SORE ini, rinai hujan kembali turun. Ayunda menatap ke arah parkiran sekolah. Di sana banyak murid yang mulai menyalakan kendaraannya dan segera pulang. Ayunda masih di sana bukan tak ada minat untuk pulang, tapi hari ini ia lupa membawa payung.
Dor!!
Suara guntur kan terdengar. Dan Ayunda rindu Wulan. Biasanya jika musim hujan, Ayunda menemani Wulan menunggu hujan reda di kelas sebelum mereka pulang bersama. Karena jika musim hujan, Wulan pulang dengan kendaraan umum. Tapi, sekarang gadis itu pasti ketakutan.
Iya, mereka belum berbaikan sampai saat ini. Rencana ulang tahun Wulan dulu gagal tanpa Ayunda. Gadis itu tidak datang demi menghafal lagu dangdut permintaan Laut. Memang Ayunda kurang selektif. Padahal, Wulan pasti tahu lagu itu mengingat Wulan pernah tinggal di Semarang.
Detik demi detik berlalu. Satu persatu murid yang tadinya ramai kini semakin berkurang. Sekolah semakin lama semakin sepi. Lalu, suara gelak tawa terdengar, Ayunda menolehkan kepala. Coklatnya menatap ke arah yang salah. Arah yang membuat hati Ayunda serasa hancur.
Rani menggenggam lengan Laut. Perempuan itu menggenggam lengan Laut dengan begitu possesive. Tapi hanya sekilas, saja gadis itu melihat, bahkan Ayunda merasa bahwa ia salah melihat. Atau, bukan menggenggam namun Rani segera menepisnya, tak mau terlihat oleh Ayunda.
"Belum pulang, kamu?"
Suara Laut menyadarkan Ayunda, membuat Ayunda terkesiap. Ayunda meremas rok abu-abunya dengan jari lentik itu. Menahan perasaan asing yang pernah hilang. Ini pertama kali mereka bicara di luar kelas, selain membahas tentang masalah Ayunda di kelas.
"Nunggu hujan reda," Laut tersenyum, tapi balasan Ayunda hanya senyum kaku. Dia tidak tau harus bagaimana. Rasanya benar-benar canggung.
"Saya antar pulang yuk."
Ayunda menggeleng, ia melihat ke Rani. Perempuan itu hanya tersenyum, tapi terlihat jelas bahwa senyum itu adalah senyuman yang dia paksakan.
"Saya masih mau di sini," Ayunda menggigit bibir bawahnya, sementara Laut menatap rinai. Ayunda suka hujan.
"Kalau gitu saya akan temani kamu sampai hujannya reda," Iris mereka bertemu, Ayunda menemukan senyum tulus di bibir Laut. Hati Ayunda menghangat, seakan rasa cemburu yang baru saja bergejolak sirna entah kemana. Ayunda bahagia, Laut ada di sisinya.
Laut melepas jaket yang ia kenakan, kemudian memasangkan pada tubuh Ayunda, berharap dapat membantu gadis itu untuk menghangatkan tubuh.
Dalam cuaca sedingin ini, Rani merasa panas melihat drama romantis di depannya. Laut memberi perhatian yang over. "Kamu bilang arisan Papa kamu nanti jam 8? Apa nggak lebih baik kita pulang lebih awal agar aku bisa bantu Mama kamu siapin arisan?”
Entah kenapa, rasanya hati Ayunda porak-poranda. Kalimat yang baru saja Rani katakan seolah menampar Ayunda. Karena, Ayunda baru sadar, bahwa rumor tentang Laut dan Rani balikan benar-benar terjadi.
"Oh iya. Ayunda, kalau gitu kita duluan ya? Soalnya keluarga ada acara," Ayunda mengangguk lemah, lagi pula ia tidak mungkin bisa menahan Laut.
Rani tak bicara lagi, ia pergi meninggalkan Laut dan Ayunda. Ayunda menatap ke arah rinai hujan, Ayunda berfikir bahwa dia sama seperti hujan, ia dibuang berkali-kali tapi tetap kembali pada langit. Ayunda benci keadaan ini.
"Nggak usah cemburu. Mama hanya rindu kue buatan Rani," Bisikan itu terdengar di telinga Ayunda, seharusnya itu dapat menenangkan Ayunda, tapi sekarang Ayunda benar-benar tak mampu lagi menahan gejolak rasanya.
"Saya nggak cemburu."
Laut tersenyum, ia menunduk sedikit untuk mensejajarkan wajah mereka. Dan Laut bahagia melihat rona merah di pipi itu karena perbuatannya.
"Yakin?"
"Seratus persen."
"Ayunda sayang Laut?"
"Gak!" Laut tersenyum, kemudian tangannya bergerak. Mengusap puncak kepala Ayunda. Ayunda terpaku lagi. Gadis itu merasa kaku sekaku-kakunya. Jantungnya kembali berdebar. Ia jatuh hati setiap kali melihat Laut dan sekarang hatinya serasa terjun begitu saja. Ayunda senang.
"Nggak papa kok kalau cemburu, jujur saja. Saya malah senang," Kemudian, Laut tertawa lebar. Ayunda memerah, dia memukul kecil lengan Laut dan pria itu mengaduh.
"Pak Laut hoby banget godain saya."
"Cie yang tergoda," Ayunda tertawa, semu merah di pipinya bermunculan lagi.
"Enggak, Pak Laut."
Laut merasa hangat, bibirnya tercetak senyum jahil, "Enggak apa?"
"Pak Laut nggak usah mulai deh," Tertebak sudah sifat jahil Laut. Gelak tawa terdengar diantara keduanya. Ayunda beranjak mundur.
"Katanya Pak Laut mau ngajak Bu Rani bikin kue, ya udah sana, nanti Bu Rani ngomel-ngomel."
"Ngusir nih ceritanya?" Laut menaik turunkan alisnya menggoda. Ia bahkan tak terpikirkan sampai di sana. Ia tak peduli jika Rani marah padanya.
"Ih, nggak gitu. Kasian Bu Rani nunggu lama."
Laut tertawa. Padahal tak ada yang lucu, ia mendekat pada Ayunda, kemudian meraih bahunya, "Kode ya, biar kamu yang saya ajakin kalau Bu Rani ngambek sama saya?"
"Tau ah!"
Ayunda segera berbalik dan pergi dari Laut. Ia kembali ke kelas. Tak tahan lagi dengan godaan Laut yang diberikan padanya. Suara tawa Laut semakin menghilang. Sementara Laut masih bertahan menatap Ayunda, sampai punggung itu menghilang ditelan oleh sekat.
Mungkin, hanya dengan itu, Laut bisa memberikan kode pada Ayunda, bahwa Laut tak ada hubungan lagi dengan Rani. Benar, kan? Laut hanya bahagia dengan Ayunda. Sifat Ayunda yang mudah dijebak dan semburat merah di pipinya itu adalah hal yang bisa membuat Laut tersenyum. Dan Laut ingin menjaga kebahagiaan itu.
***
AYUNDA menatap ke dalam kelas kecantikan dan tersenyum samar. Wulan masih di sana, sendirian. Gadis itu memakai earphone-nya, mendengarkan musik seperti biasanya. Berjaga-jaga bila suatu saat guntur datang, Wulan tak mampu lagi mendengarnya.
Ayunda duduk di samping Wulan. Tak sabar lagi dengan sikap gadis itu. Ayunda duduk di samping Wulan, menarik salah satu earphone yang Wulan kenakan lalu memakainya.
Wulan menatap ke arah Ayunda, "Nggak ada sahabat yang setia.”
"Gue nggak peduli. Yang penting, sahabat gue harus selamanya jadi sahabat gue."
"Itu yang gue maksud. Nggak ada sahabat yang setia kecuali lo. Bahkan lo yang dateng ke gue setelah gue jahatin lo."
Ayunda tak acuh. Ia bersenandung mengikuti irama lagu yang terdengar di indra pendengarannya.
"Maafin gue, Ay. Gue sadar gue salah. Nggak seharusnya gue tampar lo karena cemburu buta. Kalau Taufan tulus, harusnya dia nggak masalah kalau gue ngajak backstreet."
"Nggak segampang itu," jawab Ayunda cuek. Wulan mengangguk, ia tau, dia memang salah karena selalu membuat Ayunda sedih. Dan apapun yang Ayunda minta, sebisa mungkin Wulan akan melakukannya. Meskipun Ayunda harus membalas perbuatan jahat Wulan juga.
"Lo mau gue ngapain? Pasang poster di mading bikin surat pernyataan kalau gue temen musiman? Atau kalau gue orang yang gak tau diri? Gue harus gimana?" Ini memang kemauan Wulan. Zara dan Vela sempat bicara padanya tentang masalah ini. Memang, nggak seharusnya dipermasalahkan. Lagipula, reaksi Laut hanya biasa saja.
Ayunda menatap serius ke arah Wulan. Wulan menerima dengan jantung berdebar. Takut Ayunda menantang yang berat, "Gue laper, traktir gue coffe latte di Cafe PSatyai ya?"
Hening sejenak, kemudian, tawa keduanya pecah. Memang tak ada yang lucu. Tak ada pula yang perlu ditertawakan. Ayunda tak peduli dengan semua yang pernah Wulan lakukan. Laut benar, Wulan tak akan lama marah padanya.
"Lo tetep sama ya."
Ayunda tersenyum tipis, "Asal Pak Laut udah nggak salah paham lagi sama gue."
Wulan tertawa, ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Ayunda. Dia loyal, "Yakin cuma coffe latte?"
Ayunda mengetuk-ngetuk dagunya. Ia berpura untuk berpikir, "Nggak deh, kayaknya gue laper parah. Sekarang yukk.."
Wulan menggeleng dan Ayunda menarik tangan Wulan, "Nggak mau! gue takut guntur, Ay."
"Ntar gak gue maafin! Ayo sekarang!"
"Nantang nyawa lo, Ay. Jahatnya.. Impas kejahatan gue," Ayunda tertawa.
--
Ada perubahan di part 21. Mungkin, besok atau besoknya
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG