KONDISI jalan yang macat hanya menambah penat. Maka dari itu, setelah sampai rumah dengan selamat, Laut langsung memilih memeluk Rebecca dan menawari bocah kecil berusia empat tahun itu untuk beli ice cream di swalayan terdekat.
"Lebecca nggak mau ice cleam," ujar Rebecca cadel sambil berseru marah. Lalu menatap Laut dengan tatapan paling lucu andalannya, tatapan dimana Laut tidak akan pernah bisa menolak permintaan satu-satunya keponakannya itu. “Lebecca mau sayap, Om Laut.. Sayap."
Rebecca menggerak-gerakkan tangannya seperti sayap. Seolah ia bersiap terbang setelah tubuhnya loncat-loncat. Laut hanya bisa mengernyit dengan dahi yang mulai bergelombang. Lama-lama, Laut merasa permintaan Rebecca semakin aneh.
"Sayap apa sih?"
"Yang kayak di film balbie! Mama bilang Om Laut punya sayap, Lebecca mau minta bial bisa telbang kayak kudanya balbie tadi."
Dan Laut menepuk jidadnya. Jadi, ia sedang dikerjai Bu Esa? Dari ruang keluarga yang hanya berisi Laut dan Rebecca itu, Laut menoleh ke arah dapur. Semua kegiatan yang dilakukan di dapur dapat terlihat melalui ruang keluarga. Karena memang pembatas ruang keluarga dengan dapur di rumah Laut dibatasi dengan sekat tembok seukuran setengah badan, sisanya, kaca yang menjulang tinggi.
Dari sana, Laut bisa melihat betapa menyebalkan wajah Bu Esa yang mengerjai Laut tanpa rasa bersalah. Bu Esa tertawa di sana sambil mengaduk adonan kue bersama Rani dan Mamanya.
"Kamu ada-ada aja. Ya nggak bisa dong, kan yang bisa ngasih sayap cuma yang di atas," Laut menunjuk-nunjuk jari telunjuknya ke langit. Namun, Rebecca menatap atap rumah dan bertanya.
"Tukang benerin genting?" Karena Rebecca baru ingat, atap rumah neneknya bocor, dan sekarang sedang ada tukang yang membenarkan genting di atas sana.
"Allah, Rebecca."
Dan air mata Rebecca berkumpul di mata gadis kecil itu. Rebecca sudah siap meledakkan tangisnya. Sebelum itu terjadi, Laut mengambil suara kembali. “Yuk. Ke Mc Donald."
"Bukan sayap ayam, Om Laut!"
***
ARISAN perkumpulan warga sudah selesai. Papa Rani yang rumahnya berada persis di depan rumah Laut turut membantu merapikan rumah Laut. Selain itu, memang sebenarnya Papa Rani dan Papa Laut terbilang dekat.
Keluarga besar Laut dan keluarga Rani kini tengah makan bersama di meja makan rumah Laut yang besar. Segala jenis makanan tersaji di sana, namun Laut hanya memilih makan dengan telur asin dan juga ayam goreng. Laut itu nggak suka sayur. Jadi, jangan harap kalau kalian akan lihat piring Laut terisi oleh kuah sayur atau pun daun-daun sayur yang hijau.
Laut bukan kambing.
Itu yang selalu dikatakan oleh Laut ketika mamanya memberi segala jenis sayuran di atas piringnya. Namun Laut sangat lahap memakan lauk-pauk. Contohnya rolade, Laut suka, burger, Laut suka, bahkan kripik bayam pun Laut suka. Tapi kalau jadi sayur, Laut nggak suka. Aneh memang, tapi begitulah adanya.
Biasanya di dalam meja makan itu tidak pernah ada suara ketika mereka makan. Karena prinsip keluarga Laut begitu kuat, mereka menganggap bahwa bicara di sela-sela makan adalah perbuatan yang tidak sopan. Tapi, tidak dengan hari ini
Walau pun sedikit, Papa Laut masih sering berbincang dengan Papa Rani. Mereka bicara hal-hal konyol yang menurut mereka menyenangkan. Dan Laut mengabaikannya karena telur asin lebih menggoda.
"Jadi, bagaimana dengan rencana kita yang sudah kita buat selama sepuluh tahun yang lalu?"
Papa Laut menegak air mineralnya. Sebenarnya, Papa Laut tidak rela jika putra satu-satunya kembali dengan Rani. Walau keluarga keduanya berteman dengan baik, itu tidak menjamin kalau Laut akan bahagia.
Buktinya adalah cara keduanya berpisah enam tahun lalu. Jika memang tamparan Laut menyakiti Rani, haruskah butuh empat tahun untuk mendapatkan maafnya? Bahkan ketika Laut sudah menemukan kebahagiaannya sendiri.
Papa Laut memang tidak tahu dengan pasti. Tetapi Papa Laut percaya dan yakin, bahwa dua tahun terakhir ini Laut lebih ceria, lebih cerah, wajahnya yang biasanya selalu datar tampak lebih ekspresif. Seperti orang sedang kasmaran.
"Saya sih, tergantung sama Laut aja. Sebagai Ayah, tentu saya mau yang terbaik untuk anak saya."
Rihana menyentuh tangan suaminya. “Kita lanjutkan dong. Tentu saja, itu harus," Lalu menatap Rani. “Iya kan, Rani?"
Dengan malu-malu, Rani tersenyum. Namun Laut yang sedari tadi sibuk memakan makanannya sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.
"Laut," Panggil mamanya lembut. Laut menoleh ke arah mamanya. Dan sebuah pertanyaan muncul bagaikan sebuah pukulan keras untuk Laut. Menyiksa ulu hati pria itu dengan sangat. “Laut mau kan, menikah dengan Rani?"
Pertanyaan retorik, seharusnya mama Laut tahu bahwa pria itu tidak mungkin menerima. “Ma.."
Mama Laut tersenyum lembut. “Ini permintaan Mama yang terakhir, Mama mau kamu segera menikah, sayang. Kamu sudah berusia tiga puluh tahun."
"Laut sudah menemukan pilihan Laut, Ma."
Papa Rani yang mendengar sejujurnya pun sudah tahu. Dia mengamati Laut, dua tahun terakhir ini, Laut sudah terlihat tak lagi mengejar Rani, Laut tak lagi berusaha mendapatkan maaf dari Rani.
Allah saja maha pemaaf, kenapa Rani yang manusia pelit memaafkan? Bukankah itu sombong?
"Laut.." Suara Rihana bagaikan tanda untuk peringatan Laut. Dan Laut yang sudah muak memilih meninggalkan ruang makan untuk menuju kamarnya.
Laut membanting tubuh di kasurnya, emosi bercampur aduk. Baru saja Laut dan mamanya memulai kehidupan baru dengan kehangatan yang baru, namun Laut merasa tidak sanggup. Dan sisi lain, Laut bertanya-tanya apakah ia harus mengorbankan mama yang sudah melahirkan dan merawatnya sejak bayi hanya untuk seorang gadis kecil itu.
Perasaan Laut terasa kacau. Ia tidak lagi bisa berpikir jernih. Karena gadis itu yang menguatkan Laut selama ini, yang mengubah hari-hari Laut menjadi lebih menyenangkan.
Suara ketukan pintu terdengar. Bu Esa menyembulkan kepalanya dari luar sana. Melihat Laut hanya melirik ke arah pintu, Bu Esa memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar Laut dan duduk di samping pria itu yang sedang rebahan dengan nyaman.
Diam menyelimuti mereka. Tak ada yang mau membuka mulut untuk bicara, keduanya sama-sama memilih untuk berkutat dengan pikiran mereka masing-masing.
"Ayunda, Laut?"
Embusan napas Laut terdengar. Ia berucap lirih, dan Bu Esa tahu betapa putus asanya Laut hanya dari cara lelaki itu bicara. Kondisi mamanya yang akhir-akhir ini semakin menurun membuat Laut lemah.
"Aku nggak mau ngecewain dia, Mbak."
"Di saat Laut sedih, Ayunda selalu jadi alasan Laut untuk tertawa. Di saat Laut muak dengan kehidupan ini, Ayunda datang dan memberi banyak harapan baru untuk Laut."
Bu Esa hanya diam, namun ia mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Laut.
"Mencintai Laut itu nggak mudah. Bersama Laut itu nggak gampang. Sudah banyak hal sulit yang Ayunda lakukan, dia sering mendapat perlakuan nggak enak dari orang-orang di sekolah. Ayunda juga selalu sabar menghadapi sikap Laut yang sering membuatnya sedih. Tapi Ayunda bertahan. Bagaimana bisa Laut membuat dia kecewa lagi?" Laut menatap langit-langit kamarnya. “Laut jatuh cinta sama dia."
Tanpa disadari keduanya, sepasang mata menatap mereka dengan hati yang terluka. Penyesalan timbul menyelimuti hatinya. Melihat Laut tersiksa karena permintaannya membuatnya merasa bersalah. Tetapi ia takut, tak punya banyak waktu lagi untuk merawat Laut. Maka dari itu ia ingin Laut segera menemukan pendampingnya, agar ada yang merawat Laut ketika ia tak lagi berada di sini.
Saat ia berbalik untuk meninggalkan Laut, ia mendapat suaminya berdiri di belakangnya. Papa Laut menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun Rihana tahun bahwa tatapan itu menyiratkan kekecewaan. Seolah, Papa Laut sedang mengatakan, bahwa ia ingin putranya bahagia.
JANGAN LUPA TEKAN JEMPOL SAMPAI BERUBAH WARNA KUNING YAAA.
Berikan review jika sempat π
Greget parah π
Comment on chapter BAGIAN SATU : Kamu, Aku, Kita Berbeda.