Dipertemukan kembali bukan berarti kita ditakdirkan bersama lagi, bisa saja itu adalah rencana Tuhan untuk meyakinkan dirimu bahwa aku bukanlah orang yang tepat.
***
“Lain kali, kalau Papi nganter Allen ke sekolah, Papi harus pakai masker.” Allen melepaskan helm berwarna merah dan memberikannya pada Romi. Ia memperhatikan sekeliling, orang-orang sedang melihatnya penasaran. Mata Allen terhenti pada Romi yang menaikkan sebelah alis. “Nanti Papi disangka pacarnya Allen.”
“Kamu harusnya bangga mempunyai Papi yang selalu terlihat muda. Masih tampan seperti Afgan.” Romi tersenyum. Ia meraih helm dari Allen. Dan setelah itu langsung mengulurkan tangan yang langsung disambut Allen.
“Terserah Papi, asalkan Papi bahagia. Allen masuk dulu. Hati-hati Papi!” Allen segera melangkah memunggungi Romi yang masih memantau sebelum Allen benar-benar memasuki gerbang.
Tidak seperti biasanya, kali ini Allen datang memasuki kelas lima menit sebelum bel masuk. Biasanya ia ke kelas saat tiga puluh menit sebelum masuk. Allen lebih memilih untuk duduk di kantin berpuluh-puluh menit menunggu bel, daripada harus duduk di kelas dan mendengar ocehan ABC lima dasar.
Allen berhenti di depan kelas, ia melirik kursinya yang sudah ditempati Aldi. Pandangan beralih pada Tania yang sekarang duduk di bangku paling depan bagian tengah bersama Gina. Brian yang biasanya duduk bersama Aldi, sekarang malah duduk bersama Elsa tapi di bangku paling belakang. Pandangan Allen berhenti pada Nirgi yang duduk di bangku paling depan paling kiri, berhadapan dengan meja guru.
“Sa, kenapa lo pindah duduknya?” Allen masih berdiri di depan kelas sambil kikuk.
“Lo gak tahu? Sekarang duduknya diacak gitu.” Bukan Elsa yang menyahut, tetapi Tania.
“Maksud lo?” Allen beralih pada Tania.
“Jadi setiap lo masuk kelas, lo harus ambil kocokan di sana!” Tania mengarahkan dagu ke depan, ke sebuah toples plastik bekas permen. Di dalam toples itu terdapat gulungan kertas yang tersisa dua. “Di setiap meja udah ada nomernya, jadi lo tinggal nyocokin kocokan yang lo ambil dengan mejanya.”
“Siapa yang ngide ini? Ribet banget sih!” Allen bergerutu pelan, tetapi masih cukup terdengar oleh orang di barisan bangku paling depan. Meski begitu, Allen tetap melangkahkan kaki dan mengambil undiannya. Ini benar-benar ide gila dan kekanak-kanakkan menurutnya.
Allen membuka gulungan kertas itu dan melihat sebuah angka tertulis di sana. Ia berbalik menghadap teman-temannya, “Gue dapet angka dua, gue harus duduk di mana?”
Tidak ada yang menjawab, hampir semua orang di kelas kecuali ABC lima dasar langsung menunjuk ke arah bangku kosong di samping Nirgi.
“Jodoh memang takkan ke mana.” Celetuk Elsa sambil tersenyum geli.
“Gin, gue tukeran sama lo. Biar gue duduk bareng Tania.” Allen tidak memedulikan perkataan Elsa, ia segera berdiri di hadapan Gina yang langsung menggeleng.
Sesaat Gina langsung berdiri, ia mencondongkan tubuh dan berbisik pada telinga Allen, “Ini kesempatan lo buat deket sama Nirgi. Jangan disia-siakan!”
***
Selama pelajaran berlangsung, Nirgi dan Allen sama-sama diam. Tidak menyapa satu sama lain. Allen tentu merasa ragu untuk menyapa Nirgi, ia hanya memberikan ruang supaya Nirgi merasa nyaman di dekatnya.
Benar kata Tania, seharusnya Allen memilih korban lain. Hanya saja, Nirgi begitu berbeda dan belum pernah ditemui Allen sebelumnya. Seperti ada panggilan dari sanubari supaya bisa lebih dekat dengan Nirgi. Allen memang berniat untuk berpacaran dengan Nirgi, tetapi tidak berniat untuk mencintai lelaki itu.
“Minggir! Gue mau ke toilet.” Nirgi berhasil membuyarkan lamunan Allen. Ia sudah berdiri. Nirgi memang duduk di bangku yang bersebalahan dengan tembok, jadi ia harus keluar lewat bangku yang diduduki Allen.
Allen langsung berdiri dan memberi ruang pada Nirgi seraya tersenyum. Setelah Nirgi pergi, ia segera duduk kembali dan mengambil bekal makanan di dalam tas.
Allen mengeluarkan sebuah kotak nasi berukuran besar cukup untuk lima orang. Kotak itu berisikan nasi, tumis kentang, telur balado dan juga kering tempe. Ia hanya membawa satu sendok makan.
“Guys, yang gak bawa bekel siapa? Yang lapar siapa?” Allen memutar tubuh untuk melihat teman-temannya. Setelah melihat beberapa orang yang mengacungkan tangan, Allen segera berdiri dan membawa bekalnya.
“Len, gue dulu! Gue yang paling deket sama lo!” Teriak Tania masih mengacungkan tangan. Ia langsung tersenyum saat melihat Allen berhenti berdiri di depannya.
Satu sendok makan nasi dan lauk berhasil meluncur di mulut Tania. Allen juga menghampiri teman-teman yang mengacungkan tangan dan menyuapi mereka. Sebenarnya Allen sudah melakukan hal ini semenjak kelas IX, hanya saja saat di kelas XI ia baru melakukannya sekarang. Baru sempat, bisa dibilang begitu.
“Gue pakai telur sama kentang aja, jangan pake tempe!” Gina menunjuk yang disebut, ia lalu membuka mulut saat Allen menyodorkan sendok yang berisi.
“Lo udah minta, pake nyuruh-nyuruh segala lagi.” Tania menyenggol Gina yang hampir tersedak.
“Sans aja, gue seneng liat kalian makan. Kayak domba kelaparan.” Allen terkekeh, ia berjalan menuju Elsa.
“Gue udah kangen banget sama makanan lo.” Elsa tersenyum, tidak sabar menantikan satu suap nasi yang akan memenuhi mulutnya.
“Gue juga udah kangen nyuapin lo.” Allen menirukan gaya bicara Elsa, ia segera menyuapi Elsa.
Pandangan Allen lalu beralih pada Brian yang sibuk membaca komik, mungkin pura-pura sibuk. “Lo mau gak, Bri?”
“Brian gak mau makan makanan dari lo, takut dipelet,” celetuk Aldi yang baru saja tiba dari kantin. Lelaki itu membawa dua kotak nasi dan segera menghampiri Brian. Di samping Aldi juga ada Candra yang membawa satu kotak nasi yang sama.
“Takut diracun lebih tepatnya!” Candra berbicara dengan sinis.
“Well, gue gak maksa.” Allen segera berjalan dan menyuapi beberapa orang yang masih memintanya. Setelah selesai, Allen segera duduk di bangku semula karena dirinya belum makan sama sekali.
“Minggir!”
Baru saja Allen duduk, Nirgi sudah berdiri di sampingnya. Dengan sangat terpaksa, Allen berdiri dan memberi Nirgi ruang. Setelah memastikan Nirgi duduk aman di sampingnya, Allen memutar tubuh untuk melihat Nirgi secara tiba-tiba.
“Gue gak mau makanan dari lo.” Nirgi sudah menolak duluan, menyadari dirinya sedang ditatap.
Allen menggeleng, meski Nirgi tidak akan melihat. Allen mencondongkan tubuhnya, membuat Nirgi semakin mepet ke tembok, “Gue gak akan apa-apain lo. Gue cuma mau bilang?”
Mendengar Allen berbisik di sampingnya meski dalam jarak yang lumayan jauh langsung membuat Nirgi bergidik. Lelaki itu langsung menatap Allen penuh tanda tanya.
“Resleting lo belum ditutup.” Allen menahan tawanya dengan telapak tangan. Ia langsung memalingkan wajah dari Nirgi dan memilih untuk makan. Kalau saja Nirgi bukan orang yang reputasinya baik, Allen langsung mengumumkan hal bodoh yang dilakukan Nirgi ke semua teman sekelasnya. Hanya saja Allen tidak mungkin melakukan hal itu.
Allen tidak tahu ekspresi Nirgi seperti apa sekarang ini, karena ia terus saja memalingkan muka. Nirgi pasti sangat malu, dan Allen tidak mau memperparah suasana.
***
“Doakan semoga gue bisa lebih cepet. Gue pengen mencintai, bukan berpacaran.” Allen berdiri di depan foto yang tertempel di pintu kamar. Setelah berbicara seperti itu ia segera melemparkan tas ke atas kasur dan merebahkan diri begitu saja.
Allen menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Sejenak Allen menutup mata, lalu membukanya lagi, terus berulang seperti itu.
Jika Romi belum pulang dari kampus, biasanya Allen bermalas-malasan seperti itu. Tidak, Romi bukan seorang mahasiswa. Romi adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Dan pria itu biasanya menghabiskan waktu dari pagi sampai sore di kampus.
“Permisi!”
Allen terperanjat saat mendengar seseorang menekan bel rumah. Tentu saja itu bukan Romi, kalau Romi yang di sana, rasanya tidak usah repot-repot menekan bel, langsung masuk saja. Saat Allen berjalan menuju pintu, ia mendengar ponselnya berdering. Ada sebuah pesan masuk di sana.
Sya sdh smpai d dpn pintu rumah mbak.
Saking asiknya melamun, Allen lupa kalau dirinya memesan makanan lewat ojeg online. Ia segera mempercepat langkahnya seraya membalas pesan itu dengan cepat.
Sebentar mas, saya ke sana.
Sebelum membuka pintu, Allen mengintip seorang lelaki yang memakai jaket hijau dan membawa keresek. Allen merasa dirinya berantakkan karena habis rebahan di kasur, tetapi ia tidak peduli, lagi pula yang datang hanya driver ojol, bukan kekasihnya.
Seketika Allen langsung menganga lebar melihat siapa lelaki yang berdiri di hadapannya.
“Elooo!”
“Lo!”