Read More >>"> Dialogue (Kembali) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dialogue
MENU 0
About Us  

Kembali

 

Hari mulai beranjak senja. Keriuhan di café tempat Abu menggelar acara meet and greet pun mulai berangsur surut. Tertinggal beberapa panitia yang masih sibuk membereskan situasi, karena pengunjung masih saja berantusias untuk bertemu dengan penulis idola mereka, Abu. Namun, waktu tak bisa berhenti sejenak untuk memuaskan ingin mereka. Para panitia membawa Abu ke bagian lain dari café. Acara segera akan ditutup. Pemandu acara pun mulai terdengar mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih pada para pengunjung café yang sudah berdesakan sedari pagi.

Di sudut lain, Abu masih sibuk mengumbar pandangannya ke sekeliling café. Bahkan menyelinap di antara pengunjung lain yang masih sibuk menikmati kopi dan obrolan mereka. Hingga pandangannya berhenti pada seseorang di sudut café. Sebuah bangku tepat di samping jendela.

“Zahra.” Abu mulai bergumam dan melangkahkan kaki menuju meja itu.

“Hey, Abu. Assalamu’alaikum.”

“Hey, Ra. Wa’alaikumsalam. Gue yakin lo pasti masih di sini.”

“Di luar hujan. Jadi, gue putuskan untuk di sini dulu. Sambil menghabiskan secangkir capucino lah.”

Abu hanya mampu tersenyum membalas kalimat Zahra. Ia tidak mampu menyembunyikan betapa lengkap bahagia hatinya hari itu. Meluncurkan buku kelimanya bersama para pembaca di kota kelahirannya adalah keinginannya sejak setahun lalu, saat pertama kali ia mulai menulis buku itu. Dan bertemu dengan gadis yang sekarang duduk di depannya itu, Zahra.

“Abu? Lo nggak pa pa, kan?” Zahra mengibas lembut tangannya di depan wajah Abu.

“Ah, nggak ko. I’m fine.”

“Kecapean kali lo. Dari pagi gue lihat lo sibuk dengan fans lo.”

“Apa? Dari pagi? Jadi lo di sini dari pagi, Ra?”

“Huum.” Zahra menganggukkan kepalanya lembut.

“Kok lo nggak kasih tahu gue sih?”

“Lah, gimana mau kasih tahu. Lo kan sibuk, Abu.”

“Nggak lah.”

“Sudahlah, Abu. Kan udah lewat. Udah takdir.”

Abu pun kembali tersenyum. Seakan waktu telah berpihak padanya kali ini. Kenangan bersama Zahra beberapa tahun lalu, tiba-tiba berkumpul, memenuhi ruang di kepala Abu. Apalagi, aroma capucino dan petrichor makin membawa romantisme suasana senja di sudut café itu.

“Nggak terasa, ya, Ra, udah sepuluh tahun nggak ketemu. Lo makin cantik, Ra.”

“Apaan sih, lo.”

“Ra, bisa kita bicara sekarang?”

“Bukannya dari tadi kita bicara?”

“Maksud gue, bicara tentang Dia, lo dan gue.”

“Tentang Ali, lo dan gue maksud lo?”

Zahra tersenyum sedikit lebih lebar kali ini. Mungkin menurutnya, Abu benar-benar sedang bercanda. Meskipun sebenarnya ia tahu bahwa Abu ingin membicarakan tentang surat yang ditulisnya waktu itu.

“O iya, Ali. Apa kabar ya dia sekarang?”

“Gimana sih? Bukannya kalian sahabat dari kecil?”

“Iya sih. Tapi sejak itu, gue juga jarang banget ngobrol sama dia. Terakhir sih, gue denger, dia kuliah di Ausie.”

“Iya, lo bener. Ali emang kuliah di sana. Tapi dia sering juga kok pulang.”

“Lo masih sering ketemu, Ra?”

“Hm, nggak sering sih, cuma beberapa kali tiap dia ke Indo, kita biasa ngobrol di sini.”

“Di sini?”

Sekali lagi Zahra mengangguk lembut. Kali ini, ada kecemburuan yang tiba-tiba menyelinap di hati Abu. Bahkan ingin sekali ia bertanya mengapa Ali selalu menemui Zahra saat di sini. Tapi, Abu tidak mungkin menanyakan hal itu sekarang. Ia tidak mau Zahra sampai tahu bahwa ia cemburu.

Saat itu, Abu tidak mau melewatkan kesempatannya untuk mengagumi gadis di depannya ini. Wajahnya masih terlihat sama seperti dulu. Polos, apa adanya dan hampir tanpa make up. Hijab lebar yang ia kenakan pun juga sama. Bahkan, sekarang, Zahra terlihat lebih anggun dan pas mengenakan pakaian syar’i seperti itu. Gadis modern, smart dan gaul yang sholehah. Hanya lelaki bodoh yang tidak mengagumi gadis seperti Zahra.

Irama hujan di luar semakin meninggi rupanya. Tirai langit itu pun terlihat makin merapat. Senja telah menua dan malam menunjukkan kuasanya. Beberapa panitia telah meninggalkan café. Tapi Abu masih tetap ingin tinggal di café itu, bersama Zahra tentunya. Menikmati obrolan-obrolan mereka tanpa peduli hujan dan malam. Bahkan, kaca jendela mulai mengembun oleh dingin sang hujan.

Duduk berdua di bangku café seperti saat itu, seolah bagai mesin waktu yang membawa mereka ke masa sepuluh tahun lalu.

***

“Hey, pada di sini kalian ternyata. Gue nyariin dari tadi, tau.”

“Nyariin di mana lo, Al?”

“Muterin sekolah lah.”

“Muter-muter di satu tempat maksud lo? Eeee kebiasaan sih lo. Tidur dalam kelas.”

Abu mengoyak rambut Ali yang sibuk mengambil bakso dari mangkuk Abu. Bukan hanya sahabat sedari SD, bahkan, Abu dan Ali teman sekelas sampai SMA.  Saat jam pelajaran yang terkesan membosankan, seperti sosiologi, Ali lebih nyaman tidur di dalam kelas. Selaksa mendengar dongeng sebelum tidur saja, Ali menikmati penjelasan sang guru sembari ia merebahkan kepala di meja kelas.

Abu, yang sudah hafal dengan kebiasaan Ali, sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Bahkan, tidak jarang, Abu harus berpura-pura ngobrol sesekali dengan Ali yang tertidur. Ini Abu lakukan agar guru tidak menyadari bahwa sebenarnya Ali tertidur. Itulah mengapa, Abu dan Ali selalu duduk di bangku dekat jendela, di deret kedua dari belakang. Posisi yang cukup aman dan nyaman untuk Ali tertidur saat jam sosiologi.

“Kalian ini kompak banget, yak.”

“Lah, tertipu lo, Ra. Musuh gue banget nih die nih,” celoteh Ali yang tetap melahap habis tiap butir bakso di mangkuk Abu.

“Nggak usah didengerin deh, Ra. Bocah tengil die tuh.”

Zahra memandang kedua sahabat itu dengan tatapan berbinar. Kedua alisnya mengernyit. Jarang sekali ia melihat dua cowok yang bersahabat begitu dekat. Bahkan tiap detik, mereka tak lepas dari kata bercanda. Bola mata Zahra yang hitam bulat makin terlihat melebar melihat tingkah laku kedua sahabatnya itu. Berebut sebutir bakso di ujung garpu. Bisa dibayangkan, kan? Seperti apa tingkah mereka berdua? Bahkan lebih mirip anak TK.

“Hey, sudah donk. Apaan sih kalian.” Zahra mencoba melerai kedua sahabatnya itu.

“Tuh kan, Ra. Lo lihat sendiri. Bakso gue dihabisin sama dia.” Abu bersungut-sungut mengadu pada Zahra.

“Hahahahaha. Kalian lucu banget deh. Tuh lihat! Semua pada lihatin kalian tuh.” Mata Zahra menunjuk ke sekeliling kantin, memberi tanda bahwa beberapa siswa di kantin mulai cengar-cengir melihat tingkah mereka.

“Astaghfirlah, Abu. Lo malu-maluin gue, lo.”

“Eh, kok gue sih. Bukannya lo yang mulai?”

“Lo lah. Masa gue.”

“MasyaAllah, Eh, udah donk. Mau diperpanjang gimana lagi?” Sekali lagi mata Zahra melotot. “Sekali lagi kalian bertingkah kayak anak kecil gini, gue tinggalin. Malu gue deket-deket sama kalian.”

Abu dan Ali pun terdiam. Mereka saling sikut. Kali ini, Zahra yang berwajah kalem menunjukkan muka garangnya. Bahkan, nada kalimat Zahra yang baru saja ia katakan, terdengar sedikit serius.

***

Mengingat kisah masa SMA mereka dapat menghidupkan suasana malam yang makin merayap dalam. Bahkan sesekali, tawa lepas Abu dan Zahra bersaing bising dengan deru hujan di luar café.

“Tahu nggak sih, lo. Waktu itu gue bener-bener nahan tawa lihat muka kalian yang, MasyaAllah, persis anak kecil yang lagi dimarahi emaknya. Hahahaha.” Zahra pun melepas tawa yang seakan telah ia tahan sejak sepuluh tahun lalu.

“Masa sampai segitunya sih, Ra, muka gue?”

“Iya, beneran. Hahahahaha.” Zahra masih saja terpingkal karena kenangannya itu. “Apa lagi muka Ali tuh. Innocent banget, tahu nggak sih.”

Ali. Sudah beberapa kali Zahra menyebut nama Ali di antara obrolan mereka. Dan dari beberapa kalimatnya, Zahra menunjukkan bahwa ia menyukai sikap Ali. Itu yang membuat Abu sedikit menyuram saat nama Ali disebut oleh bibir tipis Zahra. Cemburu? Ah, lagi-lagi Abu harus berusaha menahan diri. Jangan sampai Zahra membaca kecemburuan itu.

Memang sejak hari kelulusan mereka dulu, Ali masih sering main ke rumah Abu. Beberapa kali, Ali sempat meminta pendapat Abu tentang keputusan orang tuanya yang meminta Ali melanjutkan sekolah di luar negeri. Jurusan bisnis management tentunya yang harus Ali pelajari di Negara tetangga itu. Jurusan yang menyebalkan untuk seorang Ali yang suka tidur di dalam kelas saat pelajaran sosiologi.

Apa iya, Ali harus tidur saat kuliah? Sedangkan Ali tahu bahwa di jurusan itu bakal banyak sekali mata kuliah yang menjemukan seperti sosiologi. Padahal, Ali adalah seorang yang menyukai otomotif. Mengotak-atik mesin motor dan mobil adalah kegemaran Ali. Apa lagi kalau ia harus memodifikasi motor atau mobilnya, paling semangat Ali melakukannya.

Ali bukan tipe cowok yang sok cool dan perlente. Meskipun ia anak pengusaha kaya, ia hampir tidak pernah menunjukkan status sosialnya itu. Gayanya biasa saja. Ali tidak malu berpakaian apa adanya. Celana jeans dengan kaos oblong, meskipun branded, adalah ciri khas Ali yang terlihat nyaman tampil simple dan sederhana.

Sedari kecil, mama Ali telah mengajarkannya kesederhanaan. Jadi, meskipun anak tunggal dari seorang pengusaha kaya, Ali bukan cowok sombong yang play boy. Dia lebih terlihat low profile dan supel. Bahkan, cowok yang dipanggil ‘tuan muda’ oleh beberapa pelayan di rumahnya ini, lebih senang makan di warung kaki lima dari pada di restoran mahal.

Dilihat dari penampilan, beda sekali dengan Abu. Abu sangat memperhatikan penampilannya. Meskipun bukan pakaian bermerek seperti yang dimiliki Ali, Abu lebih menjaga kerapian dan keserasian warna. Mama Abu yang seorang penjahit, membuat Abu terbiasa dengan mode. Bahkan, mama Abu sering menjahit sendiri kemeja untuk anak sulungnya itu. Mama sangat memperhatikan Abu. Bagi mama, Abu adalah pengganti sosok ayah dalam keluarga.

Ayah Abu telah meninggal dunia saat Abu duduk di bangku SMP. Sejak saat itu, mama harus berjuang sendiri menghidupi keluarga dengan menjahit. Keterampilan yang menurun dari nenek Abu ini membuat jahitan hasil mama Abu cukup diterima. Hingga baru dua tahun bekerja sendiri, mama Abu telah memiliki dua anak buah yang membantunya menyelesaikan jahitan para pelanggan.

Mama Ali adalah salah satu pelanggan setia mama Abu. Beberapa kebaya pesta telah ia pesan dari mama Abu. Design kebaya mama Abu sudah tidak perlu diragukan lagi keindahannya. Beliau sangat memperhatikan detail motif tiap kebaya yang dikerjakannya. Mama Abu sangat telaten merangkai tiap motif yang mempercantik kebaya jahitannya. Itulah yang membuat banyak pelanggan mama Abu menyukai hasil jahitannya, terutama kebaya pesta.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
between us
296      203     1     
Romance
gimana rasanya kalau di antara kita ada beribu masalah... apakah aku sanggup
Persinggahan Hati
1880      760     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
injured
1303      703     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
Kaichuudokei
7177      1870     5     
Fantasy
“Suatu hari nanti aku akan mengubahnya. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Bagaimanapun caranya. Jadi, saat waktu itu tiba, jangan menghalangiku!” (Nakano Aika) “Aku hanya ingin mengubahnya.. aku tidak ingin itu terjadi, aku mohon.. jika setelah itu kalian akan menghapus semua ingatanku, tidak masalah. Aku hanya tidak ingin menyesali sesuatu selama hidupku.. biarka...
Surat Kaleng Thalea
3831      1098     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
SERENA (Terbit)
17192      3070     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Persapa : Antara Cinta dan Janji
7382      1808     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
Memoria
320      268     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu