Bersama Hujan
“Loh, Ra, lo masih di sini?”
“Abu, lo juga belum pulang?”
“Iya, tadi masih nyelesein tugas dikit. Sekalian cari wifi gratisan.” Abu duduk di bangku teras sekolah, menyebelahi Zahra yang sibuk dengan novel di tangannya. “Kok lo belum balik, Ra? Nungguin gue, ya?” Abu mulai meledek Zahra.
“Iiihhh, ya nggak lah. Ngapain gue nungguin lo.” Zahra terlihat mulai bersungut-sungut. “Gue nungguin hujan nih.”
“Hahahaha, Ra…Ra… ngapain hujan pake ditungguin? Nah ini udah datang, kan? Rombongan pula datangnya. Terus? Lo nungguin apanya lagi?”
Tawa Zahra pecah begitu mendengar kalimat Abu. Kalimat yang entah dengan sengaja atau tidak ia lepaskan begitu saja.
“Lo kan tahu, gue paling takut sama hujan.”
“Lah, aneh lo, Ra. Di mana-mana orang tuh suka hujan. Penyair, penulis, penyanyi, petani dan lain-lain tuh suka hujan.”
“Iya, iya, tahu. Tapi gue, nggak!”
“Ada alasannya?”
“Takut pilek. Puas?”
Mendengar jawaban singkat Zahra membuat Abu terkekeh ringan. Keriuhan tawa Abu bersaing dengan hentak sang hujan yang makin merapatkan barisannya saja. Dan sepertinya, angin tak ingin ketinggalan moment ini. Semilirnya mulai berbaur bersama rinai sang hujan.
Hingga tempias lembut butiran hujan menyapa wajah Zahra yang masih terlihat kesal. Zahra mulai sibuk menutup wajahnya dengan kain hijab yang terjuntai.
“Ra, ini seger banget.” Sedang Abu malah terlihat menikmati tempias hujan yang makin menyerbu. “Ayolah, Ra, ini seru!” Abu malah memercikkan air hujan dari tangannya ke wajah Zahra yang telah basah oleh tempias sang angin.
“Abu! Apaan sih, lo. Abu!” Zahra terus berteriak menolak. Tapi Abu tidak mempedulikannya. Ia terus saja menggoda Zahra, sedang hujan makin menderu-deru saja.
Entah karena kesal atau telah membaur bersama ramah air hujan, Zahra pun bangkit dari bangku yang ia duduki sedari tadi. Ia mulai menampung air hujan di tangannya, mengibaskan tangan di antara tirai air hingga percikannya membasahi hampir seluruh seragamnya.
Abu memandangi Zahra dengan seluruh polahnya, bercengkrama bersama hujan. wajah yang tadi terlihat kesal, tiba-tiba berubah penuh senyum. Bahkan, suara tawa kecil Zahra sayub terdengar. Dan kali ini, ia menengadahkan kedua lengannya seakan menyambut datang rinai hujan yang makin mejadi sore itu.
Melihat pemandangan seperti ini, Abu tak mungkin bisa menahan inginnya untuk mengajak Zahra menembus hujan. Lagi-lagi, kebiasaan Abu menarik tangan Zahra saat memberi kejutan manis. Kali ini pun demikian. Ia menarik lengan kanan Zahra dan memaksa tubuh Zahra menembus hujan.
Sekarang, mereka berdua benar-benar telah tepat di antara tirai air langit itu. Dan Zahra, telah melepaskan tawanya kali ini. Baru kali ini ia basah kuyub karena air hujan. Hujan yang selama ini ia takuti. Hujan yang dalam memorinya adalah sebuah tangis, kehilangan, kedukaan, kesedihan.
“Ra, hujan tidak menakutkan, kan?” Abu memegang kedua tangan Zahra yang telah basah sempurna.
Tawa di wajah Zahra, tetiba mengatup perlahan. Zahra menatap Abu dalam-dalam, dan ia pun menundukkan kepala. Entah apa yang mengalir deras di kedua pipi Zahra, air hujan atau air mata. Hening. Hingga tubuh Zahra jatuh di pelukan Abu.
Deg!
Hujan memang selalu membawa keberkahan, bagi siapa pun. Dan senja ini, keberkahan untuk Abu. Bisa memeluk Zahra tanpa meminta adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi Abu. Meski saat itu, Zahra terisak dalam pelukan Abu.
Abu pun enggan menggerakkan kedua tangannya untuk membalas pelukan Zahra atau sekedar membelai punggungnya, menenangkan. Ia hanya berdiri mematung di antara rujaman hujan dan rintihan Zahra.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata sedang memandang ke arah mereka. Lelaki itu memfokuskan pandangan sejak awal Abu menyapa Zahra di teras. Wajah lelaki itu tampak tersenyum sepanjang adegan. Sepertinya, ia ikut merasakan bahagia Zahra dan Abu, sahabatnya. Siapa lagi. Lelaki di lantai dua gedung sekolah itu adalah Ali.
***
“Abu!”
Sebuah sapaan hangat dan tepukan lembut dari mama mengembalikan Abu yang sedari tadi bergumul dengan masa lalu. Sedetik kekagetannya memang membuat Abu sedikit geragapan. Tapi, belaian lembut tangan mama yang mendarat di rambut Abu, sanggup mengembalikan seluruh kesadaran Abu, bahwa ia sedang berada di balkon rumahnya sekarang, bercengkrama dengan tulisannya bersama irama hujan yang makin riuh berjatuhan membasahi bumi.
“Ah, Mama.”
“Masih nulis, ya, kamu?”
Abu menjawab tanya sang mama dengan senyuman. Kali ini, mama sedikit membungkuk, seperti ingin ikut membaca apa yang sebenarnya sedang ditulis oleh anak lelakinya itu. “Masih tentang Zahra?”
“Mama.”
“Kenapa, Sayang? Kapan mau ajak Zahra ketemu mama?”
“Ah, Mama. Zahra kan hanya ada di dalam tulisan Abu aja.”
“Oya? Yakin?”
“Tuh kan Mama lihat sendiri. Ada Zahra di situ, Ma, dalam tulisan Abu.”
“Zahra bukan hanya di situ, kan, Sayang? Zahra juga ada di sini dan di sini.” Mama menyentuh lembut pelipis dan dada Abu, menandakan bahwa Zahra ada dalam pikiran dan hati Abu. Zahra benar-benar nyata, bukan hanya jadi tokoh dalam tulisan Abu. “Jangan lupa sholat ya, Sayang. Jika kamu sungguh menginginkannya, mintalah pada pemiliknya.”
Mama meninggalkan Abu yang masih sibuk dengan lanjutan kisah Zahra dalam tulisannya. Di sini, ia lah pengatur isi hati dan apapun yang dilakukan Zahra. Itulah hebatnya penulis. Ia bisa jadi maha pengatur cerita, bahkan takdir para tokoh dalam tulisan itu sepenuhnya ia pemiliknya.
Dan hujan masih saja menderu, menawarkan tempiasnya ke wajah Abu yang masih enggan mengakhiri tulisannya sore ini.
“Sayang, sekarang hujan. Ingatkah, kamu? Saat kamu bilang takut akan hujan? Tiap kali hujan datang dan kamu bersamaku, selalu aku berdoa agar hujan tak segera mereda. Namun, hujan kali ini, tak ada kamu di dekatku. Hingga tulisanku pun sampai pada kisah yang menjemukan. Sayang, salahkah bila yang kutulis tentangmu ini kubuat nyata?”
Abu mengakhiri tulisannya pada titik itu. Desahan dalam menemani gerakan tangan menutup laptop yang sedari tadi menemaninya membersamai hujan.
Abu membasuh wajahnya dengan air wudlu. Sekali lagi, hanya sholat yang dapat menenangkan hatinya dari bayangan Zahra. Hujan dan kenangan. Tiap kali hujan datang, seluruh kenangan Abu bersama Zahra selaksa diceritakan kembali. Tiap tetesnya mengisahkan cerita yang berusaha dijadikannya kenangan.
Senja segera menyapa. Dinding kamar Abu pun terlihat masih bisu menahan dingin selepas hujan seharian. Tirai jendela kamar tetap dibiarkan terbuka. Angin mengirim derasnya kelembutan bisikan. Tetesan sisa hujan masih juga dapat dilihat dari pucuk-pucuk daun di luar jendela kamar. Bahkan, suara tetesnya terdengar oleh kedua telinga Abu yang sekarang sedang tepekur di atas gelaran sajadah panjang di samping ranjang.
Matanya terpejam ringan. Kepala menunduk bisu sedang kedua tangannya seperti menghitung sesuatu yang ia ucapkan lirih dalam hati. Hening. Hanya desir angin dan tetes air di luar jendela yang mendominasi kali ini. Sesekali, desahan dalam Abu seakan terdengar mengeluhkan segala sesak dalam dada.
“Robbi hablii milladunka zaujatan thoyyibah akhubuha wa atzawwaj biha watakuna shoohibatan lii fiddiniini waddunyaa wal akhiroh. Ya, Allah, bila memang Zahra adalah yang terbaik untukku, aku yakin, Engkau akan memberikannya padaku. Aamiin.” Abu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Doa yang cukup pendek terucap dari bibirnya.
Kepala Abu masih saja menunduk, seakan ia enggan bergerak dari tempatnya meratap kali ini. Tempat itu terasa begitu tenang dan mampu mengalihkan sedikit kerinduan Abu pada Zahra yang semakin hari kian menjadi saja. Apalagi, ia mendengar bahwa Ali akan segera menikah. Entah dengan siapa. Namun, Abu takut, jika wanita yang akan menikah dengan Ali itu adalah Zahra.
Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel berdering. Abu masih tak juga mengalihkan perhatiannya atau sekadar mengangkat kepalanya. Sekali lagi, ponsel itu kembali berdering, kali ini bahkan lebih lama dari yang sebelumnya. Abu tetap saja mengacuhkan ponsel yang memanggil-manggilnya dari tadi. Ia terlihat telah nyaman dengan posisinya sekarang, berbincang dan mengeluh sepuasnya pada Allah SWT.
Namun, seseorang di ujung sana tetap tidak mau mengakhiri usahanya untuk menelepon Abu. Ponsel Abu yang terbaring nyaman di atas ranjang pun kembali berdering.
“Hhhmmmm, siapa ya, Allah?” Abu mendesah dan menghampiri ponselnya. “MasyaAllah, Zahra!” Kali ini Abu berkata lebih keras, saat tampak wajah seseorang di layar ponselnya. Tapi sayang, saat Abu menerima panggilan itu, sambungan pun terputus. “Ya, Allah, Zahra.” Abu masih saja merutuki dirinya sendiri. Terlihat ada enam kali panggilan tak terjawab dari wanita yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Wanita yang beberapa namanya disebut dalam doa yang Abu langitkan.
Sekian detik Abu memandangi layar ponsel, menunggunya kembali menjerit. Tapi, tidak ada panggilan masuk yang diharapkannya. Sesal? Pasti. Ada sesal yang tiba-tiba ikut menyeruak di hati Abu. Lengkap sudah sekompi kegundahan mendera Abu kali ini, saat panggilannya ke nomor Zahra masuk ke jalur sibuk. Artinya? Mungkinkah Zahra sedang menelpon Ali?
“Ya, Allah, bodohnya aku.” Abu menggerutu. “Apa aku harus telpon Ali?” Sekali lagi dipandanginya layar ponsel yang masih berada di gengaman Abu. Ia usap layar ponsel itu perlahan dan menariknya ke atas dan bawah, mencari nama Ali di deretan kontak yang tersimpan.
Beberapa detik kemudian, Abu menyambungkan panggilan pada nomor Ali. Dan sibuk!
“Ya, Allah, benar. Zahra menelpon Ali.” Reflex, Abu membanting ponsel ke ranjang. Penyesalan makin mengikat erat tubuh Abu. Ia pun melangkah lesu ke dekat jendela. Ia memandang nanar ke luar. Langit tampak lebih terang, awan gelap mulai berarak menghilang. Senja terlihat lebih merah kali ini. Angin masih terasa dingin menyapa kulit Abu. “Zahra! Untuk mencintaimu, aku harus terus memantaskan diri.” Abu seakan membisikkan kalimat itu pada Zahra. Ia berharap angin kan membawa pesan itu untuk Zahra.
***
“Abu!” Zahra tiba-tiba muncul, membuyarkan fantasi Abu dengan tulisannya senja itu. “Gue nyariin lo dari tadi. Tapi gue yakin, lo pasti di sini.” Zahra duduk di samping Abu yang masih terlihat terkejut dengan kedatangan Zahra di taman belakang sekolah waktu itu.
“Lo nyariin gue, Ra?”
“Iya. Kenapa? Kaget gitu.”
“Ah, nggak. Hm…” Abu tersadar dari kege-erannya. “Maksud gue, dicariin pimred itu bikin gue sport jantung.”
“Ih, kok gitu? Emang gue hantu apa?”
“Yach, kan, artinya, gue harus segera stor tulisan.” Abu tersenyum kecut pada Zahra.
“Hm, dasar.” Zahra memukul lengan Abu ringan. “Eh, tapi, bener juga lo, Abu. Tulisan lo segera, ya. Cerpen galau atau jatuh cinta nih kali ini?”
“Ih, kok ngeledek gitu.”
“Lah, siapa yang ngeledek? Beneran tanya nih gue.”
“Kali ini hooorrroooorrr.” Abu mengarahkan jemarinya seakan hendak menerkam Zahra yang terkekeh melihat eskpresi Abu yang inginnya menakuti.
“Hahahaha. Yang bener, lo? Seorang penulis romance, bisa juga bikin cerita horor?”
“Tuh, kan ngeledek lagi.” Abu berkata seraya menutup laptopnya. “Horor, tapi romance juga sih, Ra.”
“Keren tuh, pasti. Sini-sini jangan ditutup dulu donk. Biar gue baca dulu.”
“Eits, ntar aja, ya kalau udah kelar. Kagak lo kepoin itu, kagak seru, Ra.” Abu menjauhkan laptopnya dari sentuhan Zahra. “By the way, ada apa, Ra, lo nyariin gue? Nggak mungkin kalau hanya karena tulisan. Iya, kan?” Abu menatap dalam wajah Zahra, berusaha menemukan sesuatu dalam mata indah itu.
“Ah, nggak kok. Gue hanya mau ngobrol aja sama lo.” Zahra terlihat salah tingkah kali ini.
“Oh, bener, nggak ada apa-apa, Ra?” Sekali lagi Abu bertanya, “Lo baik-baik aja, kan?”
“Iya, gue fine kok, beneran.” Zahra tersenyum pada Abu. Senyum yang mirip candu bagi Abu, hingga saat ia lama tidak mendapatkannya, serasa sakau hendak mematikan urat nadinya.
***
“Abu. Tutup jendelanya, Sayang. Sudah mulai gelap, kan?” Suara mama kembali membawa Abu pulang. “Nggak baik, di ambang Maghrib begini nglamun.” Mama membelai kepala Abu lembut.
“Eh, iya, Ma. Ini tadi juga mau ditutup kok.”
“Mama tunggu di bawah, ya. Setelah sholat Maghrib, kita makan malam berdua. Mama masak pepes tuna kesukaan kamu.”
Tanpa menjawab sepatah katapun, Abu mengangguk, mengiyakan semua yang mama katakan.
Abu menutup jendela kamarnya, menutup kenangannya bersama Zahra yang sedari siang telah dibawa hujan. Entah apa yang sebenarnya hendak dikatakan Zahra waktu itu. Hingga hari ini, tiap kali Abu mengingat episode itu, ia masih ingin tahu.