Read More >>"> Dia Dia Dia (Lukisan Tuhan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Setelah sholat asyar aku duduk di depan meja belajar dan mengeluarkan buku canson yang kuberi sampul hitam dari dalam tas. Di kantung sampul kuselipkan kotak pensil dengan deretan pensil fabercastel mulai dari range 6H sampai HB, 2B sampai 7B berderet. Setiap pensil-pensil itu diselipkan dalam kotak pensil, jadi nggak akan berantakan dan tertata rapi. Cuma saja pensil-pensil ini nggak lagi panjang, sudah sangat pendek. Di bagian lain dari kotak ada penghapus pensil dan penghapus bulpen, di bagian bawah kotak ada pensil putih, pensil arang yang sudah hampir habis juga.

“Aku harus beli pensil baru.” 

Tanganku beralih membuka buku canson mulai dari lembar pertama sampai lembar dua belas yang udah penuh dengan gambar-gambar sketsa. Saat itu juga senyum di wajahku sedikit mengembang saat meneliti sketsa yang telah kubuat.

“Kak Zifan disuruh Ibu makan.” Subhan berteriak dari luar pintu kamar.

“Iya sebentar lagi.” Suaraku keras.

Sejenak kualihkan sorot mataku pada beberapa lukisan di dinding kamar. Di dalam kamar ini ada empat lukisan berderet, dan semuanya hasil lukisanku, lukisan cat minyak dengan media kanvas. Lukisan pertama tentang alam yang kering tanpa kehidupan dan menggambarkan bumi yang seolah mati, lukisan kedua tentang keceriaan anak-anak kecil berebut layang-layang, lukisan ketiga tentang hewan yang berlari dari buruan manusia, dan lukisan keempat tentang petani dan buruh ladang.

Tiba-tiba aku teringat perkataan Ibu saat marah padaku “Zifan. Sampai kapan kamu akan seperti ini? Kamu seperti nggak punya tujuan hidup.”

Tanpa sadar pandanganku beralih, lalu tertuju pada langit biru yang berubah keemasan di balik jendela kamar. Pelan aku bertanya “Tujuan hidup? Apa aku harus punya tujuan hidup? Seperti apa tujuan hidup itu?”

Tiba-tiba pintu kamar berbunyi keras. Disusul kemudian suara Subhan yang keras, “Kak Zifan...makan dulu...disuruh Ibu...”

“Iya-iya, sekarang Kakak turun.” Aku tegas sembari menutup buku.

Setelah itu aku bangkit dari kursi, lalu membuka pintu kamar dan turun ke lantai satu. Kulihat Ibu sedang menjahit baju di depan mesin jahit listrik, Sani sedang mengerjakan PR dan Subhan sedang main mobil remot kontrol. Sejenak senyum di wajahku tipis tergurat, tapi harus memudar juga saat Ibu berkata tegas sambil melihatku “Zifan, ayo makan dulu.”

“Iya Bu.”

Aku langsung pergi ke dapur, mengambil piring, lalu duduk di depan meja makan. Setelah mengambil nasi dan beberapa lauk, aku melahapnya.  

“Kamu nggak berbuat masalah di sekolah baru kamu kan?” Tanya Ibu sambil sesekali melihatku.

Aku nggak segera menjawab, tapi menenggak air di gelas. “Nggak Bu, tenang aja....”

“Pasti nggak ada yang berani dengan Kak Zifan.” Celetuk Subhan. Ternyata membuat Sani tersenyum. Aku nggak membalas, tapi terus melahap makanan.

Terlihat Ibu menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menghela nafas, lalu berkata “Haaa Ibu nggak pernah berpikir kalau kamu akan jadi seperti ini.”

“Memang aku seperti apa Bu?”

“Ya seperti ini. Kamu tomboy, suka berantem padahal kamu cewek dan....”

“Dan jago melukis.” Aku memotong sembari tersenyum. Ternyata Subhan dan Sani ikut tersenyum sembari melirikku.

“Ibu nggak bangga kamu jadi pelukis.” Suara Ibu tegas.

“Lho kenapa Bu? Harusnya Ibu bangga dong, aku bisa melukis, trus aku bisa dapat uang sendiri.”

“Ada beberapa lukisan yang diharamkan dalam Islam, sisanya makruh untuk dilukis. Kebanyakan semua pelukis nggak tahu dan nggak mau tahu, alasan mereka cuma satu melukis adalah seni, melukis apa saja.”

“Makruh apaan sih Bu?” Tanya Subhan.

“Makruh itu suatu pekerjaan atau kegiatan yang apabila dilakukan tidak mendapat dosa, tapi bila ditinggalkan mendapat pahala.” Sani menjelaskan.

“Oooo.” Subhan mengangguk-angguk.

Mendadak keningku sedikit merapat seraya berhenti mengunyah, saat itulah aku tertegun. Nggak lama kemudian bisikan di otakku menyadarkanku “Zifan, jangan dengarkan perkataan Ibumu. Ibumu cuma bercanda dan ingin kamu seperti Sani.”

Sedkit tegas aku berkata “Ah Ibu jangan asal nuduh, cuma Ibu yang bilang seperti itu.”

“Ibu cuma berdoa, semoga Allah membuka hatimu.” Kata Ibu tanpa memandangku.

Lagi-lagi membuatku mendadak tertegun di meja makan, menyusul keningku sedikit merapat, hingga perlahan menebal.

“Zifan. Ayo cepat habiskan makanannya, jangan disisakan.” Suara Ibu tinggi sembari melihatku.

“Oh, iya Bu.” Aku kaget, lalu cepat melahap makanan sendok demi sendok, hingga makanan di piringku habis.

 

                                                                                            ***

Malam terlihat sangat indah saat sang Bulan bersinar seorang diri tanpa ribuan bintang. Membuat tanganku ingin segera mengenggam pencil, kemudian otak dan hatiku bercerita tentang langit malam. Namun aku harus menundanya, ada tugas penting yang harus kulakukan sebelum malam bertambah larut.

Sembari menenteng kotak persegi panjang yang bersisi alat-alat bengkel milikku aku keluar rumah, kemudian meletakkannya di dekat vespa yang sengaja kuparkir di teras rumah. Setelah kotak terbuka aku mengambil pemutar baut, bersamaan Ayah membuka pintu pagar rumah sepulang dari rumah Pak Rt.

“Assalammualaikum....” Suara Ayah agak keras.

“Waalaikumsalam” Jawab Ibu keras dari dalam rumah.

 “Zifan, ini apa-apaan sih! Kenapa vespa kamu di teras, cepat pindahkan ke garasi”. Suara Ayah tegas dan keras, hingga terdengar ke dalam rumah.

Tanpa berkata dan dengan wajah tegas Ayah berjalan mendekati, kemudian duduk di kursi teras di samping vespa. Tegas Ayah kembali berkata “Zifan. Kamu dengar Ayah tidak? Pindahkan vespanya ke garasi sekarang, kalau mau ngotak-ngatik vespa di garasi saja jangan di teras.”

“Di garasi lampunya remang-remang Yah, nggak seterang di sini” Aku santai sembari tanganku nggak berhenti bergerak, terus memutar alat ini untuk membuka baut.

“Nanti Ayah ganti lampunya, sekarang cepat masukan ke garasi. Ini kan sudah malam.” Ayah tegas.

“Ada apa Yah?” Tanya Ibu sambil keluar rumah.

Sejenak Ayah menghela nafas dan menggelengkan kepala tanpa mengalihkan sorot matanya dari vespa merah yang jadul abis ini. Menyusul Ibu berkata “Sudah Yah jangan marah biarkan saja Zifan sama vespanya, yang penting kan tidak buat ribut.”

“Ya sekarang memang belum buat ribut Bu, tapi nanti pasti ribut.”

Setelah itu aku mengumpulkan baut-baut yang sudah terlepas, supaya nggak berantakan dan hilang. Berikutnya aku membuka bagian mesin vespa dengan alat dari besi ini, hingga akhirnya terbuka juga bagian samping yang melindungi mesin vespa. Sementara Ayah dan Ibu masih berbicara, nggak berhenti berdebat sambil sesekali melihatku. Sejenak aku memandang mereka, kemudian menggelengkan kepala. Setelah itu sorot mataku kembali tertuju pada mesin vespa dan teliti melihatnya, cukup lama. Vespa merah ini memang udah tua, tapi mesinnya baru dan nggak pernah mogok atau masuk bengkel, walaupun lajunya nggak bisa ngebut. Dan sekarang sebenarnya vespaku ini nggak lagi mogok, tapi malam ini adalah jadwalku memeriksa si jadul ini. Selama di Surabaya aku sengaja selalu memeriksa mesin vespa setiap satu bulan sekali. Walaupun aku nggak mengerti sama dunia otomotif, tapi seenggaknya kalau cuma membetulkan vespa doang aku bisa.

Pelan kumasukan dua jariku ke dalam mesin. Saat itulah sejenak aku meraba-raba mesin. Setelah itu aku memeriksa bagian karburator. Yang kutahu karburator yang kotor itu salah satu penyebab vespa sering mogok, makanya setiap satu bulan sekali aku selalu menyempatkan memeriksa karburator vespa ini. Aku juga memeriksa tangki bahan bakar, selang bensin sampai lubang spuyer, dan yang terakhir aku cek juga setingan atau penyetelan jarum. Aku putar jarum ideal memakai obeng, setelah berhenti putaran jarum aku kendorkan lagi ke kiri sampai terdengar suara mesin di putaran tertinggi.

Sigap ayah dan Ibu menutup telinga saat mendengar kerasnya suara vespa. Membuatku hanya tersenyum kecil sembari sedikit demi sedikit kuputar gas di stang vespa. Bahkkan Sani dan Subhan cepat keluar rumah, dan sigap juga mereka menutup telinga seraya melihatku dan vespa merah.

“Zifaaan, cepat matikan!” Suara Ayah keras tapi masih kalah dengan suara vespa.

Tapi aku pura-pura nggak mendengar sambil sesekali kuputar gas, hingga vespa merah ini pun bersuara semakin keras dan indah.

“Zifaaan!” Suara Ayah dan Ibu lebih keras sambil berdiri dan menutup kedua telinga.

Akhirnya perlahan kukendurkan suara vespa, lalu kumatikan. Sepertinya udah beres semua, cek mesin untuk bulan ini beres. Lega aku menghela nafas panjang. Sedangkan Ayah dan Ibu dengan wajah memerah menurunkan kedua tangannya dari telinga. Begitu juga Sani dan Subhan yang malah terlihat kebingunan.

“Ayah bilang apa tadi?”

Tanpa menjawab Ayah menghela nafas panjang sembari menggelengkan kepala.

“Zifan apa nggak bisa kalau benerin vespanya nggak pakai suara segala?” Tanya Ibu cepat sambil mengelus dada.

“Haaa Ibu, kalau vespanya nggak bersuara berarti mogok. Dan kalo mogok artinya Ayah harus belikan Zifan motor baru.” Aku santai sambil membereskan alat-alat bengkel yang tercecer di lantai.

“Apa tidak bisa kalau siang, ini kan sudah malam. Lihat tuh tetangga-tetangga pada keluar rumah, dengar suara vespa kamu ini”. Celetuk Ayah tegas.

“Ayah....pagi sampai siang kan Zifan sekolah trus sorenya Zifan capek, jadi waktu Zifan yang santai cuma malam. Dan vespa ini kan warisan Ayah jadi Zifan harus merawat vespa ini, kecuali kalau Ayah mau membelikan Zifan motor baru.”

Saat itulah hanya terdengar tarikan nafas Ayah yang lebih berat sembari memandangku tegas. Rupanya perkataan terakhirku membuat Ayah nggak ingin berdebat lagi denganku. Kemudian terlihat Ayah hanya menggelengkan kepala tanpa mengurangi ketegasan di wajahnya. Setelah semuanya beres aku menuntun vespa kembali ke garasi, lalu menutup dan mengunci garasi. Sejenak kualihkan sorot mataku pada suasana jalan gang depan rumah ini, ternyata beberapa orang masih memandang rumah ini. Hmm mungkin mereka kesal atau mungkin juga kagum dengan suara vespa tadi. Jadi ya sudahlah, mungkin malam ini malam perkenalan dari vespa kesayanganku.

Sementara Ayah dan Ibu masih duduk berbincang di teras, aku cepat masuk kamar dan menyimpan kotak alat bengkelku di dekat lemari buku. Setelah mencuci tangan aku membuka tirai jendela kamar, kemudian kulempar pandanganku pada deretan rumah yang menjadi pemandangan yang selalu kulihat. Perlahan aku mendongakkan kepala, membebaskan pandanganku menjelajahi langit malam ini. Membuatku seolah tenggelam dalam pekat malam dengan sinar sang bulan, namun rupanya sang bulan nggak terjaga sendiri lagi. Langit gelap yang pekat seakan nggak abadi, saat taburan bintang yang bercahaya membantu sang bulan mengalahkan kegelapan langit malam.

 Di depan meja belajar ini aku duduk menopang dagu tanpa melepaskan pandanganku dari langit malam yang indah. “Langit, kenapa malam ini kau begitu indah? Dan bukan hanya malam ini. Hebat sekali yang melukis dirimu di setiap malam, sanggupkah aku melukis dirimu?”

Sejenak aku mengedipkan kedua mata seraya menghela nafas, lalu duduk tegak. Tiba-tiba aku tersadar dengan yang tadi kuucapkan, hingga membuat keningku merapat. “Kenapa aku bicara kayak tadi? Siapa yang ngelukis langit? Ya udah pasti Tuhan, siapa lagi? Cuma Tuhan yang bisa melukis malam, manusia...bisa apa...”

Membuatku hanya tersenyum kecil. Kemudian sorot mataku kembali memandang langit malam lekat-lekat dengan gelap yang pekat ditemani bintik-binti bercahaya, tapi tiba-tiba dahiku kembali merapat bahkan semakin rapat.

“Siapa manusia yang pertama bisa melukis? Pasti dia belajar dari alam Yang dilukis sama Tuhan, mmm jadi....dunia ini sebenarnya penuh dengan seni. Tuhan memang hebat, nggak ada yang bisa menandingi lukisan-Nya di alam semesta.” Di akhir perkataan aku mengangguk dan tersenyum.

Lagi-lagi keningku merapat, bahkan kurasa semakin rapat saat teringat perkataan Ibu tadi sore. Pelan aku berkata “Tapi....kalau Tuhan saja menciptakan alam semesta ini dengan keindahan, dengan seni, jadi wajar kalau manusia juga menyukai keindahan dan menyukai seni. Trus kenapa Ibu bilang ada beberapa lukisan yang nggak boleh dilukis manusia atau diharamkan sama Tuhan? Kenapa ya? Lukisan seperti apa itu?”

Sigap aku menutup tirai, lalu beranjak ke kasur dan menjatuhkan tubuh di kasur. Saat itulah kedua mataku yang belum terpejam memandang lukisan-lukisan di dinding kamar. Anehnya semakin lama aku melihat lukisan-lukisan itu, semuanya seakan hidup. Lukisan anak-anak yang mengejar layang-layang terlihat nyata, bahkan sepertinya sorot mata anak-anak itu berubah tajam dan tertuju padaku. Begitu juga dengan lukisan petani dan buruh ladang yang seolah hidup, tersenyum padaku tapi tajam melihatku. Dan lukisan binatang yang dikejar pemburu juga seolah hidup. Entahlah apa yang terjadi, ketiga lukisan itu seolah-olah hidup dan menatapku tajam.

Sigap aku melempar pandanganku ke pintu kamar bersamaan tiba-tiba jantungku berdebar kencang, disusul kemudian wajahku kaku tiba-tiba.

“Kenapa jantungku jadi lebih cepat berdetak? Aaaah ini pasti gara-gara perkataan Ibu. Lagian aku ini kenapa memikirkan perkataan Ibu, bisa aja Ibu bohong supaya aku nggak melukis lagi.”

Perlahan aku menarik nafas panjang, kemudian berkata pelan dan tegas “Udah ah, mending aku tidur.” Aku balik badan dan menutup tubuh dengan selimut.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?