Aku mencintai kamu seperti mentari mencintai bumi.
Seperti hujan mencintai langit.
--Vallenia Ayunda—
ADA dua hal yang tidak bisa diulang di dunia ini. Yaitu ide menulis yang hilang, dan juga kesempatan untuk mengulang waktu. Pada nyatanya, bumi selalu berputar ke arah barat untuk berjumpa dengan fajar yang baru. Jam selalu bergerak ke kanan bukan ke kiri.
Sekarang, Ayunda terjebak di depan salah satu halte yang kosong. Warung-warung yang tutup sekitar setengah jam lalu secara berjamaah tak membuat gadis itu curiga. Dan sekarang, Ayunda terjebak dalam bahaya. Seperti tahu ada harimau di dalam kandang, namun tetap menantang.
Dapat Ayunda dengar dari kejauhan. Suara deru gas motor yang dipacu gila-gilaan seolah tak mengganggu sekitar. Seperti sedang mempertontonkan sebuah pertunjukkan drama namun nyata.
Cepat-cepat Ayunda kabur, ia bersembunyi di belakang kios-kios toko di sana. Sesekali mengintip keadaan. Dari arah berlawanan terlihat siswa SMK Empat yang maju berombongan membawa benda-benda mematikan. Kayu, tongkat, dan Ayunda tak tahu lagi karena enggan menengok kembali.
Kekerasan seperti hantu yang menjadi trauma di hidup gadis enam belas tahun itu. Ayunda membekap mulut dengan dua tangannya. Berharap agar suara tangisnya yang mulai pecah tak terdengar. Kenapa di semua tempat harus ada apa itu kekerasan?
"Lo ngapain di sini?"
Suara itu mengagetkan Ayunda. Gadis itu menengok ke belakang dan melihat Taufan berdiri di sana. Ayunda berdiri, mencekal salah satu tangan itu, “Tolong.."
Melihat keadaan Ayunda yang terlihat lemah, dengan keringat turun di dahinya, serta air mata yang bercucuran, tentu Taufan tak menolak. Ia menggambil tangan Ayunda yang menyentuhnya, kemudian Menggenggamnya.
"Kalau gue lari, lari ya."
"Gue nggak yakin bisa.. Gue takut."
"Lo pasti bisa. Ada gue." Taufan meyakinkan, dan dijawab ragu gadis itu dengan sebuah anggukan.
"Siap-siap ya!" Lagi, Ayunda mengangguk. Ia mengikuti Taufan yang sedang melihat keadaan untuk mencari aman. Lalu, setelah cowok itu memberi kode, Taufan membawa Ayunda untuk berlari kencang.
Ayunda terseret dan tertatih untuk menyeimbangkan langkah Taufan. Mereka berlari menembus gerombolan siswa SMK Empat dan SMK Bhakti yang masih sibuk tawuran.
Ada beberapa yang menyadari keberadaan keduanya, dan melemparkan batu, “Woi!" Namun, Tuhan masih sayang pada Ayunda dan Taufan. Mereka berdua bebas dari tempat tersebut.
"Makasih."
"Sama-sama."
Ayunda mengusap air matanya sambil tertawa, “Maaf ya, gue cengeng."
"Emang."
"Ish.. Rese."
Taufan tertawa, lalu menyerahkan helmnya pada Ayunda. Dan gadis itu hanya menaikkan alisnya, “Gue cuma bawa helm satu. Jadi lo aja yang pakai."
"Lo mau nganter gue pulang gitu, maksudnya?" Taufan mngerutkan dahi hingga bergelombang. Ya Ayunda bisa menyimpulkan sendiri kali, “Nggak usah, nggak papa kok."
"Dih, tadi aja nemu tawuran takut, nangis."
Ayunda cemberut, “Ih kan kebetulan. Ya.. Yaudah, makasih, tapi aku nggak maksa ya."
"Iya, bawel." Taufan menyalakan mesin motornya. Dan Ayunda naik ke atas motor cowok itu setelah memakai helm ya g dipinjamkan Taufan, “Emang kenapa sih? Kok anak sekolahan kayak lo baru pulang malem-malem?"
"Ye.. Anak paskibra tuh perlu pengorbanan juga. Tadi abis nungguin adek kelas latihan paskib buat lomba."
"Oh, anak paskibra."
Lalu keheningan menyita keduanya. Ayunda memilih untuk melihat pemandangan di kiri kanan jalan selama itu. Sementara Taufan terlalu fokus untuk membawa motornya.
Malam itu pukul tujuh, Namun Taufan menjalankan motor justru ke lawan arah. Tentu saja gadis itu panik. Ia berpikir akan loncat dari sana jika saja cowok di hadapannya tidak mau mengantar sampai rumah dengan selamat.
"Rumah gue di Perumahan Ceria. Lo kok bawa gue kesini?"
"Gue laper. Mau makan dulu."
Ayunda membrenggut sebal. Namun tak bisa menolak, jadi ia ikut cowok itu untuk sampai di sebuah caffe klasik minimalis yang bernuansa Turki. Banyak bunga tulip bermekaran di mana-mana dengan macam warna.
Dengan adanya hal itu, tentu saja langsung membuat mood Ayunda berubah. Rasa takut tadi hilang, begitu juga rasa cemasnya. Rasa sedih tadi terganti, berubah menjadi bahagia yang membuncah. Taufan baru mengerti, ternyata membuat seseorang bahagia bisa dilakukan dengan hal kecil, seperti berada di caffe yang banyak tulip di sini. Tentunya, Zara yang banyak cerita tentang Ayunda pada Taufan.
"Mba, mau ayam 1 sama jus jeruk ya." pesan Taufan pada seorang waiter. Lalu ia menoleh ke arah Ayunda, “Lo."
"Paket 2 ya."
Setelah waiter tadi membacakan ulang pesanan mereka, Ayunda memainkan ponselnya. Mengetik sesuatu di layar orange yang sudah lama tidak disentuhnya. Imajinasinya kembali hadir setelah melihat indahnya bunga tulip dimana-mana.
Sampai sebuah lantunan terdengar lembut di telinga Ayunda. Bukan hanya Ayunda, namun semuanya. Seperti mendapat sengatan listrik begitu saja, Ayunda terpaku. Tubuhnya kembali membeku seiring suara penyanyi caffe tersebut terdengar.
If you're not the one, then why does my soul feel glad today?
If you're not the one, then why does my hand fit yours this way?
If you are not mine, then why does your heart return my call?
If you you are not mine, would I have the strength to stand at all?
I never know what the future brings
Itu Satya. Ayunda tersenyum melihatnya. Ia pernah menetapkan hatinya, untuk tidak menatap ke arah Satya lagi. Dan sekarang, entah kenapa, entah sejak kapan, perasaan asing itu menghilang. Rasa untuk Satya perlahan pudar. Ia merasakah bahwa hatinya mulai biasa saja saat melihat Satya. Tidak ada lagi debaran yang membara itu.
Namun yang terjadi, ia ingin melihat Laut sekarang. Ia rindu Laut, karena setiap lirik yang dinyanyikan oleh Satya mengingatkan Ayunda pada Laut. Mungkin, Laut sudah masuk ke dalam kehidupan Ayunda diam-diam. Bahkan, tanpa tuan rumahnya tahu jika Laut sudah masuk ke dalam hatinya.
But I know you're here with me now
We'll make it through and I hope
You are the one I share my life with
I don't wanna run away but I can't take it, I don't understand
If I'm not made for you, then why does my heart tell me that I am?
Is there anyway that I can stay in your arms?
"Suaranya bagus ya."
Pertanyaan Taufan membuat Ayunda sadar, dan kembali pada dunianya. Ia menatap cowok itu dan tersenyum sangat riang, “Itu kakak kelas gue lho, orangnya baik banget. Dia itu Pangeran Sekolah. Ya.. Wajar lah, banyak yang suka. Selain ganteng, tau sendiri kan? Kalau Kejora itu minim banget cowoknya."
Taufan mengangguk, “Dulu Mamanya Zara juga nyuruh gue sekolah di sana, tapi gue nggak mau. Soalnya, jurusan buat cewek semua."
Ayunda mengangguk, benar juga apa yang dikatakan oleh Taufan. Sekali pun ada, pasti hanya Manajemen, dan Multimedia yang menjadi mina siswa laki-laki.
"Iya, sih. Emang lo jurusan apa di SMK Empat?"
"Mesin. Gue pengen bisa bikin robot gitu kayak Almarhum Papa gue dulu."
"Bikin pintu ajaib doraemon juga dong."
***
MEMASUKI rumah pada jam sembilan malam setelah pulang sekolah, adalah hal baru bagi Ayunda. Ia membuka pintu dan mengucapkan salam, dengan keberadaan Taufan di belakangnya, tentunya.
Brata yang tadinya asik nonton sepak bola di depan layar televisi kini beranjak dan menemui keduanya. Sementara Fitri yang membawa bakwan goreng masakannya menyusul untuk menghadap Ayunda di ruang tamu.
Ayunda menatap Taufan, ia mengernyit tak enak, namun cowok itu hanya tersenyum. Ia menjelaskan kejadian bagaimana tadi mereka bisa bertemu, lalu Taufan mengajak Ayunda makan terlebih dahulu hingga pulang selarut sekarang. Dengan penjelasan Taufan, Ayah dan Bunda Ayunda mengerti, mereka tak marah dengan Ayunda.
"Udah sana, mandi dulu, udah Bunda siapin air hangat." Ayunda mengangguk antusias sambil memakan bakwan goreng masakan Fitri. Ayunda sudah remaja, namun tetap tidak bisa mandi dengan air dingin.
"Bentar, Bun.. Lagi asik makan, laper.."
"Jangan bentar-bentar kalau disuruh Bunda. Tadi kan udah ditraktir Taufan," Brata menyela, namun gadis itu hanya tertawa.
"Ayah kayak nggak tau Ayunda aja kalau urusan makan."
Brata tahu, Brata tahu kalau Ayunda itu orang yang selalu maju nomor satu dalam urusan makan, “Kamu itu ya, hape dimatiin. Ayah sama Bunda itu khawatir. Untung yang nemu cogan baik."
"Kalau cogan galak gimana, Yah?"
"Ya Ayah bina."
Ayunda mengernyit tanda tak paham. Ketika bakwan goreng nya habis, ia ngambil lagi, “Bina? Apaan tuh?"
"Ayah binasakan."
Dan Ayunda tertawa. Keadaan rumah Ayunda hari ini lebih hangat dari pada biasanya. Hari ini Ayunda juga mulai memiliki topik pembicaraan dengan Brata. Karena, sejak Brata memilih untuk menduakan Fitri, Ayunda seolah menjaga jarak dengan Ayahnya.
"Ay, belum ada dua bulan udah bawa dua cowok aja ke rumah. Anak Ayah kayaknya udah paham pacaran ya?"
"Apaan sih, Yah?" Ayunda menggelengkan kepala, lalu menyeruput susu hangat yang dibuatkan oleh Fitri, “Ayunda masih jomlo, kok. Ayunda nggak pacaran. Lagian kan Ayah juga gak bolehin Ayunda pacaran sama cowok selama masih sekolah."
Mendengar perkataan Ayunda membuat hati Brata menghangat. Memang Brata melarang hal itu, dan meski pun Ayunda sayang, ia tetap akan menuruti permintaan Brata. Brata tidak tahu kenapa Ayunda berbeda dengan Dian atau siapa pun anak Brata yang lain. Hanya Ayunda, yang tidak bisa menerima kesalahan Brata. Tapi Brata juga bahagia, karena Ayunda masih mau mendengarnya.
"Emangnya Ayunda suka yang mana sih? Pak Laut atau Taufan?"
"Kok bawa-bawa Taufan juga? Taufan kan sepupu Zara, Ayah."
Brata memagut-magut dagunya, pura-pura paham dengan perkataan putrinya, “Berati, sama Pak Laut, dong."
"Lho, kok jadi ngomongin cowok sih, Yah? Udah ah. Ayunda mau mandi dulu."
Dan Ayunda berlari menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ia ingin menghindari pertanyaan gila Brata. Ia tidak ingin mengaku jatuh cinta sementara hatinya masih ragu. Tidak, tidak untuk sekarang. Namun kapan, Ayunda belum bisa memastikan.
"Siapa pun yang kamu pilih nanti, Ayah harap bukan sama Taufan. Ayah nggak mau kamu kenapa-napa karena pacaran dengan geng tawuran."
"Iya, Ayah!"
????
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG