuan Thea dengan cengiran, lalu lanjut mengeluh. Me being me, fellas. “Tapi ya, kenapa sih Pak Brata nggak ngajar SMA aja? Guru Sejarah terbaik yang pernah gue kenal, tau nggak?”
“Siapa tuh?” tanya Thea. Gue lupa kalo dia baru masuk pas kelas 10. Ck.
“Oh iya, lupa gue lo nggak SMP di sini. Guru Sejarah gue pas SMP, seru banget deh ngajarnya! Gue nggak perlu ngafal segala macem dari kertas. Cukup dia cerita aja gue udah hafal! Seumur-umur dia ngajar gue ya, gue nyentuh hand out dari dia tuh—“
“Earlene! Sudah selesai mencatatnya?”
Crap. Ketauan ngobrol sama Pak Danu.
“Eh, hehe. Belum, Pak. Tinggal sedikit lagi kok ini,” kata gue sambil cepat-cepat mencatat entah slide ke berapa ini.
»»——— ♥?♥ ———««
KRINGGG!!!
“Istirahat, Pak!” teriak anak-anak belakang, bikin seisi kelas rusuh dan Pak Danu cepet-cepet beresin barang bawaannya.
“Jangan lupa tugasnya dikumpul minggu depan ya! Kalau ada yang tidak kumpul, minggu depan tidak boleh ikut ulangan saya!” kata Pak Danu mengingatkan kami kembali pada tugas terkutuk yang sialnya dijadikan pass untuk ulangan.
“Udah bikin tugas belom, Lene?”
Well, seperti kata Thea, gue ini orangnya organized and planned as hell. Jadi ya, pasti dong gue udah bikin tugas. I can say that it’s 85% finished.
“Kenapa? Mau nyalin?” tanya gue tanpa memedulikan cowok nyebelin yang cuma betah nyamperin meja gue kalo ada perlunya doang. Golongan anak-anak belakang.
“Bram! Ayo ke kantin! Nanti rame, gue males ngantrinya,” panggil Harry, anak belakang lainnya.
“Mau pinjem ya, Lenee! Makasiihhh! Baik deh!” teriak Bram sambil lari keluar kelas. Keluar negeri aja sekalian kalo bisa.
Setelah beresin meja dan siapin buku untuk pelajaran selanjutnya, gue menyusul sejuta umat lainnya keluar kelas. Yah, temen-temen istirahat gue nggak full team.
“Rae! Illona mana? Nggak naik?” tanya gue ke Rae, temen dari kelas sebelah. Anak IPA juga. Kalo Illona, anak IPS 1 dan kelasnya di bawah.
“Eh? Nggak tau, deh. Ulangan kali?”
“’Kan emang biasanya Illona nggak naik kalo hari Rabu gini. Pelajarannya nembus jam istirahat, ‘kan?” jawab Levin, satu-satunya anak cowok di geng istirahat gue.
Bingung? Jadi gini, lho. Gue yakin seluruh anak SMA di sini punya geng dalam kelas dan geng di luar kelas, misalnya geng istirahat gue ini. Geng dalam kelas gue itu cuma sama Thea, Wina, dan Judith. My closest one is Thea. Luckily si Levin ini sekelas sama gue dan diterima dengan baik sama ketiga temen gue yang lain.
Kalo geng luar kelas gue, ada Illona, Rae, Levin, dan Hannah. Illona dan Hannah ini anak IPS, beda kelas. Sementara Rae, Levin, dan gue tentunya anak IPA. Yang tersingkir ke kelas sebelah cuma si Rae. Orang-orang bilang kalo gue sama Levin itu kayak orang pacaran, bahkan geng istirahat gue ini. Padahal semua orang juga tau si Levin ini stuck lama banget sama crush-nya yang sekelas sama si Rae, dan semua orang juga tau bahwa gue udah punya pacar. We, I and Levin, I mean, have reasons why we could be this close. Tapi itu nanti aja lah ya gue bahasnya. It’s gonna be a long story.
“Turun yuk, Vin,” ajak gue dengan muka memelas.
“Nggak bawa bekel?” tanya Levin sambil tetap menempelkan pantatnya di bangku besi depan kelas gue.
“Enggak, Levinn… Kalo bawa ‘kan gue nggak jajann…”
“Mau beli bakso tanpa bakso lagi?” tanyanya sambil ngetawain gue.
“Bakso tanpa bakso? Mabok lo ya?” Rae ngeliatin gue dengan tampang bingung.
“Iya, Raeee… Gue beli bihun-mie doang sama sayuran. Enak kok! Cobain deh. Udah ah, Vin! Mau temenin nggak? Kalo nggak gue turun sendiri nih!”
“Iya, iya, Ndoro…” Levin akhirnya berdiri setelah tangannya gue tarik. Abis ini tangan gue berotot, narik cowo seberat babon gini.
“Leviiiinnn…”
“Apa, Earlene?”
“Kangen Gian,” rajuk gue seakan-akan Levin bisa munculin pacar kesayangan gue kalo gue lapor gini ke dia.
“Emang minggu ini nggak pulang?”
“Nggakkk, lagi ujian dia. Minggu depan juga belom tau pulang apa nggak,” cerita gue meneruskan informasi yang gue tau dari Gian sendiri semalam.
“Yah, sabar deh. Nasib LDR.”
“Mau bolos sekolah aja, nyusul Gian ke ITB,” ujar gue asal.
“Earlene iiihh! Manja banget sih lo!” Levin mengacak-acak rambut gue. Yak, abis ini gue diomelin massa karena udah membiarkan cowok lain ngelakuin gestur itu ke gue. Percayalah, kalian akan bernasib sama dengan orang-orang lainnya yang berakhir ‘terpaksa’ mengerti kedekatan gue sama Levin.
“Biarin. Giannya aja nggak protes!”
“Yah, rame, Lene…” Levin mengerucutkan bibirnya begitu sampai di depan kantin, ngeliat konter bakso yang ramenya kayak ngantri sembako.
Gue memamerkan deretan gigi gue yang—kata orang—rapi, sambil merajuk ke Levin. “Tungguin ya, Viiiinnnn… Lo ‘kan makannya istirahat kedua… Hehehe…”
“Nyempil yang pinter ya, Lene.”
“Siap, bos!”
Levin, people. Best best friend I could ever ask for. Kami baru kenal waktu gue kelas 9, dan entah kenapa I feel like he can understand me very very very very well. Dia orang yang gue cari kalo gue lagi mau keluarin uneg-uneg gue about something or someone. Especially someone, because I know dia nggak akan ngomong ke orang-orang bahwa gue talk behind someone’s back. Dia ngerti kenapa gue kayak gitu dan, terlepas dari gimanapun orang merasa ini pembelaan gue, gue nggak bener-bener pengen ngejelekin orang. It’s just me and my inability untuk mendem kekesalan gue sama orang kalo memang udah over.
Yak, bahkan setelah gue bermonolog panjang lebar gini, masih ada selapis antrian orang di depan gue dong. Meanwhile the recess time is almost over.
“Levin! Naik aja yuk! Nggak jadi beli bakso deh gue,” omel gue dengan bibir yang tau-tau udah cemberut dan maju lima sentimeter.
“Astajim, Earlene. Dari tadi gue nungguin sampe lumutan sia-sia, gitu?”
“HEHEHE.”
“Untung temen gue.”
Me and my moodswings, fellas.
»»——— ♥?♥ ———««
Catatan Earlene:
Halohalo, semuanyaa! Welcome to my new chapter! Jadi, gue udah memutuskan untuk up ini setiap hari Senin dan Jumat!
Jangan minta up sering-sering ya, my fellow readers. Ngetiknya butuh perjuangan, dan laptopnya pinjem-pinjeman sama yang empunya lapak karena doi lagi ada 2 project di Wattpad (ini gue disuruh promosi terselubung tq.)
Jangan lupa komen dan ratenya yah! Gue tunggu review dari kalian, hihi~
13.08.18
*Batuk dulu ceritanya* wkwkwkwk
Comment on chapter Meet Earlene!