Kamu adalah ketidak sempurnaan yang sengaja dikirim Tuhan untuk melengkapi sisi kurangku. Agar kita berdua menjadi satu kesatuan yang sempurna.
--Laudito Nugroho—
Jakarta, April 2017
HARI ini cuaca cerah, secerah hati Laut yang sejak tadi bersenandung ria. Sambil membuat daftar penilaian siswa, pria itu menggigit sari roti untuk mengisi perutnya yang lapar.
"Goyang nasi padang.
Pakai sambal randang.
Sambal orang minang. Uhuk-uhuk..”
Laut gelagapan. Ia mengambil gelas berisi kopi hitam kesukaannya untuk meredakan batuk itu tatkala tersedak makanan. Ya, Laut masih saja suka dangdut.
"Ciee, Pak Laut keseleg. Biasanya kalau tersedak, artinya ada yang kangen itu."
Laut menoleh, kemudian tersenyum ke arah perempuan itu. Selesai mengerjakan pekerjaannya, Laut memilih duduk di samping Bu Seruni, ikut nonton drama kesukaan perempuan itu lewat laptopnya.
Sejujurnya, Laut bukan fanboy, tapi mantan-mantannya kebanyakan penggemar drama korea, jadi Laut sudah terbiasa dengan drama korea seperti yang ditonton oleh Bu Seruni sekarang. Mungkin Bu Seruni juga masih tergolong muda, baru menikah dua tahun lalu dan sekarang baru dikaruniai dua anak kembar yang sangat lucu.
"Pak Laut, saya punya tetangga nih. Cantik lho, dia kerja di perusahaan besar, jadi accounting di sana. Orangnya baik, mau saya kenalin?"
"Pak Laut sudah ada calon sendiri, Pak," Bu Esa menyahut ucapan Pak Bayu.
Pria itu menyeringai, "Ayunda?"
Semua pasang mata di sana kini menjadikan Laut pusat perhatian. Sudah lama rasanya, mereka tidak pernah melihat Laut malu ketika membicarakan seorang gadis.
Bu Esa, sebagai kakak yang menyayangi Laut tentu saja mencari tahu tentang gadis itu. Kata guru-guru, Ayunda terlalu menyepelekan pelajaran. Ayunda selalu sibuk dengan tidur dan ponselnya yang selalu dibawa kemana-mana itu. Ayunda tidak pintar, dengan rangking paling bawah, dia tidak punya teman di kelasnya, dan Ayunda dari keluarga biasa-biasa saja.
"Pak Bayu kok tau?"
“Siapa yang nggak tau? Pak Laut yang galak nempel terus sama anak akuntansi yang mainnya sama anak kelas lain. Apa lagi temennya Zara, siapa yang nggak kenal coba?” Laut baru sadar, memang Zara terkenal di SMK Kejora karena kecantikannya itu.
Pak Bayu tertawa. Sementara Bu Esa tidak, ia hanya terdiam di tempat. Memikirkan kalimat apa yang tepat untuk bicara pada Laut. Dari cerita itu, Bu Esa tidak suka dengan Ayunda. Menurut Bu Esa, Laut terlalu sempurna untuk gadis itu.
"Kenapa harus sama murid sih?"
Laut mengernyit mendapatkan nada tidak suka keluar dari mulut Bu Esa, "Apa salahnya?"
Bu Esa berdecak, "Kamu sudah 29 tahun. Dan dia.. Baru 17 tahun. Hidup dia nggak melulu tentang kamu, ia masih akan memiliki banyak mimpi yang harus dikejar."
"I know," Laut mengangguk. Ia sudah paham dengan impian dan harapan Ayunda ke depan. Ayunda ingin mengambil sekolah kapal pesiar dan menjadi seorang novelis. Laut sudah tahu semuanya. Dan menurut cerita Ayunda tentang impian gadis itu, Laut merasa bahwa ia masih sanggup untuk menunggu Ayunda.
"Sering denger, kan? Kalau anak kecil yang mau sama orang yang udah tua, biasanya cuma mau hartanya aja. Apalagi, dia anak akuntansi, peritungan banget pasti soal.."
"Kalau saya lihat, wajah polos Ayunda nggak mendukung untuk jadi gadis pemeras."
Kali ini Bu Seruni ikut ambil alih keadaan. Bu Seruni cukup dekat dengan Ayunda, Ayunda sering meminta diajarkan materi tertinggal di kantor pada Bu Seruni. Sejak itu, Bu Seruni tahu kenapa Ayunda sering tidur di kelas.
"Ayunda itu hanya belum bisa memilah mana yang harus menjadi prioritasnya. Selama ini, Ayunda tidur jam dua belas malam karena menulis. Gadis itu mengejar mimpinya. Menurut saya, itu wajar. Dan tugas Laut, hanya membuka mata Ayunda, bahwa pelajaran itu nggak kalah penting dengan impian. Saya sudah menasihati gadis itu, tapi dia keras kepala."
Laut terharu mendengar ucapan Bu Seruni. Di saat semua orang meminta Laut untuk menjauh dari semua hal yang menurut mereka tidak baik, masih ada orang yang mendukung Laut untuk tetap berdiri tegak agar tidak menyerah.
***
"GIMANA? Besok mau nonton paskibranya SMK Satu yang paling jos gandos itu?"
Ayunda mengangkat bahunya. Kalau masih di kota Jakarta, tentu saja Ayunda akan datang. Tapi, tim paskibra SMK Kejora ingin menonton tim paskibra SMK Satu, sahabat SMK Kejora yang diadakan di Bandung. Jadi, karena jarak yang cukup jauh membuat Ayunda berpikir dua kali.
"Gak asik kalau nggak ada elo."
"Besok gue juga mau magang. Kayaknya nggak bisa deh."
Saras mengerucutkan bibir. Nggak suka dengan jawaban yang dia dengar dari Ayunda barusan, “Yah.. Apa banget."
Ayunda tertawa, “Kan ada Kania sama Vela, sans dong.." Ayunda memberi semangat pada Saras. Sebenarnya, Saras memang sedang ada masalah dengan anak paskibraka lainnya. Maka dari itu, Saras nggak mau tanpa Ayunda yang baik hati.
Ragu-ragu, Saras mengangguk. Kemudian ia segera naik ke boncengan Pak Lukas. Ya gitu deh, Saras memang kekasih Pak Lukas, guru PPL di SMK Kejora. Beruntungnya Saras..
"Gue sama Pak Lukas duluan ya."
Ayunda mengangguk, “Oke hati-hati."
Pak Lukas tersenyum pada Ayunda. Sedangkan Saras, ia mengangkat jempol.
Ayunda mencebikkan bibirnya kesal, dia menatap ke arah langit dan mendapati awan pekat di atas sana. Tadinya cerah, sekarang hampir hujan. Ayunda suka hujan.. Tapi besok seragamnya masih dipakai. Jadi, Ayunda nggak bisa bermain hujan.
Hampir tiga puluh menit, Ayah Ayunda belum menjemput. Sekarang ini Bus sedang demo, maka dari itu Ayunda minta jemput Brata.
"Tuh kan, si Ayah ngeselin. Minta ditelfon pas butuh jemputan telat mulu. Nggak tau angkot lagi pada demo apa?"
To : Ayah
Ayah jemput dong.. Ayah kan baik hati, rajin menabung, tidak sombong, religius, jujur, toleransi, disiplin, demokratis, kreatif, mandiri, ingin tau, semangat, berkebangsaan, cinta tanah air, pokoknya semua deh..
Ayunda menghapus kembali pesan tersebut. Ayunda tidak dekat dengan Ayahnya. Mereka bahkan terlihat seperti orang asing yang dipaksa tinggal bersama.
"Ayunda, Ngapain masih di sana? Angkutan umum demo? Bareng saya yuk."
Ayunda kaget. Ia segera menoleh ke dalam mobil. Ada Laut yang tampan di dalam sana, iris kopinya terlihat teduh dengan senyuman hangat itu. Hampir membuat Ayunda mati meleleh.
Tanpa menunggu lama, Ayunda membuka pintu mobil di samping kursi kemudi dan masuk. Tidak mempedulikan ekspresi siswa lain yang masih di sana menatap kejadian ini. Bukan urusan kita.
"Nggak ngerepotin, Pak?"
"Ngerepotin sih, tapi emang kamu nggak malu kalau baru masuk terus keluar lagi?" Laut kembali seperti semua. Ia mengerling jahil ke arah Ayunda dan membuat gadis itu salah tingkah. Baru masuk langsung kena alibi Pak Laut yang bikin tambah sayang.
"Hehe.." Ayunda nyengir, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya memasang ekspresi wajah tebal. Agar tidak kelihatan sedang malu.
Laut tersenyum, kemudian menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan, Ayunda memilih untuk menyapu pandangan ke jalan raya yang mereka lewati. Tidak ada yang berubah dari biasanya, tetap sama, polusi dan kondisi jalan yang macat.
Lama, hingga tak terasa, mobil Laut berjalan ke lain arah. Tak sama dengan yang pria itu katakan pada dia beberapa waktu lalu. Mobil itu bahkan juga tak berjalan ke rumah Ayunda.
Curiga, Ayunda menoleh ke arah Laut. Tetapi pria itu hanya mengedipkan mata dan memberi senyum hangat. Membuat Ayunda yang semula ingin bertanya menjadi enggan. Yang pasti, hati itu percaya pada Laut. Jika Laut akan menjaganya.
"Kenapa kihatin kayak gitu? Kangen sama muka ganteng saya?"
"Ih enggak," Ayunda mengelak, "Cuma pengen nanya, kita mau kemana?"
Laut tak menjawab, dia hanya menunjuk ke satu arah dengan dagunya. Tempat yang pernah mempertemukan mereka dulu. Tempat yang membuat Ayunda benci karena dia akan malu mengingatnya.
Laut berjalan di deretan bunga yang bewarna-warni. Ia tersenyum melihatnya, sama halnya dengan Ayunda yang terlihat bahagia melihat bunga-bunga di sini.
"Menurut kamu, bunga apa yang cocok untuk orang yang kita sayang?"
Ayunda menoleh ke arah Laut, “Pak Laut punya pacar?"
Laut mengernyit, lalu tertawa kecil mendengar kata pacar, “Harus banget pacar gitu? Kalau saya mau ngasih bunga ke orang?"
"Berarti gebetan dong?"
Laut masih tertawa, ia menggelengkan kepala. Entah kenapa Ayunda selalu memiliki pikiran yang bertolak belakang dengan dirinya, “Bukan."
"Terus kenapa harus ngasih bunga? Itu sama artinya dengan memberi harapan yang palsu, kan?"
"Mama. Saya mau membeli ini untuk Mama."
Dan Ayunda tersenyum melihat air wajah serius Laut. Pria itu berlalu meninggalkannya bersama semu merah di wajah gadis itu. Bodoh, sampai kapan Ayunda berhenti untuk mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan terlebih dahulu?
"Bunga ini cantik." Laut menoleh ke arah Ayunda. Dia mendapati gadis itu sedang menghirup aroma sari mawar merah yang diambil dari jajaran bunga di sana.
"Iya, cantik." Laut tersenyum, tangannya menaikkan kacamata miliknya yang turun. Memandang Ayunda dengan hati yang berdetak lebih hebat.
Bukan bunganya, tapi orangnya.
Setelah selesai, Ayunda kembali masuk ke dalam mobil Laut. Begitu juga dengan pria itu. Sekarang Laut benar-benar akan mengantar Ayunda untuk pulang ke rumah gadis itu. Karena hari semakin sore, dan senja mulai menutup hari.
"Masih mau di sini?" Suara itu kembali menyadarkan Ayunda dari lamunannya. Dia melihat ke arah depan dan mobil Laut sudah berhenti tepat di depan rumah gadis itu.
Ayunda nyengir, “Eh iya, Pak. Makasih BTW.”
Ketika Ayunda turun dari mobil Laut, Laut mencegahnya. Ada satu hal yang ia lupakan.
"Ini untuk kamu." Laut meyerahkan satu bunga untuk Ayunda. Bunga yang paling Ayunda suka. Tapi, entah kenapa jika Laut yang memberikan bunga itu rasanya lain.
"Kenapa Pak Laut ngasih itu ke saya? Kan, saya nggak minta Pak Laut."
"Kamu memang nggak minta. Ini sekedar ucapan terimakasih."
Dahi Ayunda bergelombang. Sekarang, Laut jadi hafal raut Ayunda yang lagi mikir serius. Karna menurut Ayunda, memang tidak ada yang harus diterimakasihkan, “Untuk?"
"Apa pun."
Sejak hari dimana Ayunda tahu arti tulip kuning, Ayunda jadi melihat bunga di tangannya dengan perasaan yang tidak menentu. Karena bunga itu memiliki dua arti. Persahabatan dan cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin pria itu menginginkan pertemanan karena tak mungkin ada cinta yang bertepuk sebelah tangan. Iya, mana mungkin Laut cinta Ayunda?
Tapi kemungkinan lain.. Adalah Laut memberi sesuatu yang Ayunda suka. Tulip kuning.
“Jangan bingung gitu dong. Anggap saja saya nukar tulip kuning kamu dulu, sekarang.”
***
LAUT membuka pintu itu dan masuk ke dalam sana. Kemudian, dia meletakkan bunga pilihan Ayunda pada narkas yang ada di dekatnya.
Laut melihat ke arah Bu Esa, juga wanita yang ada di samping perempuan itu. Bu Esa tersenyum, kemudian menepuk bahu adikya dan beranjak untuk keluar dari ruangan itu. Memberi kesempatan untuk Laut dan wanita itu untuk berbicara.
"Mama kenapa? Kalau capek harusnya Mama nggak usah bersih-bersih rumah. Biar nanti kalau Bi Sri datang, Bi Sri yang bersihin," Wanita itu tersenyum. Meski pun Laut selama ini seperti itu, kasar dan terihat membenci. Namun dia tetap menyayanginya.
"Mama nggak pa-pa, Laut. Kamu nggak usah khawatir"
"Nggak pa-pa gimana? Kalau Mama nggak pa-pa, nggak mungkin sekarang Mama di sini,” Laut berucap kesal.
"Terimakasih ya, sudah mengkhawatirkan Mama,” Diam. Laut tidak berminat menjawab perkataan sang mama. Karena bagi Laut itu tidak penting, ”Laut.."
"Apa, Ma?"
"Maafin Mama kalau selama ini kamu membenci Mama. Kalau selama ini Laut tidak pernah suka dengan semua yang Mama lakukan."
Jengah, Laut menghela napas kasar, “Nggak usah dibahas yang itu.”
“Mama benar-benar minta maaf sama Laut. Mama menyesal, Sayang.”
“Ma..” Laut menyela, namun Rihana keras kepala.
“Mama tau. Karena Mama, Laut benci wanita. Karena Mama, Laut takut menikah. Karena semua sikap dan keegoisan Mama juga, Laut menderita.”
“Cukup, Ma.. Laut mohon.”
“Mama nggak akan berhenti minta maaf. Mama nggak sanggup jika Laut membenci Mama. Mama terima jika Laut mrah. Tapi jangan pernah Laut membenci wanita. Laut sudah saatnya menikah, tapi Laut masih sendiri. Bahkan, kepastian pun Laut tidak bisa memberi pada perempuan yang Laut cintai.”
"Apa Mama akan berhenti mengkhianati Papa dan memulai untuk setia?" Sinis Laut, menyerah. Jika menyangkut hal itu lagi, Lut jadi benci lagi, perasaan kesal itu datang lagi, bahkan tanpa bisa Laut kendalikan. Karena dia tau dikhianati itu sakit. Padahal Laut datang kesini sudah berusaha melupakan hal itu dengan susah payah.
Rihana mengangguk atusias, "Iya, Mama akan berubah. Laut mau kan, memberi Mama kesempatan?"
Terdiam, Laut berpikir sejenak, melunakkan keegoisannya yang membatu, "Kalau Mama masih mencintai Papa, ya. Laut akan berusaha menerima Mama.”
Senyum wanita itu akhirnya terbit, kemudian tangannya terulur, mengusap pipi putranya, “Terimakasih, Laut"
Laut mengangguk. Jujur, dalam lubuk hati itu dia merindukan kasih sayang seorang Ibu. Papanya juga sudah bicara banyak dan memohon agar Laut memaafkan Mamanya. Jadi, mungkin sekarang sudah waktunya keluarga ini di isi oleh kebahagiaan lagi.
Greget parah 😘
Comment on chapter BAGIAN SATU : Kamu, Aku, Kita Berbeda.