Read More >>"> Dialogue (Masih Terdiam) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dialogue
MENU 0
About Us  

Masih Terdiam

 

 

“Assalamualaikum.” Ali tiba-tiba duduk di bangku depan Zahra. “Maaf, ya, telat. Lama nunggunya?”

“Waalaikumsalam.” Zahra sedikit memajukan bibir mungilnya. Wajahnya masih saja menunduk. Jemarinya masih tampak asyik memainkan bibir cangkir. Ia sama sekali tidak memedulikan Ali yang telah beberapa detik duduk di depannya.

“Ra, lo marah?” Ali sedikit terbata memulai membuka obrolan. “Kan gue udah minta maaf. Beneran, waAllahi, tadi tuh maceeetttt banget.”

Zahra yang masih saja menunduk, perlahan mulai mengangkat wajahnya. Ada goresan senyum yang seakan terpaksa terpasang di wajah gadis berhijab ungu muda itu. dan masih tak sepatah kata pun menimpali permohonan maaf Ali.

“Ra, lo habis nangis?” Sekali lagi Ali tampak menyelidik wajah gadis manis di depannya itu.

Sedang Zahra, kembali menunduk, bahkan lebih rapat lagi. Seolah ia ingin menutupi gambar yang mungkin saja makin terbaca oleh Ali dari wajahnya. Hidung kecil yang memerah, atau mata bulat yang sedikit sembab.

“Ow, gue tahu. Lo juga baru datang, kan, Ra? Lo kehujanan, kan? Jadi, mata lo sembab kena air hujan.” Seperti biasa, Ali mencoba mengalihkan pembicaraan. “Dan sekarang, lo malu, kan, ngliatin wajah lo yang tanpa make-up itu? Hm, dasar perempuan. Kenapa sih nggak bangga dengan pemberian Allah. Selalu ribut menutup wajah asli mereka pake make-up inilah, itulah. Giliran make-up nya luntur kena hujan, bingung, deh. Nundukkkk mulu. Padahal, kan, air hujan itu suci. Selain itu, hujan juga keberkahan Allah. Nggak bersyukur banget, deh.”

“Ali!”

“Bukan lo yang gue maksdu, Ra. Itu tuh, perempuan itu.” Ali menunjuk ke luar jendela café.

Untung saja, di seberang jalan, ada seorang perempuan bergaun biru. Rambutnya hitam panjang tergerai. Sebuah payung berwarna kuning terang ada di genggamannya. Mungkin, hujan terlalu deras kala itu, hingga payung tempatnya berlindung tak mampu menghindarkannya dari tempias hujan. Dan bulirannya yang menggebu terbawa angin.

Sebagian gaunnya tampak membasah. Bahkan, rambut hitam panjangnya. Apalagi, wajah lelahnya. Sesekali, ia tampak mengusap wajah yang disapa tempias hujan dengan sapu tangan. Perempuan itu terlihat kerepotan dengan ulah sang hujan. tapi, ia tetap geming berdiri di tepi jalan itu.

Sepertinya, ia sedang menunggu seseorang yang hendak menjemputnya, atau menanti taxi online yang telah dipesannya. Entahlah! Yang pasti, perempuan itu telah membantu Ali mendapatkan wajah Zahra kembali. Tanpa lagi peduli bahwa menunggu memang semenyedihkan itu.

“Emang siapa dia, Al?”

“Mana gue tahu. Gue belum sempat kenalan tadi.”

“Maksud, lo?”

“Nggak ada maksud.” Ali menjawab singkat sambil mengangkat kedua alisnya. Tatapan Ali terlihat genit pada Zahra. “Gue cuma kasih tahu lo tentang peremupuan itu aja.”

“Kenapa?”

“Dia sibuk nutupi wajahnya yang make-up nya rusak karena hujan. Beda sama lo, Ra.”

“Kenapa gue?”

“Kalau lo, kan berani natap gue meski make-up berantakan.”

“Yang bener, lo.”

“Maksudnya?”

Make-up gue? Berantakan?” Zahra sibuk menepuk kedua pipinya. Bahkan, ia sibuk meraih ponsel yang sedari tadi tidak dihiraukannya. Ia mencari-cari bayangnya pada layar ponsel yang menghitam, berkilau. Selaksa sedang bercermin, Zahra meneliti tiap sudut wajahnya melalui pantulan layar ponsel miliknya itu.

“Ternyata sama aja.” Ali terkekeh melihat reaksi Zahra yang sibuk menata make-up. “Dasar perempuan!”

“Apaan sih, lo, Al?”

“Padahal, laki-laki yang benar-benar mencintai perempuannya, lebih suka melihatnya tanpa make-up.” Ali berkata dengan nada sedikit berbisik, sambil sedikit mendekatkan wajahnya pada Zahra.

“Tapi kan, lo nggak mencintai gue, Al.”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Zahra, yang terbalut indah dengan pewarna bibir merah jambu.

“Perlu gue jawab, Ra?”

Zahra terkesiap. Seakan ia baru tersadar oleh pertanyaannya. Jangan sampai jawaban Ali membuat hatinya makin gundah gulana. Entah apa jawaban Ali, tapi saat ini, Zahra sendiri pun masih bingung dengan perasaannya sendiri.

“Eh, gue pesenin lo minum, ya, Al.” Zahra beranjak dari tempat duduknya. Sepertinya, ia ingin meninggalkan Ali.

“Mau kemana, lo?”

“Kasih tahu waiter, sekalian mau ke kamar mandi. Rapiin make-up.” Giliran Zahra berbisik kali ini, lalu tersenyum. “Kali aja, setelah gue benerin make-up, lo bakal mencintai gue.” Dan meninggalkan Ali di bangku sudut café, bersama hujan yang masih tak jemu menderu di luar jendela.

Setelah menyampaikan pesanan pada seorang waiter café, Zahra bergegas menuju kamar mandi. Alhamdulilah, ruangan empat kali empat itu tampak sepi. Ada cermin selebar dinding dengan dua wastafel menyambut wajah Zahra. Tiga ruangan kecil di dalamnya pun tampak tertutup rapat. Benar saja, sedang tidak ada siapa pun di situ.

Zahra memandang wajahnya dari cermin lebar itu. Ia menyalakan kran air di salah satu wastafel, dan mengusap wajahnya beberapa kali dengan air itu. Zahra mendapati wajahnya sembab. Mata bulatnya pun terlihat memerah. Tampak sekali, ada air mata yang dikeluarkan beberapa saat lalu.

Zahra kembali membasuh wajahnya dengan air kran. Hingga beberapa kali. Dingin sentuhan air membuatnya sedikit nyaman, melupakan kegalauan yang sedang ia rasakan.

Abu, lelaki yang menggoreskan cerita dalam rasa cinta pertamanya. Ali, lelaki yang membawanya tak melupa bahagia dan lelalai yang entah siapa, yang hendak dijodohkan dengannya.

Semua terasa menyesakkan dada Zahra beberapa hari ini. Tampak sesekali, ia menghela napas panjang dan kembali membasuh wajah dengan air kran.

Cukup lama Zahra berada dalam ruangan itu. hingga seseorang tiba-tiba membuka pintu. Seorang perempuan bergaun biru. Dan lekuk wajah yang sudah terekam memori di kepala Zahra.

“Loh? Mbak yang tadi di seberang jalan, kan?”

“Eh, iya,” jawabnya heran. “Loh? Kok kamu tahu?”

“Eh, iya, maaf, Mbak, tadi nggak sengaja, aku lihat mbak dari dalam café.”

“Oya?”

Zahra mengangguk dan mengulurkan tangan kanannya. “Aku Zahra. Mbak?”

“Widya.”

“Cantik namanya, pas buat orangnya.”

“Kamu bisa aja. Kamu juga cantik, lebih cantik malah. Tanpa make-up aja kamu udah secantik ini.”

“Ah, mbak ketinggian mujinya.” Zahra tersenyum. Kedua perempuan itu pun saling memandang melalui bayangan mereka dalam cermin. “Padahal, tadi aku ke sini, maunya juga benahi make-up,” lanjut Zahra.

“Oh, ya?”

“Iya, Mbak. Eh, iya, tadi mbak hujan-hujanan, nungguin siapa?”

Mendengar pertanyaan Zahra, raut wajah Widya pun berubah seketika. Ada garis gelisah tergambar di sana. Senyum yang tadinya merekah, tetiba layu.

“Aduh, maaf, mbak. Kok aku jadi kepo gini.” Zahra melanjutkan.

“Ah, nggak pa pa kok. Tadi tuh maunya nunggu suami yang mau jemput. Tapi nggak jadi.” Widya menarik napas, “Ya udah, aku mampir kemari.”

“Oh, terus, ntar kalau suami mbak nyariin gimana?”

“Ah, nggak mungkin dia nyariin aku. Dia udah terlalu sibuk dengan urusannya.” Kembali Widya memandang sejenak bayangan wajahnya di cermin. “Maaf, malah curhat.”

Jawaban yang membuka banyak sekali pertanyaan baru di kepala Zahra. Namun, ia tidak mungkin mengumbar keingintahuannya itu pada perempuan yang baru saja dikenalnya.

“Oh, ya, mbak, kalau mbak mau gabung, aku duduk di bangku sudut café ini. Ada teman juga di sana.”

“Di sudut café? Pasti teman kamu itu laki-laki, ya?”

Zahra terhenyak. Mata bulatnya tampak berkilau.

“Eh, mbak kok tahu sih?”

“Tahu donk. Dan dia pasti sangat mencintaimu.”

“Ah, mbak bisaan, deh.”

“Zahra, jagalah orang yang mencintaimu, kerena perempuan itu lebih bahagia ketika dicintai, bukan mencintai.” Widya menatap Zahra dalam-dalam. Bayangan wajahnya di cermin tampak sendu. “Kamu baru akan merasakan semua itu, setelah kamu menikah nanti.” Zahra makin terhenyak mendengarnya.

Kali ini, ia tak lagi menatap wajah Widya melalui bayangan cermin. Zahra menoleh kea rah Widya.

“Eh, maaf, jadi ngelantur.” Widya menepuk sebelah pundak Zahra. Tidak ada kata-kata yang terlontar dari bibirnya.

Zahra terdiam, seakan bibirnya terkunci oleh kalimat Widya yang baru saja terucap.

“Kamu mau balik, kan? Teman kamu juga udah nunggu, pasti.”

“Ali, mbak, namanya Ali.”

“Zahra dan Ali. Berjodoh sekali kalian.”

Deg.

Degub di balik dada Zahra seakan sejenak terhenti. Kata-kata seakan makin terpenjara dalam bibirnya. Hanya desah yang makin dalam menyesak.

“Aamiin.” Hingga, hnya sebuah kata yang mampu jelas terucap dari bibir Zahra yang sedari tadi terkatup rapat-rapat.

Widya pun tersenyum, manis sekali, lalu menarik lembut tubuh Zahra yang terasa sangat ringan. “Senang bisa mengenalmu, Zahra,” kata Widya seraya melepas pelukannya.

Pun Zahra membalasnya dengan senyum dan berlalu meninggalkan Widya dalam ruangan bercermin lebar itu.

“Lama banget ke kamar mandinya, Ra. Gue pikir lo ketiduran tadi di sana.”

“Tahu nggak, sih, Al, gue ketemu siapa tadi di kamar mandi?”

“Siapa? Artis? Paling juga kecoa, kan?”

“Iya, kecoa cantik.”

“Idih, ngigau, lo? Beneran ketiduran nih, Zahra. Minum dulu, gih. Cappuccino lo dingin, tuh.”

Tanpa melanjutkan kalimatnya, Zahra meraih cangkir yang dingin sempurna. Sedang hujan di luar café masih saja beringas. Sepertinya, sengaja mencipta romansa untuk Zahra yang makin terjabik gulana.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Irresistible
641      469     1     
Romance
Yhena Rider, gadis berumur 18 tahun yang kini harus mendapati kenyataan pahit bahwa kedua orangtuanya resmi bercerai. Dan karena hal ini pula yang membawanya ke rumah Bibi Megan dan Paman Charli. Alih-alih mendapatkan lingkungan baru dan mengobati luka dihatinya, Yhena malah mendapatkan sebuah masalah besar. Masalah yang mengubah seluruh pandangan dan arah hidupnya. Dan semua itu diawali ketika i...
TeKaWe
1055      574     2     
Humor
bagaimana sih kehidupan seorang yang bekerja di Luar Negeri sebagai asisten rumah tangga? apa benar gaji di Luar Negeri itu besar?
Flower With(out) Butterfly
406      282     2     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati
Flower
288      242     0     
Fantasy
Hana, remaja tujuh belas tahun yang terjebak dalam terowongan waktu. Gelap dan dalam keadaan ketakutan dia bertemu dengan Azra, lelaki misterius yang tampan. Pertemuannya dengan Azra ternyata membawanya pada sebuah petualangan yang mempertaruhkan kehidupan manusia bumi di masa depan.
Varian Lara Gretha
5198      1603     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...
Stay With Me
173      145     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
Alfabet(a) Cinta
11836      1969     2     
Romance
Alfa,Beta,Cinta? Tapi sayangnya kita hanya sebatas sahabat. Kau yang selalu dikelilingi wanita Dan kau yang selalu mengganti pacarmu setiap bulannya
Error of Love
1181      573     2     
Romance
Kita akan baik-baik saja ketika digoda laki-laki, asalkan mau melawan. Namun, kehancuran akan kita hadapi jika menyerah pada segalanya demi cinta. Karena segala sesuatu jika terlalu dibawa perasaan akan binasa. Sama seperti Sassy, semua impiannya harus hancur karena cinta.
NADI
5674      1518     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
Bottle Up
2743      1176     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...