My heartbeat bit faster when your around me.
--Laudito Nugroho-
----
Jakarta, Juli 2016
"PULANG yuk. Bosen gue!"
Ayunda memutar malas kedua bola matanya. Dia melirik arloji yang melingkar di tangannya dan mendesah panjang, "Bentar lagi, ya. Gue masih pengen baca ini. Lo baca ini deh, seru loh. Aku paling suka baca cerita fiksi semacam ini, Vel."
Bibir cewek yang dipanggil Vel tadi mengerucut. Fabel?
Kayak bocah kecil aja gue dikasih makan cerita fantasy yang beginian!
Untung, di perpustakaan kota ini ada free wifi. Jadi, Vela bisa main internet serta sosial medianya yang sudah off selama dua hari. Dan, berhubung Vela sedang malas di rumah tatkala adiknya yang ribut bertengkar berebut makanan. Lebih baik Vela ikut Ayunda.
Vela melirik dan mengambil ponselnya yang tadi dia biarkan di atas meja, dia lalu membuka aplikasi line, melihat kontak milik Dani. Kemudian, cewek itu mengetik beberapa aksara di sana.
To : Dani
Pacar rasa jomblo gue mah.
Satu pesan terkirim untuk Dani. Komunikasi untuk seorang Dani itu sulit. Jadi, hanya ini yang bisa Vela lakukan. Mengatakan apapun yang dia rasakan, agar Dani tau tentang perasaannya. Vela tidak berusaha membuat Dani khawatir. Sudah biasa Vela seperti ini. Bahkan, ini adalah kemauan Dani.
"Vela," Vela berdehem "Kok gue laper ya?"
Mata Vela berbinar. Kesempatan baik nggak boleh disia-siakan!
"Ya udah, ayo cus! Kita cari makan. Gue traktir deh." Vela bersiap untuk berdiri, tangannya sudah mulai menarik lengan Ayunda yang masih duduk di sana. Membuat Ayunda tertatih dan hampir jatuh akibat tarikan Vela.
"Jangan disiksa!" Gadis itu melepaskan lengannya dari jangkauan Vela. Ini yang menyebalkan dari Vela, pemaksa dan main tangan "Gue mau ke peminjaman buku dulu bentar."
"Iya."
Ayunda berdiri dan membawa buku itu untuk ke peminjaman buku yang ada di loby. Sementara Vela, dia menunggu Ayunda di parkiran perpustakaan kota itu.
Ayunda terlalu asyik dengan buku itu. Entah kenapa akhir-akhir ini dia menyukai cerita fantasi. Ayunda melihat ke arah Vela. Gadis itu sedang menaruh ponselnya di telinga dan berbicara dengan seseorang di sebrang sana.
"Iya.."
"..."
"Ya udah. Vela pulang sekarang" Vela menutup ponselnya. Senyum yang tadi dia pasang di wajah itu menjadi hilang dan berubah menjadi lesu.
Vela kaget, dia melihat Ayunda sudah ada di sampingnya dan dia merasa tidak enak "Sorry. Nenek gue ngambek. Adela sakit mag, laper gara-gara makanan di rumah dihabisin Katrin. Jadi, gue disuruh beli makanan. Mama sama Papa gue lagi keluar kota."
"Santai aja, gue bisa pesen gojek atau naik bus." Ayunda menepuk pundak Vela.
"Tapi gue jadi gak enak."
Ayunda tertawa, "Lo kebanyakan gak enaknya. Gue itu sahabat lo. Lagian rumah kita juga beda arah."
Vela berfikir sejenak, "Udah, gak usah banyak mikir. Gue nebeng sampai halte aja."
Vela tersenyum sekilas, setidaknya dia tidak membiarkan Ayunda sendirian, "Siap. Ya udah, Ayo naik."
Ayunda naik di jok penumpang motor milik Vela. Dia turun di halte yang terletak tak jauh dari perpustakaan kota, "Gue duluan ya, bye.."
"Bye.." Ayunda melambaikan tangannya.
Halte kosong, dan Ayunda duduk di sana. Dia mengeluarkan sebingkis roti isi coklat dari dalam tasnya. Ayunda memang lapar, tapi di perpustakaan dilarang makan dan tas Ayunda berada di loker. Jadi, Ayunda mengikuti saran Vela tadi.
Satu persatu bus lewat. Tapi Ayunda belum berniat untuk pulang ke rumah selama hujan masih belum reda. Ayunda memasukkan bingkis itu ke dalam tempat sampah yang terdekat. Dia kemudian membuka buku yang dipinjam tadi di perpustakaan kota. Lalu, tanpa banyak waktu yang terbuang, Ayunda sudah terbuai oleh isi dari cerita yang dia baca.
Rinai hujan turun perlahan. Ayunda berhenti sejenak dan menikmati. Hujan selalu hadir pada waktu yang tepat. Pada saat hati Ayunda serasa kacau, dan hujan mengubah suasana hati itu.
Hari semakin sore dan Ayunda tidak sadar. Dia melihat langit cukup gelap. Tadi dia pikir hanyalah mendung setelah hujan. Tapi tidak, matahari telah tenggelam pada peraduannya.
Ayunda segera berdiri dan memakai tas miliknya, dia berusaha untuk menyeberangi jalanan yang tidak terlalu ramai. Jadi ketika Ayunda menyebrangi jalan, dia memilih untuk tidak melihat jalan sama sekali.
Tinnn.. Tinnn..
Suara itu membuat Ayunda menoleh ke sumber suara. Dia mendapati sorot lampu dari arah samping tepat di depannya. Jantung Ayunda berpacu dengan cepat, rasa takut menyerangnya. Refleks, Ayunda berteriak, buku yang dipegangnya terlempar dan jatuh entah kemana. Gadis itu sibuk menutup matanya takut.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Ayunda membuka matanya, mengintip keadaan yang ada di hadapannya. Motor itu berhenti sepuluh senti meter tepat di hadapan Ayunda. Kok malu ya?
Ayunda mendongak. Sekarang, mata gadis itu jatuh pada pengendaranya. Gadis itu ingin meneriakkan kekesalan. Sesuatu bergemuruh dalam dadanya, meletup-letup. Namun, di saat yang bersamaan, orang itu membuka helm yang dikenakannya.
Berbanding terbalik dengan sepersekian detik yang lalu. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja hatinya serasa tenang. Manik kopi yang familiar itu mendebarkan hatinya pada saat Ayunda sadar siapa pemiliknya. Laudito Nugroho.
"Kamu nggak papa?"
Suara itu membuyarkan Ayunda dari lamunannya. Di gelap malam, purnama menyembunyikan rona merah di pipi Ayunda.
Kok seneng ya, Pak Laut perhatian. Nggak marah-marah maksudnya. Kan Pak Laut galak.
"Nggak papa, Pak." Laut mengernyitkan dahi mendengar panggilan gadis itu. Dia lalu memperhatikan ke arah gadis itu untuk dapat melihat lebih jelas, dan tersenyum samar. Gadis itu.
"Kamu anak Kejora kan?"
"Iya."
"Berarti murid saya dong."
"Iya," Ayunda menundukkan kepala. Rasanya enggan apabila iris coklatnya bertemu kopi itu lagi.
"Habis dari mana? Sendirian? Kok malam-malam di sini? Pulang naik apa?" Ayunda mendongak. Pria itu memberi pertanyaan banyak dalam satu kali. Hal itu membuat Ayunda bingung untuk menjawab pertanyaan mana yang akan dijawab terlebih dahulu.
Di lain sisi, Laut justru terkekeh melihat reaksi bingung yang ditunjukkan oleh Ayunda. Siapa yang suruh nunduk mulu? Kan, saya ganteng, cogan gak boleh dicuekin!
"Saya antar mau?"
"Nggak usah. Saya bisa sendiri." Tolak Ayunda pelan, biar sopan saja. Sama guru masa.
"Rumah kamu di mana?"
"Perumahan Ceria."
Laut berdehem. "Lumayan jauh. Btw, bus jam segini sudah nggak ada yang lewat."
Ayunda diam, membuat Laut menghela napas panjang. Mana tega Laut membiarkan Ayunda sendirian. "Yakin nggak mau saya antar?"
Ayunda mengangguk, ragu. "Iya."
"Tapi di sini banyak setannya."
Mata Ayunda membulat mendengar penuturan Laut. Ayunda melupakan ciptaan Allah SWT yang satu itu. Misteri yang Ayunda takuti. Karena, saat dia masih kecil, dia pernah melihat makhluk tak kasat mata itu. Dia takut.
"Pak Laut bohong."
"Di belakang kamu."
"Pak Laut!" Ayunda lari ke arah Laut dan memeluk lengan pria itu. Hangat dan nyaman sekali rasanya, meskipun ia tahu, jantungnya tak setenang jiwa Ayunda.
Laut, pria tertawa lebar dengan raut penuh kemenangan. Ekspresi Ayunda lucu sekali menurutnya. "Ya sudah, ayo naik."
Ayunda tidak banyak bicara lagi setelah itu. Dia langsung duduk di belakang Laut seraya memeluk pinggangnya, menenggelamkan wajah di punggung pria itu. Takut, hanya itu yang ada di kepalanya sekarang.
Tidak ada pembicaraan sama sekali selama perjalanan kala itu. Ayunda yang memang pendiam menunjukkan jati dirinya, begitu juga dengan Laut yang enggan. Laut bicara hanya sesekali, yaitu ketika bertanya jalan arah rumah gadis itu. Dan gadis itu hanya menjawab sesuai pertanyaan.
Sesaat sadar akan sesuatu, Ayunda memberanikan diri untuk memulai pembicaraan."Pak Laut."
"Apa?"
"Novel saya jatuh."
Tanpa banyak kata, Laut memutar balik arah. Mereka kembali ke tempat pertama kali tadi mereka bertemu tadi. Ayunda turun, sementara Laut masih diam duduk di atas motornya. Memperhatikan Ayunda dengan baik dengan tatapan menjaga. Gadis itu lucu sekali, sifatnya bisa berubah-ubah namun menarik.
"Gimana? Ada?"
Ayunda menunjuk ke arah bawah. Mata Laut mengikuti. Dia mendapati novel itu tenggelam dalam comberan air hujan yang membuat benda itu menjadi kotor dan rusak.
"Ya udah. Ikhlasin aja. Ayo pulang."
Mata Ayunda memanas mendengar jawaban Laut sesantai itu. "Itu bukan punya saya."
"Kalau gitu, bilang aja yang sebenarnya."
"Mana bisa?"
Mendengar suara Ayunda bergetar, Laut memilih untuk mendekat ke arah gadis itu, "Ya sudah, besok saya antar kamu ke toko buku."
Ayunda menggelengkan kepalanya. "Saya pernah nyari ke toko buku tapi nggak ada yang jual. Maka dari itu saya pinjam di perpustakaan kota."
Helaan napas Laut terdengar. Laki-laki itu mengambil ponselnya dan menekankan jarinya beberapa kali di sana. Setelah cukup lama, senyum laki-laki itu tercipta.
Udah hampir nabrak, nggak ngasih solusi malah main hape! Padal pacar aja gak punya!
"Pak Laut ngapain sih?" Akhirnya gadis itu bersuara. Hanya Laut, laki-laki yang selalu mampu membuat Ayunda berani untuk berbicara terlebih dahulu. Bahkan bicara dengan kalimat yang panjang sekaligus.
"Sudah saya pesankan. Paling tiga hari lagi sampai. Lusa sekolahkan? Saya bakal langsung kasih kamu ke kelas kalau sudah sampai." Ayunda mengangguk. Ternyata, Pak Laut itu tanggung jawab ya, baiknya sweet gimana gitu. Baper lagi kan! "Ayo pulang."
"Iya." Dengan jantung yang berdebar, gadis itu akhirnya mengikuti Laut.
***
MALAM itu Ayunda membiarkan angin malam menyentuh lembut kulitnya. Sambil mendongak, Ayunda melihat bintang-bintang mulai menampakkan diri kembali.Tak lupa purnama yang bercahaya terang di atas sana, menggantung membentuk seulas senyum seperti bibir milik Ayunda yang diam-diam menunjukkan bhwa ia tengah bahagia.
"Di sini, bukan?" Laut menghentikan motornya. Ayunda memandangi sekitar sambil tersenyum lebar.
"Iya.”
Ayunda turun dari motor Laut, kemudian menatap kikuk ke arah pria itu, untuk sesaat Ayunda bingung harus melakukan apa. Apalagi saat Laut tersenyum manis dan menatap gadis itu sangat teduh.
"Pak Laut mau mampir dulu?"
"Boleh," Laut turun dari motornya, kemudian menatap Ayunda yang tak bergeming. Ayunda bicara begitu hanya basa-basi, tapi Laut menganggap serius. Permasalahannya, Ayunda dilarang Brata pacaran. Jadi, Ayunda takut Ayahnya akan salah paham jika Laut masuk ke dalam rumahnya.
"Siapa, Ay?" Suara itu membuat Ayunda menjadi kaku. Laut melihat perubahan ekspresi Ayunda, bergantian dengan lelaki di belakang gadis itu.
"Kamu takut?" Ayunda mengangguk ragu, “Udah, santai saja,"
Senyuman Laut lagi-lagi mampu menenangkan hati Ayunda. Seolah memberi ribuan tenaga baru bagi gadis itu untuk menghadapi.
"Selamat malam, Pak. Saya Laut, guru Ayunda. Tadi nggak sengaja kami ketemu, jadi saya antar dia," Belum ada satu jam, mereka sudah berbincang begitu akarapnya. Bahkan mereka seolah lupa akan keberadaan Ayunda yang pucat pasi ketakutan dengan reaksi Brata. Meskipun, nyatanya Brata tidak mempermasalahkan apa pun.
"Saya kira pacarnya, tadi. Anak saya nggak pernah bawa cowok ke rumah. Sok High Quality Jomblo," Keduanya lantas tertawa. Hingga akhirnya, Laut melirik ke arah Ayunda dan tersenyum lagi. Dalam tatapan itu dapat Ayunda mengerti, bawa Laut mengatakan ucapannya benar. Semua baik-baik saja.
Brata melihat dua sejoli di depannya yang saling pandang dan berdehem. Ia merasa geli melihat tingkah putrinya dengan pipi merona itu.
"Tapi sepertinya bentar lagi, status putri saya bakal berubah,"
"Ayah nggak jelas," Ayunda segera menyela. Tidak mau Ayahnya bicara yang tidak-tidak.
Brata terkekeh melihat putrinya yang salah tingkah. Beliau tertawa dengan lebar sambil mempersilahkan Laut untuk masuk di kediaman rumah mereka, “Ayunda! Buatin minum dulu!”
Greget parah 😘
Comment on chapter BAGIAN SATU : Kamu, Aku, Kita Berbeda.