Don't touch my heart.
-Laudito Nugroho -
---
SUASANA pagi mendukung keadaan yang terasa sunyi. Jika suara hujan lenyap, atau hari ini tidak sedang turun hujan, maka bisa saja hanya ada suara jangkrik yang mengisi kebisingan kantor guru SMK Kejora.
Masih pukul delapan, tapi rasanya Laut sudah ingin pulang. Entah sejak kapan, berada di samping perempuan itu membuat Laut merasa enggan. Bukan apa-apa, Laut hanya tidak tahu harus menyikapi perempuan itu dengan cara seperti apa.
Perempuan itu juga diam, seolah tidak mau walau untuk sekedar menyapa Laut. Ia lebih memilih menggulirkan ponselnya tanpa tujuan, dari pada berbicara dengan Laut. Tapi, apakah bisa dimengerti? jika hati tak bisa diajak berkonspirasi untuk menuruti logika.
Laut hanya ingin menyapa, tidak mengulang kembali kisah mereka yang pernah hancur. Maka dari itu, Laut berdehem untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
"Nggak ada rencana mau memperbaiki nilai siswa yang belum tuntas?"
Jeda sekolah sudah tiba. Tinggal beberapa hari lagi siswa akan menerima raport. Tak seperti Rani, Laut selalu sibuk dengan remidi siswa yang bisa sampai ribuan soal itu. Entah siswanya yang memang tidak bisa mengerjakan, atau Laut yang pelit nilai.
"Asal nilai Ujian Akhir mereka tuntas, aku tidak mau ambil pusing untuk meremidi siswa. Lagi pula perbaikan nilai siswa pasti nggak hanya untuk mata pelajaran musik saja."
Laut akui, sebenarnya Laut tahu bahwa Rani sedang menyinyirnya. Dengan secara tidak langsung, perempuan itu tentu bilang bahwa Laut hanya membuang waktu siswa. Tapi bagi Laut, kalau ingin sesuatu itu harus berjuang dulu. Kalau nggak bisa tapi Laut memberi nilai tuntas secara cuma-cuma, itu akan membuat siswa malas belajar.
"Oke."
"Ke kantin dulu ya, aku belum sarapan," Laut mengangguk, sambil matanya menatap punggung perempuan itu hingga ditelan sekat. Tak ada kata, Laut hanya tersenyum, senyum miris, seperti sedang mengasihani diri sendiri. Seharusnya Laut sadar, tidak ada gunanya lagi kembali pada masa lalu, jika ia tidak mau mengulang luka yang sama.
Meski Laut tidak tahu sampai kapan, namun ia berharap bahwa seseorang akan membuat dia jatuh cinta lagi, tanpa mengenal apa itu luka. Walau pun Laut tahu, yang namanya jatuh, pasti akan selalu ada luka.
***
"MAU remidi ya? Bareng dong."
Ayunda mensejajarkan langkah di samping Inne dan Julia. Menurut Ayunda, Inne lumayan baik. Namun Julia adalah yang paling menyebalkan dan sok berkuasa. Jadi, Ayunda nggak akan pernah bisa berkomunikasi baik selama di sana ada Julia.
"Katanya lo mau balik, yuk.. Gue juga mau mampir beli kwetiau dulu sih, yang deket rumah lo."
Dan Julia langsung menarik tangan Inne untuk menjauh dari Ayunda. Ayunda melihat sekeSarasng, beberapa siswa ada yang menatapnya dengan tatapan heran. Mungkin mereka berpikir bahwa Ayunda itu aneh.
Salah Ayunda sendiri, dia nekat berdekatan dengan Julia. Tapi Ayunda tak punya pilihan lain karena Vela yang satu jurusan dengannya memilih tidak berangkat hanya demi nonton film yang lagi tayang di televisi.
"Dor!!"
Ayunda tersentak. Ia menatap ke arah belakang dan mendapati Wulan dan Zara cengengesan di belakangnya. Sedetik kemudian, kesal itu perlahan hilang. Karena di otak Ayunda mulai tumbuh ide gila.
"Temenin remidi ekonomi, yuk!"
"Yuk!! Kita berdua juga mau remidi matematika."
Jaman SMP, Ayunda adalah Ratunya matematika. Nggak ada soal yang tidak terpecahkan lebih dari lima menit oleh gadis itu. Kalau ada PR, anak sekelasnya pasti selalu meminjam buku Ayunda. Kalau ada ulangan, semua yang tidak mengerti materi juga akan ditanyakan pada Ayunda.
Namun di SMK semua berbanding terbalik. Ayunda bukan seorang Ratu lagi yang akan didatangi oleh teman-temannya. Ia juga tidak bisa lagi memberi materi dan menjelaskan maksud dari matematika pada temannya. Karena di kelas, Ayunda lebih senang tidur dari pada memperhatikan guru.
Keduanya sampai di kantor dengan selamat setelah melewati geng Angkasa di koridor kelas 12 yang terkenal sebagai preman pentolan sekolah. Memang jika ingin ke kantor, semua akses jalan menuju ke sana harus melewati kelas 12 dulu. Kata Bu Seruni, biar gampang memantau siswa kelas 12 yang bandel.
Ayunda mengerjakan soal sendiri di sofa koridor guru dengan Wulan. Bersyukur guru matematika Wulan adalah Bu Leli, jadi ia tidak akan bernasib buruk seperti Zara yang harus mengerjakan ribuan soal. Dan Bu Leli termasuk golongan guru yang baik hatinya, beliau mengizinkan siswa membuka internet untuk mencari rumus.
"Selesai!" Seru Wulan senang, berbeda dengan Ayunda yang mengeluh tatkala harus mengerjakan soal pilihan ganda satu LKS.
"Bantuin gue dong sekarang."
"Ye..maunya. browsing aja sendiri."
"Tega, Lo?" Ayunda menunjukkan buku LKSnya, “Satu buku.."
Ketika Wulan tertawa, ia memilih membuang pandangannya ke arah tangga dan cemberut.
Lalu tanpa ia duga, tubuh Ayunda menjadi kaku. Ada tingkah yang salah saat irisnya jatuh pada mata kopi yang hangat. Menyadari bahwa sepasang kopi itu memperhatikannya sambil tersenyum manis.
Ayunda tak mengelak, senyuman lelaki itu membuat wajah si pemilik terlihat sangat tampan. Sampai ada suara berdehem yang terdengar dari kelas lain di sebelah Ayunda, murid yang diampu oleh Laut. Dan Zara salah satunya. Saat itu Ayunda baru menyadari bahwa Wulan sudah masuk ke dalam kantor untuk mengumpulkan tugas.
Ayunda kembali menunduk dan mengerjakan soalnya. Ada seseorang, yang menangkap basah gadis itu saat menatap Laut. Tatapan memuja, karena entah mengapa, tatapan Laut membuat jantung Ayunda tiba-tiba berdebar tak karuan.
Berbeda dengan Ayunda, Laut justru enggan berpaling saat menatap iris Ayunda. Ia merasa ada sesuatu yang mengusik hatinya, perasaan yang sudah lama tidak mengusik hatinya, ada bahagia yang fana jelas terasa di dalam hati itu, meletup-letup. Bahkan Laut merasa seperti terbang, perutnya terusik. Seolah ada kura-kura yang berenang di dalam sana. Tepatnya, ketika dia melihat gadis berkucir kuda itu salah tingkah di hadapannya sekarang, dari balik kacamatanya. Karena, menurut Laut, gadis itu terlihat lucu. Dia berbeda.
"Remidi ya?"
Ayunda mendongak, Laut sudah duduk tepat di sampingnya dengan gaya cool yang paling menawan. Kaki kanannya bertumpu di atas lututnya yang kiri, “Iya, abis kemarin ketiduran pas ujian, jadi nggak selesai."
Laut menaikkan alisnya. Siapa pun yang melihat Laut, pasti jelas jika pria itu sedang ingin menahan tawanya, “Tidur?"
"Hehe.. Ya gitu, abis gimana? Ngantuk."
"Temen-temen kamu nggak ada yang remidi?"
"Nggak dong, kan ngerjainnya sama-sama." Ayunda mendengus, “Percuma juga ngerjain sendiri. Kalau guru pengawas aja tingkahnya mendukung kejahatan siswa. Harusnya ngawasin, tapi malah keluar semaunya. Lagian, sekarang nilai lebih dihargai dari pada kejujuran."
***
Prang!
Tak ada hal yang lebih menyakitkan dari patah hati yang kejamnya luar biasa. Ayunda menutup kedua daun telinganya. Air mata berderai dari pelupuk mata bulat itu. Hatinya sakit.
Ayunda selalu bertanya-tanya kenapa memiliki nasib yang tidak seberuntung orang lain. Kadang ia juga ingin tertawa bersama Ayahnya saat melihat teman-temannya bisa melakukan hal yang tidak bisa dia lakukan. Ayunda ingin sarapan di ruang makan bersama keluarganya seperti yang ada di dalam film yang selalu ditontonnya.
Namun ia sadar, kadang takdir senang bermain-main dengan kita. Takdir tidak selalu berkonspirasi dengan harapan kita. Ketika kita menginginkan A, kita mendapat B. Ketika kita menginginkan B, kita mendapatkan A. Dan sebagai manusia, kita harus bisa menerima takdir dengan lapangan dada.
Sayang, Ayunda hanya seorang remaja. Emosinya tidak stabil, suka memancing tanpa kendali.
Ting!
Shasi Wulandari
Kalau gak mau punya anak, harusnya jangan lahirin gue ????
Ayunda berdecak. Tangannya memukul dua tulutnya. Marah pada keadaan. Wulan, sahabatnya juga sedang berada dalam masalah keluarga. Sama seperti gadis itu.
Ayunda : Kasi tau gue! Bahagia itu nyata atau fana?
Shasi Wulandari : Kenapa takdir gue harus lahir untuk disakiti?
Ayunda : Gue capek!
Menurut Ayunda, dia lebih dekat dengan Wulan dibandingkan dengan Vela dan Zara karena alasan yang satu ini, selain karena Vela dan Zara tidak bisa menjadi pendengar yang baik untuk dia tentunya.
Mereka, sama-sama merasa sakit karena menjadi korban kisah cinta kedua orang tua mereka. Mereka sama-sama tahu apa itu luka karena keluarga mereka hancur. Broken home, begitu orang lain menyebutnya.
"Kamu nitip anak tiri ke aku tapi nggak pernah nafkahin! Mana tanggung jawab kamu sebagai suami?"
Plak!
"Cuma ngasih makan aja nggak ikhlas!"
Ayunda menutup dua telinganya untuk lebih rapat. Dia menangis sejadi-jadinya. Lagi-lagi, ada saja alasan yang membuat hatinya porak-poranda. Hal-hal yang membuat Ayunda bertanya-tanya. Kenapa semua sisi harus menyakiti dia? Apa dia adalah sosok yang tidak pantas dicintai?
"Cukup.. Hiks.. Hiks.." Ayunda menjatuhkan diri di samping ranjang. Dia tidak mau mendengar teriakan-teriakan itu lagi. Ayunda benci. Ayahnya selalu menyakiti Bunda yang Ayunda sayang.
Brata tak pernah memberi nafkah Fitri, tapi menitipkan anak tiri yang sama sekali tak tahu arti terimakasih. Mereka bahkan selalu menghina Fitri dan membuat Ayunda benci. Tapi Ayunda tak punya pilihan lain.
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG