Rose menurunkan koper dari bagasi mobil dan mengulurkan ransel navy kepada Wendy. Wendy mengambil satu pouch yang berisi paspor dan ponselnya dari dalam ransel sebelum menggendongnya dengan satu bahu. Tangan Wendy hendak meraih pegangan koper yang sudah ditarik keluar oleh Rose namun tertahan karena Rose dengan sengaja memundurkan sedikit kopernya sehingga tidak tergapai oleh Wendy.
Wendy mendengus dengan bola matanya yang berputar jengah, “Rose, not that question again, please?”
Rose melipat ujung bibirnya, memandang ragu pada manik mata calon adik ipar yang juga menjadi sahabatnya selama sebelas tahun. Sejemang kemudian Rose meloloskan napas halus dari bibirnya. “Oke. Tapi janji lo bakal sering ngabarin gue atau Javas?”
Wendy mengangguk mantap dengan ibu jari yang mengacung di udara, “Pasti bu bos!” ucapnya penuh keyakinan sedangkan dalam hatinya berkata berlawanan. Ia tidak yakin bisa berhubungan dengan orang-orang yang bisa mengingatkannya dengan hal yang ingin ia lupakan.
Roda koper bergulir sampai ke hadapan Wendy. “Good! Have fun on your trip, babe!”
Wendy tersenyum sembari tangannya meraih pegangan koper. “Sure I will.”
***
Or she will not.
Tanpa Wendy sadari ia sudah menghembuskan napas berkali-kali dalam lima menit pertama ia duduk di dalam pesawat hingga menarik perhatian orang yang kebetulan duduk di sebelahnya.
“You okay, miss?”
Wendy tersentak. Gelagapan. “Ah … ya … emmm… ,” ia menghembuskan napas sekali lagi. Kali ini lebih panjang dari yang sebelumnya. “I’m fine. Thank you.” Jawabnya kemudian dengan berusaha menarik sudut bibirnya yang berharap dapat terlihat seperti sebuah senyuman.
Pria paruh baya dengan perut gembulnya itu kemudian mengangguk. Mungkin merasa lega karena jika ada kemungkinan orang yang mabuk udara dan muntah tepat di kakinya, orang itu bukanlah Wendy yang notabene duduk tepat di sebelahnya.
Wendy membenarkan duduknya sebelum menutup kedua telinganya dengan earphones, berniat untuk mendengarkan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari perkataan Javas ketika undangan beraroma citrus itu berada di tangannya.
“What is not yours is not yours. See what happen right in this moment, Wen?”
Wendy ingat benar bagaimana manik nanar bercampur amarah milik Javas menusuk hatinya. Bagaimana frustasinya Javas ketika adik satu-satunya selalu saja membangkang perintahnya untuk tidak terlalu dekat dengan sosok yang tidak akan bisa diraihnya sekeras apapun ia berusaha.
Sebulir air mata menuruni pipi kirinya diikuti bulir-bulir lain dari kedua matanya. Wendy melengos menatap ke luar jendela. Ia tidak ingin membuat khawatir pria di sebelahnya untuk kedua kali walaupun ia tidak bisa menghentikan bahunya untuk tidak ikut naik turun seirama isakkan tertahannya.
Wendy benci mengakui ini tetapi ia sadar bahwa ia menyesal. Ia menyesal tidak mengindahkan nasehat dari Rose dan selalu melanggar larangan Javas hanya demi egonya yang dibutakan oleh harapan-harapan semu dimana dengan bodohnya hanya ia seorang di sini yang berharap hal tersebut dapat terwujud.
Wendy menyeka airmatanya yang sempat membuat basah beberapa bagian kaosnya lalu ia merasakan benda dingin menyentuh kulit pipinya. Benda berwarna putih berbahan palladium yang melingkari jari manisnya. Benda yang selama ini menjadi pegangan egonya bahwa akan nada saat dimana ia akan menjadi tujuan bukan sekedar peristirahatan.
Sayangnya, kini, ia dapat memastikan bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi.
Dilepasnya cincin itu yang kini berada di antara ibu jari dan jari telunjuknya. Ia tatap lekat-lekat cincin tersebut dan seketika gulungan-gulungan kenangan itu kembali membanjiri otaknya.
“Cincin? Mark? Are you kidding me? How … I mean it will make me so hard to forget you.”
“So don’t. Happy belated birthday, my Wendy.”
So don’t.
Dua kata yang berhasil menyihir Wendy menjadi keledai dungu selama berbulan-bulan kemudian. Dua kata yang menjadi pegangan bagi Wendy untuk terus berjuang. Dua kata yang membuat Wendy merasa bahwa menjalin hubungan dengan tunangan seseorang di mana tunangan tersebut memiliki ketertarikan dengan dirinya adalah sebuah tindakan yang benar. Dua kata yang membuat Wendy merasa bahwa perasaan terhadap lelaki itu mutual dan equal.
***
“You good?” tanya Javas tanpa mengucapkan sapaan terlebih dahulu ketika Wendy mengangkat panggilan darinya.
“Javas, gue baik-baik aja. Chillax, dude. Gue baru sampai hotel ini sih jadi bolehkah gue undur diri dan rebahan sejenak?”
“Nggak sebelum lo kasih tahu gue apa rencana lo di sana. Gue harus pastikan kalau elo nggak bakal melakukan hal-hal yang bisa membahayakan diri—”
“Seperti menghancurkan pesta pernikahan orang, gitu?” Potong Wendy cepat dengan kekehan singkat, merasa lucu dan getir yang menyerang bersamaan.
“Wen—”
“Jav,” Wendy memotong untuk kedua kalinya.”Gue jauh-jauh nyampe Washington bukan tanpa sebab,” Wendy mengangguk-anggukan kepala walaupun ia tahu Javas tidak akan bisa melihatnya, “gue bisa aja ngehancurin pesta pernikahan itu tapi gue nggak mau karena gue sekarang sadar gue nggak bakal dapet apapun bahkan secuil ruang di hatinya untuk menjadi tujuan di hidupnya, Jav. Gue sadar itu sekarang.”
“Wendy…” suara Javas terdengar melembut sadar bahwa adiknya kini tengah setengah mati menahan tangisnya agar tidak meledak hanya untuk mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, “lo tahu kan gue sayang sama elo? Gue cuma pengen elo berhenti menghindar. Menghindar nggak bakal ngebawa lo kemana-mana. It’s an okay if you don’t want to come on their wedding but at least don’t run away with your memories with him.”
Bukan Javas jika ia tidak tahu luar-dalam dari Wendy. Wendy datang ke Amerika bukan tanpa sebab. Ia datang karena ia ingin menghapus memori-memorinya bersama Mark dengan mendatangi tempat-tempat yang selama ini pernah mereka datangi bersama. Terkesan konyol memang tetapi Wendy hanya ingin mengingat setiap detail kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama Mark untuk terakhir kalinya sebelum ia benar-benar menghapus sosok beserta kenangan-kenangan mereka.
“Javas… gue tahu kalau gue sering ingkar janji sama elo tapi pleaseee … kali ini lo harus percaya sama gue. Ini terakhir kalinya gue bakal inget-inget dia. Ini terakhir kalinya gue bakal sedih karena dia. Karena … karena …” Wendy tergagap, tersedak air matanya sendiri, “karena gue nggak bisa hidup dengan kepura-puraan bahwa selama ini gue nggak ada hubungan apapun sama Mark. Gue udah banyak bohongin elo, Rose, ayah sama bunda dan gue nggak mau ngebohongin diri gue juga. Jadi biarkan gue tersakiti untuk terakhir kalinya. Okay?”
Hembusan napas halus keluar dari bibir Javas membuat suara gemeresak di telepon. “Okay. Kalau gitu lo istirahat-istirahat dulu deh sana. Jangan lupa kabarin gue atau Rose atau bunda atau ayah ya. Kita nggak mau tiba-tiba dapet kabar kamu dipulangkan ke Indonesia karena jadi TKW illegal di sana.”
Wendy terkekeh singkat. Kekehan yang tulus kali ini. “Sialan, lo!”
“Jaga kesehatan. Makan yang banyak. Enjoy your holiday!”
“Thank, Jav. Thank you for everything. You really a good brother.”
“Good?”
Wendy memutar bola matanya. “Okay okay, you are the bestest brother I have. Happy now?”
“That’s my girl! Bye!”
Tepat telepon berakhir Wendy melemparkan ponselnya ke atas kasur diikuti tubuhnya yang terlentang dengan kaki masing menggantung menyentuh lantai. Telapak tangannya ia angkat tinggi, memperlihatkan cincin itu kembali.
“Harusnya gue sadar dari awal bahwa sebanyak apapun kecupan yang lo kasih ke gue. Seberapa banyak bunga yang lo kirim ke kantor. Seberapa banyak kata cinta yang lo lontarkan ke gue, Mark. Gue tetap nggak bisa menggoyahkan apa yang sudah terlanjur mengakar di dalam hati lo. Gue tetap bukanlah alasan yang cukup kuat buat lo berani untuk melepas cincin yang selama ini melingkar di jari lo.” Gumam Wendy kepada dirinya sendiri.
Setelah itu Wendy membiarkan dirinya menangis untuk kesekian kalinya. Berharap stok air matanya untuk Mark akan segera habis sehingga ia tidak perlu merasa sakit dan payah secara bersamaan.