Menatap Indahmu
“Hey! Di sini kalian ternyata.”
“Assalamualaikum, Abu.”
“Eh, waalaikumsalam. Sorry-sorry gue telat banget, ya?”
“Ah, nggak kok. Kita aja yang kepagian. Iya, kan, Ali?”
“Hm.”
Formasi lengkap. Senja ini, di halaman belakang sekolah, Abu, Ali dan Zahra telah berkumpul. Sengaja mereka ke taman itu saat senja. Mereka ingin menyempurnakan pertemuan kali ini, bertiga saat senja di taman belakang sekolah.
Langit senja sebentar lagi merekah. Semburat jingga sudah mulai tampak di sudut langit sebelah barat. Angin bertiup tenang menyapa dedaunan yang telah lelah berjemur. Pun burung-burung kecil tak lagi sibuk bercicit. Mereka bersiap terbang beriring pulang ke sarang. Senja hampir saja tiba.
“Assalamualaikum. Sudah ngumpul kalian ternyata.” Pak Jo tiba-tiba muncul dari balik rerimpun pohon penitian yang tertata rapi.
“Waalaikumsalam,” kompak ketiga sahabat ini pun menjawab.
“Pas banget nih, pak Jo datangnya. Gue juga baru datang kok, Pak.” Abu berkata pada bapak penjaga sekolah ini.
“Ini, bapak bawain ubi rebus. Hasil nyabut sendiri.”
“Oya?” Zahra meraih piring yang dibawa lelaki tua itu.
“Iya. Itu tuh, di sebelah sana itu. Di bawah pohon besar itu, bapak tanam ubi jalar. Selain daunnya cantik, buahnya bisa dimakan juga, kan.”
“Ih, pak Jo keren juga.” Zahra berkata dan mengambil salah satu ubi rebus yang tampak masih hangat di piring.
“Tapi pak, bukannya di pohon itu ada penghuninya?” kata Ali sambil merebut ubi di tangan Zahra yang telah selesai dikupas. Seakan tanpa dosa, ia pun memakan ubi itu. Ia tidak peduli pada wajah Zahra yang terlihat kecut memandang tingkahnya.
Kebiasaan Ali yang senang sekali menggoda Zahra. Abu terkekeh ringan melihat tingkah Ali. Apalagi melihat ekspresi wajah Zahra yang sebenarnya kesal, tetapi tampak lucu dan menggemaskan.
“Eh, apa tadi? Penghuni?” Abu terdengar penasaran.
“Iya. Belum tahu kan, lo? Ada penghuninya tuh pohon.” Ali menunjuk ke arah pohon besar yang tadi ditunjuk oleh pak Jo. “Pak Jo, kalau kesitu ati-ati loh.”
“Lo ngomong apaan sih, Ali?” Abu masih penasaran.
“Tapi nggak usah takut, pak Jo. Penghuninya cantik dan nggemesin.” Ali mengedipkan sebelah matanya pada Zahra yang masih terlihat bersungut-sungut. Kulit ubi kupasannya kali ini tepat mendarat di hidung Ali yang mancung. “Eh, bisa marah juga penghuni pohon besar itu, Pak.”
“Ali!” Zahra sedikit berteriak memanggil nama Ali.
Ali terkekeh melihat ekspresi Zahra yang seperti itu. “Ih, kenapa lo, Ra?”
“Bisa diem nggak, lo. Kalau nggak …. “
“Kalau nggak, apa? Mau bikin gue jatuh cinta sama lo lagi?” Kekeh Ali terdengar lebih keras kali ini.
Sedang Abu terkesiap dengan kalimat Ali itu. Jatuh cinta? Zahra ingin membuat Ali jatuh cinta padanya? Apa maksudnya?
“Ali! Penunggu apaan sih. Kalian ini aneh deh.” Abu masih ingin mendapat penjelasan.
“Sudahlah. Kamu kok lupa sama kebiasaan Ali to Abu. Bukan e dia tu paling suka nggoda?” Logat medok kejawa-jawaan pak Jo sedikit melegakan hati Abu yang sedari tadi berkecamuk dengan arti sebuah kalimat dari Ali.
Lelaki tua yang hampir tiga lima tahun mengabdi sebagai penjaga sekolah ini pun meninggalkan tiga sahabat itu dengan sepiring ubi rebus di piring. Ali masih terkekeh melihat tingkah Zahra. Kali ini, Zahra sudah tidak sekesal tadi. Ia tampak menikmati ubi rebus di tangannya. Sedang Abu, ia memandang Ali dan Zahra satu per satu, bergantian. Tidak ada guratan apapun yang ia temukan dari kedua wajah itu. Tampak biasa saja.
Langit senja makin memerah saja. Gulungan awan putih sudah berjajar rapi di langit barat. Matahari sudah lelah bersinar seharian. Ia mulai melingsir ke barat. Perlahan ia menutup wajah malunya di balik awan. Lambaian matahari sungguh luar biasa indah. Cahaya cemerlang itu sayang untuk sedetik pun terlewatkan.
“Eh, senja sudah mulai hilang, tuh.” Ali berkata sembari merebahkan tubuhnya di atas matras rumput.
“Iya, nanti kalian bisa terlewat indahnya, loh.” Pak Jo datang lagi. Kali ini bukan lagi ubi rebus di tangannya, tapi sebuah nampan dengan seteko teh manis hangat dan empat cangkir menyertainya.
“Eits, pak Jo tahu aja. Setelah ini apa lagi, Pak?” Abu menerima nampan itu dari tangan pak Jo.
“Maaf, bapak hanya punya ini buat kalian.” Pak Jo duduk bersama mereka. “Kalian sih, mau kesini nggak bilang-bilang dulu. Kan Bapak bisa buatkan kalian baso, soto, bakmi, …”
“Sudahlah, pak Jo. Ubi rebus dan teh manis ini sudah istimewa buat kami.” Abu menepuk pundak lelaki tua itu.
“Iya, Pak. Harusnya kami yang minta maaf, sudah merepotkan pak Jo,” timpal Zahra.
“Tuh kan, Pak. Gue bilang juga apa, penunggu pohon besar itu, bisa ramah juga, kan?”
“Ali! Nggak usah mulai deh, lo!”
“Oalah, mbak Zahra to penunggu pohon itu? Wah, kalau mbak Zahra penunggunya, bapak kerja apa donk? Tapi nggak pa pa sih, alhamdulilah, lumayan.”
“Lumayan?” Ali heran.
“Iya. Lumayan kan ada bu dokter deket sini. Jadi, kalau bapak masuk angin, bisa periksa gratis,” jawab lelaki tua itu dengan lugunya. Setua itu, bapak satu anak ini tidak berpenyakit apa pun. Hanya masuk angin yang mampu mengusik tubuh pak Jo.
Sejak muda, ia adalah lelaki yang rajin dan menjaga sekali kebersihan. Meskipun sejak muda telah menduda, pak Jo tidak menikah lagi. Ia rela hidup sendiri membesarkan anak perempuan satu-satunya. Ia mendidik anak perempuannya dengan penuh perhatian. Baginya, jangan sampai anaknya merasa kurang kasih sayang. Meski tanpa ibu, putrinya itu harus tetap merasa memiliki ibu. Ia banyak mengajarkan pada putrinya tentang bagaimana seorang perempuan dan menjadi perempuan.
Sekarang, anak perempuan pak Jo sudah lulus kuliah juga. Putri pak Jo memang seumuran dengan ketiga sahabat itu. Jadi, itulah mengapa, pak Jo sangat dekat dengan ketiga sahabat itu. Apalagi, projek taman di halaman belakang sekolah ini, membuat hubungan pak Jo dan ketiga orang ini menjadi semakin dekat.
Senja makin merayap dalam. Sapaan malam mulai terasa bersama desir angin yang terasa makin dingin. Ubi rebus di piring dan teh hangat yang telah dengan tulus hati disediakan pak Jo mulai habis.
“Udah hampir maghrib, deh.” Zahra memandang langit yang tak sebiru tadi.
“Iya. Kalian sholat di sini, kan?” tanya pak Jo sembari memandang ketiga sahabat itu bergantian.
“Jelas nggak lah, Pak.” Ali langsung menyambar pertanyaan pak Jo.
“Loh? Kenapa? Masjid sekolah bersih kok. Bahkan sekarang sudah dibuka untuk orang-orang sekitar.” Pak Jo menjelaskan dengan sangat serius kali ini. “Bahkan, sekolah sudah mempermudah aksesnya. Gerbangnya dibangun buesar, kan sekarang?” Pak Jo kembali memandangi wajah mereka satu per satu.
“Iya, Pak. Keren banget, ya masjidnya sekarang.” Abu mengomentari.
“Terus? Kenapa kalian malah nggak mau sholat di sini?”
“Hadeh, Pak Jo, Pak Jo, masih terjebak aja sama omongan Ali.” Abu menepuk pundak pak Jo yang terlihat makin kebingungan.
“Maksud kalian?”
“Pak, gue ulangi ya pertanyaan Bapak tadi, ‘kalian sholat di sini, kan?’ ya gue jawab nggak donk.” Ali masih yakin dengan jawabannya. Sementara Zahra sudah tidak bisa menahan tawa.
“Loh, kenapa? Ini mbak Zahra juga. Kenapa malah ketawa gitu?” Pak Jo makin terlihat panik.
“Eh, kok jadi gue sih, Pak yang kena juga.” Zahra berusaha menahan kekehnya yang makin tak bisa tertahan. Rasanya, ingin segera menghambur saja.
“Kalian ngerjain Bapak, ya?” Pak Jo mulai menyelidik. Matanya melirik-lirik dan jari telunjuknya berputar mengarah ke ketiga sahabat itu. “Ha? Ha?”
“Pak Jo, Pak Jo, aduh, udah deh kalian. Gue nggak tahan nih.” Zahra menengahi, membuyarkan penasaran di pikiran pak Jo. “Pak Jo, siapa juga yang mau sholat di sini? Kita tuh maunya sholat di masjid, bukan di sini.”
“Astaghfirullah… kalian ini!” Pak Jo mengelus dada. “Maaf, Bapak lupa kalau kalian ini penulis. Jadi, em, apa ya itu namanya ….” Pak Jo mulai menggaruk-garuk kepalanya. “Diksi ya? Diksi itu penting ya saat ngomong.”
“Ih, siapa yang penulis? Tuh dia tuh yang penulis terkenal. Kalau gue mah apa.” Ali mengangkat sedikit dagunya. Gesture menunjuk ke arah Abu yang cengar-cengir melihat ekspresi wajah pak Jo.
“Ilmu padi tuh, Pak. Padahal dia tuh ilmuan malah.” Abu menepuk pundak Ali, sahabatnya.
“Aduh, udah deh, kalian semua tuh, sahabat gue yang super deh pokoknya.” Zahra mengedipkan sebelah matanya. “Sekarang kita sholat. Yuk, ke masjid!” Zahra bangkit dari duduknya, merapikan gaun dan memakai flat shoes yang sejak tadi sengaja ia lepas agar duduknya tidak terganggu. “Eits! Mau pada kemana? Itu piring, gelas, apa kabar?” Zahra menunjuk ke arah piring dan gelas-gelas kosong di nampan.
“Udah, biar Bapak aja yang beresin. Kalian duluan sana ke masjid. Ntar Bapak nyusul,” kata Pak Jo sambil membereskan piring dan gelas tadi.
Masjid sekolah berada tidak jauh dari taman halaman belakang. Masjid itu terletak tepat di kiri kompleks gedung sekolah. Saat memasuki area masjid, ketiga sahabat itu memutar pandangan ke seluruh bagiannya.
Tidak banyak perubahan. Ukuran dan bentuk masjid itu masih sama. Tidak terlalu megah, tapi cukup luas untuk menampung seluruh siswa di sekolah itu. Kalau dibandingkan saat mereka masih bersekolah dulu, masjid itu mengalami sedikit perubahan saja. Warna cat tentu saja diganti. Memudar karena cuaca dan usia membuat mereka harus mengecat ulang dinding dan pagar masjid. Selain itu, benar kata pak Jo, ada gerbang di masjid. Dulu, hanya siswa dan warga sekolah yang bisa menggunakan masjid, karena pintu hanya berada di dalam area kompleks gedung sekolah. Tapi sekarang, gerbang masjid terbuka untuk umum. Ada gerbang yang dibangun menghadap ke jalan raya. Sehingga masyarakat sekitar sekolah, bahkan orang yang dalam perjalanan bisa singgah untuk sholat di masjid itu.
“Astaghfirullah! Ali! Lo apaan sih?” Zahra yang sudah mengambil wudlu tiba-tiba tanpa sengaja bertabrakan dengan Ali. “Ngapain lo, di sini?” Zahra terlihat menggerutu.
“Eh, masyaAllah, maaf, Ra. Gue nggak lihat kalau ini tadi tempat wudlu wanita.”
“Alah! Bohong ya, lo? Gimana bisa lo nggak lihat. Orang di situ ada tanda segede gardu gitu.”
“Iya, beneran gue nggak lihat. Udah lah, Ra, kan gue udah minta maaf. Tinggal wudlu lagi, kan. Apa susahnya? Lagian bisa makin seger.” Ali cengar-cengir dan menggoda Zahra. Ia berharap Zahra tidak sampai marah kepadanya.
“Apa lo bilang? Apa susahnya?” Kali ini wajah Zahra terlihat serius. Ada garis yang belum pernah sekali pun Ali lihat tampak dari wajah Zahra. Garis merah! Garis wajah yang jelas menampakkan bahwa ada sebuah kekecawaan yang besar. Marah.
“Ra? Lo nggak marah, kan?” Ali masih mengiba. Wajahnya mulai menunduk, seolah menghindarkan pandangannya pada Zahra. Namun, tangan, kaki, bahkan seluruh tubuhnya terasa kaku, enggan bergerak.
“Ali! Lo reseh banget sih! Gue kesel banget sama lo. Gue …, ih Ali! Lo bener-bener.”
“Ra! Gue kan udah minta maaf.” Kembali Ali berani mengangkat kepalanya. Kembali memandang wajah Zahra. Memandang wajah yang selama ini hanya ia lihat sebagian saja, karena sebagian kepala Zahra tertutup juntaian hijab lebar dan panjang. Tapi kali ini, Ali benar-benar beruntung dapat melihat seluruh lekuk bagian dari wajah seorang Zahra.
“Ali!”
“Eh, iya, maaf!” Ali kembali menundukkan kepalanya.
“Sekarang lo berbalik!” Zahra berkata agak keras, diikuti gerakan refleks Ali membalikkan tubuhnya. “Udah sana! Jalan!”
“Tapi lo maafin gue kan, Ra?” Ali sekali lagi menengok ke arah Zahra.
“Aliiiiiiiii! Awas lo ya!” Zahra terdengar benar-benar kesal dengan tingkah Ali. Sedang Ali lari meninggalkan Zahra bersama kekesalannya.
Terjebak pandangan Ali tanpa hijab membuat Zahra merutuki dirinya sendiri. Entah sudah sejak berapa lama Ali memandangi wajahnya, rambutnya dan ah, Zahra menghentikan dugaannya. Ia kembali membasuh wajahnya dengan air wudlu. Sedang Ali masih juga menggambarkan detail keindahan yang baru saja ia lihat.