Aku digiring lagi ke ruangan tahanan. Aku pun tidak tahu sebabnya apa. Tapi, ya sudahlah, untuk saat ini aku pasrah saja.
Mataku kini sembap. Dan sedari tadi aku hanya duduk terdiam. Kenapa harus Denayla. Padahal ia teman baikku. Kenapa? Kenapa?
Arya yang tadi memandangiku langsung duduk didekatku.
“Perih yah?” tanyanya.
Aku langsung memeluknya erat. Menumpahkan lagi kesedihanku yang belum surut.
Aku hanya sedih saat tadi melihat jasad Denayla. Hanya menyisakan wajah tragis yang tidak berdosa.
Kesedihanku semakin memuncak saat kulihat jasad Denayla ditutupi kain kafan. Dan sekarang? Yah, aku tidak memiliki teman lagi.
Ku lepaskan pelukannya, “Aku menyukaimu, Arya.”
Ucapku spontan.
Ia sedikit terkejut dan kikuk, “Silakan itu hak mu.”
“Terima kasih,” ku peluk lagi Arya. Tubuhku pun kini hangat. Otakku pun melepaskan hormon endorfin.
Aku hanya berharap. Aku ingin Arya menemaniku setiap hari. Aku hanya ingin tidak sendiri lagi. Dan berharap Arya adalah hiburanku.
Ku lepaskan pelukanku lagi, dan dihapusnya air mataku oleh Arya.
“Terima kasih,” ucap aku.
Arya hanya tersenyum. Entah kenapa, ketika melihat Arya, ada rasa yang aneh. Ada sebuah rasa yang membuatku nyaman. Yang membuatku bisa menjadi manusia yang seutuhnya dikala seperti ini. Ok.
Arya berucap, “Ta. Yang tabah yah. Mudah-mudahan Denayla bisa diterima di sisi Allah yah. Aamiin.”
“Aamiin.”
“Ta. Aku ingin sekali ngomong sesuatu untukmu,” ucap Arya sedikit tersenyum.
Mendengar kata itu, aku langsung salah tingkah. Pipiku memerah padam. Air mata pun lenyap seketika. Please Arya, don’t give me a sureprise again.
“A… apa?” tanyaku gugup.
“Jangan malu gitu dong. Pipimu merah tuh.”
Aduh. Pipiku memerah lagi.
“Tuh, kan. Pipimu malah merah lagi. Jangan malu dong, nanti tambah cantik.”
Aku semakin malu. Jantungku berdegub kencang. Pipiku sudah merah lagi. Wajah yang tadi aku dongakkan ke Arya, menjadi menunduk.
“Ah, tidak jadi deh. Pipimu merah lagi. Nanti aku makin suka,” ucap Arya dengan senyuman sempurna.
Aku tersenyum malu. Akhirnya, aku terhibur. Sudah lama aku tidak seperti ini. Terus berlarut-larut dalam kesedihan duniawi.
“Tuh, kan. Aku jadi suka. Salahmu tuh,” ucap Arya bersunggut-sunggut manja.
“Jadi?” tanyaku spontan dikombinasikan malu.
“Aku pun suka kamu.”
Ada rasa mendesir yang menjalar ke hatiku. Apakah ini? Apa? Lucu kan? Hah?
Pipiku semakin merah. Kemudian tangan Arya memegang tanganku, “Sekarang mau nggak kamu…”
“Shuit!” siul Kak Dian yang sedari tadi ada disamping mejaku.
Aku menoleh dan terkejut melihat jam tangan yang dipakai Pak Anthony Ghideon. Aku terperanjat dan mendekati Kak Dian.
“Dapatnya gimana kak?”
“Ada deh. Sekarang, kita hanya perlu mikir, gimana caranya keluar dari sini.”
“Itu terserah kakak saja,” jawabku.
Lalu Kak Dian berfikir sejenak. Sampai lima menit.
Kak Dian maish berfikir.
“Ok. Akan kakak jelaskan,” lalu Kak Dian menjalaskan kronologisnya.
Aku mengangguk.
“Ok. Kita lakukan!”
***
Kami langsung beranjak berdiri dan keluar dari ruangan dengan memakai jam tangan itu. Kami mengendap-ngendap. Tidak ada yang jaga di ruangan ini. Ok, lanjut.
Aku ditugaskan oleh Kak Dian bersama Arya ke ruangan persenjataan. Untuk mengambil persenjataan sebanyak-banyaknya.
Aku pun berjalan pelan menuju sebuah lorong panjang. Dan sampailah kami menuju pertigaan lorong. Dengan hati-hati kami berjalan sambil memperhatikan sekitar.
Aku terus berjalan. Lalu kami berbelok dan ketemulah ruangan itu. Pintunya otomatis dan tidak ada yang menjaganya. Mungkin karena Kak Dian telah meng-hacknya.
Kami masuk, dan banyak sekali senjata-senjata disini. Dari Magnum-65 sampai ke LG-61 pun ada. Wow! Lalu, ada lighsaber yang paling mematikan, yaitu LS-360.
Aku cepat-cepat ambil senjata itu. Dan kembali keluar dengan selamat.
“Arya. Sudah ambil bom?” tanyaku.
“Sudah.”
“Ok. Kita lanjut!”
Itulah misi kedua kita. Meledakkan kapsul ini.
***
Kami lalu menempelkan bom tersebut dengan sangat cepat. Dari sudut-sudut lorong hingga toilet pun, kami tempel. Nah. Rasakan tuh!
Inilah tantangannya! Di depan telah berdiri seorang penjaga lengkap dengan lighsabernya yang sudah aktif. Arya sedang berhadapan dengan penjaga itu. Aku ada di belakangnya.
“Kamu bukannya tahanan?” tanya penjaga itu sangar.
“Terus?” tanyaku lagi sewot.
“Tempatmu bukan disini. Ayo masuk ke ruangan lagi. Atau saya akan panggil Pak Anthony!”
“Silakan.”
Arya langsung menendang lightsabernya. Lighsaber itu terlempar begitu saja. Setelah itu, Arya menendang penjaga itu. Dan aku pun cepat-cepat mengambil lightsaber itu.
Penjaga itu bangkit lagi. Dan sekarang, adrenalin ia terpacu. Penjaga itu, menendang Arya dan mengenai perutnya. Arya jatuh terpuruk kesakitan, dan mengerang.
Aku berteriak kecil. Lalu, tanpa ada jeda sedikit pun, penjaga itu meninju perutku yang membuatku terpuruk. Aku mengerang kesakitan. Dan lightsaber itu pun terlepas dari tanganku.
Arya segera berdiri menahan sakit dan menarik penjaga itu menuju tembok. Karena nafsunya semakin tinggi, Arya meninju perut, wajah, dan kemaluan penjaga itu. Penjaga itu mengerang kesakitan, dan pada akhirnya, penjaga itu pun “pingsan”. Mungkin bisa jadi mati.
Kemudian, Arya mendekatiku, “Mita. Kamu tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja.”
Tanpa selang beberapa waktu, Arya tumbang kembali. Karena diserang oleh lima penjaga. Ia kembali jatuh.
Tanpa pikir panjang, aku meraih lightsaber itu dan menghunuskan lightsaber itu, tepat di jantung masing-masing penjaga. Semua penjaga itu pun tumbang, bersamaan.
Aku merangkak mendekati Arya, “Arya, sakit?” tanyaku menahan sakit juga.”
“Tidak. Ayo! Kita harus cepat-cepat!” Arya beranjak berdiri dengan lunglai.
“Tapi. Benar bisa?” tanyaku khawatir.
“Iya! Ayo!” ajaknya.
Kami kemudian berlari pincang untuk memasang satu bom lagi.
Kami telah memsangnya. Kemudian, kami mencari gerbang keluar di kapsul ini.
Kami terus belok ke kanan. Kemudian kiri. Kemudian lurus. Dan ya. Aku melihatnya.
Aku belum melihat Kak Dian dan Kak Mila. Tapi. Ini sudah melanggar janji. Kemanakah mereka semua?
“Kemana Kak Dian?” tanyaku panik.
“Iya juga. Kemana yah?” tanyanya balik yang juga dengan panik.
Lalu, dengan keanehan dan anomali, dibelakang Arya telah berada Pak Anthony yang dengan tidak piker panjang, ia mencekik Arya dan mengangkatnya.
“Hebat sekali! Kalian bisa keluar dari ruanganku. Bagaimana caranya?!” tanyanya dengan penuh amarah.
“Tolong lepaskan Arya!” teriakku.
Ia tidak mendengar, “Arya? Biarkan saja dia mati.
Arya kesakitan. Tubuhnya bergelinjangan kesana kemari. Tangannya pun, memegang kuat-kuat tangan Pak Anthony yang kalah besar.
“Tolong lepaskan Arya!”
Ia malah semakin membangkang, “Hah? Apa?”
Warna wajah Arya kini berubah menjadi merah. Dan ia nampaknya sudah kelelahan.
“Tolong Lepaskan Arya!!!” teriakku dengan sangat kencang.
Lalu, Pak Anthony melepaskan Arya dan pingsan. Ternyata, yang menendang adalah Kak Dian.
“Kak! Cepat!” Arya beranjak berdiri dan memegang sedikit lehernya yang sakit. Ia nampaknya mengumpulkan kembali napas yang habis. Oh, aku takut dengan nasib Arya.
“Ini, untuk kalian. Pakai! Ini adalah parasut.” Kak Dian memberiku satu parasut. Ok. Ini seperti tas.
“Kalau tangan kakak membentuk tangan nol, berarti kalian harus membuka parasutnya, ok?”
Aku mengangguk.
Kemudian, pintu pun terbuka dan aku tertarik keluar. Aku pun terjun.
Arya telah menyalakan timer untuk bom yang tadi.
Aku sekarang melayang di ketinggian lima puluh kilometer di atas permukaan laut.
Bedebum keras terdengar, puing-puing kapsul pun bertebaran. Dan sedikit terkena tanganku. Gesekannya membuatku sedikit berdarah.
Kak Dian telah member tanda dan aku membuka parasutku.
"Huh... Ampun Ya Allah. Aku tidak mau seperti ini lagi. Aku trauma Ya Allah. Ampunilah dosaku. Aamiin," batinku.
Kami mendarat di trotoar SMA Negeri 3 Jakarta.