Cinta bisa membunuh karakter seseorang
***
Saat kau berharap keramahan cinta
Tak pernah kau dapat
Ya sudahlah ....
Sekarang Allen melakukan kebiasaan yang beberapa hari ini ia tinggalkan setelah hari penolakan itu. Ia datang ke kelas lebih pagi, menyanyi dan menunggu partner sebangkunya siapa. Kali ini Allen mendapatkan bangku baris ketiga meski masih tetap di jajaran bangku sebelah kiri.
“Morning, Beib.” Allen berteriak pada Tania dan Elsa yang datang bersamaan ke kelas. Keduanya langsung mengambil undian dengan harap-harap cemas.
“Yes! Gue duduk di samping Aldi.” Tania berbinar, dan melihat ia akan duduk di bangku samping Aldi. Aldi memang tidak ada di kelas, tetapi lelaki itu sudah menyimpan tasnya di bangku paling depan sebelah kiri. Bangku yang kemarin diduduki Nirgi.
Allen langsung terperangah saat mendengar teriakkan Tania. Kelas masih sangat sepi, hanya ada mereka dan tas Aldi. Allen menyadari kalau dirinya tidak salah dengar. Sangat aneh jika Tania merasa sangat bahagia saat mendapatkan kursi di samping Aldi.
“Yehee! Gue duduk di samping lo, Len.” Elsa langsung berlari ke arah Allen. Ia menyimpan tas di bangku dan segera duduk di meja seperti yang Allen lakukan.
Tania yang sudah menyimpan tas di bangku langsung bergabung dengan Elsa dan Allen. Keduanya menghampiri Allen karena ingin ikut bernyanyi. Akan tetapi, Allen tiba-tiba menghentikan petikan tangannya di atas ukulele saat melihat kedatangan Tania.
“Tan!” Allen langsung menatap tajam ke arah Tania. Sedangkan Elsa malah bersikap datar, ia tidak mengerti kenapa ekspresi Allen tiba-tiba berubah.
“Ya?”
“Lo harus janji ke gue!”
“Janji apaan?” Tania menyipit, memperhatikan Allen dengan kefokusan yang akurat. “Lo lagi ngancam gue?”
“Lo serius banget, Tan!” Allen terbahak, apalagi saat melihat Tania yang semakin cemberut. Setelah puas tertawa dan hanya dilihat kedua sahabatnya, Allen langsung menatap kedua sahabatnya satu per satu. “Gue mau cerita sesuatu sama lo berdua. Jadi ....”
***
Seketika Allen langsung menganga lebar melihat siapa lelaki yang berdiri di hadapannya.
“Elooo!”
“Lo!”
“Allen, kenapa temannya tidak dibawa masuk?” Romi yang baru saja memarkirkan motor gede harus berteriak untuk menyadarkan anaknya.
“Dia bukan teman Allen, Pi. Dia cuma driver yang nganter makanan pesenan Allen.” Allen langsung menggeleng, tidak menyetujui perkataan Romi.
“Driver sekaligus teman kamu, kan?” Romi menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai teras rumah. Sekarang ini berdiri di hadapan lelaki yang tersenyum padanya. Romi segera mengulurkan tangan yang masih terbungkus sarung tangan. “Saya Romi, Papinya Allen.”
“Aldi, Om. Hanya driver ojol, bukan temannya Allen.” Aldi menyambut tangan Romi seraya tersenyum, meski terlihat kaku.
Saat mendengar perkataan Aldi, Romi langsung terbahak dengan kencang. Aldi dan Allen bertukar pandang, tidak mengerti.
“Nak, kamu tidak pandai berbohong. Ayo, masuk dulu!” Romi langsung membukakan pintu semakin lebar.
“Maaf, Om. Saya harus langsung pergi.”
“Hujan!” Romi berteriak, tetapi tidak marah. Dan seketika Aldi melihat ke belakang, benar saja, tetesan hujan itu semakin membesar. Padahal sebelum ada Romi, langit baru mendung, belum menumpahkan kesedihannya.
Mau tidak mau Aldi menurut, meski tatapan Allen melarang. Sekarang ia sudah duduk di sebuah ruang tamu yang lebih terlihat seperti ruang mainan. Bukan karena desain yang tidak bagus, hanya saja ruangan ini terlalu bagus jika dikatakan sebagai ruang tamu. Plastik bekas makanan ringan menumpuk di atas meja, koran dan majalah terbuka di atas sofa. Karpet di ruangan itu terasa sangat kotor, seperti dipenuhi kerikil. Frame yang berisi lukisan tampak berdebu menempel di dinding. Bunga sintetis yang berada di atas meja pun tampak berubah warna, dari putih menjadi krem keabu-abuan. Sebuah akurium bulat yang menghias ruang tamu malah memperburuk penglihatan Aldi. Akuarium itu sudah tidak ber-ikan, airnya begitu keruh, lumut hijau mulai menggelap memenuhi dinding akuarium.
Setelah penglihatannya, sekarang indra penciumannya yang dibuat parah. Aldi mencium sesuatu yang jauh dari kata wangi. Lalu Aldi merasakan sesuatu yang mengganjal diduduki. Aldi sedikit bergeser dan melihat sebuah kaos kaki berwarna pink. Kaos kaki itu yang mejadi sumber bau tidak sedap. Sebelum tuan rumah ini datang memberinya minum, Aldi segera melemparkan kaos kaki itu, dan tanpa sadar ia malah memasukkannya ke dalam akuarium tadi.
“Kenapa sih nama lo diganti jadi MAYKEL?” Allen menyimpan segelas teh manis pada meja di hadapan Aldi.
Aldi langsung menatap teh tersebut, ia ragu untuk meminumnya. Mungkin saja gelas yang berisi teh itu tidak pernah dicuci selama beberapa tahun ke belakang. Atau mungkin saja tehnya sudah kedaluwarsa. Membayangkan hal itu langsung membuat Aldi kehilangan rasa hausnya.
“Aldi! Lo denger gue gak, sih?”
Aldi langsung tersadar, ia menatap Allen yang terlihat berantakkan. Baju seragam yang dibiarkan keluar dan rambut berantakkan.
“Lo juga, kenapa nama lo Ainella?”
“Ya, terserah gue. Hidup-hidup gue, kenapa lo yang repot?”
“Gue juga gitu. Terserah gue.”
“Lo mending pulang sekarang sebelum bokap gue nyamperin lo!”
“Gue bakal pulang tanpa diminta.”
“Syukurlah lo sadar diri.”
Aldi langsung bangkit, dan tidak melirik Allenia sama sekali. Ia menggerakkan kaki ke arah pintu yang tertutup rapat.
“Aldi, kenapa pulang? Tehnya belum diminum.”
Romi berhasil menghentikan langkah Aldi dan berbalik duduk kembali. Sekarang Aldi mengambil gelas dengan tangan gemetar. Aldi sungguh tidak bisa menyembunyikan reaksi tangannya.
“Lo kedinginan? Tangan lo gemetar gitu.” Allen menaikkan kedua belah alisnya.
Romi duduk di samping Allen, memperhatikan Aldi dengan seksama. Benar kata Allen, lelaki muda di hadapannya terihat bergemetar.
Aldi langsung menggeleng. Ia segera menyeruput minumnya sampai habis. Masa bodoh kalau dirinya sakit perut karena meminum teh yang tidak terjamin kehigienisannya. Yang jelas Aldi ingin segera keluar dari rumah itu dan terbebas dari kotor.
Aldi meletakkan kembali gelas yang sudah kosong ke tempat semula. Ini menghitung mundur dari sepuluh dalam hati. Setelah hitungan ke satu, tidak ada reaksi yang terjadi dengan perutnya. Aman, pikirnya.
“Om, saya pulang dulu. Terima kasih untuk semuanya.” Aldi segera menyalami Romi dan tersenyum sopan. Lalu pandangannya beralih pada Allen yang memamsang wajah kecut. “Sampai jumpa di sekolah, Len.”
Sungguh, Aldi tidak ingin mengucapkan kalimat itu pada Allen, tapi ia terpaksa, hanya untuk terlihat tidak ada masalah dengan Allen di hadapan Romi.
***
“Yaahh ... gue kira apaan. Gak penting banget gue dengerin curhatan lo.” Elsa turun dari meja, beralih pada kursi. Ia kira Allen akan menceritakan hal yang sangat penting, hanya tentang Aldi yang menjadi driver ojol, sungguh tidak menarik dan buang-buang waktu.
“Terus-terus, gimana lagi ceritanya?”
Berbeda dengan Elsa, Tania terlihat lebih semangat mendengar curhatan Allen. Bahkan sekarang Tania membuka matanya lebar-lebar, dan sesekali ia tersenyum begitu nama Aldi disebutkan.
“Lo suka sama Aldi?” Allen sudah tidak bisa menahan pertanyaan yang satu itu pada Tania. Beberapa hari ke belakang Tania selalu bersemangat jika mendengar sesuatu yang berbau nama Aldi. Dan Allen tidak bisa menahan untuk tidak peduli.
Tania tanpa malu-malu lagi malah tersenyum seperti anak kecil, tetapi ia langsung menggeleng. Sungguh ini bukan Tania seperti biasanya. Tania yang selalu marah jika menyinggung lelaki, Tania yang selalu memelotot tajam saat dicomblangin sama anak-anak sekelas, Tania yang selalu terdiam jika menyangkut urusan hati.
“Jin dari mana lo? Cepat kembalikan Tania!” Allen berbicara dengan tegas, ia bertingkah seolah Tania benar-benar kerasukan jin penunggu pohon pisang di taman sebelah sekolah.
“Len, ini gue! Tania asli, gue gak kerasukan!” Tania turun dari meja di hadapan Allen. Sekarang ia berdiri dan memegang kedua bahu Allen.
Seketika, Allen terbahak kembali. Ia merasa sangat puas karena telah mengerjai Tania dua kali dalam sehari ini. Tania terlalu serius, sulit untuk diajak bercanda.