Sebuah Pertemuan
“Bagiku, kamu adalah puisi tanpa diksi, prosa tanpa kata dan artikel tanpa referensi. Tapi aku masih bisa menuliskan pesonamu, menggoreskan tinta abadi di hatiku, merangkai aksara mengagumimu. Jadi, jangan lagi tanyakan alasan, mengapa aku mencintaimu.”
Abu melebur bersama titik-titik hujan yang membasah tanah. Kata-kata mama tadi pagi membuat seluruh tubuh Abu seakan menyebut satu nama, Zahra. Sejak detik saat kedua mata Abu menangkap wajah Zahra pertama kali, hati Abu yang seolah tak berpintu, tiba-tiba membangun banyak jendela dan pintu yang mempersilakan Zahra memasukinya.
***
“Eh, lo?”
“Iya, bisa kita ngobrol bentar?” Abu memandang Zahra dengan tatapan sedikit meneduh.
“Buat apa? Ada masalah lagi?”
“Ah, nggak kok. Cuma mau ngobrol aja sama lo.”
“Ngobrol? Maksud lo?” Kali ini mata Zahra membelalak lebih lebar.
“Oh, iya, sini, Abu, silakan!” Meme yang sedari tadi duduk tenang di bangku depan Zahra pun mulai sedikit menggeser posisi duduknya. “Kamu bisa duduk di sini, Abu.”
“Meme! Lo apaan sih?”
“Aduh, Ra! Sakit tau!” Meme meraba pahanya yang sengaja dicubit Zahra.
“Hm, thanks, ya Me. Lo baik banget. nggak kayak sahabat lo yang ….”
“Apa?” Zahra kembali menatap Abu, “Siapa yang lo maksud? Gue?”
“Jangan GR donk. Biasa aja. Kalau emosi mulu, cantiknya ntar kabur, loh.” Abu pun membalas tatapan tajam Zahra. Namun, kali ini dengan senyuman yang begitu ramah.
Dan Zahra, rupanya ia mulai tersesat dalam labirin pesona mata Abu. Wajah simpatik Abu memang sudah sangat sering menyesatkan. Tidak sedikit gadis di sekolah tiba-tiba berubah arah saat mendapati wajah Abu melintas. Bahkan, banyak juga yang terpaksa berhenti melangkah karena terjerat sinar mata Abu yang menyilaukan.
Berlebihan memang. Zahra sering mengeluhkan itu pada Meme. Zahra merasa bahwa gadis-gadis itu, termasuk Meme, terlalu mengagumi Abu yang bagi Zahra biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
“Jangan kelamaan ngliatinnya donk.” Abu mengangkat sedikit kedua alis matanya, “Ntar naksir loh.”
Seketika Zahra terkesiap.
“Astaghfirullah! Apa yang aku lakukan?” bisik Zahra lirih. “Memalukan!” umpat Zahra pada dirinya sendiri.
“So? Gimana? Jadi boleh gabung, kan?” Tanpa permisi lagi, Abu langsung duduk di samping Meme, tepat di depan Zahra.
“Me, gue ke kelas duluan, ya.”
“Loh, Ra. Lo kenapa?”
“Nggak pa pa, lagi ilang napsu.”
“Udah, Me, biarin aja.” Abu ikut menyela. “Mungkin dia lagi butuh sendiri.”
Zahra kembali menatap Abu yang terlihat tersenyum tipis padanya.
“Mau lo apa sih?”
“Loh, gue cuma mau gabung kalian aja.”
“Gue nggak mau!”
Tanpa menjawab atau bertanya, Abu hanya sedikit mengangkat kedua bahunya.
Sedang Zahra yang terlihat makin kesal dengan sikap dan kata-kata Abu, berlalu meninggalkan Meme dan Abu. Kali ini, Zahra seakan melupakan Meme.
Meme yang sedari awal tidak mengerti dengan permusuhan Zahra dan Abu makin terlihat bingung dan salah tingkah menempatkan dirinya sekarang.
“Loh, Ra! Tungguin gue!” Meme bergegas berdiri dan berusaha mengejar Zahra.
Namun, belum juga Meme mengawali langkahnya, Abu sudah lebih dulu meraih tangan Meme. “Udah, biarin aja. Duduk, gih!”
Tanpa mampu menjawab bahkan menolak, Meme menuruti saja mau Abu. Tangan Meme tiba-tiba terasa dingin. Genggaman Abu selaksa racun ular berbisa yang merambat masuk ke seluruh urat nadinya.
“Tapi, Abu, gue harus susulin Zahra.”
“Lah, kenapa emang? Lo baby sitter dia?”
“Ya, bukan sih. Tapi kan ….”
“Udah. Baso lo dingin, tuh. Makan, gih! Keburu nggak enak.”
“Lebih nggak enak lagi sama Zahra, gue.”
“Nggak enak kenapa? Udah, ntar dia, gue yang urus.”
“Asli. Gue nggak enak sama Zahra.” Meme berkata sembari sesekali mengunyah butiran baso di mulutnya. “Lagian, kenapa sih Zahra kelihatannya benci banget sama lo?” Sejenak Meme terpaksa menghentikan kunyahannya.
“Nah itu dia!” Abu berkata sedikit bertenaga kali ini. hingga hampir seisi kantin mengarahkan pandangan ke meja Meme dan Abu. Bahkan, Meme pun hampir tersedak karena kaget.
“Lo apaan sih?” Meme terpaksa melotot. “Tuh, lihat! Semua pada nglihatin kita, tau!” Meme menebar pandangannya ke seluruh kantin. Dengan sedikit menundukkan kepala, ia melirik ke hampir seluruh ruangan.
“Emang kenapa, sih? Lo malu duduk sama gue?” Abu kembali bicara agak keras.
“Bukan, eh, anu ….” Meme mulai terbata. Ekspresi wajahnya pun tampak sedang salah tingkah. Sedang Abu memandangi Meme dengan kebingungan. Hingga ia pun mengernyitkan sedikit dahinya.
Alis Abu yang tebal tampak mirip ulat bulu yang hendak berebut makanan. Namun, bukan jijik yang dirasakan orang yang melihat, pesona sepasang ulat bulu di wajah Abu itu cukup membuat semua gadis terpana, termasuk Meme. Apalagi, tatapan sepasang mata itu, sudah pasti mampu menghentikan denyut nadi Meme.
“Kenapa lo, Me? Jangan ikut-ikutan aneh kayak temen lo, deh!”
“Mampus, gue.”
“Kenapa lo?” Abu makin kebingungan melihat tingkah aneh Meme.
“Hai, Abu, selera lo aneh ya, hari ini.” Mandy, siswi tercantik di sekolah tiba-tiba menghampiri meja Meme dan Abu. Dengan dikawal oleh seorang teman perempuannya, Mandy duduk tepat di depan Abu.
“Mandy?” Abu terkejut melihat Mandy ada di hadapannya. “Maksud lo selera, apaan?”
“Ngapain lo duduk bareng nih cupu? Mending juga sama gue,” kata Mandi seraya melirik kea rah Nunu yang berdiri di sampingnya.
“Sama lo? Kalian?”
“Iya, donk.” Kembali Mandy berkata dengan intonasi manjanya.
“Oh, yang ada, gue kehilangan selera, makan,” jawab Abu dan berdiri hendak beranjak pergi. “Yuk, Me, bentar lagi masuk tuh.”
Meme yang masih terbius pesona Abu, mengikuti saja ajakan Abu melangkah meninggalkan Mandy dan Nunu yang bersungut-sungut menahan kesal dan malu.
Tak lama berselang, Meme menghambur, menghampiri Zahra yang sedang duduk di bangkunya.
“Ra! Lo tadi kenapa, sih?” Meme tiba-tiba duduk di samping Zahra yang sibuk dengan novel setebal bantal di tangannya. Hanya sebuah lirikan, tanpa kata. “Ra! Lo kenapa sih?” Meme mengulang pertanyaannya. Ia mengernyitkan dahi sampai kaca mata yang menggantung di hidung kecilnya hampir saja jatuh.
“Sssstttt! Lagi seru, nih.”
“Baca apaan sih, lo?” Meme memaksa melihat sampul novel itu. “Hm, thriller lagi?”
“Huum, udah ah, seru nih.”
“Seneng banget baca thriller.” Meme kembali mengusik Zahra. “Sekali-kali baca romance, napa? Biar tahu rasanya jatuh cinta.” Meme terkekeh.
Dan sekali lagi, hanya lirikan tajam dari Zahra yang ia dapatkan sebagai jawaban.
Mendapat respon dingin dari sahabatnya itu, Meme terus saja nyerocos. “Eh, tahu nggak sih, lo, Ra? Kayaknya sih ya, Abu jatuh cinta beneran sama lo”
“Ngomong sekali lagi tentang dia, gue cabut.”
“Hm, nyantai aja lagi, Neng. Sewot banget kayaknya.”
“Meme! Jangan bikin gue bête, deh.”
“Hm, cieeee, salting gitu, Neng.” Meme terus saja meledek Zahra.
“Apaan sih, lo Me? Nggak banget deh.”
Wajah Zahra bersemu merah.
Memang, mata Meme tidak salah menangkap ekspresi salah tingkah Zahra. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum kesal gadis berhijab yang baru empat bulan menjadi bagian dari sekolah itu.
“Hm, by the way, tumben, ya Me ….”
“Itu namanya cinta sejati, Ra,” sambar Meme sebelum Zahra menyelesaikan kalimatnya.
“Lo kenapa sih, Me? Gue lagi ngomongin bu Victorya.”
“Ups!” Meme menutup bibir mungilnya. “Kenapa emang?”
“Hm, nggak biasanya, kan beliau telat gini?”
“Eh, iya, udah lima belas menit lewat.”
Bu Victorya memang salah satu guru favorit di sekolah. Perawakan yang tidak terlalu tinggi, tapi beliau terlihat menarik dengan balutan blazer yang pas di badannya. Ia juga cukup langsing. Jadi, tampak proporsional dengan tinggi badannya. Ditambah dengan senyum ramah dan ucapannya yang tegas dan bersahabat, membuat banyak siswa nyaman dengan materi-materi yang beliau sampaikan.
Bahkan, bu Victorya ini tidak pelit ilmu. Beliau selalu open minded saat ada siswa yang mengajaknya berdiskusi. Meski untuk beberapa siswa, pelajaran yang beliau sampaikan cukup sulit, tapi dengan cara membaur dengan cara berpikir anak-anak, bu Victorya pun menghilangkan kesan bahwa kimia itu sulit. Pelajaran kimia itu menantang dan menyenangkan. Hingga jam kosong untuk kimia adalah hal yang tidak diinginkan oleh para siswa.
Belum selesai kedua gadis itu membicarakan bu Victorya, guru kimia, Abu datang merangsek masuk ke kelas mereka.
“Assalamualaikum, semua,” kata Abu menyapa seluruh penghuni kelas yang mendadak hening. “Hm, gini, tadi gue dari ruang guru, dan ini ada titipan tugas dari bu Victorya buat Zahra.”
Mendengar namanya disebut, Zahra terkesiap, bola matanya berkeliling seluruh kelas.
“Gue?”
“Oh, jadi lo yang namanya Zahra?” Abu tersenyum, pasang wajah pura-pura tidak mengenal Zahra.
Sejak siang itu, Zahra terpaksa sering berkomunikasi dengan Abu. Bu Victorya, guru kimia mengajar di kelas mereka. Jadi, meski beda kelas, mereka berdua sama-sama mengambil jurusan IPA. Maka sudah pasti mereka mendapat pelajaran kimia dari bu Victorya. Meski siswa baru, Zahra tergolong siswa cerdas, termasuk untuk materi-materi kimia. Maka karena bu Victorya sedang mendapat tugas pelatihan ke luar kota selama lima belas hari, materi kimia untuk kelas sebelas terpaksa dititipkan ke beberapa siswa yang beliau percaya mampu. Zahra dan Abu adalah pilihan bu Victorya untuk tugas itu.
“Gimana, Ra? Udah lo e-mail-in kan tugas teman-teman?” Abu tiba-tiba berjalan menjajari Zahra yang asyik berjalan berdua dengan Meme menuju perpustakaan sekolah.
“Ini otewe.”
“Oooo, barengan ya.”
“Maksud lo? Barengan kemana?”
“Kirim e-mail lah. Lo pikir?”
“Ooooo, nothing.”
“Jangan terlalu jutek donk, Ra. Kita kan partner sekarang.”
“Partner?”
“Eh, iya, gue ….” Abu sejenak menghentikan kalimatnya. Sedang Zahra sempat melirik sinis padanya. “Gue mau barengan ke ati lo. Boleh?”
“Apaan sih.” Zahra mempercepat langkahnya, meninggalkan Abu dan Meme yang terkekeh melihat Zahra makin salah tingkah.
“Loh, Ra, tungguin gue!” Meme mengejar langkah Zahra.