Keluarga adalah aset berharga melebihi materi yang ada di dunia. –Arinda Chandrani
Senja sore ini sangat jingga. Seorang anak manusia duduk di bangku taman tersenyum memandang langit sore sesekali berkedip karena silaunya matahari yang masih tersisa. Sesaat kemudian dia beranjak dari tempat duduknya lalu dia berjalan menuju masjid dekat taman untuk menunaikan sholat.
Paling tidak dia telah berhasil menanti sang senja di sore ini. Ya, dia Ravin Adimas Angkasa, seorang siswa SMA yang masih remaja untuk menuju dewasa. Hari ini istimewa, pikirnya.
Dia memulai bacaan sholatnya saat iqamah sudah dikumandangkan. Bismillahirrohmanirrohim..
~~~
Disisi lain seorang anak gadis yang sedang membereskan alat sholatnya sedang buru-buru karena dia sudah lama dipanggil oleh ibu tirinya. Dia menghela nafas melihat kebiasaan buruk sang ibu tirinya, meskipun dia berhak marah namun apalah daya dia akan balik membentak.
“Ririn!”
Dia berlari menuju tempat ibu tirinya berada.
“Iya bu,” Ririn menunduk ketika ditatap ibunya.
“Kamu abis ngapain asik asikan dikamar, ngga denger ibu manggil-manggil! Cepet sana keluar beliin ibu nasi padang!” ucapnya lalu menyerahkan sejumlah uang di tangan Ririn.
“Baik bu,” ucap Ririn lalu melangkah keluar rumahnya.
“Dasar lelet, cih.” Ucap sang kakak tiri.
Ririn mendengarnya, namun dia tetap menganggapnya angin lalu, sekalipun dia memberontak akan terlihat sia-sia dimata sang ibu dan kakak tirinya. Semua sikap ibu dan kakak tirinya membuatnya berfikir, selama ini aku dinggap apa dikeluarga ini.
~~~
Setelah selesai sholat beserta wiridnya Ravin pulang kerumahnya. Taman itu berada di pinggir komplek sehingga Ravin hanya berjalan kaki selama 15 menit ke rumahnya.
Sedang asyik main handphone dia mendengar suara minta tolong di suatu tempat, lalu dia berlari menuju asal suara itu.
“Jangan sentuh gue, brengsek!” ucapnya mencoba melepaskan diri dari cekalan tangan 2 preman itu.
“Si neng sombong amat, sini lah main dulu sama kita-kita.” Ucap salah satu preman itu.
“Lepasin dia!” Ravin angkat bicara.
“Ada jagoan nih, berani lawan kita hah?!” ucap preman itu.
“Lo pergi apa gue telpon polisi?” ucap Ravin santai sambil menunjukkan handphone nya. Sedangkan dia diam dan terpaku ditempatnya.
“Cabut boss!”
“Awas lo main-main sama gue!” teriak Ravin sambil mengacungkan jari tengahnya.
“Lo ngga di apa-apain sama tuh preman kan?” tanya Ravin padanya.
“Iya, gue gak papa. Makasih ya,” ucapnya.
“Santai. Btw, lo anak garuda ya? Kenalin gue Ravin Adimas Angkasa, panggil Ravin.” sambil menjulurkan tangannya.
Ririn menaikkan alisnya,”Oh.. iya gue anak g-garuda juga, gu-gue Arinda Chandrani.”
Melihat cewe didepannya gugup, Ravin jadi tertawa.”Haha, gugup amat. Lo mau kemana jam segini, nda?”
“Gue mau beli nasi goreng,” jawab Ririn.
“Gue anterin lo ya, daripada lo kaya tadi lagi.” Tawar Ravin.
“Hm.. oke lah, gak ganggu lo kan?”
“Santai aja kali Rinda,” sambil tersenyum. Lalu mereka mulai berjalan.
“Panggil Ririn aja, Vin.”
“He-eh oke. Btw, lo kelas berapa?”
“XI IPA 1, kalo lo Vin?”
“Mantep, gue ips 2, Rin.” Nadanya memuji karena memang kelas ipa 1 favorit yang berisikan sekumpulan manusia terpilih.
“Ngga papa Van, ips juga bagus kok.” Ririn tersenyum manis. Suasana jadi hening.
Rasa-rasanya Ravin mulai menyukai gadis ini. Bagaimana tidak? Gadis disampingnya ini memiliki wajah yang menawan, alis tebal dan bulu mata melentik serta pipit lesung yang dimilikinya ini sangat menarik. Dari raut wajahnya dia tipe gadis yang santai, karena diajak bicara Ravin merasa enjoy. Sangat tidak mungkin jika tidak disukai. Namun sepertinya, dia agak tertutup.
“Vin,”
Karena merasa kesal diabaikan, Ririn menepuk bahu cowo itu.”Vin!”
“Ehh iya Rin, maaf tadi gue ngelamun hehe.” ucap cowo itu nyengir.
“Udah nyampe, Van”
“Eh oke, beli dulu aja gue tunggu.” Sialan asik ngelamun sampe gak sadar sama jalan. Ririn sih!
Setelah selesai membeli nasi goreng itu, Ravin mengantar Ririn sampai kerumahnya. Ravin berpikir lebih baik dia mengantar Ririn pulang daripada terjadi hal-hal yang diinginkan. Sepanjang jalan mereka ngobrol sesaat lalu hening lagi. Hingga akhirnya hampir dekat dengan rumah Ririn.
“Itu rumah lo, Rin?” tanya si Ravin.
“Iya,Van. Ini rumah gue.” Jawab Ririn.
“Boleh gue main?” ucapnya polos.
“Nggak, lo nggak boleh kerumah gue!”
Ravin berpikir untuk memaksa tapi dia urungkan, dia tersenyum lalu berkata “Hm, oke Rin. Ketemu di sekolah aja ya,” Ririn mengacungkan jempolnya.
Ravin mulai berjalan lagi, tidak sadar kalau rumahnya hanya berbeda 4 bangunan dari rumah Ririn. “Nggak nyadar kalo tetangga. Gelo cuy.”
Belum jauh berlalu dari rumah Ririn, dia mendengar hal yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang wanita. Dia terpaku di tempatnya.