Juli 2004
Sekarang hari Sabtu. Hari terakhir liburan sekolah. Harusnya aku masih di rumah, membantu bapak di sawah atau ibu berkebun. Bukannya di sini, di sekolah. Mana harus berbaris di halaman kayak lagi upacara lagi. Untungnya tidak harus berseragam. Katanya cuma apel sebentar. Ada pengumuman penting yang harus disampaikan sebelum hari Senin. Mau bagaimana lagi?
“Wis kawit mau, ya, No? Udah dari tadi?”
Aku tersentak. Ternyata Jarwo. Dia menepuk bahuku setelah menerobos barisan yang sebenarnya sudah rapi. Laki-laki berkulit matang yang sekelas denganku dari kelas 1 SD itu beberapai kali menebar senyum canggung. Meredam umpatan orang-orang yang barisannya dia kacaukan.
“Ora, Wo. Nggak juga. Baru lima menitan. Kamu abis ngapain?”
“Ngising. Bebelen. Susah buangnya. Dari kemarin baru bisa buang tadi pagi. Makanya lama. Ternyata gede banget!” Jarwo terkekeh menceritakan perjuangannya buang air besar seperti tentara yang baru pulang perang.
Aku menonyor kepalanya. “Jijik!”
“Ssssttttt!” murid-murid lain yang berbaris di belakang kami mengingatkan. Kami terkesiap dan menahan cerita-cerita tidak penting itu untuk nanti.
Biar baru jam 10 pagi, sinar matahari musim kemarau yang kering membuatku dan hampir 200 anak yang berbaris di halaman sekolah berkeringat. Kaos warna-warni mulai basah oleh keringat. Belum lima menit aku dan Jarwo diam, beberapa anak terdengar mengeluh panjang pendek di belakang kami. Sama sepertiku, mereka masih ingin liburan.
“Mulai hari Senin, SD Negeri 3 bergabung dengan SD Negeri 1. Atau re-grouping menjadi SD Negeri 1,” papar Pak Ngadi, kepala sekolah SD Negeri 1.
“Re-grouping? Apaan tuh?” bisik Jarwo.
“Mbuh, Wo. Nggak tahu.” Aku menggeleng.
Pak Ngadi berdehem sebentar sebelum kembali bicara. “Anak-anak dari setiap kelas di SD Negeri 3 akan digabung dengan anak-anak SD Negeri 1 dalam kelas-kelas baru. Kalian bisa mengetahui kelas baru kalian di daftar nama yang ada di depan kelas masing-masing…”
Pak Ngadi lantas membubarkan kami semua yang langsung berpencar mencari kelas baru.
“Sini, No!” Jarwo melambai. Dia menemukan kelas baru kami. Salah satu dari dua kelas di sisi timur sekolah yang tertutup rimbunnya pohon-pohon Puring, kumis kucing, dan bunga-bunga kertas yang tumbuh liar. Beberapa anak berkerumun di sana, di depan pintu masing-masing kelas: 6A dan 6B.
“Kita sekelas lagi, No!” pekik Jarwo sambil menunjuk-nunjuk nama yang tertulis di daftar nama murid-murid kelas 6A.
9. Gunawan Wibisono
10. Jarwo Taryono
“Weh, iya, Wo. Masih urut juga!” aku merangkul bahu Jarwo dan mengajaknya mundur dari kerumunan. “Mundur, yok. Udah ketemu Febri sama Guntur belum? Kayaknya aku nggak lihat nama mereka di kelas 6A.”
“Nah, itu mereka di depan kelas 6B. Yok, No.”
Aku dan Jarwo menghampiri Febri dan Guntur yang berdiri di depan kelas 6B. Seperti Jarwo, Febri dan Guntur adalah teman sekelasku sejak kelas 1 di SD Negeri 3. Kini, di akhir masa sekolah dasar, aku malah berpisah dengan mereka. Walaupun bertetangga, tetap saja rasanya beda. Celetukan Febri dan Guntur selalu menyegarkan pelajaran-pelajaran yang membosankan dan saraf tegang. Guru-guru yang mengajar pun kehilangan selera untuk marah-marah kalau mereka berdua sudah melawak.
“Sehat koe, No? Lemes amat!” Febri menepuk bahuku.
“Sedih dia, Feb. Nggak sekelas sama kamu karo Guntur!” Jarwo terbahak.
Aku tertawa. “Jangan keras-keras. Nanti Febri denger!”
“Udah dari tadi denger kali!” seru Guntur.
“Kelasmu gimana?” Jarwo melongok kelas 6B.
“Ya… gitu lah. Biasa aja. Ada anak-anak yang dulunya SD 1. Ada teman kita juga,” jawab Guntur.
Aku ikut melongok isi kelas 6B. Beberapa anak menempati bangku-bangku sambil sibuk ngobrol. Ada juga yang sibuk sendiri dalam diam.
Hei, sepertinya aku pernah lihat anak perempuan itu. Muka bulat dan rambut ekor kuda.
Iya! Anak itu! Perempuan yang tiba-tiba masuk ke kamar mandi. Dia ada di kelas ini rupanya.
“Feb, kamu wis kenalan sama anak-anak kelasmu belum?” aku berusaha memancing pembicaraan.
“Belum, sih. Tapi tadi ada anak perempuan yang ngajakin kenalan.”
“Yang mana?”
“Itu…” Febri menunjuk si muka bulat rambut ekor kuda. “Namanya Nina.”
Oh…
Si muka bulat kuncir ekor kuda itu namanya Nina.
judulnya unik banget, bikin penasaran baca. good job
Comment on chapter PROLOG