Read More >>"> Dialogue (Prolog) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dialogue
MENU
About Us  

Prolog

 

Dear Zahra,

“Taukah kamu rasanya cinta pada pandangan pertama? Persis senikmat menyesapi secangkir kopi saat hujan, bagiku! Ah, tak usah terlalu dipikirkan. Bahkan sampai bertanya-tanya seperti itu wajahnya. Karena sesungguhnya jatuh cinta, mengabaikan segala logika.”

 

With love,

Abu

(Cikarang, April 2007)

 

***

“Selamat, ya!”

“Ah, terima kasih.”

“Ternyata, menulis itu kalau diseriusin, keren juga ya hasilnya.”

“Bisa aja, Ra.”

“Ih, serius, Abu. Lihat deh lo sekarang! Udah persis artis aja, kan? Dikerubutin orang cuma buat foto dan tanda tangan.”

“Semua karena lo juga, Ra.”

“Apa?”

“Ah, eh, hm, nggak, bukan, bukan itu maksudku, tapi, em.”

“Apaan sih, Abu, mulai deh, aneh.”

“Apa kabar lo, Ra?” Aku mulai mengulurkan lemah tangan kananku pada wanita di depanku ini. Masih seperti dulu, sepuluh tahun lalu.

***

Zahra

“Maaf, jadi lo ketua OSIS yang sok kecakepan itu?”

“Kapten basket juga dia.” Meme, sahabatku, menarik-narik kain jilbabku.

“Apa sih, Me? Memang kenapa kalau dia kapten basket?”

“Ra, pelanin donk suara lo.”

“Langsung aja ya cowok sok kerajinan and kurang kerjaan, maksud lo apa coba ngebatalin penerbitan majalah sekolah?” Aku mulai nyerocos sebisaku. Emosi yang awalnya aku penjarakan di ruang paling bawah hatiku, tetiba serasa melarikan diri dan mengumpat tak terkendali.  “Apa mentang-mentang lo ketua OSIS, jadi seenak-enaknya lo nggak ngehargain kerja keras kita, gitu? Sukses banget sih ya yang pada pilih lo!”

Meme tak hentinya menyenggol-nyenggol tubuhku. Maunya mengingatkan, bahwa cowok di depanku ini bukan sembarangan. Banyak siswi di sekolahku berebut untuk memacarinya. Hhhhh, pacaran. Apa sih yang mereka harapkan dari sebuah hubungan tanpa kejelasan dan, ah, entahlah! Aku sangat tidak tertarik dengan yang namanya pacaran.

Sekali lagi, mulutku ini tak hentinya nyerocos. Bukan ingin memaki sih awalnya, namun wajah cowok di depanku ini benar-benar menyebalkan. Tapi anehnya, dia hanya berdiri, terdiam, terpaku. Entah apa yang dia pikirkan. Atau bahkan tak menghiraukan ocehanku? “Dasar cowok sok sempurna!” pikirku.

Dengan kesal, aku pun memalingkan tubuhku darinya. Berlari meninggalkan lapangan basket, meninggalkan Meme yang tampak masih menikmati kekagumannya pada wajah yang sangat menyebalkan menurutku.

***

Abu

“Siapa sih cewek tadi? Kayanya gue belum pernah liat wajahnya deh. Anak baru kali ya.” Aku bergumam sendiri di depan layar laptop. Wajah cewek yang sebegitu beraninya memaki tadi siang membuat kepalaku penuh dengan bayangannya. Bukan mengingat kata-katanya sih, tapi lebih mengingat tiap lekuk wajahnya. Meski tertutup hijab, aku yakin, di baliknya ada sesuatu yang lebih dari sekedar cantik.

“Woy, nglamun aja, pak ketua.”

“Eh, njir lo. Ketuk pintu dulu kek.”

“Ya salam. Udah gue gedor-gedor tuh pintu.”

“Eh, ngapain lo malem-malem kemari?”

“Gue numpang tidur ya, bray.”

“Sialan! Napa lo? Ribut sama bokap lo lagi?”

“Kagak lah. Gue kangen banget ma lo. Pengen bobok bareng.”

“Mulut cabe lo! Weekend nih. Ditungguin noh ma Juleha.” Obrolan yang sangat nggak penting.

Ali. Sahabatku dari esde. Nginap di rumahku, seakan sudah jadi liburan rutin baginya tiap akhir minggu. Bahkan, mama sudah menganggapnya seperti sodaraku sendiri. Menjadi anak tunggal, bukan berarti menyenangkan baginya. Ayahnya yang seorang pengusaha, menuntut Ali menjadi sepertinya, pengusaha sukses dan menyenangi bisnis. Tapi Ali, lebih menyukai otomotif. Modifikasi motor adalah kesenangan utamanya. Menghabiskan Minggu seharian berotak-atik motor klasiknya biasa dia lakukan tanpa ingat makan dan … mandi.

“Eh, Al, lo inget gak sama cewek yang tadi siang?”

“Yang mana?”

“Yang tadi di lapangan, pas kita latihan.”

“Woy, bray, cewek yang deketin lo tuh sekodi. Dan sayangnya, kagak ada yang isi formulir di gue.”

“Kampret, lo. Cewek yang maki-maki gue tadi. Yang berhijab.”

“Ooooo, si Zahra.”

“Siapa? Zahra?”

“Iye! Nape? Sakit ati, lo? Mo kita apain dia? Eh, tunggu! Jangan diapa-apain ya. Zahra tu baek banget. Dia pernah bantuin gue nyari bahan buat tugasnya bu Sally.”

“Lo kenal, Al?”

“Kenal donk. Eh, Abu, maaf ye. Lo sih famous. Tapi banyakan gue temennya.”

“Sambel, lo.” Pulpen yang sedari tadi kumainkan, reflek aku lempar ke tubuh Ali yang terdampar di atas kasurku. “Zahra!” Tanpa sadar, kusebut namanya beberapa kali.

“Cieee.. nape lo, bray?”

“Ah, nggak pa pa.”

“Cieee.. pake malu-malu segala lo. Jangan-jangan, jatuh cinta lo.” Mata Ali melotot menatapku. “Mau gue kenalin?”

Ali mulai mendeskripsikan Zahra. Cewek yang entah mengapa, dari tadi siang mengganggu imajinasiku. Siswi baru di sekolahku itu, ternyata lebih keren dari aku. Belum ada satu semester di sekolah, dia sudah duduk di kursi pimpinan redaksi majalah sekolah. Sedang aku? Ah, ketua OSIS macam apa aku ini? Sudah hampir setahun jadi ketua OSIS, aku hanya terlena dengan ketenaran. Bahkan aku tidak tahu bahwa di balik beberapa prestasi yang sudah disabet majalah sekolah itu ada Zahra, cewek pertama yang tidak memujaku, tapi memakiku.

Setelah malam itu, senggangku hanya untuk memikirkan cara bagimana menjabat tangan Zahra dengan menyebut namaku. Namun, ketakutan untuk dimaki kedua kalinya, aku urungkan saja hayalanku itu. Hingga Ali menawariku untuk mengisi salah satu halaman di majalah sekolah. Menulis artikel? Mana mungkin aku bisa. Sedang aku sangat tidak menyukai tulis menulis. Itu bukan passion aku. Aku lebih suka olah raga dan … design.

“Tapi apa salahnya sih lo coba? Gue yakin lo bisa, bray.” Ali meyakinkan aku.

“Ok, bismilah dah.”

“Apa? Apa lo bilang barusan?” Ali mulai mengejakku, sudah kuduga. Dia membuka lebar telinganya dan mendekatkannya padaku.

“Astaghfirlah, Al. Gak baik ngejek gitu. Harusnya alhamdulilah donk, temen lo ini lebih alim sekarang.” Kuteguk teh botol di mejaku. Ali terus saja menertawaiku. Tapi aku tak peduli. Aku lebih peduli pada seseorang yang melintas di depanku ini. Kunikmati setiap lekuk wajahnya, senyumnya dan pesonanya.

Akhirnya, setelah usaha yang luar biasa bagiku, artikel olah raga yang aku tulis semalaman dengan design semaksimalnya itu, dimuat di majalah sekolah. Pastilah, aku tidak berani menuliskan namaku sebenarnya. Cukup nama samaran, inisial, nama pena, atau apalah itu namanya. Yang pasti, Zahra tidak tahu, bahwa itu tulisanku.

“Eh, bray. Kata Zahra, tulisan lo keren banget. Do’i penasaran tuh sama siapa “AS” itu sebenarnya.”

“Alhamdulilah. Yang bener, lo?”

“Astaghfirlah, nggak percaya lo ma gue?”

Tanpa sadar, aku dan Ali pun tertawa bersama. Zahra, cewek yang entah mengapa benar-benar telah mengubahku, kebiasaanku, pribadiku dan mungkin juga hidupku. Jatuh cinta? Pasti. Aku memastikan diri bahwa aku telah jatuh cinta pada Zahra.

***

Zahra

“Jadi lo yang beberapa kali ngisi halaman olah raga majalah kita? Lo yakin?”

“Hm, iya, Ra. Gue. Maaf ya kalau naskahnya nggak keren kaya tulisan-tulisan lo. Nggak mutu malah.”

Aku makin heran dengan cowok ini. Beberapa waktu lalu, dia hanya diam saat aku memakinya. Dan hari ini, dia kembali di depanku, sedekat ini. Dan aku harus memujinya?

“Hm, tulisan kamu keren kok. Ternyata, lo bukan hanya sok hebat, tapi lo emang hebat.” Sekali lagi, pujianku nyelonong begitu saja, seperti makianku padanya kapan hari. “Terima kasih, ya, udah mau isi majalah sekolah kita. Oya, aku Zahra.” “Ya Allah, Zahra, kenapa ulurin tangan sih?” hatiku mulai bersuara. Manjabat tangannya, menatap matanya, mengamati wajahnya, astaghfirlah, ada apa aku ini?

Cepat-cepat aku lepas tangannya. Kualihkan topik pada ide tulisan untuk terbitan majalah selanjutnya. Minggu depan, ada kompetisi majalah dinding. Abu banyak memberikan ide-idenya. Bahkan, dia telah menyiapkan beberapa design yang sungguh luar biasa.

Kekagumanku pada Abu makin bertambah saja tiap harinya. Makin menyadari mengapa banyak siswi yang mengeluh-eluhkannya. Semakin aku mengenalnya, semakin aku … aku jatuh cinta padanya.

Bak gayung bersambut. Sehari sebelum pengumuman kelulusan, Ali memberiku sebuket bunga dengan sebuah kartu di antarnya. Titipan dari Abu, katanya. Inginnya aku melompat girang membacanya. Bahkan sebelum aku membaca pengumuman bahwa aku lulus es-em-a. Tapi, tidak. Aku tidak bisa segirang itu. Tidak ada pacaran di kamus hidupku. Maaf, Abu, meski aku pun mencintaimu, terpaksa aku tulis ini untukmu.

 

Dear Abu,

“Maaf, gue gak bisa menerima cinta lo sekarang. Karena ada Dia di antara lo dan gue, yang tidak ijinkan untuk menerima cinta lo sekarang. Jika kita berjodoh, kita akan bicarakan suatu hari nanti, antara Dia, lo, gue.”

 

With love,

Zahra

(Cikarang, April 2007)

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When I Was Young
8239      1654     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6668      1494     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1306      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
injured
1218      657     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Hati Yang Terpatahkan
1847      840     2     
Romance
Aku pikir, aku akan hidup selamanya di masa lalu. Sampai dia datang mengubah duniaku yang abu-abu menjadi berwarna. Bersamanya, aku terlahir kembali. Namun, saat aku merasa benar-benar mencintainya, semakin lama kutemukan dia yang berbeda. Lagi-lagi, aku dihadapkan kembali antara dua pilihan : kembali terpuruk atau memilih tegar?
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Kisah yang Kita Tahu
5109      1447     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...