KRIIIING...!
Alarm pagi kembali menjerit. Tanpa aba-aba, kedua kelopak mataku langsung terbuka lebar. Kenapa suaranya kencang sekali? Padahal setiap hari aku juga mendengarnya. Hanya saja hari ini terasa lebih kencang dari hari-hari biasa. Entahlah, mungkin pertanda buruk.
Aku tak memerlukan persiapan meski itu hanya sekedar menguap atau meregangkan otot-otot sehabis bangun tidur seperti yang biasa orang lain lakukan. Aku hanya tahu untuk segera memulai hari ini--detik ini juga--dengan secepat mungkin agar segera berakhir. Atau jika tidak, tamat semuanya.
Secepat kilat aku berlari menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama, hanya sekitar lima menit untuk membersihkan diri. Setelah itu aku segera menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan. Untuk memasak, aku juga tak butuh waktu lama. Satu jam cukup. Kalau anak-anak sekolah jaman now menggunakan jam paginya untuk belajar, atau yang terparah mengerjakan tugas rumah, maka itu tidak berlaku untukku. Semua tugas-tugas sekolah sudah kucicil di sekolah. Jika tidak cukup, aku akan melanjutkannya tengah malam di rumah. Tapi kalau terlalu mentok juga terpaksa tidak kukerjakan. Bodoamat kalau besoknya disuruh menyikat WC sekolah yang baunya minta ampun. Aku sudah terbiasa melakukannya.
Empat piring kutata dengan apik di atas meja makan. Nasi, sayur, dan lauk pauk juga sudah siap. Kepul asap panas yang keluar dari masakanku terlihat sangat jelas pagi ini. Aku menatap jam dinding. Pukul 06.10. Aku menghela napas lega. Setidaknya aku bisa cepat makan tanpa ketahu...
“Heh!”
...an.
Ah, sialan.
Kepalaku ditoyor dari belakang. “Ngapain kamu?” Belum sempat aku mengaduh kesakitan, toyoran yang lain datang lagi, membuat kepalaku tambah ngilu. Terima kasih, pagi-pagi sudah disuguhi toyoran.
“Mau makan,” jawabku kelewat jujur.
"Apa? Mau makan?" Aku tidak tahu itu pertanyaan atau ejekan. “Enak aja ya mau makan bareng kita. Makan sana di luar! Udah sana minggir!”
Netty, dia memang adik kelasku di sekolah, tapi dia benar-benar jelmaan nenek sihir. Bukan hanya wajahnya yang mirip nenek sihir, kelakuannya juga sebelas duabelas dengan nenek sihir. Syukurlah maskara dan eye-liner-nya sangat tebal pagi ini, jadi orang-orang bisa dengan mudah membedakan mana yang manusia asli mana yang nenek sihir.
“Liat apa kamu?” ujarnya ketus ketika menyadari bahwa sedari tadi aku menatapnya. Tatapan setajam pisau dapur. Buru-buru aku mengalihkan pandangan. Tidak penting sama sekali berurusan dengan orang seperti itu. Membuang-buang energi yang seharusnya kugunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.
“Ini ada apa pagi-pagi udah pada ribut?” Tante Lina keluar dari kamarnya dengan tampilan necis seperti biasa--khas ibu-ibu sosialita--lalu duduk di kursinya dan bersiap mengambil nasi. Aku menatapnya tanpa berkomentar. Tidak, maksudku berkomentar dalam hati. Gila, lipstiknya kali ini tebal banget. Emang ya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, palingan paling jauh juga kejebur got.
Seseorang menggebrak meja dengan tiba-tiba membuatku melompat di tempat. Diana, kakak Netty pelakunya. Kali ini dia memeragakan gerakan bersiap melempar pisau dapur padaku. “Pergi atau mati!”
Aku berani bersumpah tidak sadar kalau sedari tadi ada dia di ruangan ini.
“Diana!” gertak Tante Lina. “Cepetan makan terus sekolah!”
“Diana kesel Ma liat dia, suruh dia pergi kek.”
Aku yang masak malah diusir? Benar-benar tidak tahu aturan.
“Netty juga sebel, bikin badmood bernapas,” tambah Netty dengan mulut penuh nasi.
Kalau badmood napas kenapa nggak mati aja sih?
Kalau saja Tante Lina sedang tidak ada di sini, mungkin meja makan ini sudah berubah menjadi medan Perang Dunia ke-3. Mungkin aku terlihat lemah dan rapuh bagaikan Cinderella yang disiksa saudara tirinya. Itu hanya untuk sekarang ini. Selain karena ada Tante Lina, aku juga sedang malas untuk perang. Jangan salah, peran Tante Lina sangat besar sekali di rumah ini. Bukan karena semata-mata aku takut padanya. Kalau boleh dibilang, sudah duabelas tahun tanganku gatal untuk memukulnya, tidak peduli dengan embel-embel 'durhaka'.
“Kamu mau makan?” tanya Tante Lina. Tunggu, kenapa nada suaranya berubah jadi sehalus sutra? Aku mengerjap heran.
Aku masih sedikit heran ketika menjawab, ”Iya, Tante.”
Tapi sedetik kemudian aku menarik segala rasa heran itu ketika menyadari perubahan ekspresi Tante Lina. Lupakan suara yang selembut sutra. Pelototan matanya kini lebih mengerikan daripada kuntilanak penghuni kamar mandi di belakang sekolah. Sudah kuduga, ibu nenek sihir jauh lebih mengerikan daripada hantu. Kepribadiannya ganda dan tidak bisa ditebak.
“Makan sana diluar!” gertak Tante Lina. Aku mendengar suara cekikian yang berasal dari mulut Diana dan Netty. Oh, puas sekali ya mereka. Lihat saja nanti. “Enak aja mau makan bareng kita. Kamu pikir kita sudi apa bagi-bagi makanan sama kamu? Eh, asal kamu tahu ya, jangankan bagi-bagi makanan, ngeliat kamu aja udah nggak selera makan saya. Udah sana pergi!”
Belum puas dia membentakku, didorongnya pula pundakku hingga aku harus mundur satu langkah. Otomatis, kedua tanganku mengepal. Panas dari dalam tubuhku menjalar sampai ke kepala. Aku merasa mau meledak. Tidak, tidak, tahan Ra. Tahan atau kamu nggak ke sekolah. Atau kamu nggak ketemu Ando hari ini.
"Kenapa kamu ngeliatin saya kayak gitu?" jidatku didorongnya. "Berani ya kamu?!" lagi, jidatku didorong.
Oke, kesabaranku sudah habis. Benar-benar habis. Aku merasa bodoh. Aku merasa idiot. Aku merasa tak dihargai.
Sudah kulakukan semua ini dan mereka membalasnya sedemikian? Tidakkah ini keterlaluan?
Kutangkap tangannya sebelum jidatku kembali jadi korban. Tante Lina sedikit tersentak dengan gerakanku yang tiba-tiba. Aku menatapnya tajam. Penuh benci dan dengki. Dari dalam lubuk hati.
Tiba-tiba hening.
Lebih daripada protes, amarah, caci maki, dan hujatan, aku lebih memilih mendengus kecil dan berkata, "Aku pamit ke sekolah, Tante."
Kucium punggung tangan Tante Lina. Lalu aku meraih tasku yang ada di kursi dan segera melesat meninggalkan ruang makan. Persetan dengan ekspresi apa yang tiga nenek sihir itu keluarkan kali ini melihat sikapku. Kalau mereka tidak berselera melihatku, maka aku lebih berselera untuk membunuh mereka saat ini juga. Hanya saja aku tidak mau menambah dosa. Jadi lebih baik aku segera pergi sebelum aku benar-benar menjadi pembunuh.
Gerakanku terhenti saat hendak membuka pintu. Oh tidak, perutku berbunyi. Aku memeganginya. Sejak tadi malam perut malang ini tak kuisi apa-apa. Kalau biasanya aku selalu menyempatkan diri membeli camilan sepulang kerja, entah kenapa tadi malam aku merasa kenyang. Lihat sekarang efeknya. Aku merutuki diri sendiri.
Sudahlah, biasanya kalau di sinetron, orang yang tertindas pada akhirnya nanti juga bakalan bertemu dengan malaikat tanpa sayap.
***
Suara decit yang berasal dari pagar besi yang kubuka membuat punggung cowok yang sedang menyenderkan punggung di tembok depan sana menegak. Ando, cowok yang rumahnya dua puluh langkah kaki dari rumahku itu tersenyum begitu melihatku berjalan menuju ke arahnya.
Sebenarnya aku juga tersenyum, dalam hati, karena mood wajahku untuk tersenyum sedang turun drastis.
"Kenapa, Ra?" tanyanya heran melihatku muram.
Aku memegangi perut, tak berniat melunturkan ekspresi cemberut sama sekali. "Laper, Ndo."
Ando tersenyum sumringah sekali, aku sampai dibuat mengerutkan dahi. "Kebetulan banget, Ra. Nih."
Aku menatap kresek putih berukuran sedang yang disodorkannya padaku.
"Tadi mampir ke warung beli roti, soalnya aku mikir kayaknya hari ini kamu gak bakalan sarapan deh. Ternyata beneran juga, hahaha."
"Kamu peramal, Ndo?" aku menerima kresek itu, kemudian ikut tertawa.
Kami berdua berjalan beriringan menyusuri jalan. Seperti rutinitas kami berdua, kami harus naik bus atau angkot untuk sampai ke sekolah. Kami hanya perlu berjalan sejauh beberapa meter saja untuk sampai di halte. Karena rumah kami ada di perumahan yang cukup ramai, jadi banyak juga anak-anak sekolahan yang berjalan bersama kami sekarang ini. Kecuali Diana dan Netty. Duo nenek sihir junior itu tidak sudi pakai kendaraan umum. Melunturkan bedak dan maskara, katanya. Mereka lebih pilih nebeng Tante Lina naik mobil pribadi.
Dasar manja.
"Mereka masih suka ngasarin kamu?" tanya Ando setelah keheningan yang terjadi di antara kami.
Aku tak perlu bertanya lagi, sudah pasti maksudnya dengan mereka adalah trio nenek sihir itu. Memang siapa lagi?
Aku menghela napas. "Ya gitulah."
Cowok itu tertawa. "Ciye yang jadi Cinderella."
"Idih, ogah jadi Cinderella."
"Kenapa? Cinderella ketemu pangeran loh tamatnya."
"Tetep aja ogah." Aku bersikeras. Enak saja disamakan dengan Cinderella yang--menurutku--super duper menderita. Aku tidak sepenuhnya begitu. FYI, kadang aku juga melawan mereka, tapi masih dalam batas normal, atau aku akan diusir dan jadi gelandangan di bawah kolong jembatan.
"Susah kan, Ra?" tanyanya.kemudian. "Kalau nggak betah, Ibu bilang--"
"Ndo, ini rotinya kayaknya kebanyakan deh kalau aku makan sendiri. Sebagian kasih kamu, ya?" Aku sengaja memotong pembicaraannya. Sudah cukup, Ndo, aku tidak mau mendengar apapun tentang itu lagi. Untuk sekarang ini, atau mungkin seterusnya.
Ando hanya tersenyum. Mungkin dia paham. Aku hanya tidak mau kembali menyinggung masalah itu.
"Kasih aja nanti ke temenmu, aku udah kenyang."
Lalu cowok itu berjalan mendahuluiku.
***
Mungkin aku salah bicara.
Ah, aku merutuki diri. Selain bodoh pelajaran, aku juga terlalu bodoh untuk memahami perasaan seseorang. Memahami perasaan Ando. Sepertinya memang benar cowok itu tersinggung dengan jawabanku tadi. Karena selama perjalanan di dalam angkot, dia bungkam, padahal biasanya dia lebih cerewet.
Mau kumulai juga terlalu canggung. Ending-nya aku malah makan roti sendiri, sambil berpikir apa yang harus kukatakan padanya setelah ini.
Angkot yang membawa kami ke sekolah sudah sampai. Kami berdua turun dari angkot berdesak-desakan seperti biasanya. Kali ini Ando tidak berjalan secepat tadi, seperti ketika dia meninggalkanku tadi. Lumayan membuatku lega. Meski pada akhirnya juga masih saling bungkam.
"Ndo..."
"Ra, awas!"
Ando meraih pundakku dengan cepat saat sebuah motor melaju dengan kecang di atas trotoar yang kami tapaki. Beberapa orang memaki pengendara motor tadi karena sudah menyalahi aturan dan membahayakan pejalan kaki. Semuanya terjadi tiba-tiba sampai-sampai aku masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Aku mengerjap pelan.
"Ra, kamu nggak pa-pa?" Ando meneliti tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki, membolak-balikkan tubuhku ke kanan dan ke kiri, memastikan apakah aku baik-baik saja.
Dan bersamaan dengan itu, pandanganku tertuju ke pundak kanannya. Aku melihat pundaknya berwarna coklat lumpur. Seharusnya seragam itu berwarna putih karena hari ini Senin. Pasti gara-gara kejadian beberapa menit lalu membuat baju putihnya terciprat genangan air bercampur tanah.
"Ndo, seragam kamu," ucapku dengan penuh penyesalan.
Cowok itu melirik ke arah bahu kanan miliknya, lalu tersenyum kecil. "Nggak pa-pa ini mah, nanti dicuci juga ilang."
"Ya tapikan..."
"Yang penting kamu nggak pa-pa, Ra," kata Ando pelan namun menenangkan. Dalam sekejap aku merasa seperti melayang-layang. Astaga, senyum dan lesung pipit Ando seharusnya masuk dalam tujuh keajaiban dunia. "Ya udah, yuk, bentar lagi bel," lanjutnya, sambil menarik tanganku.
Tidak butuh banyak alasan mengapa aku sangat menyukainya. Ando. Cowok itu benar-benar spesial di hidupku. Perhatian kecilnya, senyumnya, kelembutannya, bahkan keberadaannya saja sudah sangat berarti untukku. Jika ada orang yang mengatakan bahwa aku adalah gadis sial yang paling merana di dunia, aku akan membantahnya keras-keras.
Siapa bilang aku yang paling merana? Aku punya Ando.
Karena Ando, aku merasa berarti. Karena Ando, aku merasa hidup, Karena Ando, aku merasa dianggap. Karena Ando, aku tahu bahwa Tuhan itu selalu baik.
Benar bukan kataku, orang yang tertindas pada akhirnya juga pasti akan bertemu dengan malaikat tanpa sayapnya.
Dia, Ando, adalah malaikatku.