BAB 4
MELANGKAH GAGAH
Hari ini seperti yang dikatakan oleh Hartowardojo dia akan pergi pukul 10.00 WIB ke Borneo bersama pemuda bangsa yang ingin membantu perang Asia Timur Raya. Saat ini baru pukul 08.00 WIB, sebetulnya masih ada waktu untuk berjumpa dengan Hartowardojo di pelabuhan untuk mengantarnya pergi ke Borneo. Namun, aku tidak ingin bertemu dengannya hari ini sekedar untuk mengucapkan perpisahan, bukan, bukan tidak ingin, namun hatiku tidaklah cukup kuat berdiri di sana untuk menyaksikan kepergiannya ke tanah Borneo meninggalkan pulau Jawa untuk berperang merenggut kemerdekaan bangsa ini, yang dikatakannya padaku, Jepang membutuhkan bantuan kami dan akan segera memberikan kami kemerdekaan abadi setelahnya.
Tahun 1942 para pemuda pribumi digiring Jepang untuk menyebar ke titik-titik penting seperti Jawa, Borneo, Manado, Pulau Buru, Timor Leste dan Papua untuk bekerja kasar maupun dibentuk khusus latihan militer agar bisa berperang melawan musuh. Kekasihku, Hartowardojo mendapat tempat di Borneo sebagai pemuda yang akan dilatih militer melawan musuh. Aku tidak memiliki bayangan tentang bagaimana pulau bernama Borneo tersebut, namun dari sebagian orang mengatakan bahwa pulau tersebut masih sangat sepi dan belum banyak penduduk seperti di Jawa. Kuharap, kau bisa menemukan sastra di sana kekasihku. Sastra kehidupan.
“Ningsih!! Ningsih!!” aku mendengar suara orang meneriakkan namaku dari luar. Aku kaget melihat Romlah menangis meraung-raung di depan rumahku sambil dipapah oleh Warsonoe. Aku lekas menghampirinya. Kubantu dia berdiri.
“Kumohon, bujuk anakku agar tidak ikut ke Borneo. Kumohon Ningsih. Kuizinkan kalian menikah tapi kumohon, bujuk dia tidak pergi ke Borneo!!” Romlah menarik jarik yang kugunakan, aku mematung. Mengizinkan aku menikahinya? Terlambat. Anakmu sudah bersikeras untuk pergi. Si Hartowardojo pria keras kepala itu tidak akan mau mendengarkan siapapun.
“Bu, Ibu tahu betapa keras kepala Hartowardojo, dia tidak akan mendengarkan ucapan siapapun untuk mengubah niatnya.”
“Lantas... kautega melihat kekasih hatimu ke Bornoe? Bukankah kau tahu, dia bisa saja mati di sana!!”
“Dia bilang, dia akan pulang dengan selamat, Bu.” Jawabku lemah, aku juga tidak bisa memastikan apakah anaknya akan bisa pulang dengan selamat setelah pergi ke Borneo, namun saat ini yang dapat aku lakukan hanya berusaha tenang dan tidak panik. Sejujurnya aku hanya berpura-pura tenang dan berpura-pura tidak panik setidaknya ini berhasil.
“Ku...mo...hon Ningsih...” Romlah tidak sadarkan diri kemudian, aku dan Warsonoe segera memapahnya rebahan di dipan bambu di ruang tamuku. Dengan segera ibuku dan Sinar, adikku membantu Romlah agar sadarkan diri. Namun, sepertinya Romlah terlalu banyak tekanan pikiran sehingga belum sadarkan diri juga. Sinar menyeduhkannya teh hangat untuk Romlah dan Warsonoe, sedangkan ibuku membaluri badan Romlah dengan minyak angin agar sirkulasi darahnya tetap mengalir.
Warsonoe terlihat panik. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran mendalam, namun aku hanya seorang kekasih yang tidak memiliki kekuatan untuk mencegah kekasihku pergi. Kekasihku orang yang amat keras kepala, dia tidak akan bisa dihasut dengan kata-kata dan remehan tindakan. Kekasihku sulit dikalahkan dalam hal perang pemikiran. Dia menganggap kepergiannya ke Borneo untuk kemerdekaan bangsa ini. Sejatinya pun, aku tidak mengerti mengapa Jepang mau membantu bangsa ini untuk merdeka, ya meskipun mereka melakukan take and give, yaitu kami dikerahkan untuk membantu Jepang di perang Asia Timur Raya dan imbalannya mereka akan membantu kemerdekaan bangsa ini, namun tetap saja berbagai pemikiran berkecamuk di dalam hatiku.
“Benarkah tidak ada yang bisa kaulakukan, Mbak?” tanya Warsonoe parau.
Warsonoe mendapati mataku sembab dan kedua putih mataku terlihat memerah. Aku menangis semalaman. Terisak menyakitkan ulu hatiku. Aku mencoba membenci kakaknya yang meninggalkanku ke Borneo. Aku hampir gila sendirian.
“Aku sudah berusaha mencegahnya kemarin. Gagal.”
“Ya, Masku memang keras kepala tapi kalau begini caranya dia bisa saja mati. Perang bukankah artinya memilih kemenangan atau kekalahan, kematian atau kehidupan?”
“Terlambat.” Jawabku lirih.
Warsonoe mengerti benar mengapa aku tidak mengantar kakaknya pergi ke Borneo di pelabuhan hanya dengan melihat kondisiku saat ini.
“Masku itu orang gila, dia meninggalkan kekasih dan keluarganya ke Borneo. Dua hari yang lalu, ketika bapak dan ibuku sedang kulak di pasar, dua orang dari kelurahan datang ke rumah kami menawarkan pemuda yang mau bergabung ke Borneo untuk membantu Jepang pada perang Asia Timur Raya, sebab tidak banyak yang mau ikut. Saat itu aku langsung mengunci diriku di kamar, Mbak, aku memang pengecut, tidak seperti kakakku. Dia langsung setuju dan mendaftarkan dirinya tanpa sepengetahuan ibu dan bapak. Sehingga ketika ibu tahu, dia benar-benar kaget dan jatuh pingsan berkali-kali.”
Aku tertegun mendegar penjalasan Warsonoe, tiba-tiba air mata di pipiku meleleh lagi. Aku menangis meraung-raung di hadapan Warsonoe, Sinar dan ibuku sehingga menyadarkan Romlah dari pingsannya. Mereka semua menatapku nanar, Romlah yang baru sadarkan diri ikut menangis pilu. Saat ini rumahku penuh tangisan. Aku tidak bisa lagi menahan rasa sakit dalam hatiku, aku tidak bisa lagi berpura-pura tegar, berpura-pura kuat dengan semua ini.
“Warsonoe, antar Mbak ke pelabuhan, masih ada waktu. Mbak mau lihat kakakmu.” Aku menguatkan diriku sendiri. Semoga aku kuat seperti Hartowardojo.
“Mbak yakin?” tanya Warsonoe dengan ragu melihat keadaanku saat ini.
“Ibu mau ikut tidak?” tanyaku pada Romlah. Romlah hanya menggeleng lemah. Sinar masih membantunya meminum teh hangat dan ibuku membantuk mengipasi Romlah agar tidak jatuh pingsan lagi.
Dengan mengayuh sepeda ontel keras, Warsonoe memboncengiku menuju pelabuhan tempat kakaknya hendak berangkat ke Borneo. Sesekali dia kehabisan tenaga namun tetap mengayuh pedal dengan cepat. Aku yang duduk di bangku belakang memegang erat baju yang dipakai Warsonoe agar tidak kehilangan keseimbangan. Angin pagi menerpa wajahku dan membuat rambut panjangku berantakan, sesekali aku menyapu helaian rambutku yang tertiup angin di wajahku.
Di dalam pikiranku hanya ada Hartowardojo saja. Entahlah aku tidak bisa memikirkan hal lain. Beberapa puluh menit kemudian, kami berdua sudah sampai di pelabuhan. Ada banyak sekali prajurit Jepang memakai baju tentara mondar mandir membawa tas ransel besar. Hilir mudik pemuda beserta keluarganya yang menangisi kepergian mereka ke tanah Borneo. Mataku mencoba mencari Hartowardojo di antara banyaknya kerumunan orang itu. Dia tidak sulit ditemukan, karena badannya tegap dan cukup tinggi di antara yang lain. Ketika mata kami berdua berpapasan, senyumnya mengembang. Terkejut melihat kehadiranku. Namun, kulihat ada perasaan was-was juga di dalam kedua matanya.
Aku segera berlari memeluknya erat, masa bodoh dengan orang lain. Hartowardojo membalas pelukanku. Dilihatnya aku datang bersama adiknya, Warsonoe. Namun, Warsonoe tidak mengucapkan sepatah kata pun. Warsonoe juga tidak memberitahu kakaknya bahwa Romlah pingsan di rumahku setelah menangis meraung-raung. Mungkin dilakukannya agar tidak membebankan hati sang kakak.
“Bisakah aku mengatakan padamu untuk yang terakhir kalinya, jangan pergi ke Borneo.” Ujarku lirih. Mataku menatap kedua manik matanya lekat. Hartowardojo tidak memberikan banyak eskpresi, sepertinya dia sudah menduga bahwa aku akan tetap berusaha melarangnya pergi ke Borneo.
“Warsonoe, Mas titipkan Bapak dan Ibu ya. Jangan pernah membantah ucapan mereka.” Ucapnya pada Warsonoe.
“Iya Mas.” Warsonoe mengangguk.
“Jaga Ningsih juga, untukku.” Hartowardojo melepaskan pelukanku darinya dan dia meninggalkan aku dengan Warsonoe. Dia melangkahkan kaki dengan tegap dan gagah naik ke dalam kapal laut besar menuju Borneo berisikan banyak pemuda pribumi dan tentara Jepang. Hartowardojo, dia pria yang mengalahkan rasa takutnya, dia rela meninggalkan kekasih hatinya dan keluarganya demi pendirian untuk bangsanya merdeka. Aku dan Warsonoe masih di tempat yang sama menunggu Hartowardojo melambaikan tangan pada kami. Aku tersenyum padanya untuk yang terakhir kali. Aku tetap berdiri di tempat yang sama untuk melihat kapal lautnya pergi meninggalkan pelabuhan.
Setelah itu lututku terasa lemas, aku merasa tidak sanggup berdiri. Aku menangis meraung-raung. Orang sekelilingku maklum dengan keadaanku karena tidak sedikit pula yang menangis setelah kapal benar-benar pergi. Warsonoe menepuk pundakku lembut.
“HUUUUAAAAA!!!” Aku meraung lebih parah. Masa bodoh dengan dunia. Masa bodoh dengan perkataan bahwa perempuan harus anggun. Masa bodoh dengan norma dan adat istiadat. Hatiku sakit. Toh siapa yang peduli. Namun dengan sabar Warsonoe tetap menemaniku sampai tangisku reda. Dia memberikan jaket yang dipakainya padaku.
“Dingin Mba. Ayo pulang. Nanti kalau Mba sakit, aku tidak bisa menepati janjiku pada Hartowardojo untuk menjagamu, Mba.” Ujarnya lirih. Warsonoe merasa bersalah dan kupergoki dia merutuki keputusan kakaknya itu.
***
Kuingat Padamu (Asmara Hadi, 1937)
Kuingat padamu bila fajar tiba
Merahkan langit sebelah timur
Kuingat padamu bila senja
Mencium bunga yang 'kan tidur
Kuingat padamu bila malam
Sepi berbunga bintang bercahaya
Kuingat padamu bila bulan
Teduh benderang purnama raya
Kuingat padamu, ah selalu.
Sampaikan aku turut kau pula,
Baringkan badan di pangkuan bumi
Tempat segala menjadi lupa.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, Hartowardojo tidak pernah mengirimiku sepucuk surat pun dari tanah Borneo, pun kepada keluarganya. Jika merasa rindu pada anaknya, terkadang Romlah mengunjungiku di rumah, dia membelai sayang rambutku. Aduhai, dulu dia tidak pernah melakukan ini padaku. Ternyata dia baru menyadari bahwa hanya akulah yang dicintai oleh Hartowardojo dan Romlah melihat anaknya setiap kali melihatku. Jadi, Romlah terkadang menemuiku untuk sekedar melepas rindunya pada Hartowardojo atau sekedar bertanya apakah Hartowardojo mengirimiku surat, namun selalu kujawab tidak. Ya, memang tidak pernah ada surat yang dilayangkan padaku darinya.
Aku bertanya-tanya apakah kekasih hatiku, Hartowardojo masih hidup pun aku tidak tahu. Di malam-malamku yang sunyi, aku sering kali menangis setiap teringat akan dirinya. Berbulan-bulan sudah Hartowardojo pergi meninggalkan Djakarta menuju Borneo, berbulan-bulan pulalah tidak pernah ada kabar tentangnya. Aku mencoba mengirim surat berulang kali ke Borneo sesuai alamat yang diberikan Hartowardojo padaku, namun tidak pernah aku mendapatkan balasan dari surat-surat yang kutulis.
Jika laut mati itu disebut mati karena kebanyakan kandungan garam, mungkin bisa dibilang kini hatiku mati karena ditinggal kekasih. Aku tidak pernah menyangka, bahwa aku ternyata tidak cukup tangguh dan tidak cukup kuat hidup tanpa Hartowardojo. Hingga, ibuku khawatir kepada kesehatanku. Di rumah setiap hari, aku banyak melamun, tidak nafsu bagiku untuk menelan makanan, tak heran tubuhku menjadi kurus kering, kerjaanku hanya memandang langit malam, memandang senja, bergumam sendiri, padahal aku sedang mengingat masa-masa bersama Hartowardojo. Aku membaca sastra-sastra, syair, roman yang disukainya. Kuulang lagi hingga kuhafal di luar kepala.
Jika aku melihat senja, aku teringat Hartowardojo yang pernah membacakan puisi tentang senja kepadaku, jika aku melihat sepeda ontel, maka aku akan mengingat Hartowardojo yang menunjukkan dunia padaku dengan memboncengiku naik sepedanya, jika aku melihat surat, maka yang aku ingat adalah Hartowardojo yang mengirimiku surat dengan rutin melalui adiknya Warsonoe, jika aku tak sengaja melewati Taman Siswa, maka aku akan teringat kenanganku bertemu pertama kalinya dengan Hartowardojo. Bahkan, jika aku bernafas, aku teringat dirinya yang duduk di sebelahku kala malam tiba di bael-bale rumahku, jika aku menutup mataku justru aku mengingat jelas Hartowardojo tersenyum renyah ke arahku. Aku tidak pernah bisa menghapus bayangan Hartowardojo sedikitpun dalam bayanganku.
Mungkin bisa dibilang cinta itu buta, benar-benar membutakan mataku. Setiap kali aku melihat pria entah mengapa yang kulihat wajahnya adalah wajah Hartowardojo. Aku tidak tahu lagi mana yang kenyataan dan yang mana yang ilusiku. Hanya ada garis tipis antara itu. Namun, aku tidak gila. Aku masih waras, hanya saja cintaku padanya kian membuta. Rasa rindu yang menyesakkan dada, aku sering kali menangis setiap kali teringat dirinya, di tengah malam pun aku sering terbangun dari tidurku karena teringat akan Hartowardojo. Aku sering kali terisak, sesak dadaku, rinduku tidak kunjung menemui akhirnya. Aku tersiksa. Sungguh. Jika aku boleh memilih, ke neraka pun aku rela asal bersama Hartowardojo, maka hanya ke Borneo saja. Seharusnya aku bisa. Namun, hatiku tak cukup kuat meninggalkan kedua adikku dan kedua orangtuaku dalam kondisi keuangan yang tidak stabil ini.
Keluargaku cukup prihatin melihat keadanku yang seperti mayat hidup. Tidak bergairah, tidak bersemangat. Setiap hari mata sembab karena menangis, tidak bisa tidaur juga di malam hari karena selalu bermimpi Hartowardojo.
Aku tidak pernah menyangka, perubahan di dunia ini bisa sangat cepat terjadi, seperti siang berubah menjadi malam, cinta berubah menjadi rindu, bertemu berubah menjadi berpisah, aku sejujurnya tidak begitu siap dengan berbagai perubahan ini. Termasuk perubahan ekonomi keluargaku, dari sederhana, miskin dan kini menjadi lebih miskin. Jika sebelumnya kami bisa makan jagung rebus, namun kini di dapur tidak ada lagu jagung, singkong atau ubi yang bisa direbus. Kini hanya ada ubi sisa kemarin. Keluarga kami benar-benar dalam masa sulit saat ini. Romlah terkadang berbaik hati membawakan makanan berupa kue apem, rengginang atau ubi rebus, terkadang Warsonoe yang bergantian membawakan makanan untuk kami. Rasanya sedikit memalukan bagiku menerima kebaikan keluarga Hartowardojo namun kurasa mereka sudah menganggapku bagian dari keluarga mereka.
Sesekali Warsonoe memergokiku menangis di taman kota seorang diri, pernah kali Warsonoe melihatku duduk termenung di pasar raya siang hari bolong, kadang dia juga mendapatiku di bale-bale rumahku sambil berlinangan air mata. Lama-lama dia merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Jadi, dia sering berkunjung ke rumahku untuk sekedar memastikan bahwa aku baik-baik saja dan tak lupa dia selalu membawakan buah tangan berupa makanan.
Aku bukanlah batu di sungai, aku perempuan waras, jelas mengetahui bentuk-bentuk perhatian dan kasih sayang dari adik kekasihku, Warsonoe kepadaku. Mungkin Warsonoe merasa memiliki tanggung jawab untuk menjagaku karena kepergian kakaknya ke Borneo. Perhatian dan kebaikan Warsonoe jelas membuatku lebih tenang dan lebih nyaman menjalani hari-hariku yang sepi tanpa Hartowardojo. Kehadirannya menyeretku keluar dari kesedihan dan bersamanya membuatku sejenak lupa masalah keuangan yang menghantui keluargaku saat ini.
Aku harus memutar otak bagaimana aku bisa menaikkan derajat keluargaku ke arah yang lebih baik. Tidak mungkin terus menerus keluarga kami hidup dalam kemiskinan. Ditambah bangsa ini belum memperoleh kemerdekaannya. Hatiku mulai gusar setiap kali memikirkan banyak problematik yang ada di dalam kehidupanku, terkait kisah cintaku, ekonomi keluargaku dan diriku sendiri.
Malam itu seperti biasa, Warsonoe berkunjung ke rumah kami, dia membawakan sebungkus singkong rebus. Saat itu aku sedang memandang ke langit, menikmati rembulan yang bersinar terang, aku tersenyum melihat kehadiran Warsonoe. Satu tahun sejak Hartowardojo ke Borneo, semua berubah, mungkin hanya aku saja yang tidak berubah. Kulihat Warsonoe kini sudah lulus dari AMS, ia tumbuh semakin tinggi dan tegap, badannya menjulang tinggi, kurasa kini tingginya menyaingi Hartowardojo, rambutnya ikal hitam lebat, matanya mirip mata kakaknya, tegas bagaikan burung elang, kulitnya pun sawo matang, benar-benar mirip dengan kakaknya. Melihat Warsonoe aku seperti melihat Hartowardojo.
“Kau tahu, aku selalu melihat Hartowardojo setiap kali aku melihatmu.”
“Ya, karena aku adiknya.”
“Bolehkah aku memelukmu sebentar saja?” aku meraih pundak Warsonoe dan kupeluk dengan erat. Di pundak ini mengalir darah yang sama dengan darah Hartowardojo, di pundak ini pernah berbagi masa kecil dengan Hartowardojo, di pundak yang kupeluk ini menjadi saksi tumbuh kembang Hartowardojo. Aku menangis pilu di pundak Warsonoe. Dia hanya membalas pelukanku dan menepuk bahuku lembut.
“Keuangan keluargaku sedang tidak baik saat ini.”
“Ya, aku tahu, aku akan menjagamu apapun yang terjadi.”
“Jangan memberikan kami makanan lagi, tidak perlu. Itu merepotkan. Toh kita bukan keluarga.” Ujarku lirih. Warsonoe hanya tertegun mendengarkanku mengatakan hal tersebut. Kurasa dia juga bingung harus memberikan respon seperti apa. Malam itu aku dan Warsono duduk di bale-bale menikmati cahaya rembulan.
***
mapkhan saya bunda yg baru baca.. padahal cucok meong bgt
Comment on chapter BAB 2 Dirimu